Andira menatap keluar jendela, dia memikirkan sesuatu. Dia memikirkan apa yang dilakukan Hatice di rumah Ibrahim? Apa mereka juga saling menyukai? Apa yang terjadi? Ini bukanlah urusannya, namun dia merasa pemasaran akan hal itu. Saat asik merasakan hembusan angin dari luar jendela yang terbuka, tiba-tiba pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan dari Martin. "Datanglah lebih cepat, aku ingin bicara." Andira hanya membacanya tanpa membalas pesannya. Dia mematikan kembali ponselnya dan hanya menatap keluar jendela. Kepalanya sudah banyak dipusingkan banyak hal. "Kita langsung pulang atau mau singgah ke tempat lain Neng?" tanya Pak Mamat. "Langsung pulang saja Pak." Andira menjawab singkat, dan Pak Mamat hanya mengangguk. Laju mobilnya tidak begitu cepat, dan juga tidak lambat, sehingga hembusan angin yang menerpa wajah Andira begitu lembut dan terasa nikmat. "Aku mendapatkan apapun yang kuinginkan, termasuk dirimu, Andira." Ucapan Martin yang tiba-tiba muncul dibenaknya. "Dia betu
Martin tahu semuanya. Makan malam akhirnya tiba. Kaki Sarah melangkah turun dari tangga dengan perasaan cemas, jemarinya gemetar. Martin tidak mengatakan apa-apa pada Sarah setelahnya. Sarah hanya menganga dan langsung pergi dari sana. Malam tiba, Hatice dan suaminya datang. Saat melihat Sarah, Hatice langsung berlari kecil dan memeluk kakak iparnya."Kenapa memelukku? Bukankah kita bertemu di rumah sakit?" Sarah yang berusaha agar tetap tenang. Lutfi yang berada di belakang Hatice terlihat menatap Sarah dengan senyum. Walau Sarah tidak melihatnya. "Aku hanya senang kau sudah bisa kembali ke rumahmu, bersama Randy," jawab Hatice, dan mereka melepas peluk. Lalu bel rumah berbunyi kembali, Andira dengan cepat berjalan ke arah pintu, melewati Sarah dan yang lainnya. Hatice memandanginya sejenak dengan tatapan tidak suka. Sarah lalu mengajak mereka berjalan ke arah meja makan. Mereka saling bergandengan, Sarah dan Hatice. Namun perasaan Sarah begitu gundah sangat-sangat gundah. "Aku t
Martin yang tiba-tiba datang, dia yang ditunggu sejak tadi. Kini Martin duduk di kursinya. Dia sedikit heran kenapa Randy dan Nadira ada di meja makan padahal dia sudah bilang untuk tidak mengajak kedua anaknya itu bergabung selain Raisi. "Bukankah Papa sudah bilang kalau Randy dan Nadira tidak seharusnya ikut?" Mata Martin mengarah pada Sarah. "Kau bilang ini untuk merayakan kesembuhan Randy, jadi tidak baik jika tidak mengajak anak kita untuk ikut makan bukan?" balas Sarah dengan tatapan yang sama tajamnya pada Martin. "Lagi pula kau bilang ini hanya untuk keluarga, kau tidak mengundang adikku tapi mengundang orang lain tang tidak aku kenal!" Dengan kesal, membuat Ibrahim tersinggung, namun Martin membela Ibrahim dengan berkata, "Aku mengundangnya karena dia adalah karyawan terbaik di kantorku, aku menyukainya sebagai pekerjaku, aku mengundang siapapun yang ingin aku undang!" Matanya mengitari orang-orang yang ada di sana. Martin menghela nafas, dia melihat masih ada satu kursi y
Semuanya menganga mendengar apa yang dikatakan Martin. Martin Dailuna, dia mengeluarkan sesuatu, dia lembar kertas ke atas meja. Bukan hanya perceraiannya dengan Sarah, namun Hatice juga Lutfi."Aku tidak hanya akan bercerai dengan istriku, namun juga, Lutfi dan Hatice." Semuanya semakin membulatkan mata mereka. Bahkan Andira yang tadinya tidak menatap Martin kini menatap ke arah Martin. Nadira yang tidak peduli sejak tadi kini terlihat cemas dan kuatir, dia menatap ayahnya dengan sangat heran. Randy semakin kecewa, dia menatap dengan tatapan yang berkaca-kaca kepada ayahnya. Dia juga menatap ke arah Andira. Raisi juga sama, namun tegangan dalam dirinya menyurut karena dia yakin pasti bahwa orang tuanya akan bercerai. "Apa Maksudmu?" Lutfi yang sejak tadi diam kini membuka mulut. "Ibrahim." Sambil mengulurkan tangannya ke arah Ibrahim. Langsung saja Ibrahim memberikan map coklat yang tadi dibawanya. Martin meraih map coklat itu dan membukanya perlahan. Sarah sendiri mulai menundu
Martin membaringkan tubuhnya di atas ranjangnya, dia menatap langit-langit ruangan, dengan tangan kanan di bawah kepala. Dia melepas kacamatanya, sehingga apapun akan terlihat buram. Dia larut dalam lamunannya, dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia selesai bercerai dengan Sarah. Sementara Raisi, dia berada di halaman belakang rumah dan menatap taman malam. Dia berdiri tepat di pinggir kolam renang. Saat larut dalam lamunan dan perasaan yang ingin menjatuhkan tubuhnya ke dalam kolam air muncul, tiba-tiba Andira datang dan berdiri di sampingnya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pada Raisi. Kedua tangan Raisi berada di dalam sakunya, tatapannya lurus ke depan, kosong, dan letih. "Aku tidak baik-baik saja," jawabnya sambil menggeleng. "Aku sempat berpikir, bahwa aku adalah alasan Tuan Martin ingin bercerai," ucap Andira pelan dan membuat Raisi menghadap ke arahnya. Dia membuka bibir dengan senyum. "Aku juga sempat berpikir begitu, tapi untungnya bukan." Mereka sali
Sarah sendiri kembali ke rumahnya, rumah mendiang ayahnya dimana di sana juga tinggal Raynaldi. Kadang Raynaldi tidak berada di sana karena mengingat bahwa dia cukup bermusuhan dengan ayahnya, namun kadang dia juga tinggal di sana. Salah satu alasan Raynaldi tidak ingin bekerja di perusahaan milik ayahnya yang sekarang dijalankan oleh Sarah, itu dikarenakan bahwa setiap saham di perusahaan itu hanya untuk Sarah, hampir semua yang dimiliknya hanya untuk Sarah sedangkan untuknya hanya sebuah lahan di pedesaan. Bagaimana tidak kesal. Hanya lahan di pedesaaan. Di rumah itu sama sekali tidak ada pelayan, hanya tukang bersih-bersih yang datang setiap dua kali sepekan. Raynaldi memecat semua pekerjanya karena hanya dia yang tinggal di rumah itu, dia juga belum menikah, dan hanya sendiri, untuk apa seorang pelayan? Mendengar bahwa Raynaldi memecat pelayannya membuat Sarah terkejut pada awalnya, namun dia sudah terbiasa dengan sikap menjengkelkan adiknya. "Bertengkar lagi dengan Martin?" R
Hatice terlihat berkemas, dia memasukkan pakaian ke dalam koper, lalu berhenti dan duduk di pinggir ranjang saat lelah mendengar sejak tadi Lutfi berkata, "Aku akan menjelaskannya!" "Okey, jelaskan!" Dia duduk tegak di pinggir ranjang, Lutfi yang tadi berdiri juga ikut duduk di samping Hatice. Dia diam, matanya saling menatap, menatap mata Hatice yang sudah berkaca-kaca dan basah membuat Lutfi hilang kata-kata sekaligus bingung ingin berkata apa. "Nah kan, kau tidak bisa menjelaskannya!" Lalu Hatice menghela nafas, dia terisak dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Lutfi yang melihat itu merasakan sesuatu yang menyakitkan, kenapa istrinya begitu terlihat sedih, dia berpikir bahwa Hatice sama sekali tidak mencintainya. "Aku melakukannya karena aku pikir kau tidak mencintaiku," ucapnya membuat Hatice langsung menurunkan kedua telapak tangannya dari wajahnya, dia menatap ke arah Lutfi dengan mata basah. "Aku memang tidak mencintaimu, aku mencintai Kakakku, aku juga me
Pagi yang melelahkan, mataharinya cukup cerah namun cukup melelahkan bagi para manusia yang sibuk apalagi mereka yang baru saja melalui masalah. Saat terbangun, Andira langsung menuju kolam renang, dia mencari pakaian dalamnya yang terlepas semalam. Pada akhirnya dia menemukannya dan langsung membawanya masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu dia kembali ke kolam renang dan mengganti airnya. Setelah itu dia kembali memasak, membawa makanan untuk pekerja rumah yang lainnya, serta menyuruh Pak Rustam agar membersihkan taman bagian belakang. Dengan senang hati Pan Rustam membersihkan taman bagaian belakangnya. Jam sarapan pagi, Raisi mendatangi Andira dan meminta maaf. "Apa aku membuatmu tidak nyaman?" tanya Raisi, dia berdiri di samping Andir yang sedang membersihkan piring yang banyak. Dia belum sempat membersihkannya semalam. "Apa maksudnya?" "Kau mendadak pergi. Apa kau tidak menyukainya?" tanya Raisi lagi. "Bukan Tuan Muda yang membuatmu tidak nyaman, tapi suasananya terlalu din