"Aku?" Roy tergelak melihat anak itu mengangguk cepat. "Bagaimana bisa aku menjadi Daddy-mu, Nak? Anakku hanya mereka saja. Dan ini istriku." Triplets mengangguk antusias dan menatap sinis si anak perempuan itu. "Pergi saja, gadis cilik!" suruh Ray dingin. Gera menggeleng, memberi isyarat agar Ray tidak seperti itu. "Jangan bilang begitu, sayang. Mungkin saja dia tamu di sini." "Mama, dia mau mengganggu kita!" Giliran Rico yang berseru marah. Ia tak terima Papanya diakui juga oleh anak lain. "Ray, Rico, Mama benar. Kita tidak boleh memarahinya. Nanti dia nangis, gimana?" Seperti biasa, Rio yang menengahi. Gera tersenyum mendengar apa yang Rio katakan. Roy berjongkok menyejajarkan tingginya dengan anak perempuan itu juga Gera. "Paman akan bantu mencari Daddy-mu, oke?" Gadis itu menggeleng. "Kau Papaku. Itu yang Mommy katakan," ujarnya lirih. Matanya memerah menahan tangis. Gera me
Saat ini Roy dan Gera sudah sampai di Bandar udara Rio de Janeiro/Galeao-Antonio Carlos Jobim. Terlebih Gera, ia bernapas lega karena sudah menginjakkan kakinya di tanah kelahiran Roy dengan selamat. Roy memeluknya erat. "Tenanglah. Jangan terlalu dipikirkan," bisik Roy sembari mengecup pelan puncak kepala istrinya. Gera tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Roy. Aku sudah sedikit lebih lega sekarang." Sejak kemarin Gera stress berat karena masalah Alea. Roy sendiri juga sangat pusing mencari jalan keluar. Gera ingin membatalkan penerbangan menuju Brazil, tetapi sudah terlanjur ada perjanjian kerja di sana. Sekaligus untuk mengunjungi Nenek Rita. Hingga salah satu teman Gera yang menjadi psikolog, menganjurkan agar Alea dibawa rehabilitasi dulu. Dan untuk sementara waktu berpisah dari mereka, itu untuk kebaikan Alea juga. "Tenang saja, Ge. Leva pasti bisa menga
Hamparan lampu kota yang menyala di mana-mana seakan menjadi saksi kesuraman hati Gera. Air matanya belum juga bisa berhenti keluar. "Leon." Pria itu memperkenalkan dirinya walaupun tidak ada jawaban sama sekali dari Gera. Tapi entah kenapa, dia sangat khawatir pada Gera. Terlebih kakinya sekarang sedang terluka. Leon mengajak Gera untuk pulang dengan mengantarnya menggunakan jasa taksi yang sudah tersedia di sekitar sana. "Aw!" Gera memekik saat mencoba berjalan. Tak tahan melihatnya, Leon mencoba menggendong Gera walaupun beberapa kali wanita itu menolak keras. Gera masih sadar akan posisinya sebagai istri Roy. Tapi kakinya terasa sangat sakit bahkan sebelum diajak berjalan. Dengan sangat terpaksa dia menerima bantuan Leon, si bule tampan ini. Ia harus mempercayainya, karena tidak ada orang yang bisa ia tanyakan di sini. Untung saja Gera ingat alamat rumah Nek Rita. Sepanj
"Di mana pun di dunia ini, tidak ada seorang istri yang suka melihat suaminya bersentuhan mesra dengan wanita lain. Walaupun hanya jalinan pertemanan saja. Kau gila! Bodoh!" bentak Luisa lagi. Roy menunduk melihat wajah damai istrinya. "Kau bahkan tak mau melihat saat dia berkali-kali memanggilmu. Bisa kau ingat bagaimana sakitnya dirimu saat Gera hilang dari kehidupanmu? Belajarlah dari sana. Aku berani menjamin, tidak akan ada wanita yang kau temui seperti Gera di dunia ini!" "Luisa, sudah Nak. Tenanglah." Rita datang dan memeluk Luisa. "Istirahatlah! Kau pasti lelah," suruh Rita diangguki Luisa. "Roy, duduk dan dengarkan Nenek." Roy mengangguk dan segera duduk di samping Gera. Terdengar helaan panjang dari mulut wanita usia senja itu sebelum mulai berbicara. "Roy, terkait kondisi Gera, tadi dokter menjelaskan pada Nenek bahwa kaki istrimu bukan hanya terkili
"Ge, kau akan pulang bersamaku setelah kau pulih nanti," ujar Roy lagi. Ia masih mempertahankan sikap sabarnya. "Kubilang tidak ya tidak! Urus saja Liramu itu! Aku tidak penting untukmu," bentak Gera marah. Air matanya tak bisa ditahan lagi. "Ge, dia hanya temanku. Maaf atas sikapku yang membuatmu marah dan kecewa. Aku salah. Maafkan aku, sayang," kata Roy lembut. "Pergi, Roy!" Gera menggeram. Luisa memberi isyarat agar Roy segera pergi dari sini sebelum membuat kondisi Gera semakin parah. "Pergi!" pekik Gera lagi. Roy menunduk dan berlalu pergi dari ruangan Gera. Ia sangat terpukul dengan penolakan dari Gera. Iya, ini memang salahnya. Tidak adil jika Roy terlalu menuntut Gera. Rita menyusul Roy di luar. Menepuk pundaknya lembut. "Nenek percaya, kau pasti bisa. Kuatkan keyakinanmu, sayang. Percaya pada Nenek." "Gera sangat marah pada Roy, Nek. Dia sangat benci melihat Roy di dekatnya," lirih Roy. "Aduh... Cucu Nenek yang tegas itu kema
"Pa, ada yang perlu Papa bicarakan?" tanya Roy agak canggung. David tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat agar Roy duduk di sofa di depannya. "Maaf Papa sudah menganggu istirahatmu, Roy. Kau pasti sangat kelelahan." Roy mengangguk mengerti akan apa yang Papa mertuanya ini katakan. David menghela napas pelan. "Apa yang terjadi antara kalian di Rio? Luisa tidak mau memberitahu Papa, tapi malam itu Papa tidak sengaja mendengar Luisa yang terisak dan berbicara pada seseorang. Dia menyebut nama Gera dan mengumpat sembari menyebut namamu. Sebenarnya apa yang terjadi, Roy? Papa sangat cemas. Maaf, bukan maksud Papa untuk ikut campur dalam rumah tangga kalian. Papa hanya ingin tahu." "Maafkan Roy, Pa. Ini semua salah Roy. Ada kesalahpahaman diantara kami, yang membuat Gera dan Roy bertengkar," terang Roy jujur. Papa mertuanya hanya mengangguk dan menghela napas berat. "Satu hal yang Papa minta dari kamu, Roy. Jaga Gera sebaik mungkin. Papa salah besar tidak pernah bi
Tangis Gera tak kunjung reda. Ia memikirkan anak-anaknya yang menjadi incaran entah siapa itu. Roy juga bingung apa yang harus ia lakukan. Yang jelas, mulai hari ini ia harus memperketat penjagaan. Baik anak-anak, juga rumah. Siang hari setelah rapat, Roy berniat mengunjungi Dewi di penjara. Gera bersikeras ingin ikut kesana. Dia ingin memastikan jika Dewi-lah penyebab semua ini. "Tunggulah di sini sebentar, sayang," bujuk Roy. Namun Gera terus saja menggeleng keras. "Aku ikut, Roy. Kau tidak boleh membantah!" tegas Gera membuat Roy tak bisa berkutik. Polisi memberikan mereka sedikit waktu untuk berbicara dengan Dewi. Beberapa saat kemudian, Dewi datang dengan seringai liciknya. Gera berdiri dengan hati yang bergemuruh marah. Ia tak sabar ingin menjambak wanita sialan ini. "Ada urusan apa kalian mencariku?" tanyanya datar. Ia menatap tajam mata Roy yang saat ini melihatnya d
"Bagaimana bisa kau tidak menemukan pelakunya? Polisi macam apa kau?" bentak Roy sambil menarik kerah baju Reno, polisi yang sempat mengejeknya di rumah tahanan. Reno berusaha menepis tangan Roy yang masih menggenggam kerah kemejanya. "Lepaskan! Siapa kau berani sekali membentakku? Kau bahkan dengan sangat lancang menarik bajuku!" balas Reno marah. "Bagaimana mungkin polisi yang sudah berkiprah bertahun-tahun tidak bisa menemukan pelaku penembakan istriku padahal kalian di satu tempat!" "Itu bisa saja terjadi! Lagipula kau yang membiarkan Gera bermain di taman. Kenapa kau tidak kurung saja peliharaanmu itu?" timpal Reno keras. Roy terdiam mendengar apa yang pria ini katakan. Ia mendekati Reno dengan langkah perlahan. "Berani sekali kau mengatakan istriku sebagai peliharaan!" ujar Roy menggeram. Tubuh Reno sedikit terpental sa