Naik Ranjang (5)-POV Yuda-Aku hanya bisa menatap nanar punggung Hilma yang semakin jauh di depan sana. Perempuan dengan gamis merah marun itu melangkah begitu cepatnya. Meninggalkanku yang mematung di samping motor matic ini.Motor yang sengaja kukendarai untuk menyusulnya. Tapi setidaknya, dengan Hilma pulang ke rumah, aku sudah berhasil menjauhkannya dari laki-laki yang ternyata bernama Azmi itu.Melihat Hilma bersama dengan Azmi. Entah kenapa hati ini terasa meradang. Aku sendiri pun tidak tahu, sejak kapan tepatnya Hilma telah mengusik tempat yang hanya kusediakan untuk Khanza.Aku menggeleng cepat. Beranjak dari kebekuan yang mendera dan kembali duduk di jok motor. Lalu mengecek beberapa kantong kresek yang tadi dibawa Hilma.Isinya ternyata bahan masakan mentah. Mulai dari bumbu dapur hingga sayur dan daging. Lengkap meski hanya dalam porsi sedikit sedikit.Kuhela napas kasar.Hilma dan Khanza memang dua bersaudara. Mereka kakak adik. Tetapi mereka sangat sangat berbeda.Dua t
Sore hari ibu mertua baru pulang dari rumah ini. Aku mengantarnya dan kini sudah kembali ke rumah. Sama seperti Ibu dan Bapakku, jika datang ke mari pasti akan berlama-lama karena ingin menghabiskan waktu bersama si kembar.Masuk ke dalam rumah, nampak Hilma tengah menyuapi kedua putraku bergantian. Mereka memang sudah memasuki usia enam bulan. Sehingga sudah harus diberi makanan pendamping dari sufornnya.Hilma terlihat begitu telaten. Dia memang begitu menyayangi si kembar. Dua keponakan yang sudah seperti anaknya sendiri.Kesehariannya di rumah ini. Pengabdiannya merawat si kembar sepenuh hati. Perlahan mengikis benteng kebencian yang kubangun tinggi.Aku tidak ingin menganggu waktunya menyuapi si kembar. Hingga makanan si kembar telah habis dan Hilma masuk ke dapur. Barulah aku duduk di depan bouncer berisi si kembar.Arkana dan Arsaka. Si kembar identik yang tumbuh sehat dan tampan dalam asuhan Hilma.Pipi mereka gembul dan mereka nampak begitu riang. Kualihkan pandangan ke arah
Naik Ranjang (7)***POV Yuda***"Sayang … bagaimana kalau aku mencintai Kakakmu? Apa itu tidak akan menyakiti kamu, Sayang?" tanyaku seorang diri yang masih berjongkok di samping pusara Khanza.Awalnya, aku memang membenci Hilma. Tidak akan ada tempat di hatiku untuknya. Tidak akan pernah kuberikan.Namun, tiga bulan tinggal bersama. Aku nyaris tidak menemukan cela dalam diri perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dariku itu.Dia … nyaris sempurna.Awalnya hatiku tertutup rapat entah untuk siapa pun itu. Akan tetapi, Hilma yang bertahan dalam pernikahan ini membuat dinding hatiku melunak.Padahal, tidak ada yang Hilma lakukan untuk meluluhkannya. Malah sebaliknya, aku yang sering mencoba menghancurkan benteng pertahanannya dalam membina pernikahan ini.Namun keadaan seakan berbalik. Kebencian yang aku tanam sejak awal pernikahan dengannya. Nestapa yang kujanjikan saat hubungan ini sah terikat. Menguap begitu saja karena Hilma tak gentar menghadapiku.Aku mendesah pelan.Hakikatnya
Naik Ranjang (8)POV Hilma–"Nak Hilma, kamu kenapa, Nak? Kamu lagi sakit? Kurang tidur?"Pagi ini, Ibu Mertuaku kembali datang. Namun hanya Ibu saja tanpa Pak Candra. Ibu datan ke mari diantarkan sopir pribadi keluarganya.Kami tengah sarapan di ruang bermain seperti biasanya. Namun, tiba-tiba saja Bu Aida bertanya seperti barusan."Aku sehat kok, Bu. Tidur cukup juga semalam," jawabku apa adanya.Bu Aida nampak memindai wajahku. Membuatku kembali menundukkan kepala dan melanjutkan sarapan dengan nasi uduk yang katanya beliau buat sendiri"Bener? Mata kamu sembab, Nak. Merah juga. Kamu menangis semalaman?"Aku lantas mempercepat makanku hingga akhirnya habis. Sehingga aku bisa mengobrol dengan Ibu mertuaku ini. Kemudian aku menuntaskan dengan meneguk segelas air.Apa mungkin mataku berjejak? Semalam, sehabis shalat tahajud, aku meninggalkan mushola lalu masuk ke kamar kedua.Mengurung diri di dalamnya dan menangis sendirian hingga waktu Subuh tiba.Aku merasa sudah sangat lelah deng
–Yuda masih meniup bergantian kedua mataku. Dapat kurasakan terpaan lembut napasnya mengenai kedua netra ini.Apa yang sebenarnya dia lakukan? Apa dia ingin mengobati mataku yang memerah? Aku masih membeku dengan perlakuannya pagi ini.Kami bertukar tatap.Manik hazelnya akhirnya membuatku tersadar. Cepat-cepat aku menunduk dan menepis jemari Yuda yang masih menyentuh pipiku, saat ia telah berhenti meniup kedua netraku.Aku memalingkan wajah darinya dan kembali memandangi si kembar. Lalu mengusap netraku dengan punggung tangan."Ehhh si Yuda, disuruh beli tetes mata malah ditiup-tiup gitu matanya Hilma. Nanti atuh ah mau tiup meniup mah kalau malam. Ini masih pagi, Yud!" Bu Aida terkekeh."Apa sih, Bu. Kan kata Ibu matanya Hilma merah. Aku refleks aja kok niupin. Udah Bu, aku berangkat kerja dulu." Yuda meraih tangan Bu Aida lalu menciumnya.Aku kembali memandangi si kembar. Terutama Arsa yang kini ada dalam bouncer di hadapanku.Yuda berpamitan pada kedua putra kembarnya. Si kembar
Siang hari tadi Ibu mertuaku pulang lebih awal. Karena ada jadwal pengajian di komplek perumahannya. Sehingga sore ini, ia sudah tidak ada lagi di rumah ini. Membuatku hanya berdua bersama si kembar. Yuda biasanya akan pulang saat menjelang magrib nanti.Sore ini aku membawa stroller yang diisi Arka. Sementara Arsa, ada dalam gendongan. Jika di rumah tidak ada lagi orang, maka aku biasanya membawa si kembar jalan-jalan sore. Meski hanya jalan kaki.Sebenarnya cukup repot, tapi aku menikmatinya. Menikmati peran yang seharusnya dijalankan oleh Khanza. Bukan aku.Aku membawa si kembar sekedar berkeliling komplek. Sampai di gapura dan melewatinya. Berjalan di pinggiran jalan raya lalu berbelok ke arah komplek perumahan sebelah.Di komplek perumahan sebelah ini, ada satu taman umum serta lapangan. Jika sore hari biasanya ramai oleh anak-anak yang bermain. Ada juga penjual jajanan makanan. Berbeda dengan taman serta lapangan di komplek tempatku tinggal yang tidak begitu ramai dan nyaris sep
Keluar dari kamar, aku memilih berdiam di ruang makan. Duduk merenung sendirian di kursi makan dengan kedua tangan bertautan menempel di kening.Kenapa Yuda selalu saja merasa paling benar. Kenapa dia terlampau mengusik perasaanku. Padahal selama ini, aku tidak pernah mengusik diri serta perasaannya terhadap almarhumah adikku. Tidak sama sekali.Dia masih mencintai Khanza yang telah tiada pun, aku tidak merasa keberatan. Aku bisa mengerti hal itu. Aku tidak mempermasalahkan, karena aku di sini untuk merawat si kembar. Bukan untuk Yuda.Dia tidak pernah menganggap keberadaanku pun, aku tidak peduli. Dia tidak mengharapkanku juga, tidak apa-apa.Aku ada untuk si kembar, untuk kedua keponakanku.Apa aku harus meminta berpisah saja dari laki-laki ini?Sekali pun Allah sangat membencinya tetapi perpisahan dihalalkan.Kuhempaskan punggung membentur badan kursi. Menarik napas panjang mengurai sesak yang memenuhi rongga dada."Ya Allah … aku tidak pernah ingin, menjadi bagian dari orang-orang
Namun, Yuda masih hanya diam. Tidak ada yang dai katakan sepatah saja.Aku masih menunggunya.Menunggu Yuda mengakhiri ikatan pernikahan ini.Akan tetapi Yuda tetap saja bungkam. Dia hanya menatapku dengan tatapan lain. Tatapan sayu dengan wajah agak menunduk. Jika biasanya, dia menatapku dengan angkuh dan tajam, malam ini tidak.Apa yang kutunggu tidak terjadi. Karena Yuda tak mengucapkan kata perpisahan yang kuminta.Dia diam saja.Entah apa maunya. Bicara tentang Azmi saja dia merepet persis seperti petasan. Sekarang dia malah diam.Akhirnya aku berbalik badan. Angkat kaki untuk keluar dari ruang makan ini. Karena Yuda hanya diam saja.Belum sampai dua langkah kakiku berjalan. Tanganku ditarik. Tubuhku kembali berbalik dengan cepat.Yuda menarik tubuhku. Membawaku begitu saja hingga rapat di dadanya. Satu tangannya terasa melingkar di pundak dengan tangan lainnya di pinggang.Yuda mendekapku.Membuatku mematung. Jantungku berdebar kencang saat begitu rapat dengan laki-laki berstatu