"LELA!" Panggilan dari luar begitu keras. Seorang pria dengan jaket jeans berwarna pudar tengah berkacak pinggang. Lelaki hitam kekar dengan rambut ikal terus memanggil Lela dengan kencang di depan kontrakan. Membuat tetangga yang sedang tidur siang itu merasa terganggu.
Lela membuka pintu. Ia melihat pria itu dan menatapnya dengan malas. "Ada apa? Hutang gue udah lunas, ya, sama elu. Sekarang apa lagi?" Lela menyedekapkan kedua tangannya di depan dada."Elu, kan, malam itu janji sama klien gue. Kenapa tadi malem, elu, pulang? Gua kagak mau tau, ntar malem elu mesti dateng dan penuhi permintaan dia," ucap pria itu dengan kasar.Lela menghela napas panjang. Ia menatap ke lain arah dan mencoba memikirkan jalan lain. "Gue ganti, deh, kerugian elu. Berape emang?""Cuih!" Pria bernama Baron itu meludah ke depan Lela. "Duit dari mane, lu? Orang hutang elu sama si Bagio aja masih banyak.""Heh, gue udah bayar, ya, tadi pagi! Tinggal dikit lagi kelar. Tinggal bilang aja gue ganti berapa?" Seakan menantang, Lela tak pernah takut dengan pria itu. Ia mengeluarkan dompetnya dan menarik sepuluh lembaran merah. Lalu, melemparkannya di depan muka pria itu."Makan, tuh, duit! Jangan coba-coba ganggu gue lagi!" Lela hendak masuk tetapi pria itu mencegah."Tunggu! Oke-oke, gua akuin elu sekarang beda. Udah punya duit banyak." Lela tersenyum sinis. "Tapi, gua bener- bener dikejar sama, tuh, laki. Dia butuh elu malam ini juga. Tolong, cariin lah penggantinya!""Yang lain aja. Gue kagak bisa dan kagak ada temen lain yang mau. Mereka udah punya jadwal semua."Pria itu menoleh ke dalam saat Berlian tak sengaja melintas. Kedua matanya melebar dan langsung memberi kode pada Lela dengan menaikkan kedua alisnya."Ah, kagak! Dia anak gue, mau elu embat juga? Langkahin dulu mayat gue!" Pintu segera ia tutup rapat dan kancing dari dalam. Lela menarik lengan Berlian ketika gadis itu tengah menuang air minum."Heh, gue bilangin, jangan sekali-kali elu buka jilbab apalagi di depan ada laki-laki!"Berlian yang terkejut dan tak tahu maksud Ibunya pun masih terdiam."Denger kagak?" bentak Lela dengan keras."Berlian, kan, di dalam rumah, Bu. Ibu, aja enggak pakai jilbab dan selalu keluar malam dengan pakaian kurang bahan," jawab gadis itu dengan polosnya."Ya ... ya, elu enggak usah niruin gue!" Lela terbata-bata saat mengatakan alasannya."Kenapa, Bu? Bukannya anak itu menurut kelakuan orangtuanya? Ibu aja begini, kenapa Berlian enggak boleh?" Dadanya semakin sesak kala menjawab setiap kalimat dari Ibunya. Berlian merasakan kedua matanya berembun dan hidung begitu perih.Gadis itu memalingkan wajahnya dan segera menarik sehelai pasmina untuk menutupi kepalanya. Tak punya jawaban lagi, Lela kesal dan pergi.Barang-barang sudah siap, Lela dan gadis itu masih sedikit kaku karena hal tadi siang. Berlian duduk dengan kedua kaki terlipat seraya menutup sebagian tubuhnya dengan kain. Mereka memang hanya punya selembar kain untuk menyelimuti kala malam. Tak ada kehangatan yang mereka rasakan kecuali matahari bersinar."Kamu tunggu di sini dulu!" kata Lela. Ia keluar karena mendapat pesan singkat dari seorang pria yang sejak dulu mendiami relung hatinya.Diam-diam pula Berlian mengikuti Ibunya dari belakang dengan mengendap-endap. Di balik tong sampah besar, gadis itu melihat Ibunya bertemu dengan seorang pria tempo lalu. Pria yang sama yang sempat menjamah Lela meski di jalanan.Terusan berlia"Bagaimana aku tidak memikirkannya? Aku menikah dengan lelaki beristri. Yang sekarang telah berpisah tapi masih sama-sama masih saling mencintai. Aku tidak bisa begini terus, Mas. Kalian kembalilah. Aku akan pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian.""Sudah kubilang, pernikahan bukan untuk mainan. Tidak semudah itu berpisah. Apalagi, aku sudah pernah merasakannya. Kalau memang aku dan Nayla ditakdirkan untuk kembali, maka dia harus menerimamu juga."Berlian pasrah saja. Sebenarnya, dia juga ragu. Namun, apa kata Arham, dia akan menurut saja.Setelah beberapa saat, Nayla membuka mata lagi. Yang pertama ia lihat, jelas adalah Arham. Lelaki yang senantiasa menemani. "Mas ...." Nayla langsung menggenggam tangan Arham."Kamu sudah mendingan? Makan dulu, ya? Aku suapin." Arham hendak meraih mangkuk yang ada di atas nakas. "Mas, kenapa dia ada di sini?" Nayla menatap Berlian yang terus menunduk. "Dia, kan, istriku, Nay." Nayla kembali menangis. Ia teringat sesuatu dan masih b
Fitnah yang akhirnya membawa Arham pada ruangan direktur. Di sana, dia berdiri dan menjawab setiap pertanyaan dari atasannya. "Saya harap, masalah kamu tidak menjadikan nilai kerjamu menurun. Kamu harus profesional, Ham. Kamu sudah mendapat nama baik di sini. Karirmu cemerlang tiga tahun berturut-turut.""Baik, Pak. Saya mohon undur diri dulu." Arham segera keluar. Ia tak sampai hati siapa yang telah membuat fitnah tentang dirinya. Ketika melewati beberapa karyawan lain pun, terdengar bisik-bisik. Mereka saling melirik dan berkata lirih. Tak peduli dengan itu, lepas istirahat siang, Arham menjemput putrinya. Ternyata Berlian ada di sana. Wanita muda dengan wajah yang tampak semakin cantik itu duduk bersebelahan dengan Sherina. Mereka langsung menyambut kedatangan Arham. "Kamu datang dengan siapa, Berlian?" "Aku ...." Berlian masih menimbang. Ia ragu ingin mengatakannya. "Katanya kamu enggak tau sekolahan Sherina di mana? Karena kita hanya datang sekali saat itu."Pertanyaan Arh
"Maaf, Sus. Saya ingin melihat siapa laki-laki yang bernama istri saya tadi." Ketika Arham menyebut Nayla masih istrinya, ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul di hati Berlian. Namun, ia tak begitu mempermasalahkan."Baik, Pak." Suster membuka tutup kain itu. Tampak wajah pucat yang sudah tak bernyawa lagi.Yang paling terkejut melihat itu adalah Berlian. Dia sangat mengenal laki-laki itu. Air matanya lirih seketika. Ia teringat Yoga. Lelaki paling baik yang pernah ia temui. "Mas Alby." Air mata Berlian pecah. Ia menutup mulutnya dengan tangan. Suster pun segera menutup kembali dan membawa Alby ke ruang pengurusan jenazah. Lalu, akan menghubungi pihak keluarga. Dari sana, Berlian meminta pihak rumah sakit agar dia bisa ikut mengantar jenazah. Arham mengizinkan. Setelah selesai, jenazah langsung dimasukkan ke dalam mobil ambulans lagi. Di dalam sana, Berlian ikut masuk bersama dua lelaki di bagian belakang. Sepanjang perjalanan, tangisnya pecah dan hanya bisa berdo'a untuk pria ya
"Tapi, Om, saya juga punya tanggungan. Saya punya suami.""Lantas, kenapa suami kamu tidak ikut ke sini? Apakah dia menunggu seseorang di rumah sakit? Suami kamu masih cinta sama mantan istrinya?" Berlian semakin merasakan sesak dalam dadanya. Sejauh ini, ia memang melihat kalau Arham memang masih mencintai Nayla. Namun, Berlian sadar diri. Ia tidak berhak cemburu."Om, Ibu di mana? Berlian kangen sama Ibu? Apakah dia pergi juga?" Demi memendam rahasia kehidupannya, ia mengalihkan pembicaraan. "Ibumu sudah pergi juga." Berlian ternganga. Kelopak matanya berkedip begitu cepat untuk menghalau Air mata yang mengaburkan pandangan lagi. Butiran sebiji jagung mulai runtuh dan semakin sering."Dia menitipkan kamu padaku. Dia meminta maaf padamu. Dia juga sudah menjadi lebih baik sebelum kembali pada Tuhannya. Dia sudah bertaubat, Berlian. Sayang, dia tidak bisa bertemu denganmu di saat-saat terakhirnya." Yoga menceritakan semua.Berlian semakin terisak. Besok, ia meminta Yoga agar mengant
"Dia hanya masih belum terbiasa denganmu. Aku yakin, dengan kamu melebihkan rasa sabar, insyaallah dia pasti akan luluh juga. Tutuplah keburukan itu dengan kebaikan." Malam itu mereka habiskan dengan saling mendukung. Berlian sepakat akan mencoba kembali mendekati Sherina. Tak ada kata mudah sebelum dicoba. Mencoba tak cukup hanya sekali, mungkin kesakitan yang akan kamu dapat di awal. Namun, masih ada harapan untuk berhasil di kemudian hari.*Mobil hitam dengan kaca terbuka berhenti di sebuah halaman yang tampak bersih terawat. Namun, tampak sepi tak berpenghuni. Mereka bertiga turun dari mobil. Arham yang pertama mengetuk pintu setelah bel ia tekan dan tak ada yang membukakan."Assalamualaikum, Nay?" Pria itu berteriak. Di belakangnya, ada gadis yang sudah tak sabar ingin memeluk dan bertemu Nayla. Sudah berkali-kali diketuk, pintu tak juga dibuka. "Kok, Mama enggak buka pintu, ya? Mungkin lagi keluar, Sayang," katanya pada gadis kecil itu. Seketika wajah Sherina meredup. Ia ta
"Papa enggak akan marah, Tante. Pokoknya aku mau ketemu Mama." Terus begitu, Sherina menangis terisak-isak. Ia meronta sampai memukuli Berlian. "Sherina, kita tunggu Papa pulang kerja aja, ya? Tante beneran enggak tau rumah Mama kamu. Tante minta maaf, ya?" Berlian juga terus membujuk. Ia mengajak Sherina yang masih labil itu ke kamar lagi. Memeluknya dengan hangat dan menganggap sebagai anak sendiri. Mencoba menceritakan kisah-kisah dirinya yang berjuang sendiri, dengan sepenuh hati Berlian menenangkan hati gadis kecil itu. Mereka merebahkan diri di atas tempat tidur yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik anak gadis dengan nuansa pinky.Jejak tangis Sherina masih jelas, tetapi dongeng dan sebagian kisah yang Berlian ceritakan belum selesai. Berlian terus menceritakan kebaikan Nayla dan Arham, hingga gadis kecil itu akhirnya tertidur pulas. *"Tante, katanya kita mau ke rumah Mama? Tante tadi sudah janji." Makan malam baru saja dimulai. Berlian kembali membatalkan suapan nasi