Luis hanya bisa menerima apapun konsekuensinya. Bagaimanapun, dia tidak akan bisa dan tidak akan berani melawan Tuannya.
Roy tidak membiarkan Luis membawa Gera pergi. Ia menyuruh Luis untuk mengawasi Adit saja. Gera adalah urusan Roy. Bukan orang lain. Dan tidak akan ada celah untuk orang lain.
"Luis! Dimana dia?" Roy terlihat sangat kacau.
Ketika mata Roy menangkap sesosok wanita di pojok ruangan, ia langsung bergegas menghampirinya tanpa menunggu jawaban Luis.
"Ayo kita pergi!" Ajak Roy dingin. Namun tidak ada jawaban dari Gera. Ia hanya diam dan menunduk disela lutut yang ia peluk.
Dengan pelan Roy menggerakkan tubuh Gera....
"Astaga, Luis! Bagaimana bisa ia pingsan?" Teriak Roy membuat Luis tersentak kaget.
"Sepertinya dia sudah kelelahan karena ulah pria ini, Boss. Lagipula Boss lupa kejadian tadi malam?" Luis mengingatkan. Membuat Roy memalingkan wajahnya malu.
Roy mengelus wajah Gera. "Kasihan sekali kau, Nona ceroboh. Sudah kuingatkan dan kau tidak mau dengar. Sekarang lihatlah! Mata indahmu sembab dan astaga! Pria tidak tahu malu itu membuat lenganmu lebam," ekspresi sedih Roy berubah nyalang ketika mendapati lengan Gera lebam karena ulah Adit.
Tanpa menunda, Roy membawa Gera pergi. "Luis, bawa pria itu ke Mansion. Akan kuberi dia pelajaran. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?" Perintah Roy yang diangguki Luis.
Baik Roy maupun Luis, mereka pergi meninggalkan rumah kecil Gera dengan mobil masing-masing.
***
"Siapkan pakaian wanita. Aku yakin kalian pasti bisa menerka ukuran tubuh wanita ini." Tidak bisa dibantah, itulah Roy. Otoriter. Pelayan-pelayan yang ada di Mansion hanya bisa mengangguk lalu langsung melaksanakan tugas.
Sementara Gera ia bawa ke kamarnya. Untuk ia obati, tentu saja. Tak lama, suara ketukan dari arah pintu terdengar jelas di telinga Roy.
"Masuklah!"
"Tuan, ini baju untuk Nona," ujar salah satu pelayan. Kepala pelayan tepatnya. Ia adalah Bibi Ros. Sejak Roy kecil, beliau sudah mengabdi pada Tuan Muda Roy karena alasan balas budi.
"Apa saya boleh membantu Tuan untuk membersihkan tubuh Nona ini?" Ros dengan takut-takut menawarkan diri.
"Tidak usah. Biar aku saja," jawab Roy dingin. Lalu ia mengibaskan tangan, tanda untuk menyuruh Ros pergi.
Dengan lembut Roy membersihkan tubuh Gera. Mengelapnya pelan. Seolah ia menikmati setiap inci dari lekukan indah tubuh Gera. Hal ini membuatnya mengingat apa yang sudah mereka lakukan sebelumnya. Permainan yang sangat Roy sukai. Salah satu alasannya ya karena Gera sendiri yang memohon.
"Roy! Sadarlah! Ini bukan saat yang tepat," Roy menampar pipinya sendiri. Mengontrol sesuatu yang mulai menyeruak dari tempatnya.
"Aku harus cepat menyelesaikan ini. Jika tidak, bisa fatal. Kasihan dia kalau kusiksa dalam kondisi yang seperti ini," gumam Roy mengingatkan diri.
Sambil geleng-geleng, Roy menelan liurnya ketika menyelesaikan tugasnya untuk mengganti pakaian Gera. Ia menyesal tidak menerima bantuan Bibi Ros. Sekarang, jadi susah sendiri dan malah menyakiti dirinya sendiri.
***
Karena Gera masih belum juga beranjak bangun, Roy memilih untuk mengunjungi Adit dulu. Emosi yang tadinya redam karena Gera, kini memuncak untuk memberi pelajaran pada Adit.
"Bagaimana Luis?" Luis membungkuk memberi hormat pada Roy.
"Jadi kamu yang melakukan ini semua?" Ternyata Adit sudah bangun dan mengamuk ketika melihat kehadiran si Tuan rumah.
"Saya sudah peringatkan, jangan berani-beraninya menyentuh milik saya. Anda mendengarnya atau tidak?" Dingin. Roy memainkan ujung jarinya dengan santai.
Adit mendecih, "Siapa yang kamu miliki? Gera? Wanita kotor itu maksudmu?" ucap Adit meremehkan Gera.
Permainan tangan Roy terhenti, dan beralih menatap nyalang pada Adit. "Bisa Anda ulangi?" perintah Roy dengan nada yang ditekankan.
"Gera si wanita kotor!" teriak Adit.
"Kau tidak lebih dari hewan! Berani sekali kau sebut wanitaku kotor. Kau yang tidak tahu malu!" Roy sudah tak bisa menahan emosinya. Ia memukuli Adit beberapa kali hingga menyisakan darah di sudut bibirnya.
"Luis, apa kau sudah memberinya minuman itu?" Mata Roy kini berubah pekat. Tanda emosinya berada di puncak.
Luis mengangguk. "Sudah, Boss. Tinggal menunggu reaksinya saja. Beberapa menit lagi akan terlihat," jawab Luis tenang. Hal semacam ini tidak membuatnya gemetar karena sudah terbiasa melihat Roy melakukan hal semacam ini pada orang sebelumnya.
Adit tertawa menggelegar mengisi ruangan. "Buktikan saja jika kau tidak percaya bahwa si Gera itu kotor!" suruh Adit dengan angkuhnya.
"Sudah kubuktikan. Dan kau tahu? Dia masih suci. Aku yang mendapatkannya. Tepat ketika kau membubuhi obat berdosis tinggi untuknya malam itu," Roy menyeringai.
Bersamaan dengan itu, Luis membawa tiga wanita dengan pakaian minim kain ke dalam ruangan tempat Adit disekap. Adit bingung dengan apa yang akan Roy lakukan padanya.
"Sudah kubawakan yang kau inginkan. Akan aku pastikan hari ini kau akan lemah karena egomu sendiri," ujar Roy lalu meninggalkan ruangan.
"Hei! Apa maksudmu?" teriak Adit memanggil Roy yang sudah berlalu pergi.
"Hey dude, bersyukurlah karena Boss memberimu hukuman yang menyenangkan. Aku akan sangat senang menyaksikan atraksinya," ujar Luis tertawa. Ia lebih memilih duduk santai menikmati rokoknya daripada menghabiskan tenaga untuk meladeni Adit.
"Apa yang akan mereka lakukan padaku?" geram Adit meminta penjelasan.
"Astaga! Ternyata kau penasaran juga. Jawabannya adalah... tunggu saja!" jawab Luis mengejek Adit.
Ketiga wanita itu hanya meliuk-liuk. Sementara Adit, obatnya sudah mulai bereaksi. Ia meronta ingin melepas borgol yang mengunci tangannya.
"Dasar gila! Bagaimana bisa kau memberiku obat seperti ini?" jerit Adit tak tertahan.
"Gampang! Hanya ingin kau merasakan apa yang wanita itu rasakan," Luis menjawab enteng.
"Girls, ini waktunya kalian bertugas!" seru Luis antusias. Ketiga wanita itu mengangguk.
Luis membantu Adit melepas borgolnya. Sementara ketiga wanita seksi itu mulai meliuk-liukkan badan.
"Pelanlah! Kau akan mendapatkan apa yang kau mau," ujar salah satu wanita.
Suara mereka membuat ruangan itu bising. Adit sangat menikmati permainan itu, tangannya pun sudah bergerilya bermain kemana-mana. Sementara Luis, bukannya terpancing malah menyaksikan dengan wajah yang super duper datar. Aneh!
"Bisa kita istirahat sebentar? Kalian mengeroyokku," gumam Adit lemas. Bertolak belakang dengan tubuhnya.
Para wanita menggeleng, "sayangnya tidak bisa, Tuan. Kau harus memenuhi kemauan kami. Bahkan jika kau harus melakukannya sampai pingsan," Adit bergidik ngeri mendengar penuturan salah satu dari wanita itu.
"Ah, aku sungguh lelah. Lima menit saja," Adit memohon.
"Rasanya aku mau pingsan," ujar Adit disela napasnya yang tersengal-sengal.
"Kami belum ingin berhenti, Tuan. Dan kau harus memenuhi kemauan kami," pantang para wanita membuat Adit melotot.
"What? Apa kalian sudah tidak waras?" teriak Adit tak percaya.
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap