***
Pintu ballroom tempat berlangsungnya acara terbuka lebar.Akan tetapi Yuda tak membawaku masuk. Tangannya masih melingkari pinggangku. Dia membawaku, setengah menyeret lebih tepatnya, ke arah teras samping hotel yang sepi, menghadap ke arah luar.Dia menghempas pegangan tangannya di pinggangku. Berganti merangkul pundakku cukup keras"Jaga sikap! Di sini, kamu dipandang sebagai istriku. Istri seorang kepala divisi! Sekali pun aku memang tidak mencintai kamu. Tapi semua tahu kamu istriku sekarang. Bersikaplah seakan hubungan kita baik-baik saja!" desisnya tepat di telingaku.Aku menyentak pundak yang dirangkulnya, tetapi Yuda menahannya kuat. Aku menatapnya sengit. Yuda pun tak kalah tajam menatapku."Egois!" tukasku dengan nada menekan."Aku tidak perduli. Aku hanya menjaga nama baik. Cukup dengan mendiang Khanza, aku sering melihatnya begitu akrab dengan lawan jenis, dan itu membuat hatiku teriris. Sekarang kamu berbalik! Pegang tanganku dan bersikap seperti istri sesungguhnya!" perintahnya sambil memutar tubuhku hingga berbalik.Dadaku terasa memburu. Laki-laki macam apa sebenarnya yang menikahiku ini?Dia ingin menjaga nama baiknya di sini? Dia memintaku menjaga sikap? Benar-benar lelaki aneh dan egois.Yuda berdiri tegap, memposisikan lengannya seakan memintaku untuk menggamitnya.Aku masih terdiam dan hanya memandangnya penuh tanya."Tunggu apalagi? Pegang tanganku! Kita masuk sekarang!" titahnya sedikit berbisik.Aku mengarahkan pandangan ke depan. Cukup banyak orang yang mulai berdatangan. Akan tetapi tidak memperhatikan kami di teras ini.Aku lantas menatap tajam kembali pada Yuda. "Jangan berpikir, aku mau untuk kamu gandeng! Aku masih bisa berjalan sendiri!" tegasku. Lalu melenggang memasuki hotel kembali. Meninggalkan Yuda di belakang, hingga terdengar derap langkahnya yang mengikuti.Aku berjalan lebar. Namun, Yuda tiba-tiba telah ada di sebelahku. Dipaksanya tanganku untuk menggamit lengannya.Dia menarik dan menahan tanganku dalam dekapan lengannya."Ini bukan mauku. Ini tuntutan. Agar semua orang tahu, pernikahan kita, dan kita baik-baik saja! Turuti apa yang aku perintahkan!" ujarnya sambil terus melangkah, dan aku kesulitan melepas tanganku yang ditahannya."Lepas, Yud!""Diam. Biasakan memanggilku Mas Yuda di depan banyak orang nanti sampai acara ini selesai!"Aku semakin terperangah. Apa-apaan dia ini? Selain angkuh, dia memang benar-benar egois rupanya.Tiba di dalam ballroom, aku duduk di kursi sebelah Yuda. Acara memang baru dimulai. Entah siapa di depan sana tengah memberikan sambutannya.Acara berlanjut pada bincang-bincang ringan. Aku hanya menyimak, meski pembahasannya adalah tentang ilmu bisnis yang tidak kupahami.Ini pertama kalinya aku mendampingi Yuda dalam acaranya. Itu pun karena desakan dari Bu Aida.Ragaku di ballroom ini. Namun pikiranku berkelana.Aku teringat dengan berita tentang Teh Diba yang sempat Azmi katakan tadi.Adiba Althafunisa, Kakak tingkatku di pondok. Adiba-lah perempuan yang telah dijodohkan oleh pihak dewan yayasan dengan Azmi.Berita perjodohan itu telah santer terdengar sejak dua tahun yang lalu. Awal aku mulai mengabdikan diri pada yayasan.Sehingga detik itu juga. Aku memupus rasa yang diam-diam menyelinap tanpa permisi untuk Azmi. Meski sulit. Tapi aku ikhlas, jika Azmi memang berjodoh dengan Adiba.Mereka akan menjadi pasangan yang serasi. Shaleh dan shalehah. Saling melengkapi dan sangat cocok pastinya.Aku masih berkelana dengan pikiranku sendiri. Aku pun tak menyangka bisa bertemu dengan Azmi di sini, hari ini.Satu sudut bibirku tertarik begitu saja. Mengingat pertemuan tidak sengaja dengannya tadi.Wajahnya yang kalem, serta sorot mata yang meneduhkan, suaranya yang lembut, entah kenapa seakan mengalihkan sejenak diri ini dari nestapa pernikahan tanpa cinta yang kujalani bersama Yuda.Aku menggeleng pelan. Aku tidak bisa memungkiri perasaanku sendiri terhadap Azmi. Tapi jalan kami telah tertulis.Dia bersama Adiba, dan aku bersama Yuda.Tanpa terasa, acara penyambutan selesai. Kemudian berlanjut dengan acara makan-makan.Setelah mengantre di prasmanan, Yuda membawaku duduk di meja bundar untuk menikmati makanan yang kami pilih.Aku menikmati makananku. Sementara Yuda, nampak mengitari ballroom ini.Beberapa orang temannya, menyapa Yuda di meja ini, dan menolak ajakan Yuda untuk bergabung di meja yang kami tempati.Hingga akhirnya makananku telah habis, sedangkan piring Yuda masih terisi penuh.Tanpa sengaja kami bersitatap. Namun buru-buru aku mengalihkan pandanganku. Mengambil makanan ringan penutup dan mencicipinya.Terdengar helaan napas berat laki-laki di sebelahku itu. Sampai kemudian dia beranjak dari meja ini, meninggalkan begitu saja piring makannya.Dia berjalan melewatiku yang masih terduduk. Entah akan ke mana dia. Aku tidak ingin bertanya."Bro, tumben kalian enggak gabung sama gue? Meja gue kosong."Terdengar suara Yuda dari arah belakang. Aku tak ingin menoleh. Lebih memilih menikmati hidangan penutup di hadapanku saat ini."Gak lah, Bro. Kan ada istri Lo, seganlah kita." Terdengar sahutan seorang lelaki."Segan?" Masih bisa kudengar sahutan keheranan dari Yuda."Hu'um. Beda waktu sama Khanza. Tuhan terlalu baik sama lo, kasih kakaknya sebagai pengganti Khanza.""Ck … apaan sih, lo? Masih menang Khanza ke mana-mana!""Setiap orang ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing, Bro. Istri lo yang sekarang mungkin emang enggak semodis Khanza, tapi perempuan kayak gitu justru bikin laki-laki lebih penasaran. Percaya deh."Aku menghembus napas kasar. Obrolan mereka masih terus terdengar di belakangku. Membanding-bandingkan aku dengan adikku sendiri. Entah apa tujuannya.Acara kemudian berlanjut pada pemberian penghargaan untuk para karyawan. Apresiasi dari kantor tempat Yuda bekerja atas kinerja para staffnya.Sampai nama Yuda pun turut dipanggil dan dia berjalan ke panggung kecil di depan sana. Dia mengumbar senyum atas penghargaan yang didapatnya.Tanpa sengaja, tatapan kami beradu. Sorot matanya tetap tajam. Namun bibirnya mengulas senyum. Aku menunduk cepat. Memutus tatapan mata kami.Mustahil dia tersenyum kepadaku.–Acara selesai tidak begitu sore. Usai acara aku segera menuju mobil di parkiran. Sedangkan Yuda masih betah mengobrol dengan teman-temannya di teras hotel.Saat membuka pintu mobil. Aku menangkap sosok Azmi di deretan parkiran belakang mobil Yuda.Dia menyandar asal pada kap mobil sambil memainkan benda pipih di tangannya.Pintu mobil yang baru terbuka secepatnya kututup. Lalu berniat untuk menemui Azmi di depan mobilnya itu.Rasanya pembicaraan kami tadi belum selesai dan aku ingin melanjutkannya.Baru satu langkah kakiku berjalan. Tanganku tiba-tiba dicekal. Refleks aku berbalik."Kita pulang!" Entah kapan Yuda telah ada di belakangku dan mencegah langkahku ini.Aku menarik tanganku yang dipegangnya. "Aku ada perlu sebentar," ucapku setelah berhasil mengibas tangannya.Lalu hendak melangkahkan kaki menemui Azmi di sana. Namun Yuda lagi-lagi menahan tanganku."Pulang! Ingat si kembar di rumah!" perintah Yuda dengan nada menekan.Dia masih mencekal pergelangan tanganku. Sedangkan satu tangannya membuka pintu mobilnya. "Masuk! Aku tidak mengizinkan kamu menemui laki-laki tadi. Kita pulang!" tegasnya.Hatiku jengkel bukan main. Kusentak tanganku hingga terlepas.Brukkk!Kututup pintu mobil dengan keras setelah masuk dan duduk di kursi penumpang. Kuturunkan kaca mobil hingga full dan membuang pandangan ke luar sambil mengatur napas yang terasa sesak.Yuda terlalu menyebalkan.–Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y