Share

Ch.4

Author: Sity Mariah
last update Huling Na-update: 2023-01-15 23:27:32

NAIK RANJANG (4)

***

"Hil, Yuda masih tidur?" tanya Ibuku.

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Pagi ini, Ibu diantar taksi online berkunjung ke rumah. Biasanya akan datang bersama Bapak, tetapi sepertinya Bapak sibuk di toko kain miliknya. Sehingga Ibu datang sendiri pagi ini.

Aku hanya dua bersaudara.

Aku dan Khanza. Dua anak perempuan Ibu serta Bapak.

Setelah Khanza tutup usia, hanya aku anak mereka satu-satunya.

Kepergian Khanza membuat Ibu dirundung kesedihan begitu hebat.

Bahkan sebelum tujuh hari kematian si bungsu. Ibu hanya tergolek dan bersedih di ranjangnya.

Sama sepertiku, si kembar lah penguat dan pelipur lara hati Ibu. Perlahan Ibu mulai bangkit dan mencoba menerima kenyataan.

Ibu begitu menyayangi si kembar. Ibu tidak mau jauh dan terpisah lagi dengan cucu pertamanya. Bahkan awalnya, dia meminta Yuda untuk tinggal di rumah kami. Sehingga Ibu bisa merawat cucunya dua puluh empat jam.

Orang tua Yuda tentunya tidak setuju. Karena si kembar bukan hanya cucu Ibu dan Bapak, tapi juga cucu mereka.

Sampai akhirnya keputusan besar mereka tentukan. Yuda harus menikah denganku dan si kembar berada dalam asuhanku. Sehingga kedua orang tua kami bisa tetap merawat dan mengasuh si kembar bersamaan.

Melihat Ibu yang begitu terpuruk dan meratap atas kepergian Khanza. Aku tak sampai hati untuk menentang keinginannya agar aku mau dinikahi adik iparku sendiri.

"Bu, boleh aku titip si kembar? Aku mau ke warung sayuran. Stok bahan masakan di kulkas habis," tanya serta jelasku pada Ibu.

Si kembar sudah selesai aku mandikan. Mereka sedang berjemur di taman depan rumah ini.

Taman yang dihiasi mawar putih dalam pot-pot kecil. Mawar putih yang menjadi bunga kesukaan dari Khanza.

Bunga-bunga itu nampak segar terurus. Tidak kering atau layu sedikitpun.

Mawar mawar di taman ini mekar dan harum.

Sama halnya seperti cinta Yuda yang tetap hidup untuk sang pemilik bunga ini.

"Kamu pergi sendiri? Jalan kaki?" tanya Ibu.

"Iya, dekat kok. Keluar dari komplek ini, terus ke sebelah kanan ada deretan ruko, di situlah Bu, gak kalah komplit kayak pasar, aku sejak tinggal di sini, kalau belanja ya ke situ," jelasku kemudian.

"Owh, ya udah, hati-hati kamu ya!"

Aku mengangguk. Namun sebelum berangkat, aku mengambil terlebih dulu dompet di dalam kamar.

Tempat tidur sudah kosong. Suara air berdebur keras dari arah pintu kamar mandi. Kemungkinan, Yuda memang sudah bangun dan tengah mandi.

Sepulang dari acara kantornya kemarin, setibanya di rumah, sikap Yuda kembali ke semula. Kami hanya saling diam dan tak banyak berinteraksi.

Gegas kusambar dompet di atas meja, keluar dari kamar, dan berpamitan pada Ibu yang menjaga si kembar dalam dua stroller berbeda.

******

Barang belanjaku hanya sekitar tiga kantong kresek berukuran sedang. Aku membeli bahan masakan tidak begitu banyak.

Karena Yuda tidak mau memakan masakan yang kubuat, sehingga hanya aku sendirian yang memakannya. Jadi, aku membeli stok sayur dan daging dalam porsi kecil.

Usai berbelanja, aku segera keluar dari warung sayuran yang kudatangi. Lalu melipir ke kedai kecil samping warung yang menjual serabi dan martabak mini.

Aku lantas memesan serabi dengan kuah gula merah yang dipisah. Banyak pembeli yang juga mengantre karena masih di jam sarapan, sehingga kedai cukup ramai.

Aku pun berniat menunggu pesananku sambil duduk di kursi kayu panjang yang disediakan.

Namun lagi-lagi, entah angin apa yang kembali mempertemukanku dengan sosok Azmi.

"Assalamualaikum," ucapku pelan dari arah belakang.

Perlahan punggung itu nampak memutar. Hingga benar-benar berbalik dan sang pemilik wajah melempar senyumnya.

"Wa'alaikumsalam …," jawabnya seraya berdiri.

Kami berbasa-basi sejenak. Sebelum akhirnya aku duduk berjarak di kursi kayu panjang yang sama dengannya. Kedai ini terbuka lebar tanpa pintu masuk. Makanan dibuat di paling depan, sehingga para pembeli bisa menyaksikan proses pembuatan serabi dan juga martabaknya.

Azmi pun sepertinya sedang menikmati serabi kuah kinca. Lengkap dengan secangkir teh yang nampak masih mengepulkan uapnya.

"Kamu tinggal di sekitar sini?" tanyanya kemudian.

"Iya, aku tinggal di perum Graha Indah. Kamu … kenapa ada di sini?" Aku balik bertanya.

"Aku diberi tugas, mengajar di sekolah madrasah di perkampungan belakang ruko-ruko ini. Jadi ya, aku di sini. Sekarang libur, jadi aku sarapan sedikit kesiangan dengan serabi ini," jelasnya lagi.

Aku manggut-manggut. Entah kebetulan apa yang terjadi. Karena Azmi ternyata mengajar di daerah dekat sini.

"Oh, iya, kemarin pembicaraan kita belum selesai. Ada berita apa dengan Teh Diba, Mi? Maaf, kemarin aku ninggalin kamu gitu aja," ucapku merasa tak enak.

Azmi terkekeh kecil sambil menggeleng. "Tidak apa-apa, Hil. Kamu pasti sedang buru-buru. Emm … sebelumnya aku ingin bertanya sama kamu. Laki-laki kemarin itu, dia suami kamu?"

Bibirku sedikit terbuka mendengar pertanyaan Azmi. Sampai akhirnya aku hanya bisa mengangguk pelan atas jawaban dari pertanyaannya.

"Jadi kamu sudah menikah?" tanyanya lagi seolah ingin memastikan.

Aku memejamkan mata sejenak. Entah kenapa, ada perasaan tak rela kami bertemu dalam status yang berbeda kali ini.

"Sudah. Aku sudah menikah. Tiga bulan yang lalu. Laki-laki kemarin itu, sebenarnya adik iparku. Adikku meninggal pasca koma selama satu Minggu setelah melahirkan bayinya. Keluarga kami menginginkan adik iparku naik ranjang, dan … menikahlah dia denganku," jelasku dengan kepala tertunduk.

Tak ingin menutupi status sebenarnya hingga aku memilih menceritakannya.

"Innalilahi wa innailaihi roojiuun … aku turut berduka atas kematian adik kamu, Hil. Dan … aku turut berbahagia untuk kabar pernikahan kamu," ujarnya yang hanya kubalas dengan anggukan kepala.

Tak lama pesananku telah terbungkus dan selesai diantar ke meja. Namun aku tak ingin buru-buru pergi. Rasanya masih ingin bercerita dengan Azmi.

"Hilma!" Kepalaku tertoleh ke samping. Seseorang menyebut namaku dengan lantang.

Yuda berjalan ke arahku yang masih duduk di kursi kayu.

Yuda terlihat memandang Azmi dengan tatapan tak bersahabat sama sekali. Dia seperti melihat seorang musuh yang harus secepatnya dibasmi.

Tiba-tiba saja, dengan begitu cepatnya, Yuda mencekal pergelangan tanganku dan setengah menarikku keluar dari kursi kayu yang kududuki.

Langkahku terseret mengikuti tarikannya hingga ke teras kedai penjual serabi ini. Bahkan Yuda membawaku ke samping motor matic yang selama ini kulihat ada di garasi. Seiring dengan cekalan yang mengendur dan aku bisa melepasnya dengan cepat.

"Kamu apa-apaan sih? Aku lagi ngobrol, ngapain kamu narik narik aku?" sengitku tak suka dengan perlakuan Yuda.

"Si kembar nangis di rumah, dan kamu enak-enakan ngobrol sama laki-laki lain di sini? Sekarang kamu naik motor! Kita pulang!" perintahnya yang membuat netraku membulat.

Gigiku beradu. Menahan rasa marah yang mendera. Aku menghentakkan kaki lalu kembali ke dalam kedai.

Mengambil kresek kresek belanja dan pesanan serabi. Berpamitan pada Azmi dan secepatnya keluar lagi.

Yuda menunggu di atas motornya. Namun aku tidak berjalan ke arah motor yang dibawanya. Melainkan meneruskan langkahku di emperan ruko.

Berjalan cepat dengan menjinjing kresek di tanganku.

"Hilma, aku bilang naik motor! Kamu masih bisa mendengar, bukan?"

Lagi-lagi langkahku dihentikan. Yuda menarik tanganku dan mengambil semua kresek yang kubawa.

Tanganku kosong. Aku masih berdiri membelakangi Yuda. Kuteruskan saja langkah di emperan toko ini. Tidak mempedulikan teriakan Yuda yang terus memanggil.

Aku melangkah lebar, hingga tanpa terasa akhirnya sudah tiba di gapura komplek dan mulai memasuki jalanan perumahan.

Aku berjalan cepat dengan napas terasa memburu.

Ingin sebenarnya aku melawan pada perintah Yuda untuk pulang. Tapi bagaimana pun, dia adalah suamiku yang sah. Bisa saja aku mendebatnya dan ribut di depan kedai serabi tadi. Namun, aku masih punya malu, karena pasti hanya akan menjadi bahan tontonan para pembeli lain.

Rasanya belum lama aku meninggalkan rumah, dan menitipkan si kembar pada Ibu. Tapi mendengar si kecil menangis, aku jadi ikut tidak tenang.

Cekiiitt!

Yuda menghadang jalanku dengan motor matic yang dia kendarai. Dia menyetandarkan motornya cepat dan menghampiriku.

"Naik ke motor! Biar kamu bisa lebih cepat sampai ke rumah!" tegasnya memberi perintah.

Aku menggeleng. "Aku bisa jalan kaki!" jawabku cepat. Lalu melangkah melewatinya. Namun tanganku lagi-lagi dia tahan.

"Naik, Hilma! Aku bilang naik! Kamu istriku, dan aku memberi kamu perintah untuk pulang dengan naik motorku!" tukasnya masih mencekal pergelangan tanganku.

Kutarik napas panjang. Menghembusnya perlahan sebelum akhirnya berbalik dan menyentak tanganku yang dipegangi Yuda.

"Berhenti bersikap seakan-akan kamu adalah suami yang peduli denganku," sengitku tak suka.

"Kamu seorang istri. Kamu lulusan pondok pesantren. Kamu seharusnya lebih bisa bersikap! Tidak sepantasnya kamu berduaan dengan laki-laki tadi tanpa sepengetahuanku!" ujarnya seakan apa yang kulakukan adalah sebuah kesalahan besar.

Netraku memicing menatap Yuda. "Berduaan apa maksud kamu? Aku memang sedang bicara dengan Azmi. Dia temanku saat kami sama-sama mondok di pesantren. Kita berbicara dan di sana banyak orang, Yuda! Kita berbicara di tempat yang ramai, bukan berduaan seperti yang kamu bilang!" sangkalku tidak terima tuduhannya.

"Sama saja. Meski di sana ramai, tetapi kamu bersama dengan laki-laki yang bukan mahram. Dan kamu pasti tahu, kalau itu adalah dosa!" sergahnya sudah merasa paling benar.

Aku menenangkan hati yang bergemuruh. Hingga bisa sedikit lebih tenang dan kini menghadap sejajar dengan Yuda.

"Aku tidak berduaan. Aku dan Azmi hanya menyambung silaturahmi, karena kami sudah lama tidak bertemu. Tadi pun kami tidak sengaja bertemu. Aku akan berdosa, jika aku memang bersama dengannya hanya empat mata saja di satu tempat tertutup yang memungkinkan hadirnya syaiton untuk melemahkan iman kami. Tapi aku tidak melakukan itu! Aku akan pulang, dan berhenti memaksaku naik motor!" tegasku kemudian.

Cepat aku pun berbalik membelakangi Yuda. Lalu melangkahkan kakiku di jalanan komplek ini tanpa terdengar lagi pencegahan dari laki-laki di belakang sana.

Aku berjalan cepat. Menyusuri blok demi blok di perumahan ini untuk tiba di blok empat. Blok dari rumah yang aku tempati.

Aku terus melangkah tanpa sedikit pun menoleh. Entah Yuda membawa motornya jauh di belakangku atau melewati jalan lain. Karena aku tidak mendengar deru mesin motor dari arah belakang.

Tergesa aku memasuki rumah setelah membuka pintu pagar. Ibu dan si kembar sudah tidak ada di taman.

Aku buru-buru masuk ke rumah dan melihat dua stroller yang tadi dipakai, sudah tersimpan di tempat biasanya.

Langkahku semakin cepat mencari keberadaan Ibu dan si kembar. Takut jika Ibu tidak berhasil menenangkan Arka dan Arsa.

Hampir mendekati ruang bermain, sayup aku mendengar suara Ibu seperti sedang mengajak berbicara si kembar. Terdengar juga Arka dan Arsa yang tertawa riang khas bayi.

Hingga kakiku benar-benar menginjak ruangan bermain, dan Ibu memang tengah memomong cucunya yang anteng dalam bouncer.

"Assalamualaikum, Bu, maaf Hilma baru pulang. Ibu pasti kewalahan ya jagain si kembar?" ucapku setelah mengambil tempat di samping Ibu.

"Enggak apa-apa, Hil. Ah, enggak kok, ibu malah seneng jagain cucu-cucu ibu ini. Mereka anteng aja dari tadi," jawab Ibu membuat keningku berkerut.

"Si kembar enggak nangis, Bu?"

"Enggaklah, boro-boro nangis. Dari tadi anteng-anteng aja sama ibu, ini aja baru ibu pindahin ke bouncer, soalnya di taman panasnya udah agak tinggi, jadi ibu bawa masuk."

"Yang bener, Bu? Si kembar anteng dari tadi sama ibu?"

Ibu mengangguk cepat. "Bener atuh, Hil. Buat apa ibu bohong? Terus ngapain juga ibu bohong perkara si kembar nangis apa enggak," bebernya.

Aku merapatkan bibir. Tidak tahu harus bereaksi seperti apalagi. Kuperhatikan lekat wajah si kembar. Nyatanya memang nampak riang dan tidak ada jejak-jejak air mata habis menangis di wajah mereka.

Jadi, Ibu memang tidak mungkin berkata bohong.

Lalu, yang dikatakan Yuda?

Astaghfirullah … Yuda!

🌹🌹🌹

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (10)
goodnovel comment avatar
Ariny arni
Beginilah pernikahan yg dipaksakan. Akan jadi gudang dosa, apabila kedua belah pihak tidak bisa menjalaninya dgn kedewasaan. Suami yg dzolim pada istri. Tidak bisa berlaku baik dan lemah lembut. Istri yg membantah perkataan suami atas nama kesal terhadap sikap suami.
goodnovel comment avatar
Melati Sitorus
jadi malas lanjut baca ujung 2nya harus bayar
goodnovel comment avatar
Harmanto
dia sebetulnya butuh tapi gengsinya selangit tidak konskwen.
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Naik Ranjang   263

    Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak

  • Naik Ranjang   262

    Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te

  • Naik Ranjang   261

    Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (260)

    260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (259)

    259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (258)

    258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (257)

    257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (256)

    256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 BAB 255

    *“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status