Karma?
Ruko sudah terisi, keluar masuk barang juga lancar. Sesuai riset, produkku sudah dikenal. Hanya saja, untuk offline di daerahku memang belum ada.Selain menjual secara offline, aku masih menjual secara online juga seperti sebelumnya. Hanya saja, karena sudah menjadi agen, aku mendapat potongan harga yang lumayan.Aku mulai mengurangi mengambil pesanan nasi kotak. Bukan menolak rejeki, tapi aku tak ingin kehilangan momen membersamai anak-anak."Ibu sibuk terus, kan Kakak mau main sama Ibu," protes Arsy suatu hari.Dari situ aku menyadari kalau aku mulai tak punya banyak waktu untuk mereka, sedangkan masa kecil mereka hanya sekali.Sesekali aku datang ke ruko bersama kedua anakku untuk memeriksa keluar masuknya barang.Bersyukur sekali karyawan yang direkomendasikan oleh Putri orang yang amanah, sehingga aku tak kuatir mempercayakan toko padanya. Aku juga meminta ia merahasiakan bahwa aku pemilik toko tersebut.<"Wah, bener juga ya, Mas, kamu kan, baik. Baaiiikkk banget, sampai-sampai, ngasih uang bulanan aja sekarang lima ratus ribu. Lumayan tuh, kalau dilaminasi, bisa awet setahun. Lebih malah."Aku menaikkan alis saat ia reflek menatap kedua bola mataku. Ia sedikit membesarkan mata saat kuucapkan uneg-uneg yang mengganjal belakangan ini.Apa ini karma? Ah, entahlah, aku tak pernah berdo'a buruk untuk ayah kedua anakku, semoga hanya kecelakaan keseleo biasa.Mas Ari nampak kesakitan saat sholat Maghrib berjamaah. Ia juga tak bisa berdiri tegak saat berjalan. Yang ia lakukan ialah seperti berjalan dengan cara ngesot. Anak-anak malah senang melihatnya. "Ayah … jalannya bagus Ayah, adek suka. Lagi Yah, lagi."Memang dasar bocah, kenapa dia malah kayak ngerjain Ayahnya? Kalau berhenti diminta jalan lagi, dengan cara ngesot lagi. Lama-lama kasihan juga aku melihat Mas Ari. Namun, ia menolak saat aku berniat membantu."Nggak usah, Mas bisa sendiri."Iya, b
"Maaf Ma, tadi Lisa di dapur menyiapkan sarapan untuk anak-anak.""Oh, ini Mama bawakan nasi bungkus, mana mereka?"Mama telah duduk di atas karpet, kemudian mengeluarkan tiga bungkus nasi. Nampaknya nasi goreng pesanan anak-anak akan diganti dengan nasi bungkus yang dibawa Mama. Selalu seperti ini, masakan Mama yang harus dimakan dulu, sedangkan masakanku harus disingkirkan kalau ada kiriman makanan dari Mama. "Sabar … sabar Lisa … ," aku berucap dalam hati."Ada di kamar, Ma, tunggu sebentar ya, biar Lisa panggil dulu."Yah, Adek, Kakak ini ada nenek," panggilku pada Mas Ari dan anak-anak setelah berada di depan pintu kamar.Bergantian mereka ke luar kamar untuk menyalami ibu dari suamiku."Cucu-cucu Nenek belum sarapan, kan? Tadi ibu kalian bilang lagi masak. Ini Nenek bawakan nasi bungkus. Ada kelapa muda juga, segar lho, ini," ucap Mama sambil membuka nasi bungkus satu persatu.Kalau sudah begini, mau tak mau memang nasi itu yang harus
"Jadi, Mama tuh, ke sini, mau bawa anak-anak, biar Mama aja yang jagain. Sebentar lagi kan, mau masuk ajaran baru, biar mereka sekolah di tempat Mama aja. Mama kuatir kalau kamu tinggalkan mereka seperti kemarin."Aku terpaku mendengar kalimat yang meluncur dari lisan Mama mertua. Mencerna kata demi kata, tapi tak bisa kuterima begitu saja. Memang benar di dekat rumah Mama ada sekolah TK dan SD. Tapi kan … ."Apa benar Dek, kemarin kamu ninggalin anak-anak buat belanja?"Duh, jangan sampai aku salah jawab, bisa kacau ini."Enggak Mas, aku nggak belanja kok.""Yakin kamu?" sahut Mama secepat kilat."Mama lihat sendiri, kemarin kamu sendirian di toko itu. Pegang-pegang baju di sana. Kamu ngapain di sana kalau nggak belanja?" tanya Mama."Lisa cuma lihat-lihat kok, Ma. Kan, uang Lisa sudah dipakai untuk kebutuhan sehari-hari di rumah ini. Lisa juga belum butuh pakaian baru, apalagi yang be
Ya, anak-anak itulah harta berhargaku. Kulakukan semua demi mereka, demi tercukupi semua kebutuhan dan gizinya. Lnatas, jika mereka tak ada di sisiku dan diasuh Mama, untuk apa aku banting tulang mencari nafkah?Tak pernah kubayangkan sebelumnya hidup tanpa keduanya, setelah banyak hal berat yang kulewati sejak memiliki mereka.Aku masih berharap hati Mama melunak, tak lagi meminta anak-anak supaya mau tinggal bersama beliau. Akan bagaimana aku nanti?"Keras kepala memang kamu, Sa."Mama berucap dengan melebarkan kedua mata. Beliau seakan tak mau mengerti bahwa aku tak bisa hidup terpisah dari kedua anakku."Maaf, Ma," tiba-tiba Mas Ari menyela."Lagipula pengasuhan anak yang terbaik kan memang sama orang tua kandungnya. Mama kan dulu sudah pernah repot waktu mengurus Ari sejak bayi sampai bisa mandiri, sekarang saatnya Mama menikmati hari tua Mama."Duh, Mas Ari, nggak nyangka kamu sepemikiran dengan istrimu ini. Suamik
Adzan Subuh berkumandang tepat saat kaki kecil singgah di wajahku. Tercium aroma pesing, khas sekali. Bagus sekali cara kamu membangunkan Ibu, Nak. Aku menghela napas panjang, menikmati aroma yang menguar di kamar. Setelah kesadaran kembali penuh, aku mengangkat si bungsu ke kamar mandi. Ia masih mengantuk, tapi ia tetap harus berganti pakaian dan membersihkan diri.Ia langsung asyik dengan mainan mobil-mobilan setelah badannya bersih dan terasa segar. Aku pamit untuk membersihkan diri dan melaksanakan ibadah sholat Subuh. Tak lupa membangunkan Mas Ari dan Arsy untuk berjamaah. Mas Ari masih kesulitan berjalan, tapi sudah nggak ngesot lagi seperti kemarin."Ayah, ayo kita jalan-jalan," ajak si kecil setelah melihat ayahnya selesai merapikan sajadah serta sarung."Jalan-jalan ke mana, Sayang?" tanya Mas Ari sambil duduk di kursi dapur."Keliling komplek, Yah.""Aduh, kaki ayah masih sakit ini, Dek, lain kali, ya?"
"Dek Arkan, mau ya, ikut Nenek, nanti kita jalan-jalan naik mobil, beli mainan," Mama masih berjuang rupanya.Jangan ya, Nak, Ibu nggak sanggup jauh dari kalian berdua. "Nggak mau," jawab adik seraya menggelengkan kepala.Kedua alis Mama bertaut. Aku dapat melihat raut kecewa di wajahnya. Beliau kembali menghujani kedua cucu dengan ciuman."Baiklah, kalau begitu kalian hati-hati di rumah sama Ibu dan Ayah, ya."Alhamdulillah, lega sekali mendengar Mama menyerah membujuk anak-anak kali ini. Setidaknya kedua anakku tak akan ke mana-mana."Iya, Nek," jawab mereka serempak."Lisa, jangan sampai terulang seperti kemarin lagi, ya. Mama pulang dulu.""Iya, Ma, hati-hati di jalan."Aku menyerahkan sepuluh lembar uang seratus ribuan. Mama menerima dengan ekspresi tak mengerti."Ini apa, Sa?""Ini buat Mama. Bukankah, Mama sedang butuh untuk bayar cicilan mobil sama buat bayar sekolah Rista, Ma
Hari telah Semakin gelap. Suara hewan kecil mulai terdengar dari kebun di belakang rumah ini. Jarum jam menunjuk angka sepuluh. Kondisi rumah telah sepi, kedua buah hatiku sudah terlelap sejak lepas Isya' tadi. Mas Ari juga sudah terlelap, menyusul anak-anak yang tertidur oleh dongeng kancil dan harimau menjelang tidur mereka malam ini. Kini seorang diri aku berkutat dengan rekap orderan dari toko online. Rasa lelah kuabaikan, demi kepuasan konsumen dan pelanggan."Dek, maafkan Mas."Terlonjak aku dari kursi tempat aku menyerahkan bobot tubuh ini. Bolpoin yang kupakai untuk merekap orderan online ikut terjatuh. Lagi, ia mengejutkan aku. Mengumpulkan kesadaran beberapa saat, meyakinkan diri kalau yang hadir adalah Mas Ari, suamiku."Maaf? Maaf untuk apa, Mas?" tanyaku setelah degup jantung kembali normal."Soal itu … uang cicilan mobil, Dek."Ia berkata dengan menundukkan wajah, seakan merasa bersalah. Ada apa dengan su
Aku kehabisan kata mendengar pengakuan suamiku. Keyakinannya begitu besar bahwa aku akan menuruti segala permintaan Mama. "Kamu kenapa sih, Dek, kok gitu jawabnya?"Ia memegang kedua pundakku, seakan memastikan kalau aku baik-baik saja. Kedua bola mata kami bertemu, aku mencari kebenaran di dalam sana."Memangnya harus jawab bagaimana?""Ya, biasanya kan, kamu bisa jawab panjang lebar, nggak pendek-pendek gini, Dek."Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mas Ari benar, aku bisa bicara sepanjang jalan kereta api saat menemui hal tak wajar, atau tak sesuai ekspektasi. Tapi itu dulu, sebelum aku menyadari ada dusta di antara kami, dari ia yang kusebut suami. Belakangan ini aku tak lagi mengeluarkan banyak kata padanya, lebih banyak mengamati saja. Menunggu waktu yang tepat untuk memangsa. "Aku capek, Mas. Mau istirahat."Aku bangkit dari duduk, bermaksud ke kamar karena mendengar suara dari sana. Tapi suara