Max melambaikan tangan sebelum ia menjalankan mobilnya, dibalas oleh senyuman dan anggukan oleh Zeta.
Mobil Max keluar dari halaman rumah Jack, dan kini sudah tak terlihat. Zeta lalu masuk kembali ke rumah.
Zeta menautkan kedua alisnya seraya berpikir. Sikap Max padanya sangat lembut dan perhatian, itu memang sifatnya dan bukan karena pria itu tertarik padanya kan? Semoga saja, Max memang orang yang seperti itu, dia tak hanya memperlakukan hal baik kepada Zeta saja, tetapi kepada semua orang yang pria itu temui. Ya, semoga saja.
Zeta menghela napas lega ketika mampu mengalihkan pemikirannya ke hal yang lebih positif. Ia berderap ke kamarnya sendiri untuk membasuh wajah agar lebih segar, ia juga akan memakai skincare pembelian Jack. Ia ingin tampil maksimal ketika pria itu melihatnya.
Zeta duduk di pinggir tempat tidur sebentar, ia raih ponselnya yang tergeletak di meja nakas. Ia ingin menghubungi Sena. Sena pasti terpukul dan juga syok melihat kekas
Max hanya tersenyum menanggapi sindiran Jack. "Kau tahu. Kadang kau terlalu egois, Jack."Sorot mata Max menajam, ia berlalu dengan menabrak bahu Jack kasar.Jack melihat kepergian Max dengan rahang terkatup, kedua tangannya terkepal erat.***Fay melempar surat kabar yang baru ia baca ke tong sampah. Dengan kekesalan penuh ia menggiring kakinya kembali menuju ruang utama apartemennya."Fay..." panggil seorang perempuan yang duduk di sofa dengan menyandarkan kepalanya ke samping."Hmmm..." Fay ikut mendudukkan diri di samping Elle yang kini menegakkan kembali kepalanya itu."Kau pasti kesal ya? Tapi, itu konsekuensimu juga sih karena kau mau bertunangan dengan Jack." Elle memiringkan kepalanya untuk memperhatikan fitur wajah Fay yang nyaris sempurna. Lalu ia berkata lagi, "Sebenarnya Jack melihat apa sih dari perempuan itu. Jelas-jelas perempuan di depanku ini jauh lebih cantik, seperti boneka barbie.""Aku ha
Fay merasakan debaran jantungnya mengencang ketika ia bertemu dengan Aiden tadi. Tidak banyak percakapan di antara keduanya karena Aiden lebih memilih sibuk dengan bukunya.Fay bertanya pada Aiden dengan senyum termanisnya, senyum yang sangat 'mahal' karena hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat senyum tersebut. Namun, Aiden tak membalas senyumnya, bahkan untuk menolehkan kepalanya untuk melihat wajah Fay saja tidak Aiden lakukan. Itu yang membuat Fay gemas.Fay sudah bosan dengan banyaknya pria yang datang kepadanya penuh dengan rayuan, dan tak sedikit yang memamerkan hartanya. Semua akan Fay tolak mentah-mentah. Tapi, Aiden sangat bertolak belakang. Pria itu memancing Fay, ia jadi tergugah untuk membuat pria itu jatuh cinta kepadanya. Lagi pula, Fay sudah banyak menaklukkan banyak hati pria dengan sangat mudah. Begitu pun dengan Aiden, mungkin Fay bisa menaklukkannya juga.Tidak ada yang bisa menolak cinta dariku. Yakin Fay dalam hati penuh percaya
Jack sudah berada di kantor sejak pagi. Harinya diganggu oleh panggilan dari Fay yang berulang kali masuk ke ponselnya. Jack menatap jengah layar ponselnya setiap kali nama Fay muncul di sana. Tak satu pun panggilan perempuan itu yang ia terima. Sementara, di ruang utama apartemen, Fay berdecak kesal ketika panggilannya direject oleh Jack. Padahal, tujuannya menelepon pria itu adalah supaya ia bisa mengajak Aiden jalan-jalan. Tapi, pria itu tak memberinya kesempatan untuk berbicara di telepon. Fay lalu mengirim pesan kepada Jack perihal keinginannya itu. Pesan Fay terkirim, menyembul di layar ponsel Jack. Pria itu mengernyit mendapati Fay yang tak pantang menyerah, dan malah mengiriminya sebuah pesan. Jack menggeser layar ponselnya, ia buka dan baca kiriman dari Fay. Alis Jack menyatu setelah selesai membaca. Ternyata Fay menyuruh Jack mengizinkan dan mendesak Aiden agar pria itu bersedia diajak Fay pergi jalan-jalan. Jack mengulas senyum miring
Fay membuka pintu apartemen dan mendongakkan kepala ke luar. Ia tersenyum malu ketika matanya bertabrakan dengan mata coklat Aiden."Selamat pagi, Nona." Aiden menunduk memberikan salam."Pagi juga, Aiden." Fay memperlebar pintunya dan mempersilahkan Aiden untuk masuk."Tidak, Nona. Lebih baik kita berangkat sekarang," tolak Aiden tegas."Baik, Aiden." Fay merapikan rambutnya dengan tangan. Ia segera menutup pintu apartemen dan menguncinya. Ia lalu mengekor di belakang Aiden.Fay melangkah cepat agar bisa menjajari Aiden. Ia berdehem sembari menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. "Apakah ada tempat yang ingin kau kunjungi, Aiden?"Aiden menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Fay. "Tidak ada, Nona," jawab Aiden datar."Baiklah. Kalau begitu biar aku saja yang menentukan tempatnya. Ada satu tempat yang ingin aku kunjungi." Fay meraih tangan Aiden, hendak menggenggamnya. Tapi, Aiden dengan cepat menepisnya.
"Bagaimana hatimu sudah mulai membaik?" Jack memiringkan kepala kepada Aiden.Aiden berhenti meneguk minumannya. "Sudah, Tuan. Karena Anda, saya menjadi lebih baik sekarang."Jack menarik dua sudut mulutnya ke atas.*Max mondar-mandir penuh gelisah di ruangannya. Ia melirik ponselnya sekilas, tak ada tanda-tanda adanya balasan pesan di layarnya. Ia lalu bergerak lagi, sampai suara deringan ponsel menghentikannya."Dia membalas apa ya?" gumam Max seraya menggulir layar ponselnya dan membuka sebuah pesan yang masuk.Max mengulas senyum, lalu beranjak keluar.Max pergi ke rumah Jack untuk menemui Zeta. Tadi ia sempat bertanya dulu, boleh kah ia menemui Zeta. Dan, perempuan itu menjawabnya boleh. Maka, Max segera bergegas.Sebelum mencapai rumah Jack, Max berhenti di sebuah toko bunga. Ia meminta seorang florist untuk merangkaikan sebuah buket bunga yang indah untuknya."Buatkan aku buket bunga yang cantik," Max
Max menyesap teh yang dibuatkan Lerry pelan. Ia menengok ke arah Zeta yang kini berderap ke arahnya. Perempuan itu mendesah lega sembari melepaskan celemek dari tubuhnya."Sudah matang, Max. Aku memasakkan makanan yang enak untukmu, kau harus mencobanya.""Aku kan sudah bilang tak perlu repot-repot kau membuatnya, Zeta. Aku hanya bilang kalau aku suka dengan masakanmu, tapi bukan berarti aku ingin kau memasakkan untukku sekarang.""Sudahlah. Aku memang ingin memasakkanmu. Lagi pula sekarang memang waktunya makan siang, malah sudah terlewat beberapa jam." Zeta menarik tangan Max lalu menggiringnya di meja makan. Zeta sama sekali lupa kalau Jack bisa melihat semua yang ia lakukan ini.Max terduduk di kursi, ia pandangi makanan yang sudah tersaji di atas meja makan dengan menelan ludahnya."Kau harus habiskan semuanya." Zeta menepuk pundak Max, kemudian berlalu.Max mengambil piring. Ia menaruh semua makanan buatan Zeta itu ke piringnya.
Zeta membuka matanya pelan. Hari sudah pagi, waktunya ia bangun. Tatapan pertamanya ia arahkan ke meja nakas untuk melihat bunga segar. Ia tercengang sebentar, lalu meloncat turun dari kasur. Zeta menggigit bibir bawahnya. Di atas meja tak ia dapati vas bunga yang ia letakkan di sana kemarin. Semalam vas itu masih ada, tapi sekarang sudah menghilang.Zeta keluar dari kamar, menemui Lerry. "Bibi..." panggil Zeta membuat Lerry berbalik ke arahnya."Ada apa, Nona?""Bibi tahu vas bunga yang ada di atas meja, di kamarku tidak?" tanya Zeta tak sabar.Lerry mencoba mengingat-ingat. Pasalnya tadi ketika ia mengunjungi kamar Zeta di saat perempuan itu masih tidur, tak ada vas bunga di meja. Lerry tak melihat benda selain ponsel di sana. "Tidak, Nona.""Bibi benar-benar tak melihatnya?" Wajah Zeta tertekuk kecewa."Iya, Nona. Tidak ada vas bunga di meja Nona." Lerry bergeleng pelan."Baiklah, Bi." Zeta memaksakan senyumnya, kemudian berlalu.
"Kau sedang bertelepon dengan siapa?" tanya Jack menatap Zeta tajam.Zeta bergeleng pelan. "Kau sudah pulang, Jack?"Zeta menyeringai, menunjukkan semua giginya di depan Jack. Tatapannya kini jatuh ke arah kedua tangan Jack yang hilang di belakang badan kekar pria itu. "Apa yang ada di belakangmu, Jack?" tanya Zeta polos."Aku juga bertanya, apa yang ada di belakang tubuhmu, Zeta? Bagaimana kalau kita saling bertukar?" Jack melangkah mendekat kepada Zeta.Zeta menghindari Jack, ia memundurkan tubuhnya pelan. "Jack..."Jack tersenyum miring. Ia menghentikan langkah kedua kakinya. Ia kemudian menjulurkan lehernya sedikit agar ia bisa menatap dalam kedua mata Zeta."Kau sedang bertelepon dengan Max ya?" Terukir seulas senyum tipis di bibir Jack. Sorot matanya berkilat, memperlihatkan kalau ia sedang marah."Dan... Kau yang telah membuang bungaku kan?" tanya Zeta balik. Zeta memandangi Jack penuh selidik.Jack menarik tangan