Wanita malang yang kini menjadi seorang Ibu itu tak bisa tidur hingga semalam suntuk. Ia memikirkan bagaimana caranya ia harus memberitahu dan membujuk Alvin. Tapi ia harus melakukan itu.
"Pagi cepat sekali datang." Gera menghempas helaan napas panjangnya saat sinar mentari sudah mengintip dari sela korden rumahnya.
Dengan malas ia bersiap dan pergi ke kantor. Ia harus bisa! Demi anak-anak. Entah kenapa ia masih takut akan Roy. Ia takut dendam Roy akan berimbas pada anak-anaknya.
"Permisi...." Gera mengetuk pintu pelan.
"Hai, Ge! Masuklah!" Suruh Alvin yang sedang duduk sembari menelisik setiap kertas yang ada di depannya.
"Ada apa? Tumben sekali kau datang sepagi ini?" Alvin memicingkan mata melihat ke dalam mata Gera yang terlihat begitu sendu.
"Alvin, maaf mengganggumu sepagi ini. Aku ingin berbicara penting," kata Gera canggung. Tangannya terasa sedingin es sekarang. Ia sangat gug
Wanita yang terlihat panik itu hanya menggeleng keras, menampik tuduhan kejam Roy. "Maafkan saya, Pak. Sumpah, tidak ada apa pun yang saya taruh di dalam kue itu," jawab Sinta dengan wajah memerah ketakutan. "Aku begini setelah memakan kue darimu!" bentak Roy. Tiba-tiba Roy berlari tergopoh-gopoh menuju Sinta dan menyambar tubuh wanita itu. Sinta menangis dan berusaha berontak. "Ingat sopan santun Anda, Pak! Jangan sentuh saya!" pekik Sinta dengan air mata yang sudah berurai membasahi pipi tembamnya. Namun Roy tidak mengindahkan kata-kata Sinta. Wanita itu bahkan berteriak meminta tolong. Berharap akan ada yang lewat dan menolongnya. "Diam!" bentak Roy kasar. Ia sudah kalap. Roy berusaha menerobos pertahanan Sinta ketika wanita itu mencoba menutupi tubuh dan wajahnya dari Roy. "Tolong, jangan lakuk
"Selamat pagi semua." Datanglah Roy dengan setelan abu-abunya. Seolah sudah ditakdirkan sama, mereka memakai pakaian dengan warna yang sama. Jantung Gera berdegup sangat kencang. Pipinya memerah melihat pria yang selama ini diam-diam ia rindukan. Sedangkan Roy masih belum menyadari kalau Gera ada di sana. Rapat berjalan dipimpin oleh Roy. Ia masih belum menyadari keberadaan Gera. "Kau masih seperti yang dulu. Tidak akan peduli dengan apa yang ada di sekelilingmu. Bahkan keberadaan ku pun tidak kamu sadari, Roy," batin Gera. Ia hampir menangis tapi tidak boleh sekarang. "Ada pertanyaan?" tanya Roy karena ia sudah selesai menjelaskan rencana pembangunan dari proyek yang akan dijalankan. Gera mengangkat tangan. "Apa sebaiknya pembangunan sebelumnya dirampungkan terlebih dahulu agar tidak mengganggu proyek yang ini?"
Bi Iem berlari dan refleks memeluk Gera. Tangis mereka pecah setelah empat tahun tidak bertemu. "Dimana Papa, Bi?" tanya Gera."Papa ada di kamar, Non. Kau bisa mencarinya ke sana. Beliau sering sakit karena memikirkan mu. Dia mengerahkan beberapa anak buahnya untuk mencari mu beberapa kali. Tapi hasilnya nihil," tutur Bi Iem seraya menghapus air matanya."Kasihan sekali Papa," lirih Gera. Dengan langkah lebar ia menuju kamar David. "Pa, Gera pulang." Sangat jelas Gera bisa melihat reaksi Papanya yang langsung terduduk saat mendengar suaranya. "Kau dimana, Nak?""Gera di sini, Pa." Gera berlari kencang menuju Papanya. Mereka berpelukan dan seketika tangis David pecah. Anak dan Ayah itu meluapkan kerinduan
Luisa sudah mendapat perintah dari Gera untuk kembali ke kota dan membawa anak-anak. Ia senang semua ini terjadi, terlebih jika Gera akan bersatu lagi dengan Roy. Ia sempat mendengar dari Alvin bahwa Roy memang sudah sangat berubah. Tidak seperti terakhir kali mereka bertemu. "Kids, kalian sudah siap?" Luisa bertanya. Ketiganya mengangguk antusias. Tak henti-hentinya Luisa terkekeh geli melihat bagaimana ketiga anak itu berjalan riang dengan ransel di pundak mereka. "Rico tidak sabar bertemu dengan Mama," seru Rico dengan senangnya. "Bukan hanya Rico, Rio dan Ray juga sangat merindukan Mama." Celetuk Rio tak mau kalah. Berbeda dengan saudara sulung mereka, jalannya lurus dan tanpa kedipan. Ray dingin dan datar. "Ray! Jangan melamun terus! Kau bisa ketempelan nanti." Rio menegur Kakaknya sambil menahan tawa. Sementara itu, Luisa hanya bisa menggele
"Apa? Itu tidak mungkin, Luis! Clay berbohong padamu!" Roy berteriak tak terima. "Maaf, Bos. Memang Gera mengatakannya kepada Clay seperti itu." Luis berusaha berbohong sebisa mungkin. "Cepat panggil Clay sekarang," geram Roy marah. Sesuai perintah, Luis segera menuju ruangan Clay dan menceritakan kebohongannya pada Roy. "Astaga, Luis! Lagipula kenapa kau berbohong? Aku juga yang kena imbasnya! Astaga!" Clay mondar mandir dan mengomeli kekasihnya ini. "Maaf, sayang. Aku sudah kehabisan akal tadi. Roy benar-benar mendesakku. Kau satu-satunya yang bisa membantuku, Clay," pinta Luis memohon. "Terus aku harus bilang apa?" pekik Clay heboh. "Katakan saja pada Roy, Gera sudah menikah dengan Alvin, temannya," sergah Luis enteng. Clay memelototi Luis tajam. "Kau gila? Itu tidak mungkin!" "Clay, Gera yang m
"Wow! Ge, kau sangat cantik malam ini. Aku sangat kagum padamu," seru Luisa gemas dengan penampilan Gera yang terkesan feminim memakai gaun selutut dengan punggung terbuka. "Kau berlebihan, Luisa! Kau juga sangat cantik! Jika Luis melihatmu, dia tidak akan menyangka kalau kau adalah Luisa." Keduanya tertawa ringan melihat penampilan masing-masing. Luisa celingak-celinguk, namun triplets belum juga keluar. "Astaga! Triplets, apa yang kalian lakukan? Aku sudah lapar, tidak sabar ingin memakan jamuan di sana!" seru Luisa kesal. "Tante, sabarlah! Kami harus terlihat tampan di sana," tegur Ray ketus. "Wah, kalian sudah tumbuh besar dan semakin tampan ya. Juga semakin pintar berbicara!" sindir Luisa membuat Ray memutar bola matanya malas. Gera hanya tersenyum lebar melihat perseteruan antara Tante dengan ponakan ini. Ia kagum melihat anak-anaknya yang t
"Hai cantik," sapa pria itu lagi. Gera ingat betul siapa pria ini. "Devan?" ucap Gera lirih. Masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Pria itu terkekeh melihat kegugupan Gera yang sangat kentara. "Iya, ini aku Devan. Kau mungkin mengira aku sudah mati. Tapi kau salah! Aku tidak akan mati semudah itu!" "Jangan gugup, sayang!" Devan seakan mengetahui kondisi hati Gera saat ini. "Ti-tidak! Aku tidak gugup! Kau terlalu meremehkanku!" bantah Gera. Devan mengelilingi tubuh Gera sambil memperhatikan wanita yang semakin anggun itu. "Beberapa tahun tak melihatmu, membuatku semakin rindu. Kau semakin cantik, Gera!" puji Devan yang sama sekali tidak nyaman terdengar di telinga Gera. "Beberapa kali aku menanyakan alamatmu pada Roy. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Tapi si keparat Roy tak pernah mau memberikan alamatmu padaku." Seakan-akan ia mencurahkan hatinya pada Gera.&nb
"Baiklah. Aku akan pulang bersamamu. Aku akan ke kamar dulu," ujar Gera. Ia mencari ponselnya. Dan Untung saja Roy menaruhnya di atas meja dekat ranjang. Ia harus menelpon Luisa sekarang. "Luisa, maafkan aku, tadi malam ada masalah. Makanya aku tidak pulang." Gera sudah tahu Luisa akan ngamuk karena dirinya tak bisa dihubungi. "Akan ku ceritakan nanti. Tapi sekarang aku membutuhkan bantuanmu," pinta Gera. "Tolong, bawa triplets pergi dari sana. Beritahu saja mereka aku baik-baik saja dan masih bekerja. Nanti akan kususul. Roy akan mengantarku pulang ke rumah Papa. Cepatlah," suruh Gera gugup. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Gera terkejut bukan main ketika pintu tiba-tiba terbuka dan menampakkan Roy di sana. "Kau menelepon siapa? Terlihat sangat cemas," tanya Roy dengan wajah menyelidik. Gera menggeleng gugup. "Bu-bukan siapa-siapa, Roy. Hanya rekan kantorku yang mengatakan b