Share

Ch.4

NAIK RANJANG (4)

***

"Hil, Yuda masih tidur?" tanya Ibuku.

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Pagi ini, Ibu diantar taksi online berkunjung ke rumah. Biasanya akan datang bersama Bapak, tetapi sepertinya Bapak sibuk di toko kain miliknya. Sehingga Ibu datang sendiri pagi ini.

Aku hanya dua bersaudara.

Aku dan Khanza. Dua anak perempuan Ibu serta Bapak.

Setelah Khanza tutup usia, hanya aku anak mereka satu-satunya.

Kepergian Khanza membuat Ibu dirundung kesedihan begitu hebat.

Bahkan sebelum tujuh hari kematian si bungsu. Ibu hanya tergolek dan bersedih di ranjangnya.

Sama sepertiku, si kembar lah penguat dan pelipur lara hati Ibu. Perlahan Ibu mulai bangkit dan mencoba menerima kenyataan.

Ibu begitu menyayangi si kembar. Ibu tidak mau jauh dan terpisah lagi dengan cucu pertamanya. Bahkan awalnya, dia meminta Yuda untuk tinggal di rumah kami. Sehingga Ibu bisa merawat cucunya dua puluh empat jam.

Orang tua Yuda tentunya tidak setuju. Karena si kembar bukan hanya cucu Ibu dan Bapak, tapi juga cucu mereka.

Sampai akhirnya keputusan besar mereka tentukan. Yuda harus menikah denganku dan si kembar berada dalam asuhanku. Sehingga kedua orang tua kami bisa tetap merawat dan mengasuh si kembar bersamaan.

Melihat Ibu yang begitu terpuruk dan meratap atas kepergian Khanza. Aku tak sampai hati untuk menentang keinginannya agar aku mau dinikahi adik iparku sendiri.

"Bu, boleh aku titip si kembar? Aku mau ke warung sayuran. Stok bahan masakan di kulkas habis," tanya serta jelasku pada Ibu.

Si kembar sudah selesai aku mandikan. Mereka sedang berjemur di taman depan rumah ini.

Taman yang dihiasi mawar putih dalam pot-pot kecil. Mawar putih yang menjadi bunga kesukaan dari Khanza.

Bunga-bunga itu nampak segar terurus. Tidak kering atau layu sedikitpun.

Mawar mawar di taman ini mekar dan harum.

Sama halnya seperti cinta Yuda yang tetap hidup untuk sang pemilik bunga ini.

"Kamu pergi sendiri? Jalan kaki?" tanya Ibu.

"Iya, dekat kok. Keluar dari komplek ini, terus ke sebelah kanan ada deretan ruko, di situlah Bu, gak kalah komplit kayak pasar, aku sejak tinggal di sini, kalau belanja ya ke situ," jelasku kemudian.

"Owh, ya udah, hati-hati kamu ya!"

Aku mengangguk. Namun sebelum berangkat, aku mengambil terlebih dulu dompet di dalam kamar.

Tempat tidur sudah kosong. Suara air berdebur keras dari arah pintu kamar mandi. Kemungkinan, Yuda memang sudah bangun dan tengah mandi.

Sepulang dari acara kantornya kemarin, setibanya di rumah, sikap Yuda kembali ke semula. Kami hanya saling diam dan tak banyak berinteraksi.

Gegas kusambar dompet di atas meja, keluar dari kamar, dan berpamitan pada Ibu yang menjaga si kembar dalam dua stroller berbeda.

******

Barang belanjaku hanya sekitar tiga kantong kresek berukuran sedang. Aku membeli bahan masakan tidak begitu banyak.

Karena Yuda tidak mau memakan masakan yang kubuat, sehingga hanya aku sendirian yang memakannya. Jadi, aku membeli stok sayur dan daging dalam porsi kecil.

Usai berbelanja, aku segera keluar dari warung sayuran yang kudatangi. Lalu melipir ke kedai kecil samping warung yang menjual serabi dan martabak mini.

Aku lantas memesan serabi dengan kuah gula merah yang dipisah. Banyak pembeli yang juga mengantre karena masih di jam sarapan, sehingga kedai cukup ramai.

Aku pun berniat menunggu pesananku sambil duduk di kursi kayu panjang yang disediakan.

Namun lagi-lagi, entah angin apa yang kembali mempertemukanku dengan sosok Azmi.

"Assalamualaikum," ucapku pelan dari arah belakang.

Perlahan punggung itu nampak memutar. Hingga benar-benar berbalik dan sang pemilik wajah melempar senyumnya.

"Wa'alaikumsalam …," jawabnya seraya berdiri.

Kami berbasa-basi sejenak. Sebelum akhirnya aku duduk berjarak di kursi kayu panjang yang sama dengannya. Kedai ini terbuka lebar tanpa pintu masuk. Makanan dibuat di paling depan, sehingga para pembeli bisa menyaksikan proses pembuatan serabi dan juga martabaknya.

Azmi pun sepertinya sedang menikmati serabi kuah kinca. Lengkap dengan secangkir teh yang nampak masih mengepulkan uapnya.

"Kamu tinggal di sekitar sini?" tanyanya kemudian.

"Iya, aku tinggal di perum Graha Indah. Kamu … kenapa ada di sini?" Aku balik bertanya.

"Aku diberi tugas, mengajar di sekolah madrasah di perkampungan belakang ruko-ruko ini. Jadi ya, aku di sini. Sekarang libur, jadi aku sarapan sedikit kesiangan dengan serabi ini," jelasnya lagi.

Aku manggut-manggut. Entah kebetulan apa yang terjadi. Karena Azmi ternyata mengajar di daerah dekat sini.

"Oh, iya, kemarin pembicaraan kita belum selesai. Ada berita apa dengan Teh Diba, Mi? Maaf, kemarin aku ninggalin kamu gitu aja," ucapku merasa tak enak.

Azmi terkekeh kecil sambil menggeleng. "Tidak apa-apa, Hil. Kamu pasti sedang buru-buru. Emm … sebelumnya aku ingin bertanya sama kamu. Laki-laki kemarin itu, dia suami kamu?"

Bibirku sedikit terbuka mendengar pertanyaan Azmi. Sampai akhirnya aku hanya bisa mengangguk pelan atas jawaban dari pertanyaannya.

"Jadi kamu sudah menikah?" tanyanya lagi seolah ingin memastikan.

Aku memejamkan mata sejenak. Entah kenapa, ada perasaan tak rela kami bertemu dalam status yang berbeda kali ini.

"Sudah. Aku sudah menikah. Tiga bulan yang lalu. Laki-laki kemarin itu, sebenarnya adik iparku. Adikku meninggal pasca koma selama satu Minggu setelah melahirkan bayinya. Keluarga kami menginginkan adik iparku naik ranjang, dan … menikahlah dia denganku," jelasku dengan kepala tertunduk.

Tak ingin menutupi status sebenarnya hingga aku memilih menceritakannya.

"Innalilahi wa innailaihi roojiuun … aku turut berduka atas kematian adik kamu, Hil. Dan … aku turut berbahagia untuk kabar pernikahan kamu," ujarnya yang hanya kubalas dengan anggukan kepala.

Tak lama pesananku telah terbungkus dan selesai diantar ke meja. Namun aku tak ingin buru-buru pergi. Rasanya masih ingin bercerita dengan Azmi.

"Hilma!" Kepalaku tertoleh ke samping. Seseorang menyebut namaku dengan lantang.

Yuda berjalan ke arahku yang masih duduk di kursi kayu.

Yuda terlihat memandang Azmi dengan tatapan tak bersahabat sama sekali. Dia seperti melihat seorang musuh yang harus secepatnya dibasmi.

Tiba-tiba saja, dengan begitu cepatnya, Yuda mencekal pergelangan tanganku dan setengah menarikku keluar dari kursi kayu yang kududuki.

Langkahku terseret mengikuti tarikannya hingga ke teras kedai penjual serabi ini. Bahkan Yuda membawaku ke samping motor matic yang selama ini kulihat ada di garasi. Seiring dengan cekalan yang mengendur dan aku bisa melepasnya dengan cepat.

"Kamu apa-apaan sih? Aku lagi ngobrol, ngapain kamu narik narik aku?" sengitku tak suka dengan perlakuan Yuda.

"Si kembar nangis di rumah, dan kamu enak-enakan ngobrol sama laki-laki lain di sini? Sekarang kamu naik motor! Kita pulang!" perintahnya yang membuat netraku membulat.

Gigiku beradu. Menahan rasa marah yang mendera. Aku menghentakkan kaki lalu kembali ke dalam kedai.

Mengambil kresek kresek belanja dan pesanan serabi. Berpamitan pada Azmi dan secepatnya keluar lagi.

Yuda menunggu di atas motornya. Namun aku tidak berjalan ke arah motor yang dibawanya. Melainkan meneruskan langkahku di emperan ruko.

Berjalan cepat dengan menjinjing kresek di tanganku.

"Hilma, aku bilang naik motor! Kamu masih bisa mendengar, bukan?"

Lagi-lagi langkahku dihentikan. Yuda menarik tanganku dan mengambil semua kresek yang kubawa.

Tanganku kosong. Aku masih berdiri membelakangi Yuda. Kuteruskan saja langkah di emperan toko ini. Tidak mempedulikan teriakan Yuda yang terus memanggil.

Aku melangkah lebar, hingga tanpa terasa akhirnya sudah tiba di gapura komplek dan mulai memasuki jalanan perumahan.

Aku berjalan cepat dengan napas terasa memburu.

Ingin sebenarnya aku melawan pada perintah Yuda untuk pulang. Tapi bagaimana pun, dia adalah suamiku yang sah. Bisa saja aku mendebatnya dan ribut di depan kedai serabi tadi. Namun, aku masih punya malu, karena pasti hanya akan menjadi bahan tontonan para pembeli lain.

Rasanya belum lama aku meninggalkan rumah, dan menitipkan si kembar pada Ibu. Tapi mendengar si kecil menangis, aku jadi ikut tidak tenang.

Cekiiitt!

Yuda menghadang jalanku dengan motor matic yang dia kendarai. Dia menyetandarkan motornya cepat dan menghampiriku.

"Naik ke motor! Biar kamu bisa lebih cepat sampai ke rumah!" tegasnya memberi perintah.

Aku menggeleng. "Aku bisa jalan kaki!" jawabku cepat. Lalu melangkah melewatinya. Namun tanganku lagi-lagi dia tahan.

"Naik, Hilma! Aku bilang naik! Kamu istriku, dan aku memberi kamu perintah untuk pulang dengan naik motorku!" tukasnya masih mencekal pergelangan tanganku.

Kutarik napas panjang. Menghembusnya perlahan sebelum akhirnya berbalik dan menyentak tanganku yang dipegangi Yuda.

"Berhenti bersikap seakan-akan kamu adalah suami yang peduli denganku," sengitku tak suka.

"Kamu seorang istri. Kamu lulusan pondok pesantren. Kamu seharusnya lebih bisa bersikap! Tidak sepantasnya kamu berduaan dengan laki-laki tadi tanpa sepengetahuanku!" ujarnya seakan apa yang kulakukan adalah sebuah kesalahan besar.

Netraku memicing menatap Yuda. "Berduaan apa maksud kamu? Aku memang sedang bicara dengan Azmi. Dia temanku saat kami sama-sama mondok di pesantren. Kita berbicara dan di sana banyak orang, Yuda! Kita berbicara di tempat yang ramai, bukan berduaan seperti yang kamu bilang!" sangkalku tidak terima tuduhannya.

"Sama saja. Meski di sana ramai, tetapi kamu bersama dengan laki-laki yang bukan mahram. Dan kamu pasti tahu, kalau itu adalah dosa!" sergahnya sudah merasa paling benar.

Aku menenangkan hati yang bergemuruh. Hingga bisa sedikit lebih tenang dan kini menghadap sejajar dengan Yuda.

"Aku tidak berduaan. Aku dan Azmi hanya menyambung silaturahmi, karena kami sudah lama tidak bertemu. Tadi pun kami tidak sengaja bertemu. Aku akan berdosa, jika aku memang bersama dengannya hanya empat mata saja di satu tempat tertutup yang memungkinkan hadirnya syaiton untuk melemahkan iman kami. Tapi aku tidak melakukan itu! Aku akan pulang, dan berhenti memaksaku naik motor!" tegasku kemudian.

Cepat aku pun berbalik membelakangi Yuda. Lalu melangkahkan kakiku di jalanan komplek ini tanpa terdengar lagi pencegahan dari laki-laki di belakang sana.

Aku berjalan cepat. Menyusuri blok demi blok di perumahan ini untuk tiba di blok empat. Blok dari rumah yang aku tempati.

Aku terus melangkah tanpa sedikit pun menoleh. Entah Yuda membawa motornya jauh di belakangku atau melewati jalan lain. Karena aku tidak mendengar deru mesin motor dari arah belakang.

Tergesa aku memasuki rumah setelah membuka pintu pagar. Ibu dan si kembar sudah tidak ada di taman.

Aku buru-buru masuk ke rumah dan melihat dua stroller yang tadi dipakai, sudah tersimpan di tempat biasanya.

Langkahku semakin cepat mencari keberadaan Ibu dan si kembar. Takut jika Ibu tidak berhasil menenangkan Arka dan Arsa.

Hampir mendekati ruang bermain, sayup aku mendengar suara Ibu seperti sedang mengajak berbicara si kembar. Terdengar juga Arka dan Arsa yang tertawa riang khas bayi.

Hingga kakiku benar-benar menginjak ruangan bermain, dan Ibu memang tengah memomong cucunya yang anteng dalam bouncer.

"Assalamualaikum, Bu, maaf Hilma baru pulang. Ibu pasti kewalahan ya jagain si kembar?" ucapku setelah mengambil tempat di samping Ibu.

"Enggak apa-apa, Hil. Ah, enggak kok, ibu malah seneng jagain cucu-cucu ibu ini. Mereka anteng aja dari tadi," jawab Ibu membuat keningku berkerut.

"Si kembar enggak nangis, Bu?"

"Enggaklah, boro-boro nangis. Dari tadi anteng-anteng aja sama ibu, ini aja baru ibu pindahin ke bouncer, soalnya di taman panasnya udah agak tinggi, jadi ibu bawa masuk."

"Yang bener, Bu? Si kembar anteng dari tadi sama ibu?"

Ibu mengangguk cepat. "Bener atuh, Hil. Buat apa ibu bohong? Terus ngapain juga ibu bohong perkara si kembar nangis apa enggak," bebernya.

Aku merapatkan bibir. Tidak tahu harus bereaksi seperti apalagi. Kuperhatikan lekat wajah si kembar. Nyatanya memang nampak riang dan tidak ada jejak-jejak air mata habis menangis di wajah mereka.

Jadi, Ibu memang tidak mungkin berkata bohong.

Lalu, yang dikatakan Yuda?

Astaghfirullah … Yuda!

🌹🌹🌹

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si hilma mencoreng lulusan pesantren aja nih. keganjenan
goodnovel comment avatar
Mariani Abd Rahman
agak aneh lulusan pesantren tp terkesan tdk menjaga pandangan..maaf thor..
goodnovel comment avatar
siti yulianti
sepertinya Yuda ingin punya istri kyk hilma lulusan pesantren berhubung dapet Khanza .... mungkin Yuda sukanya sama hilma cuman Khanza yg udah menjerat nya duluan mungkin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status