Share

Bab 4

Naluri  Sang Pendosa 4

Memaksa hati berdamai dengan keadaan adalah hal yang tidak mudah. Bertahan tetap dalam kesadaran di tengah keterpurukan dicela sana sini dan mendapat hinaan setiap hari, gadis itu tertunduk lelah setelah menggantung seragam sekolahnya yang tadi yang sudah sempat dicuci lagi. Ia menatap pada Lela yang masih meringkuk memeluk dingginnya malam.

Sudah jam sepuluh malam, Berlian masih terjaga. Ia merawat sepenuh hati wanita yang sejak kecil membesarnya. Berlian mengompres kening Ibunya yang terasa panas setelah kejadian siang tadi. Sembari mengulang pelajaran tadi pagi, karena besok ia akan ada tugas praktek ilmiah.

Terkantuk-kantuk hingga beberapakali kepala hampir terjatuh, ia memaksa mata membuka lagi. Kalah dengan malam yang semakin larut, kantuk tak dapat ia tahan lagi, Berlian meringkuk pula di dekat Ibunya. Tanpa alas yang menghangatkan tubuh, lantai berlapis perlak tak mampu menghalau dinginnya malam. Gadis malang itu memeluk Lela.

Sayup-sayup kedua kelopak mata mengerjap, memastikan jam berapa sekarang. Lela menutup mulutnya yang terbuka lebar karena menguap. Wanita dengan rambut berwarna semu merah itu menyingkirkan kain basah yang sempat mendiami keningnya.

Lela berdecak. "Ngapain, si Berlian pakaikan aku beginian? Dikira aku lemah apa hanya karena kehujanan." Lela melempar kain basah tadi ke sembarang tempat. Ia bangkit dan berganti pakaian yang lain. 

*

Azan Subuh saling bersahutan, rintik hujan semalam rupanya masih saja betah mengguyur sebagian wilayah itu. Sang gadis manis pun membentangkan tangannya lalu mengusap kedua mata yang masih sangat lengket.

Saat dia sudah bangun, kanan kiri ia lihat sudah kosong. Ia bangun tanpa Ibunya dan tak terdengar suara apapun di kamar mandi. Tubuhnya masih lemas, punggungnya masih sangat pegal, gadis itu harus segera menyiap diri untuk menjalankan kewajiban lima waktunya.

Lepas semua itu, ia terduduk dengan pandangan kosong. Ia tahu ke mana perginya wanita yang selalu ia panggil 'ibu' itu. Tangan menengadah di atas, meminta pertolongan dan keajaiban dari Yang Maha Kuasa. Aliran bening mengguyur pipi hingga sesenggukan, Berlian menyebut lirih nama Ibunya dengan lengkap.

Siap dengan aktivitas pagi, ia menutup pintu kontrakan dan meletakkan kunci di bawah keset. Barangkali, nanti Ibunya pulang sementara dirinya tak ada. Sudah seperti rutinitas meletakkan kunci di bawah kain lusuh meskipun di dalam ruangan sempit itu tak ada satupun barang berharga.

Begitu cepat hari berganti, malam ini bintang gemerlap di langit. Seorang wanita dengan gaun minim bertabur manik-manik tengah jalan sempoyongan. Kakinya sakit memakai sepatu yang agak ketinggian. 

Lela melepas alas kakinya itu dan berjalan menuju sebuah club' malam seperti biasanya. Sampai di sana, ia langsung masuk. Disambut riuh beberapa orang yang telah menunggunya sejak tadi. Gelas-gelas berisi dengan minuman khas diangkat ke  atas, mengajaknya bersulang hingga pagi hari.

Lela yang masih terjaga kesadarannya itu segera mendekat. Ia menerima pelukan seperti biasa dari lelaki yang berbeda. Lalu, duduk dan mengobrol sebentar sebelum naik ke atas panggung dan membawakan sebuah lagu.

"Minum dulu, dong!" Sebuah tarikan mencekal tangan Lela. Pria berjaket kulit yang sudah beberapa kali meneguk anggur mengajaknya duduk bersama.

"Aku enggak minum dulu malam ini. Badanku meriang, Jo," balas Lela setengah menolak.

"Halah, cuman sedikit. Biasanya kamu juga tak pernah menolak. Jangan buat alasan lah, Sayang! Ayo, kita nikmati malam ini!" 

Pria bernama Johan langsung menjejali Lela dengan anggur merah. Desisan dari mulut wanita itu mulai keluar karena kerasnya rasa yang ia teguk. Sesuai dengan kadar lamanya fermentasi, minuman haram itu telah tandas. Masuk ke dalam lambung Lela.

Mereka tertawa kencang sambil menikmati alunan musik yang dimainkan oleh seorang ahlinya. Sempat menolak, tetapi tak kuasa menghindar, nasi sudah menjadi bubur. Hidup dalam gelapnya dunia malam, membuat jiwa merasa tak berhak atas masa depan yang cerah. Asal perut bisa terisi dan batin lupa akan kepedihan hidup, Lela terus mengikuti apa mau mereka. 

Lepas dari pria-pria di dalam sana, Lela keluar dari tempat itu dengan jalan gontai. Ia beberapa kali muntah dan berhenti di pinggir jalan. Sebuah mobil dengan laju sedang tak sengaja melewatinya. Namun, kembali mundur ketika melihat Lela dalam keadaan seperti itu.

Pria berwajah tampan dengan usia di atas empat puluh tahun keluar dengan wajah panik. Ia mendekati Lela dan bertanya, "Mbak, enggak apa-apa?" 

Lela mengerutkan dahinya mendengar itu. Ia membalik wajah dan menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah. Lalu, menggeleng saja tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tangannya terangkat sebagai penolakan. Baginya, setiap lelaki sama saja. Ia hanya ingin pulang.

"Tapi, Mbak, sepertinya mabuk. Bahaya kalau jalan sendirian malam-malam begini. Memang rumahnya di mana?" Pria itu bertanya lagi.

"Enggak usah sok perhatian sama gue! Elu bukan siapa-siapa." Lela hampir saja ambruk, tetapi tangannya reflek memegang lengan pria itu.

Pria itu membuka jas hitamnya dan memakaikan pada Lela. Nalurinya tak tega melihat wanita itu meski ia tahu, wanita malam seperti apa. Namun, wanita tetaplah wanita, yang harus dijaga dan dilindungi. 

"Mari saya antar pulang, rumah kamu di mana?" 

"Gang F," balas Lela yang sudah tak tahan lagi ingin merebahkan diri.

Pria itu membuka pintu mobil. Menyuruh Lela masuk dan mencari alamat yang Lela katakan. Sekitar dua puluh menit berkutat di daerah sana, akhirnya pria baik hati itu menemukan gapura bertuliskan alamat yang tadi ia dengar dari wanita di sebelahnya, yang kini sudah pergi ke alam mimpi.

"Yang mana rumah kamu?" 

"Hei!"

"Hello, bangun! Sudah sampai." 

Beberapakali membangunkan, Lela masih saja terpejam. Namun, saat ia hendak keluar dan bertanya pada dua orang hansip, malah mendapat tuduhan.

"Heh, Anda siapa? Kenapa bawa perempuan nakal ini? Pasti Anda sama seperti lelaki hidung belang yang biasa mengantar jemput Lela, kan? Bawa saja dia pergi dari sini! Bikin malu warga saja!"

"Iya, benar. Sekarang Anda bawa pergi lagi wanita itu! Jangan kembali lagi ke sini," sahut hansip satunya. Mereka berdua tak memberikan waktu pada pria itu untuk menjelaskan.

"Tapi, Pak ...."

"Sudah-sudah! Jangan lagi ada di sini! Sekarang pergi!"

Apa boleh buat, akhirnya ia membawa Lela pergi karena diusir oleh dua hansip yang mengatakan bahwa wanita itu adalah wanita pembawa bala'. Tak punya pilihan, pria tadi segera pergi. 

Saat ini, tujuannya hanyalah pulang. Ke mana lagi, kalau bukan ke rumahnya sendiri? Di sana, dia akan membiarkan Lela istirahat dan bangun esok hari. Baru setelah itu, ia akan bertanya banyak hal pada wanita itu.

Lepas sampai di depan rumah, satpam yang berjaga segera membuka pintu gerbang tinggi bertabur nuansa emas.

"Malam, Pak?" sapa satpam tadi setelah pria itu membuka jendela mobil.

Ia membawa Lela ke dalam rumah mewahnya dan meletakkan wanita itu di atas pembaringan. Tempat yang sangat jauh berbeda dari yang biasa Lela gunakan melepas lelah. Lela masih belum bisa membuka mata. Bahkan ia tak sadar apa yang telah lelaki itu perbuat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status