Share

Bab 4

last update Dernière mise à jour: 2023-02-18 20:55:20

Naluri  Sang Pendosa 4

Memaksa hati berdamai dengan keadaan adalah hal yang tidak mudah. Bertahan tetap dalam kesadaran di tengah keterpurukan dicela sana sini dan mendapat hinaan setiap hari, gadis itu tertunduk lelah setelah menggantung seragam sekolahnya yang tadi yang sudah sempat dicuci lagi. Ia menatap pada Lela yang masih meringkuk memeluk dingginnya malam.

Sudah jam sepuluh malam, Berlian masih terjaga. Ia merawat sepenuh hati wanita yang sejak kecil membesarnya. Berlian mengompres kening Ibunya yang terasa panas setelah kejadian siang tadi. Sembari mengulang pelajaran tadi pagi, karena besok ia akan ada tugas praktek ilmiah.

Terkantuk-kantuk hingga beberapakali kepala hampir terjatuh, ia memaksa mata membuka lagi. Kalah dengan malam yang semakin larut, kantuk tak dapat ia tahan lagi, Berlian meringkuk pula di dekat Ibunya. Tanpa alas yang menghangatkan tubuh, lantai berlapis perlak tak mampu menghalau dinginnya malam. Gadis malang itu memeluk Lela.

Sayup-sayup kedua kelopak mata mengerjap, memastikan jam berapa sekarang. Lela menutup mulutnya yang terbuka lebar karena menguap. Wanita dengan rambut berwarna semu merah itu menyingkirkan kain basah yang sempat mendiami keningnya.

Lela berdecak. "Ngapain, si Berlian pakaikan aku beginian? Dikira aku lemah apa hanya karena kehujanan." Lela melempar kain basah tadi ke sembarang tempat. Ia bangkit dan berganti pakaian yang lain. 

*

Azan Subuh saling bersahutan, rintik hujan semalam rupanya masih saja betah mengguyur sebagian wilayah itu. Sang gadis manis pun membentangkan tangannya lalu mengusap kedua mata yang masih sangat lengket.

Saat dia sudah bangun, kanan kiri ia lihat sudah kosong. Ia bangun tanpa Ibunya dan tak terdengar suara apapun di kamar mandi. Tubuhnya masih lemas, punggungnya masih sangat pegal, gadis itu harus segera menyiap diri untuk menjalankan kewajiban lima waktunya.

Lepas semua itu, ia terduduk dengan pandangan kosong. Ia tahu ke mana perginya wanita yang selalu ia panggil 'ibu' itu. Tangan menengadah di atas, meminta pertolongan dan keajaiban dari Yang Maha Kuasa. Aliran bening mengguyur pipi hingga sesenggukan, Berlian menyebut lirih nama Ibunya dengan lengkap.

Siap dengan aktivitas pagi, ia menutup pintu kontrakan dan meletakkan kunci di bawah keset. Barangkali, nanti Ibunya pulang sementara dirinya tak ada. Sudah seperti rutinitas meletakkan kunci di bawah kain lusuh meskipun di dalam ruangan sempit itu tak ada satupun barang berharga.

Begitu cepat hari berganti, malam ini bintang gemerlap di langit. Seorang wanita dengan gaun minim bertabur manik-manik tengah jalan sempoyongan. Kakinya sakit memakai sepatu yang agak ketinggian. 

Lela melepas alas kakinya itu dan berjalan menuju sebuah club' malam seperti biasanya. Sampai di sana, ia langsung masuk. Disambut riuh beberapa orang yang telah menunggunya sejak tadi. Gelas-gelas berisi dengan minuman khas diangkat ke  atas, mengajaknya bersulang hingga pagi hari.

Lela yang masih terjaga kesadarannya itu segera mendekat. Ia menerima pelukan seperti biasa dari lelaki yang berbeda. Lalu, duduk dan mengobrol sebentar sebelum naik ke atas panggung dan membawakan sebuah lagu.

"Minum dulu, dong!" Sebuah tarikan mencekal tangan Lela. Pria berjaket kulit yang sudah beberapa kali meneguk anggur mengajaknya duduk bersama.

"Aku enggak minum dulu malam ini. Badanku meriang, Jo," balas Lela setengah menolak.

"Halah, cuman sedikit. Biasanya kamu juga tak pernah menolak. Jangan buat alasan lah, Sayang! Ayo, kita nikmati malam ini!" 

Pria bernama Johan langsung menjejali Lela dengan anggur merah. Desisan dari mulut wanita itu mulai keluar karena kerasnya rasa yang ia teguk. Sesuai dengan kadar lamanya fermentasi, minuman haram itu telah tandas. Masuk ke dalam lambung Lela.

Mereka tertawa kencang sambil menikmati alunan musik yang dimainkan oleh seorang ahlinya. Sempat menolak, tetapi tak kuasa menghindar, nasi sudah menjadi bubur. Hidup dalam gelapnya dunia malam, membuat jiwa merasa tak berhak atas masa depan yang cerah. Asal perut bisa terisi dan batin lupa akan kepedihan hidup, Lela terus mengikuti apa mau mereka. 

Lepas dari pria-pria di dalam sana, Lela keluar dari tempat itu dengan jalan gontai. Ia beberapa kali muntah dan berhenti di pinggir jalan. Sebuah mobil dengan laju sedang tak sengaja melewatinya. Namun, kembali mundur ketika melihat Lela dalam keadaan seperti itu.

Pria berwajah tampan dengan usia di atas empat puluh tahun keluar dengan wajah panik. Ia mendekati Lela dan bertanya, "Mbak, enggak apa-apa?" 

Lela mengerutkan dahinya mendengar itu. Ia membalik wajah dan menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah. Lalu, menggeleng saja tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tangannya terangkat sebagai penolakan. Baginya, setiap lelaki sama saja. Ia hanya ingin pulang.

"Tapi, Mbak, sepertinya mabuk. Bahaya kalau jalan sendirian malam-malam begini. Memang rumahnya di mana?" Pria itu bertanya lagi.

"Enggak usah sok perhatian sama gue! Elu bukan siapa-siapa." Lela hampir saja ambruk, tetapi tangannya reflek memegang lengan pria itu.

Pria itu membuka jas hitamnya dan memakaikan pada Lela. Nalurinya tak tega melihat wanita itu meski ia tahu, wanita malam seperti apa. Namun, wanita tetaplah wanita, yang harus dijaga dan dilindungi. 

"Mari saya antar pulang, rumah kamu di mana?" 

"Gang F," balas Lela yang sudah tak tahan lagi ingin merebahkan diri.

Pria itu membuka pintu mobil. Menyuruh Lela masuk dan mencari alamat yang Lela katakan. Sekitar dua puluh menit berkutat di daerah sana, akhirnya pria baik hati itu menemukan gapura bertuliskan alamat yang tadi ia dengar dari wanita di sebelahnya, yang kini sudah pergi ke alam mimpi.

"Yang mana rumah kamu?" 

"Hei!"

"Hello, bangun! Sudah sampai." 

Beberapakali membangunkan, Lela masih saja terpejam. Namun, saat ia hendak keluar dan bertanya pada dua orang hansip, malah mendapat tuduhan.

"Heh, Anda siapa? Kenapa bawa perempuan nakal ini? Pasti Anda sama seperti lelaki hidung belang yang biasa mengantar jemput Lela, kan? Bawa saja dia pergi dari sini! Bikin malu warga saja!"

"Iya, benar. Sekarang Anda bawa pergi lagi wanita itu! Jangan kembali lagi ke sini," sahut hansip satunya. Mereka berdua tak memberikan waktu pada pria itu untuk menjelaskan.

"Tapi, Pak ...."

"Sudah-sudah! Jangan lagi ada di sini! Sekarang pergi!"

Apa boleh buat, akhirnya ia membawa Lela pergi karena diusir oleh dua hansip yang mengatakan bahwa wanita itu adalah wanita pembawa bala'. Tak punya pilihan, pria tadi segera pergi. 

Saat ini, tujuannya hanyalah pulang. Ke mana lagi, kalau bukan ke rumahnya sendiri? Di sana, dia akan membiarkan Lela istirahat dan bangun esok hari. Baru setelah itu, ia akan bertanya banyak hal pada wanita itu.

Lepas sampai di depan rumah, satpam yang berjaga segera membuka pintu gerbang tinggi bertabur nuansa emas.

"Malam, Pak?" sapa satpam tadi setelah pria itu membuka jendela mobil.

Ia membawa Lela ke dalam rumah mewahnya dan meletakkan wanita itu di atas pembaringan. Tempat yang sangat jauh berbeda dari yang biasa Lela gunakan melepas lelah. Lela masih belum bisa membuka mata. Bahkan ia tak sadar apa yang telah lelaki itu perbuat.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 72

    Terusan berlia"Bagaimana aku tidak memikirkannya? Aku menikah dengan lelaki beristri. Yang sekarang telah berpisah tapi masih sama-sama masih saling mencintai. Aku tidak bisa begini terus, Mas. Kalian kembalilah. Aku akan pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian.""Sudah kubilang, pernikahan bukan untuk mainan. Tidak semudah itu berpisah. Apalagi, aku sudah pernah merasakannya. Kalau memang aku dan Nayla ditakdirkan untuk kembali, maka dia harus menerimamu juga."Berlian pasrah saja. Sebenarnya, dia juga ragu. Namun, apa kata Arham, dia akan menurut saja.Setelah beberapa saat, Nayla membuka mata lagi. Yang pertama ia lihat, jelas adalah Arham. Lelaki yang senantiasa menemani. "Mas ...." Nayla langsung menggenggam tangan Arham."Kamu sudah mendingan? Makan dulu, ya? Aku suapin." Arham hendak meraih mangkuk yang ada di atas nakas. "Mas, kenapa dia ada di sini?" Nayla menatap Berlian yang terus menunduk. "Dia, kan, istriku, Nay." Nayla kembali menangis. Ia teringat sesuatu dan masih b

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 71

    Fitnah yang akhirnya membawa Arham pada ruangan direktur. Di sana, dia berdiri dan menjawab setiap pertanyaan dari atasannya. "Saya harap, masalah kamu tidak menjadikan nilai kerjamu menurun. Kamu harus profesional, Ham. Kamu sudah mendapat nama baik di sini. Karirmu cemerlang tiga tahun berturut-turut.""Baik, Pak. Saya mohon undur diri dulu." Arham segera keluar. Ia tak sampai hati siapa yang telah membuat fitnah tentang dirinya. Ketika melewati beberapa karyawan lain pun, terdengar bisik-bisik. Mereka saling melirik dan berkata lirih. Tak peduli dengan itu, lepas istirahat siang, Arham menjemput putrinya. Ternyata Berlian ada di sana. Wanita muda dengan wajah yang tampak semakin cantik itu duduk bersebelahan dengan Sherina. Mereka langsung menyambut kedatangan Arham. "Kamu datang dengan siapa, Berlian?" "Aku ...." Berlian masih menimbang. Ia ragu ingin mengatakannya. "Katanya kamu enggak tau sekolahan Sherina di mana? Karena kita hanya datang sekali saat itu."Pertanyaan Arh

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 70

    "Maaf, Sus. Saya ingin melihat siapa laki-laki yang bernama istri saya tadi." Ketika Arham menyebut Nayla masih istrinya, ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul di hati Berlian. Namun, ia tak begitu mempermasalahkan."Baik, Pak." Suster membuka tutup kain itu. Tampak wajah pucat yang sudah tak bernyawa lagi.Yang paling terkejut melihat itu adalah Berlian. Dia sangat mengenal laki-laki itu. Air matanya lirih seketika. Ia teringat Yoga. Lelaki paling baik yang pernah ia temui. "Mas Alby." Air mata Berlian pecah. Ia menutup mulutnya dengan tangan. Suster pun segera menutup kembali dan membawa Alby ke ruang pengurusan jenazah. Lalu, akan menghubungi pihak keluarga. Dari sana, Berlian meminta pihak rumah sakit agar dia bisa ikut mengantar jenazah. Arham mengizinkan. Setelah selesai, jenazah langsung dimasukkan ke dalam mobil ambulans lagi. Di dalam sana, Berlian ikut masuk bersama dua lelaki di bagian belakang. Sepanjang perjalanan, tangisnya pecah dan hanya bisa berdo'a untuk pria ya

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 69

    "Tapi, Om, saya juga punya tanggungan. Saya punya suami.""Lantas, kenapa suami kamu tidak ikut ke sini? Apakah dia menunggu seseorang di rumah sakit? Suami kamu masih cinta sama mantan istrinya?" Berlian semakin merasakan sesak dalam dadanya. Sejauh ini, ia memang melihat kalau Arham memang masih mencintai Nayla. Namun, Berlian sadar diri. Ia tidak berhak cemburu."Om, Ibu di mana? Berlian kangen sama Ibu? Apakah dia pergi juga?" Demi memendam rahasia kehidupannya, ia mengalihkan pembicaraan. "Ibumu sudah pergi juga." Berlian ternganga. Kelopak matanya berkedip begitu cepat untuk menghalau Air mata yang mengaburkan pandangan lagi. Butiran sebiji jagung mulai runtuh dan semakin sering."Dia menitipkan kamu padaku. Dia meminta maaf padamu. Dia juga sudah menjadi lebih baik sebelum kembali pada Tuhannya. Dia sudah bertaubat, Berlian. Sayang, dia tidak bisa bertemu denganmu di saat-saat terakhirnya." Yoga menceritakan semua.Berlian semakin terisak. Besok, ia meminta Yoga agar mengant

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 68

    "Dia hanya masih belum terbiasa denganmu. Aku yakin, dengan kamu melebihkan rasa sabar, insyaallah dia pasti akan luluh juga. Tutuplah keburukan itu dengan kebaikan." Malam itu mereka habiskan dengan saling mendukung. Berlian sepakat akan mencoba kembali mendekati Sherina. Tak ada kata mudah sebelum dicoba. Mencoba tak cukup hanya sekali, mungkin kesakitan yang akan kamu dapat di awal. Namun, masih ada harapan untuk berhasil di kemudian hari.*Mobil hitam dengan kaca terbuka berhenti di sebuah halaman yang tampak bersih terawat. Namun, tampak sepi tak berpenghuni. Mereka bertiga turun dari mobil. Arham yang pertama mengetuk pintu setelah bel ia tekan dan tak ada yang membukakan."Assalamualaikum, Nay?" Pria itu berteriak. Di belakangnya, ada gadis yang sudah tak sabar ingin memeluk dan bertemu Nayla. Sudah berkali-kali diketuk, pintu tak juga dibuka. "Kok, Mama enggak buka pintu, ya? Mungkin lagi keluar, Sayang," katanya pada gadis kecil itu. Seketika wajah Sherina meredup. Ia ta

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 67

    "Papa enggak akan marah, Tante. Pokoknya aku mau ketemu Mama." Terus begitu, Sherina menangis terisak-isak. Ia meronta sampai memukuli Berlian. "Sherina, kita tunggu Papa pulang kerja aja, ya? Tante beneran enggak tau rumah Mama kamu. Tante minta maaf, ya?" Berlian juga terus membujuk. Ia mengajak Sherina yang masih labil itu ke kamar lagi. Memeluknya dengan hangat dan menganggap sebagai anak sendiri. Mencoba menceritakan kisah-kisah dirinya yang berjuang sendiri, dengan sepenuh hati Berlian menenangkan hati gadis kecil itu. Mereka merebahkan diri di atas tempat tidur yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik anak gadis dengan nuansa pinky.Jejak tangis Sherina masih jelas, tetapi dongeng dan sebagian kisah yang Berlian ceritakan belum selesai. Berlian terus menceritakan kebaikan Nayla dan Arham, hingga gadis kecil itu akhirnya tertidur pulas. *"Tante, katanya kita mau ke rumah Mama? Tante tadi sudah janji." Makan malam baru saja dimulai. Berlian kembali membatalkan suapan nasi

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 66

    "Mas, anggap ini semua adalah sebuah pelajaran hidup. Sekarang kita harus benar-benar bertaubat. Kita sudah banyak berdosa. Jangan biarkan Sherina melihat dosa-dosa kita. Agar kelak, dia tidak mengulang kesalahan kita.""Kamu benar, Berlian. Kamu benar." Tangis Arham pecah saat itu juga. Mulai saat itu juga, kehidupan mereka berubah. Arham membawa mereka tinggal di rumah baru. Kehidupan berjalan beberapa Minggu dan Sherina kembali sekolah. Akan tetapi, gadis kecil itu tetap takut jika suatu saat tidak ada anak lain yang mau berteman dengannya. "Sherina, kamu sudah siap berangkat? Papa, sudah nungguin di meja depan." Berlian yang baru saja masuk ke dalam kamar gadis itu terkejut melihat Sherina melamun."Tante, aku malu kalau ditanya nanti di sekolah. Kenapa Papa sama Mama pisah." Berlian menghela napas panjang. "Sayang, tidak akan ada yang tahu. Bilang saja seperti biasanya kamu sekolah. Papa dan Mama kamu tetap sama. Tidak ada yang berubah.""Tapi, aku kangen sama Mama. Mama sama

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 65

    "Maaf, kami akan segera memeriksanya." Suster mencegah pria itu larut dalam suasana. "Saya Papanya, Sus. Dia kemarin dengan Mamanya, tetapi kenapa sekarang jadi begini?" Kebingungan membuat Arham semakin mengganggu jalannya pertolongan dokter. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya dan kaki bergetar seperti tak bertulang. Hampir terjatuh tak bisa membayangkan apa saja yang sudah terjadi dengan gadis kecil itu. "Bapak, tunggu di luar ruangan saja. Biar kami periksa," kata suster lagi.Akhirnya, Arham pasrah. Ia hanya bisa menunggu saja. Bayangan tawa pada bibir Sherina terulang dalam ingatan. Ia merasakan begitu sempurna hidupnya dahulu. Akan tetapi, sekarang ujian pernikahan membuatnya tahu, bahwa semua akan berdampak pada anaknya. Arham segera menelpon Nayla. Akan tetapi, sampai beberapakali diulang tak juga diangkat. Pria itu bergumam dengan kesal. Ia meninggalkan pesan beruntun dan makian atas keteledoran Nayla sehingga membuat putri mereka yang harus menanggung semuanya. S

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 64

    "Berlian!" Arham langsung mendekat dan meminta tolong. Ia langsung menggendong istrinya dan menaikkan ke atas ranjang rumah sakit. *"Apa? Dia sudah menceraikan kamu?" Alby terkejut ketika mereka sudah pergi dari sana dan kini mereka istirahat sejenak di sebuah kafe. Nayla mengangguk. Ia mengusap wajahnya yang sejak tadi basah karena air mata."Benar-benar keterlaluan dia. Bukannya Berlian yang dia ceraikan tapi malah kamu?" Alby menggeleng kepalanya. Tangannya mengepal di atas meja. Mereka tak tahu jika ada gadis kecil yang sudah mulai paham pembahasan orang dewasa. Sherina kecil hanya bisa tertunduk sedih. Ia seperti tidak diperhatikan dan memilih diam-diam pergi dari sana. Sejak tadi, Mamanya hanya sibuk dengan kesedihannya saja. Jalanan begitu ramai, sementara perutnya sudah mulai lapar. Gadis mungil itu memegangi perutnya dan terus berjalan. Ia ingin mencari Papanya lagi. "Lalu, rencana apa lagi yang akan kita lakukan? Kita sudah ketahuan, Nay." Alby meremas kepalanya. Ponse

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status