“Pakai lingerie ini saat kamu menemui suami saya di kamar.”
Kayra memandang lingerie di tempat tidur itu dengan tatapan tidak berdaya.
Sepasang matanya merah, sementara wajahnya sembab.
Di sebelah lingerie, ada salinan surat kontrak yang ditandatangani oleh ayah Kayra, menyatakan bahwa Kayra sanggup dan bersedia melahirkan anak yang sehat untuk Asha dan Bram, sepasang suami istri kaya raya yang tak kunjung dikaruniai keturunan.
Kayra pikir, ia datang ke kota untuk menjadi asisten rumah tangga.
Ternyata ia harus menjadi ibu pengganti.
Begitu judulnya, tapi Kayra lebih merasa seperti wanita simpanan atau orang ketiga dalam pernikahan.
Ia sampai tidak bisa makan dan tidur sejak ia tiba di rumah ini dua hari yang lalu.
“Maaf, Mbak Asha, apa kontraknya benar-benar tidak bisa dibatalkan?” tanyanya kemudian. Gadis berusia 20 tahun itu menatap Asha dengan pandangan berharap.
“Aku sudah membayar mahal, Kayra. Jadi kamu tidak akan bisa pergi sebelum kamu memberiku anak,” balas Asha. “Lagipula, apa susahnya? Kamu bisa hidup nyaman di sini, semua biaya hidup aku tanggung. Hidupmu akan lebih terjamin daripada sekadar jadi pembantu.”
Kayra diam dan menunduk.
“Sudahlah. Ganti bajumu dengan itu,” ucap Asha, menunjuk lingerie dengan dagu. “Nanti kupanggil lagi.”
Usai mengatakan itu, Asha keluar kamar.
Sementara Kayra kembali menatap lingerie warna merah di atas tempat tidur.
Tiba-tiba ia bergidik, bulu kuduknya merinding mengingat ucapan Asha.
Untuk hamil, ia harus tidur dengan suami wanita itu.
Ia … sama sekali tidak bisa membayangkan hal tersebut. Apalagi selama ini Kayra belum pernah deket dengan pria.
Wanita cantik itu hanya fokus belajar dan membantu orang tuanya sebagai petani. Tanpa tahu bahwa ia akan dijual oleh Darto, ayahnya sendiri.
Prang!
Kayra terkejut saat mendengar keributan di luar kamar. Penasaran, gadis itu membuka pintu dan melongok keluar.
"Apa kamu sudah gila? Ini benar-benar tidak masuk akal."
"Terus, aku harus bagaimana lagi, Pah?"
"Kita bisa adopsi anak!"
"Aku tidak mau. Aku perlu keturunan Papah, darah daging Papah! Pokoknya Papah harus setuju dengan keputusanku."
Kayra yang diam-diam mendengarkan pun sama sekali tidak mengerti dengan keputusan Asha. Wanita kaya itu dengan sengaja memilih wanita dari desa sepertinya untuk skenario ini. Kenapa Asha tidak memilih adopsi? Daripada memasukkan orang ketiga sepertinya.
Ia sama sekali tidak paham jika Asha sampai ketahuan melakukan adopsi ataupun menyodorkan anak yang bukan darah daging Bram sebagai keturunannya, mertuanya akan menghabisinya.
Asha akan dihina dan bahkan mungkin dibuang dari keluarga suami.
Sementara, jika Asha menjadikan Kayra sebagai ibu pengganti! Ia bisa berpura-pura hamil dan melahirkan seorang anak. Pewaris Nathan pun, asli darah daging suaminya sendiri!
Lagipula, Kayra orang kecil. Asha akan dengan mudah menyingkirkannya setelah ia berhasil mendapatkan anak.
Perdebatan terus berlanjut, membuat Kayra berniat kembali ke kamarnya.
Sang suami menolak ide Asha. Mungkin Kayra punya kesempatan untuk pergi dari sini, pikirnya.
Saat mengambil langkah mundur, tiba-tiba pandangan Kayra bertemu dengan sepasang mata Bram yang menyorot dingin.
Pria tampan berusia 40 tahun itu menatapnya tajam, membuat Kayra bergidik dan buru-buru masuk kembali ke dalam kamar dengan jantung berdebar keras.
“Astaga,” gumam Kayra. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin saja ia sudah tewas!
***
[Aku pergi ke Amerika agar kamu dan Bram tidak merasa canggung. Dia masih agak kesulitan untuk menerimamu, tapi aku sudah membuatnya mengerti. Jadi sekarang sisa tugasmu.]
[Aku tidak mau tahu, pokoknya saat aku pulang, kamu harus sudah hamil atau kamu harus menanggung akibatnya.]
Kayra mengerutkan kening membaca pesan yang ditinggalkan Asha keesokan paginya.
[Fokus pada tugasmu mengandung anaknya. Kamu dibayar untuk itu, jadi jangan libatkan perasaan.]
“Yah, sepertinya kontrak tetap berjalan. Aku tidak bisa pergi,” gumam Kayra. "Iya Mbak. Meski begitu, aku tidak akan jatuh cinta pada Tuan Bram. Aku janji, dan rahasia ini cukup kita yang tahu."
Dengan polosnya Kayra menyahuti pesan Asha.
Semalam, tidak ada yang memanggilnya hingga Kayra jatuh tertidur. Beruntung, menurutnya.
Setelah itu Kayra ke luar dari kamar, menuruni anak tangga menuju dapur. Ia membantu Bi Mina memasak dan membersihkan rumah.
Awalnya para pelayan menolak bantuan Kayra, namun wanita cantik berusia 20 tahun itu tetap memaksa. Berdiam diri di kamar membuatnya bosan, apalagi selama di desa ia sudah terbiasa bekerja.
Waktu berputar begitu cepat, saat ini benda pintar itu menunjuk angka lima. Kayra yang baru selesai mandi, berniat ke taman untuk menikmati angin sore. Ia berjalan melewati ruang keluarga.
"Ehm."
Suara dehaman itu membuat Kayra terkejut dan nyaris jatuh.
“T-Tuan.” Kayra langsung menegakkan punggungnya.
Itu pria yang menjadi suami Asha, kan? Tuan Bram?
“Tuan, ada yang bisa saya–”
"Berapa uang yang kamu butuhkan?" Bram berbicara tanpa melihat Kayra. Fokusnya ada pada berkas yang tengah dibacanya.
"Maaf Tuan, aku–"
"Aku sudah tahu apa yang kamu inginkan. Wanita murahan sepertimu tidak jauh dari uang," sela Bram yang membuat Kayra berhenti bicara. “Jawab pertanyaanku.”
Di bab ini sedikit panas, jadi bijaklah dalam membaca. Terima kasih. ***"Aku tidak butuh ceramah, aku hanya ingin disentuh Tuan Bram." Kayra melepaskan bibirnya sesaat, lalu kembali menempelkannya.Awalnya Bram tidak merespon, namun saat tangan wanita cantik itu menyentuh miliknya! Suasana pun tidak bisa dikendalikan.Kecupan seketika memanas, Bram memainkan lidahnya di dalam sana. Menyapu barisan gigi Kayra yang tersusun rapi sambil bertukar saliva. Tangan yang tadinya diam, kini mengelus setiap inci dari tubuh Kayra. Meremas kedua gunung kembar wanita cantik itu dengan penuh gairah, membasahi leher hingga dadanya dengan saliva. Ia pun tidak lupa meninggalkan beberapa tanda merah di sana.Dengan sekejap mata, Bram membuka seluruh pakaian Kayra, begitu juga dengannya. Ia pun mematikan lampu dan hanya menyisakan satu yang terletak di atas meja kecil, di samping tempat tidur. Suara desahan mulai memenuhi ruangan, keduanya larut dalam gairah. Walaupun perlakuan Bram sedikit kasar, na
Kayra menghela napas, wajahnya pucat dan kedua matanya berkaca-kaca. "Ayo Kayra, bergeraklah dengan cepat, apa kamu ingin selamanya diancam dan di hina? Apa kamu tidak ingin hidup bebas tanpa tekanan?" Kayra menjajah dirinya sendiri. Ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, lalu ke luar dari kamar menuju dapur. "Bi, apa melihat Tuan?" tanya Kayra dengan senyum ramah. "Tuan sepertinya di ruang fitness, Non," jawab jujur Mina."Ok, terima kasih Bi." Kayra bergegas menuju ruang fitness.Dari kejauhan ia sudah melihat Bram sedang melakukan pec deck machine. Kedatangannya ke sana sama sekali tidak mengganggu Bram, pria tampan itu tetap fokus pada aktivitasnya.Justru Kayra yang salah tingkah. Bagaimana tidak? Saat ini Bram hanya mengenakan tank top, sehingga menunjukkan ototnya yang begitu sixpack.Tanpa sadar, Kayra menelan saliva dengan kasar. Bahkan tatapannya tidak lepas dari Bram."Ya Tuhan, Tuan Bram benar-benar sempurna. Dia bukan hanya kaya, tapi tampan dan gagah
"Aw....ah...." Desah itu memenuhi seluruh ruangan. Kayra mendorong Bram lalu menindihnya. Dengan tatapan penuh gairah ia membuka gaunnya, dan melemparkannya ke lantai dengan sembarang. Kini tubuh mulusnya terpampang di hadapan Bram, yang membuat pria tampan itu benar-benar bergairah. Keduanya bercumbu, melepaskan hasrat yang memuncak hingga ke ubun-ubun. Leher yang tadinya putih mulus, kini dihiasi dengan tanda merah."Uek...." Kayra tiba-tiba mual dan pusing. Ia turun dari atas tubuh Bram, lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Bram tersenyum seribu arti, ditatapnya seluruh tubuh Kayra dengan tatapan penuh gairah. Ia bangkit dari tempat tidur, berdiri tepat di ujung kaki Kayra, sambil membuka satu persatu kancing bajunya. Hanya dalam hitungan detik, tubuh Bram polos tanpa sehelai benang. Bram mengambil posisi aman, menaruh kedua paha Kayra di atas pahanya. "Aku mencintaimu," ucap Kayra sambil menatap kedua mata indah Bram, dengan nada khas mabuk.Bram tersenyum getir,
"Hay Om Harry," sapa Sarah dengan ceria. "Hay sayang." Pria yang dipanggil Harry itu, memeluk Sarah dan mengecup keningnya. Sungguh pemandangan yang begitu mengejutkan bagi Kayra. "Om, Perkenalkan, ini teman yang aku ceritakan kemaren," ucap Sarah setelah melepaskan pelukannya.Harry mengerutkan kening, "Bro, dia kan...."Harry bukannya berkenalan dengan Kayra, tapi justru bertanya kepada Bram. Namun sebelum ia selesai bicara, Bram sudah menarik tangan Kayra, membawa wanita cantik itu masuk ke kamar mandi. "Lepaskan tanganku Tuan," keluh Kayra, karena Bram mencengkram lengannya dengan kasar."Kamu benar-benar hebat, bisa melayani beberapa pria. Padahal kamu terikat kontrak dengan seseorang, tapi kamu tetap juga bermain dengan orang lain. Dasar wanita murahan." Bram berpikir demikian. "Bu...bukan begitu Tuan, aku hanya menemani Sarah," jelas Kayra, namun sayang! Bram tak sedikitpun percaya. "Segera akhiri kontrakmu dengan Asha, dan pergilah dari kediaman Nathan." Setelah mengatak
Bram bergidik, hembusan napas Kayra membuat bulu kuduknya merinding. "Jangan coba-coba untuk menggodaku," tegas Bram dengan tatapan lurus. "Aku tidak menggodamu Tuan Bram, aku hanya menginginkan sentuhan darimu." Entah apa yang terjadi pada Kayra, sehingga ia bisa bicara seperti itu.Bram menarik napas, ia refleks bangkit dari kursinya. "Pergilah sebelum aku bersikap kasar," peringatan Bram dengan wajah marah.Kayra bukannya pergi, wanita cantik itu justru memainkan kerah baju Bram dengan kedua tangannya. Sikap kasar dan hinaan dari Bram, membuatnya bersemangat untuk menjadi wanita penggoda. "Jangan membuatku semakin kesal," sentak Bram. Ia mencengkram kedua tangan Kayra, lalu melepaskannya dengan kasar. Ingin rasanya Kayra marah dan berteriak, tetapi ia berusaha menenangkan amarahnya. Apapun yang terucap dari mulut Bram, dan apapun yang ia lakukan! Kayra harus sabar dan menerimanya. Ia harus tetap menggodanya, sampai pria tampan itu menyentuhnya dan menanam benih dalam rahimny
“Tuan, apa sudah mau pulang~?” Tiba-tiba salah satu dari dua wanita yang menemani Bram bertanya dengan nada manja sembari mengelus dada Bram. “Di sini dulu saja.”“Lepas,” ucap Bram dingin. “Istriku di sini.”Kayra berkedip. Namun, ia tidak berkata macam-macam karena Bram sudah berdiri–meski sempoyongan–dan merangkulnya.“E-eh–” Kayra menangkap tubuh besar Bram dengan miliknya yang kecil. Namun, jelas saja tenaganya tidak seberapa.Beruntung, Pak Hendro segera membantu.Kayra buru-buru membawa Bram keluar dari sana karena tatapan kedua wanita di dalam ruangan VIP tersebut makin menajam ke arahnya, seakan Kayra sudah mengusik kesenangan mereka.Tapi Kaya tidak banyak pikir, karena–“Loh, Kayra?”Kayra menoleh dan mendapati teman lamanya, Sarah, di sana.“Kamu?” Kayra tampak terkejut. Masalahnya, penampilan temannya itu tampak sangat berbeda dengan saat mereka masih di desa dulu. Wanita di hadapan Kayra tampak glamor dan seksi, terlihat dari bagaimana gaun ketat itu membalut pinggang da