Share

Ch. 3

***

Pintu ballroom tempat berlangsungnya acara terbuka lebar.

Akan tetapi Yuda tak membawaku masuk. Tangannya masih melingkari pinggangku. Dia membawaku, setengah menyeret lebih tepatnya, ke arah teras samping hotel yang sepi, menghadap ke arah luar.

Dia menghempas pegangan tangannya di pinggangku. Berganti merangkul pundakku cukup keras

"Jaga sikap! Di sini, kamu dipandang sebagai istriku. Istri seorang kepala divisi! Sekali pun aku memang tidak mencintai kamu. Tapi semua tahu kamu istriku sekarang. Bersikaplah seakan hubungan kita baik-baik saja!" desisnya tepat di telingaku.

Aku menyentak pundak yang dirangkulnya, tetapi Yuda menahannya kuat. Aku menatapnya sengit. Yuda pun tak kalah tajam menatapku.

"Egois!" tukasku dengan nada menekan.

"Aku tidak perduli. Aku hanya menjaga nama baik. Cukup dengan mendiang Khanza, aku sering melihatnya begitu akrab dengan lawan jenis, dan itu membuat hatiku teriris. Sekarang kamu berbalik! Pegang tanganku dan bersikap seperti istri sesungguhnya!" perintahnya sambil memutar tubuhku hingga berbalik.

Dadaku terasa memburu. Laki-laki macam apa sebenarnya yang menikahiku ini?

Dia ingin menjaga nama baiknya di sini? Dia memintaku menjaga sikap? Benar-benar lelaki aneh dan egois.

Yuda berdiri tegap, memposisikan lengannya seakan memintaku untuk menggamitnya.

Aku masih terdiam dan hanya memandangnya penuh tanya.

"Tunggu apalagi? Pegang tanganku! Kita masuk sekarang!" titahnya sedikit berbisik.

Aku mengarahkan pandangan ke depan. Cukup banyak orang yang mulai berdatangan. Akan tetapi tidak memperhatikan kami di teras ini.

Aku lantas menatap tajam kembali pada Yuda. "Jangan berpikir, aku mau untuk kamu gandeng! Aku masih bisa berjalan sendiri!" tegasku. Lalu melenggang memasuki hotel kembali. Meninggalkan Yuda di belakang, hingga terdengar derap langkahnya yang mengikuti.

Aku berjalan lebar. Namun, Yuda tiba-tiba telah ada di sebelahku. Dipaksanya tanganku untuk menggamit lengannya.

Dia menarik dan menahan tanganku dalam dekapan lengannya.

"Ini bukan mauku. Ini tuntutan. Agar semua orang tahu, pernikahan kita, dan kita baik-baik saja! Turuti apa yang aku perintahkan!" ujarnya sambil terus melangkah, dan aku kesulitan melepas tanganku yang ditahannya.

"Lepas, Yud!"

"Diam. Biasakan memanggilku Mas Yuda di depan banyak orang nanti sampai acara ini selesai!"

Aku semakin terperangah. Apa-apaan dia ini? Selain angkuh, dia memang benar-benar egois rupanya.

Tiba di dalam ballroom, aku duduk di kursi sebelah Yuda. Acara memang baru dimulai. Entah siapa di depan sana tengah memberikan sambutannya.

Acara berlanjut pada bincang-bincang ringan. Aku hanya menyimak, meski pembahasannya adalah tentang ilmu bisnis yang tidak kupahami.

Ini pertama kalinya aku mendampingi Yuda dalam acaranya. Itu pun karena desakan dari Bu Aida.

Ragaku di ballroom ini. Namun pikiranku berkelana.

Aku teringat dengan berita tentang Teh Diba yang sempat Azmi katakan tadi.

Adiba Althafunisa, Kakak tingkatku di pondok. Adiba-lah perempuan yang telah dijodohkan oleh pihak dewan yayasan dengan Azmi.

Berita perjodohan itu telah santer terdengar sejak dua tahun yang lalu. Awal aku mulai mengabdikan diri pada yayasan.

Sehingga detik itu juga. Aku memupus rasa yang diam-diam menyelinap tanpa permisi untuk Azmi. Meski sulit. Tapi aku ikhlas, jika Azmi memang berjodoh dengan Adiba.

Mereka akan menjadi pasangan yang serasi. Shaleh dan shalehah. Saling melengkapi dan sangat cocok pastinya.

Aku masih berkelana dengan pikiranku sendiri. Aku pun tak menyangka bisa bertemu dengan Azmi di sini, hari ini.

Satu sudut bibirku tertarik begitu saja. Mengingat pertemuan tidak sengaja dengannya tadi.

Wajahnya yang kalem, serta sorot mata yang meneduhkan, suaranya yang lembut, entah kenapa seakan mengalihkan sejenak diri ini dari nestapa pernikahan tanpa cinta yang kujalani bersama Yuda.

Aku menggeleng pelan. Aku tidak bisa memungkiri perasaanku sendiri terhadap Azmi. Tapi jalan kami telah tertulis.

Dia bersama Adiba, dan aku bersama Yuda.

Tanpa terasa, acara penyambutan selesai. Kemudian berlanjut dengan acara makan-makan.

Setelah mengantre di prasmanan, Yuda membawaku duduk di meja bundar untuk menikmati makanan yang kami pilih.

Aku menikmati makananku. Sementara Yuda, nampak mengitari ballroom ini.

Beberapa orang temannya, menyapa Yuda di meja ini, dan menolak ajakan Yuda untuk bergabung di meja yang kami tempati.

Hingga akhirnya makananku telah habis, sedangkan piring Yuda masih terisi penuh.

Tanpa sengaja kami bersitatap. Namun buru-buru aku mengalihkan pandanganku. Mengambil makanan ringan penutup dan mencicipinya.

Terdengar helaan napas berat laki-laki di sebelahku itu. Sampai kemudian dia beranjak dari meja ini, meninggalkan begitu saja piring makannya.

Dia berjalan melewatiku yang masih terduduk. Entah akan ke mana dia. Aku tidak ingin bertanya.

"Bro, tumben kalian enggak gabung sama gue? Meja gue kosong."

Terdengar suara Yuda dari arah belakang. Aku tak ingin menoleh. Lebih memilih menikmati hidangan penutup di hadapanku saat ini.

"Gak lah, Bro. Kan ada istri Lo, seganlah kita." Terdengar sahutan seorang lelaki.

"Segan?" Masih bisa kudengar sahutan keheranan dari Yuda.

"Hu'um. Beda waktu sama Khanza. Tuhan terlalu baik sama lo, kasih kakaknya sebagai pengganti Khanza."

"Ck … apaan sih, lo? Masih menang Khanza ke mana-mana!"

"Setiap orang ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing, Bro. Istri lo yang sekarang mungkin emang enggak semodis Khanza, tapi perempuan kayak gitu justru bikin laki-laki lebih penasaran. Percaya deh."

Aku menghembus napas kasar. Obrolan mereka masih terus terdengar di belakangku. Membanding-bandingkan aku dengan adikku sendiri. Entah apa tujuannya.

Acara kemudian berlanjut pada pemberian penghargaan untuk para karyawan. Apresiasi dari kantor tempat Yuda bekerja atas kinerja para staffnya.

Sampai nama Yuda pun turut dipanggil dan dia berjalan ke panggung kecil di depan sana. Dia mengumbar senyum atas penghargaan yang didapatnya.

Tanpa sengaja, tatapan kami beradu. Sorot matanya tetap tajam. Namun bibirnya mengulas senyum. Aku menunduk cepat. Memutus tatapan mata kami.

Mustahil dia tersenyum kepadaku.

Acara selesai tidak begitu sore. Usai acara aku segera menuju mobil di parkiran. Sedangkan Yuda masih betah mengobrol dengan teman-temannya di teras hotel.

Saat membuka pintu mobil. Aku menangkap sosok Azmi di deretan parkiran belakang mobil Yuda.

Dia menyandar asal pada kap mobil sambil memainkan benda pipih di tangannya.

Pintu mobil yang baru terbuka secepatnya kututup. Lalu berniat untuk menemui Azmi di depan mobilnya itu.

Rasanya pembicaraan kami tadi belum selesai dan aku ingin melanjutkannya.

Baru satu langkah kakiku berjalan. Tanganku tiba-tiba dicekal. Refleks aku berbalik.

"Kita pulang!" Entah kapan Yuda telah ada di belakangku dan mencegah langkahku ini.

Aku menarik tanganku yang dipegangnya. "Aku ada perlu sebentar," ucapku setelah berhasil mengibas tangannya.

Lalu hendak melangkahkan kaki menemui Azmi di sana. Namun Yuda lagi-lagi menahan tanganku.

"Pulang! Ingat si kembar di rumah!" perintah Yuda dengan nada menekan.

Dia masih mencekal pergelangan tanganku. Sedangkan satu tangannya membuka pintu mobilnya. "Masuk! Aku tidak mengizinkan kamu menemui laki-laki tadi. Kita pulang!" tegasnya.

Hatiku jengkel bukan main. Kusentak tanganku hingga terlepas.

Brukkk!

Kututup pintu mobil dengan keras setelah masuk dan duduk di kursi penumpang. Kuturunkan kaca mobil hingga full dan membuang pandangan ke luar sambil mengatur napas yang terasa sesak.

Yuda terlalu menyebalkan.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kenapa mempermainkan pernikahan klu merasa terpaksa. alasan hilma menerima terlalu lemah. atau mungkin dia sendiyi udah jengah dg status perawan tuanya
goodnovel comment avatar
siti yulianti
sepertinya Yuda GK suka liat wanita yg d cintai nya terlalu dekat dengan lawan jenis seperti khanza
goodnovel comment avatar
Nur Hikmah Fadhillah
menarik ini cerita, tapi harys pakai poin.. ada di novel yg lain ge nih min..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status