Masuk"Tapi aku tidak butuh uang Tuan." Kayra berusaha membantah, dengan nada sopan. “Aku di sini–”
Tiba-tiba Bram bangkit dari tempatnya, lalu ia melangkah dan berdiri tepat di hadapan Kayra.
"Tidak butuh uang? Jadi kamu hanya butuh disentuh? Begitu?" Bram menjajah Kayra dengan berbagai pertanyaan.
Kayra yang tadinya menunduk, refleks menegakkan kepala. Ia sudah kesal dengan ucapan Bram.
“Bukan begitu, Tuan.”
“Lalu?
"Aku, aku...." Kayra bingung, ia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana.
"Bingung?" Bram bicara dengan nada mengejek. "Aku akan memberimu uang, tapi pergilah dari rumah ini.”
“Tapi Mbak Asha sudah memberi saya uang,” sanggah Kayra. Ia teringat peringatan Asha sebelumnya.
Ia tidak boleh membuat kesepakatan di luar kontrak yang sudah ditandatangani ayahnya.
Jika Asha tahu, Asha akan mengejar Kayra, bahkan hingga ujung dunia sekalipun dan membuatnya sengsara.
Tidak hanya itu. Asha mengatakan akan memastikan bahwa keluarga Karya mendapatkan ganjarannya karena telah mengkhianati Asha.
Ucapan wanita itu begitu mengerikan, apalagi bagi orang kecil seperti Kayra.
Pun Bram membayarnya, apakah pria itu cukup peduli untuk melindungi Kayra dari istrinya?
Tidak, kan?
“Aku bisa memberimu uang lebih.”
Kayra menggeleng. “Tidak, Tuan.”
“Jadi kamu lebih memilih untuk menggodaku?” Bram kembali mengambil langkah mendekat, membuat Kayra langsung mundur selangkah. “Begitu? Karena aku tidak akan menyentuhmu.”
“Tu-Tuan, mohon jangan mempersulit saya.” Tubuh mungil Kayra membentur dinding.
Tangan besar Bram menyentuh pipi Kayra, membuat gadis muda itu mendongak menatapnya.
“Berapa usiamu? Sudah berapa kali kamu menjual dirimu begini?”
Sepasang mata Kayra membelalak. Hatinya sakit disalahpahami oleh Bram, hingga matanya berkaca-kaca.
“Aku tidak seperti itu!” bantah Kayra.
Namun, bukannya meminta maaf, Bram justru tersenyum sinis dan pergi meninggalkan Kayra begitu saja. Tak lama, terdengar suara mobil dinyalakan dan pergi meninggalkan kediaman Nathan.
Sementara gadis berusia 20 tahun itu jatuh terduduk di lantai. Menangis.
***
Sudah beberapa hari ini, hidup Kayra seperti dalam penjara.
Ia tidak boleh keluar ke mana-mana. Pun ingin mencoba jalan-jalan di kompleks, ia harus didampingi seseorang.
Kayra juga tidak boleh lagi membantu pekerjaan rumah karena ditegur oleh Asha. Makanan Kayra pun diatur, tidak boleh sembarangan karena sedang persiapan kehamilan.
Padahal entah dia bisa hamil atau tidak, mengingat sikap Bram padanya dan keengganan Kayra menemui pria itu. Lagipula, pria itu seperti tidak betah di rumah.
Lalu hari ini, peringatan Asha datang.
“Kamu tidak bisa menikmati semua fasilitas yang ada secara cuma-cuma, Kayra,” ucap Asha, terdengar marah. “Kamu kira saya dinas sosial? Kamu di sana untuk bekerja!”
“Maaf, Mbak.” Kayra menunduk. Tangannya yang menggenggam ponsel Bi Mina gemetar mendengar kemarahan Asha. “Tapi saya tidak bisa berbuat banyak….”
“Atau kamu memang keenakan hidup di sana? Kalau iya, bilang. Saya bisa bikin kamu terus hidup jauh dari orang tua kamu, bahkan tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi.”
Usai peringatan singkat itu, Kayra memandang Bi Mina dengan tatapan putus asa.
“Aku harus bagaimana, Bi…? Mbak Asha sepertinya marah.”
Bi Mina menghela napas. “Kamu di sini untuk bekerja. Memangnya kamu punya pilihan lain?”
“Tapi pekerjaanku–”
“Tetap harus dilakukan, kan?” potong Bi Mina. “Sudahlah, Non. Kalau memang Non pengen segera keluar dari rumah ini, segera selesaikan tugas dari Nyonya. Dengan begitu, baru Non Kayra bisa pergi.”
Kayra tercenung mendengar hal itu.
Tiba-tiba, telepon kembali berdering. Bi Mina langsung mengangkatnya dan mendengarkan lawan bicara selama beberapa saat.
“Baik,” ucap Bi Mina, lalu menoleh ke arah Kayra. “Non Kayra, sekarang Non harus jemput Tuan di kelab.”
Kayra mengernyit. “Kelab? Itu apa? Kenapa?”
“Tuan sedang mabuk.”
"Itu di mana?"
Tanpa menjawab, Bi Mina menarik tangan Kayra. Membawa wanita cantik itu menuruni tangga menuju pintu utama.
"Biar Pak Hendro yang mengantar Nona," ucap Bi Mina.
Sepanjang perjalanan menuju klub, Kayra tidak berhenti berpikir soal alasan sebenarnya ia harus ada di posisi ini. Pada akhirnya, ia bertanya macam-macam pada sang supir, Hendro, membuat pria 45 tahun itu menceritakan sedikit rahasia tuannya.
“Saya juga kurang tahu sebenarnya, Non. Tapi memang Tuan Besar Nathan selalu menuntut Tuan Bram dan Nyonya Asha untuk memberinya cucu,” ucap Pak Hendro. “Mungkin karena di keluarga ini belum ada cucu pewaris, jadi mereka ditekan.”
“Begitu,” gumam Kayra. Mungkin Asha kesulitan untuk hamil, karenanya Kayra dibawa ke sini.
Sekarang dia benar-benar tahu kalau ia tidak akan bisa pergi sebelum memberi Asha keturunan dari Bram. Jadi … memang benar kata Bi Mina.
Mungkin Kayra harus menggoda suami bosnya itu.
"Non, kita sudah sampai." Suara Hendro membuyarkan lamunan Kayra.
Keduanya bergegas masuk ke dalam klub, melangkah menuju ruangan VIP. Setibanya di sana, Kayra melihat Bram duduk di sofa didampingi kedua wanita cantik.
Tatapan keduanya tampak sengit saat memandang Kayra, membuat gadis itu berjenggit.
Namun, Kayra tetap maju.
“Malam, Tuan. Saya dan Pak Hendro di sini untuk menjemput,” ucap Kayra.
Bram mendongak dan menatap Kayra yang berdiri di hadapannya,
“Sayang?” ucap Bram. Bibirnya mengukir senyum tipis dan sorot matanya melembut. “Kamu di sini?”
Kayra mengernyit.
Apakah suami bosnya ini salah mengenalinya sebagai Asha?
Bram menghela napas, menyandarkan kepala di sandaran sofa sambil jarinya memijat kening. "Untuk apa kamu pusing Bro? Lagipula apa yang kamu harapkan dari Asha? Apa dia bisa memberimu keturunan? Tidak kan?" Harry menjajah Bram dengan berbagai pertanyaan. "Aku benar-benar pusing Har. Jika Asha benar memiliki hubungan dengan Alex, aku bisa hancur." Bram bicara sambil memejamkan mata."Kamu benar-benar bodoh Bro. Wanita tidak hanya Asha, masih banyak yang lebih cantik dari dia. Contohnya Kayra, apa bagimu dia tidak cantik? Bukan hanya cantik saja, dia juga bisa memberimu keturunan, pewaris keluarga Nathan."Bram refleks membuka mata mendengar ucapan Harry, ia benar-benar melupakan wanita hamil itu.Bram baru saja meraih ponselnya dari atas meja, tiba-tiba ponsel Harry berdering. "Anak buah," ucap Harry membaca nama yang muncul di sana. Ia mengusap layar ponselnya, "Iya Baby.""Sayang, aku menemani Kayra dulu ya?" Suara manja Sarah dari seberang sana.Harry sengaja membuat nama kontak
Sepanjang perjalanan Eric tidak berhenti bicara, ia menjajah Kayra dengan berbagai pertanyaan. Ia memancing wanita cantik itu untuk menceritakan tentang suaminya. Namun Kayra tidak terpancing, ia menutup rapat-rapat tentang hubungannya dengan keluarga Nathan. Kayra tidak mau melanggar perjanjian, karena hal itu akan menambah masalah. "Suami kamu tidak pernah pulang ya?" tanya Eric sambil melirik Kayra dari kaca spion. "Dia masih sibuk Pak Eric, jadi belum ada waktu untuk pulang." Kayra menjawab dengan santai. "Oh begitu, apa tidak sebaiknya kamu ikut dengannya? "Kayra tidak bisa meninggalkan ibunya sendirian. Pak Eric lihat sendiri kan, ibunya Kayra sudah mulai tua, jadi tidak mungkin ditinggal sendiri." Kali ini Sarah yang membuka mulut. "Iya juga sih, tapi kasihan Kayra. Dia lagi hamil, pasti butuh perhatian dari suaminya. Tapi tenang saja, masih ada aku yang siap membantu kapan saja dibutuhkan." Eric menatap Sarah sambil menggerakkan kedua alis mata. "Dasar playboy, perempua
Bram menunduk mendekatkan wajahnya ke wajah Kayra, "Aku datang untukmu Kayra, jadi kita harus tidur bersama."Bisikan Bram menembus telinga hingga jantung Kayra, yang membuat seluruh bulu kuduknya berdiri dan menari-nari. Kayra menegakkan kepala, matanya seketika beradu dengan kedua mata indah Bram."Aku...."Bram menempelkan bibirnya ke bibir Kayra, menutup mulut wanita hamil itu agar tidak bicara. Kakinya selangkah demi selangkah maju, yang membuat Kayra melangkah mundur, hingga membentur tembok. Tangan yang tadinya diam, kini melingkar di pinggang Bram. Ia memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan dari pria tampan itu."Kamu sudah basah Kayra," bisik Bram sambil menyentuh bagian sensitif Kayra. Ia mengangkat tubuh mungil Kayra, membaringkannya di atas tempat tidur dengan lembut. Membuka seluruh pakaian yang menempel di sana, kini tubuh wanita cantik itu terpampang bebas di hadapannya. Matanya menatap Kayra dari ujung rambut, seketika berhenti dibagian tengah. Perut yang duluny
Tepat pukul 7 malam, Sarah sudah meninggalkan apartemen. Namun sebelum pergi, ia sudah menghubungi Harry. Meminta kekasihnya itu untuk memberitahu Bram bahwa Kayra menginap di apartemennya.Sesuai harapan Sarah, Bram pun datang ke sana untuk menemui Kayra. Tentu kedatangan pria tampan itu membuat Kayra terkejut!"Tuan," ucap Kayra saat membuka pintu. "Aku boleh masuk?" tanya Bram karena Kayra berdiri di bibir pintu. "Hm, iya iya." Kayra menyingkir agar Bram bisa masuk. Ia menutup pintu lalu mengikuti Bram ke ruang tamu. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Bram setelah menjatuhkan bokongnya di atas sofa. "Iya Tuan, aku baik-baik saja. Oh iya, Tuan kenapa bisa datang kemari?" Kayra bertanya hanya sekedar basa-basi, sebenarnya ia sudah tahu kalau Sarah yang memintanya untuk datang ke sana. "Ingin bertemu denganmu," jawab Bram tanpa melihat lawan bicaranya. Pria tampan itu fokus membuka jam tangan, lalu menaruhnya di atas meja. Setelah itu ia membuka tiga kancing bajunya, yang menunjuk
Suara kicauan burung dari hutan lindung membuat suasana kediaman Nathan semakin syahdu. Asha yang duduk di balkon kamar, seketika menyipitkan mata melihat sebuah mobil memasuki gerbang istana miliknya. Ia menatapnya dari kejauhan hingga mobil itu terparkir rapih."Itukan Kayra," ucap Asha saat melihat dua wanita turun dari mobil. Ia bergegas meninggalkan balkon, menuruni anak tangga menuju lantai satu. "Kayra," panggil Asha setibanya di ruang tamu. Ia sedikit terkejut dengan kedatangan Kayra."Mbak Asha, maaf saya datang tanpa memberitahu Mbak terlebih dahulu." Wajah Kayra terlihat bersalah "Apa Bram yang memintamu datang?" tanya Asha sambil menjatuhkan bokongnya di atas sofa.Kayra menggeleng, "Tidak Mbak, sayang kemari untuk bicara dengan Mbak Asha."Asha menaikkan alis, "Ada hal penting?""Tolong izinkan aku untuk menemui kedua orang tuaku Mbak. Aku rindu pada mereka, aku ingin tahu kondisi mereka. Aku mohon." Kayra menyatukan kedua telapak tangannya. "Maksudmu? Aku tidak meng
Tiga hari telah berlalu, saat ini Kayra sedang mengemas pakaiannya dan Bram ke dalam koper. Sore ini mereka akan kembali ke Indonesia. Setelah kejadian malam itu, keduanya merasa canggung. Apalagi Kayra selalu menjaga jarak, bahkan ia memilih tidur di sofa untuk menghindari Bram.Liburan pertanyaan dengan Bram benar-benar tidak memiliki kesan apapun. Padahal Bram selalu mengajaknya untuk keliling negara Singa itu, tetapi Kayra menolak. "Tuan, aku sudah bertemu dengan orang tua Kayra." Bram membaca pesan yang masuk di ponselnya.Iya, sebelum Bram dan Kayra terbang ke Singapura, ia menyuruh seseorang untuk mencari kedua orang tua Kayra."Baiklah, aku segera kembali." Setelah mengirim pesan itu, Bram memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Memutar tubuh kekarnya, melangkah menghampiri Kayra yang duduk di sofa."Ayo." Bram menarik tangan Kayra. "Ke mana Tuan?" tanya Kayra sambil mengikuti Bram."Temani aku berbelanja," jawab Bram.Kayra tidak menolak, ia hanya memberitahu Asha deng







