Pembicaraan berakhir saat terdengar bunyi klik.Anak-anak menurut saat kuajak pulang karena kedatangan tamu. Tak lupa aku mampir di warung tetangga untuk membeli jajanan untuk suguhan.Empat puluh menit kemudian, sebuah Honda jazz warna silver berhenti di depan pagar. Aku melambaikan tangan saat si empunya membuka pintu dan menampakkan diri.Putri membawa mobilnya parkir di halaman rumah supaya tidak menghalangi jalan."Hebat ih, bisa nyampe sini. Nyasar nggak?" tanyaku setelah cipika cipiki dan berpelukan erat sejenak."Enggak, dong. Aku kan beberapa kali lewat daerah sini."Ia melangkahkan kaki memasuki ruang tamu. Anak-anak mengekor di belakangku nampak malu-malu."Hai cantik, ganteng … ini buat kalian, semoga suka ya," Putri mengulurkan godie bag, serta satu kantong plastik besar bertuliskan minimarket berlogo lebah."Ini Tante Putri, masih ingat nggak, Sayang?" tanyaku pada mereka setelah semua duduk. Mereka hanya manggut-manggut.
Jarum jam menunjuk angka tiga, Putri pamit pulang setelah mengajari aku mengendarai Honda jazz miliknya. "Sudah lumayan, lain kali kita belajar lagi ya, kalau kita sama-sama longgar."Ucapan Putri membuat aku bersemangat untuk bisa mengendarai kendaraan roda empat. Ternyata tak sesulit yang kubayangkan. Meski aku sempat menolak, tapi Putri tak menyerah begitu saja."Nggak usah takut mobilku lecet, bengkel kan banyak," ucapnya kemudian diiringi gelak tawa. Sedangkan aku hanya nyengir kuda.Semudah itu ia mengatakan bengkel banyak, padahal biaya memperbaiki cat mobil lecet juga tak sedikit.Tiba-tiba saja aku membayangkan, ada nama toko beserta nomer telepon milikku di kaca belakang mobil. Jadi kalau jalan kemana-mana, secara nggak langsung aku sedang memasang iklan.Ah, andai saja aku bisa membicarakan ini dengan suamiku, tentu semua akan lebih mudah diwujudkan. Kini justru aku melihat Mas Ari mulai menginginkan uang ha
"Ayah mana ya, Bu, kok belum pulang?"Kedua anakku mulai gelisah. Sejak sejam yang lalu sudah mondar-mandir keluar masuk rumah, melihat ke ujung jalan di mana biasanya motor ayahnya muncul. Aku sendiri pun heran, tak biasanya Mas Ari pulang terlambat. Memberi kabar pun tidak. Entah apa yang terjadi. Mencoba menghubungi ponselnya juga tidak tersambung."Maaf ya, Sayang, mungkin pekerjaan Ayah masih banyak, jadi belum bisa pulang."Aku mencoba memberi pengertian pada mereka berdua, sedang diri sendiri tak yakin kebenarannya. Entahlah, aku hanya mencoba berpikir positif. Semoga tidak terjadi hal buruk pada ayah kedua anakku."Jangan-jangan jalannya macet ya, Bu? Jadi motor Ayah nggak bisa lewat?"Bibirku melengkungkan senyum mendengar penuturannya."Mungkin saja, Sayang."Suara mengaji mulai terdengar dari masjid dekat rumah. Tanda bahwa sebentar lagi adzan Maghrib berkumandang. Aku mengajak mereka berdua masuk dan menutup pintu serta jendela."Kakak kangen Ayah, Bu."Anak sulungku mulai
Hari-hari berikutnya, Mas Ari benar-benar berangkat pagi pulang malam. Ia semakin jarang bertemu dengan anak-anak di saat malam karena mereka telah terlelap sebelum ia datang."Mas harus berangkat pagi, soalnya bareng teman ke sana. Dia bawa mobil, kami berempat berangkatnya."Ia menjelaskan tanpa diminta saat awal sekali mulai tugas ke luar kota. Aku iyakan saja dan berpesan supaya hati-hati.Seperti pagi ini, pagi sekali Mas Ari telah siap dengan seragam kerjanya. Anak-anak sudah menunggu di depan pintu. Mereka bangun lebih awal, seakan mengerti kalau sang Ayah akan berangkat pagi sekali."Dek, minta uang bensin dong. Nggak enak Mas numpang tapi nggak ngasih ongkos bensin."Gerakanku terhenti. Mas Ari telah menadahkan tangan di sampingku yang sedang berdiri di depan kompor. Ini bukan yang pertama kali, setidaknya dalam dua minggu terakhir sudah enam kali. Entah ke mana uang gajinya, aku sudah tak terlalu mempersoalkan."Ayo, b
"Sudah, kamu duduk saja, biar Mas yang masak."Ia menuntunku supaya duduk di kursi dapur di rumah Mama, saat aku menawarkan diri membuat pengisi perut yang mulai lapar. Sementara ia, kembali ke depan kompor, berjibaku dengan wajan dan spatula. Tak lama kemudian, aroma yang membuat cacing di perut bernyanyi karena minta diisi mulai menguar. Beberapa kali aku menelan ludah sambil membayangkan sedapnya masakan yang akan ia sajikan."Taraaa ... Sepiring spaghetti sudah siap untuk istriku yang cantik."Ia memamerkan deretan giginya yang rapi, sambil membawa sepiring mi yang ia sebut spaghetti. Ah, aku hanya mengenali makanan dari bentuknya. Asal dia menyerupai tali, berwarna kuning, serta berukuran sebesar lidi yang bisa kupakai menyapu halaman di rumah Ibu, maka aku menyebutnya mi. Tak peduli ia diberi nama spaghetti seperti yang disebut Mas Ari, suamiku. Dasar aku.Mi ini terlihat lezat, bentuknya nyaris sama seperti lidi, hanya s
Aku menjauhkan ponsel dari telinga. Mencerna ucapan Mama mertua. Apa hubungannya aku berhenti membuat nasi kotak dengan kerugian Mama?Lagian Mama rugi untuk apa? Mama tak sedang berdagang denganku, kenapa memikirkan untung rugi?Semakin ajaib saja kamu, Ma."Mama nggak mau tau ya, Sa. Pokoknya kamu tetap kerja, Mama nggak mau anak Mama kerja seorang diri untuk kalian sedangkan kamu hanya ongkang-ongkang kaki di rumah."Aku terkesiap mendengar ucapan Mama. Bagaimana bisa Mama berpikir demikian?Aku nggak kerja pun, aku nggak ongkang-ongkang kaki di rumah. Mengurus kedua anakku yang sedang sangat aktif juga sudah menguras tenaga dan pikiran. Belum lagi pekerjaan rumah yang tak ada habisnya."Satu minggu lagi ada arisan di rumah Mama. Kamu yang masak ya, sama buatin pizza kamu yang kemarin itu, buat yang banyak untuk suguhan tamu sama tentengan pulang. Jangan lupa bawa sirupnya. Teman arisan Mama tiga puluh oran
Waktu menjelang malam menjadi waktu yang sedikit berat belakangan ini. Semenjak Mas Ari menjalani diklat, anak-anak selalu bertanya jam berapa ayah pulang. Meski telah dijelaskan, tetap saja mereka merengek dan kembali bertanya.Sedikit banyak aku mengerti perasaan anak-anak ini. Mereka hampir tak bertemu sang ayah saat membuka mata, kecuali hari libur."Kakak kangen ayah, Bu," ucap Arsy sore ini.Kuraih badan kecilnya dalam rengkuhan, lalu mencium keningnya dengan sayang."Sabar ya, Kak, do'akan perjalanan ayah lancar, jadi bisa cepet pulang nanti," bujukku sambil mengelus kepalanya.Si adik sendiri masih sibuk dengan mainan legonya. Ia masih fokus menyusun satu persatu, tanpa menghiraukan kakaknya yang berada di pangkuanku."Apa kamu sudah ngantuk?" tanyaku pada Arsy. Kulihat ia mengucek mata, lalu menguap lebar. Ia hanya menjawab dengan anggukan."Ya sudah, ayo ibu temani di kamar biar bisa tidur,"
"Anda?" Ia bertanya dengan menyipitkan mata. "Ingat nggak, sama anak yang suka lompat pager kalau hari Senin, atau menerobos pagar di samping ruang koperasi?"Ia menjawab dengan memberi teka-teki. Hal ini membuat aku dan Putri secara spontan menoleh bersamaan. "Arlan?" seru kami bersamaan. Yang disebut justru tergelak."Benar sekali nona. Senang sekali bisa bertemu kalian lagi."Ia tersenyum senang, kemudian menjabat tangan kami satu persatu. "Ini Lisa, kan?" ia bertanya setelah jabatan tangan kami terlepas."Iya," jawabku singkat.Sejurus kemudian, kami bertukar kabar satu sama lain. Arlan bahkan terkejut mendengar kabar kalau aku ikut pameran di sini."Wah, kemajuan sekali, si tukang manjat tembok terjun ke dunia kuliner, haha ... ."Tawa Arlan berderai. Kami bertiga memang mantan pemanjat tembok yang ulung pada masanya. Kini kami bertemu saat sudah sama-sama dewasa. Mengingat kejadian mas