"Semalam kamu ke mana? Aku cari-cari kata Bagio, sudah pulang. Padahal aku baru datang."
Lela tersenyum manis. Ia menyandarkan kepalanya di dada pria itu. "Aku sudah terlalu banyak minum. Aku takut tak bisa pulang. Nanti, malah merepotkanmu.""Kamu memang wanita sempurna. Sudah cantik, masih perhatian denganku juga." Pria itu mencubit dagu Lela sambil tersenyum.Bagi Berlian, adegan tersebut sungguh menjijikkan. Gadis itu terus memperhatikan mereka. Namun, Ibunya malah ikut masuk ke dalam mobil. Entah ke mana mereka akan pergi. Sunyi dan hanya dinginnya malam sudah biasa menjadi temannya, kini Berlian kembali pulang.Baru setengah jalan, seseorang memanggilnya. "Hei!"Berlian menoleh. Temaram lampu di gang tersebut membuat kedua mata sang gadis menyipit. Ia tak kenal dengan sosok yang memanggilnya karena dilihat dari penampilan, pria itu memang bukan penduduk sana."Dek, saya mau tanya," katanya. "Rumahnya Lela di mana, ya?"Seketika bola mata Berlian mendelik. Sudah ia duga, pria itu pasti sama seperti pria-pria yang sering datang pada Ibunya. Apalagi penampilan dia memang terlihat seperti orang kaya.Berlian ketakutan. Ia menoleh kanan kiri, bersiap untuk lari. Pria itu tahu, Berlian takut padanya."Tenang, saya bukan orang jahat. Saya hanya bertanya saja. Soalnya, dia bilang bersedia kerja di rumah saya dan mengajak anaknya tinggal sama-sama di sana."Sejenak, pikiran sang gadis teringat pada perkataan Ibunya yang berniat pindah. Mungkin, pria ini yang akan memberikan tempat tinggal."Saya anaknya. Tapi, Ibu sudah pergi dengan laki-laki tadi. Tolong, saya minta tolong, agar Ibu saya tidak terus bekerja dengan mereka. Saya tidak mau Ibu saya terus memberi makan saya dengan hasil kerja itu." Air mata pun tak terbendung lagi. Tumpah membasahi pipinya yang putih."Kamu sabar, ya! Sekarang, apa kamu tau, di mana Ibumu kerja?" Yoga mencoba mendekati gadis itu untuk memberikan beberapa informasi mengenai Lela. Namun, yang ada hanyalah sebuah gelengan kepala."Saya hanya tau satu orang yang sepertinya tau di mana Ibu kerja," kata Berlian dengan ragu. Setelah beberapakali percakapan, gadis itu merasa pria di hadapannya bukan orang jahat."Bawa saya ke sana, kita akan segera cari Ibu kamu."Berlian mengangguk. Canggung di dalam mobil berdua dengan pria dewasa yang usianya jauh di atasnya, Berlian tak berani banyak bicara. Lepas dari rumah seorang pria yang juga ikut menghina Ibunya waktu itu, mereka mendapatkan alamat di mana Lela bekerja.Meski sempat mendapat hardikan, mereka tak berhenti di situ saja. Sampai di depan sebuah tempat yang terdengar alunan musik kencang, mereka turun. Ada firasat buruk melintas di benak Yoga."Kamu tunggu di dalam mobil saja! Di sini tak baik untuk gadis sepertimu."Berlian menurut. Ia masuk lagi ke dalam mobil, menunggu apa yang terjadi selanjutnya.*Setelah sampai di dalam, pria itu di sambut ramah oleh penghuninya. Dijamu dengan sentuhan merambat dada. Namun, dia menolak. Tatapannya menelisik setiap wajah-wajah wanita yang tengah berkumpul dengan pria-pria hidung belang.Lela tak ada. Sejauh mata menatap, tak juga ia temukan wanita yang ia cari."Cari siapa, Ganteng? Ayo, kita masuk dulu!" Ajak seorang wanita yang terus mengedipkan matanya. Pakaiannya sungguh membuat hawa tak nyaman. Yoga menoleh dengan halus."Maaf, saya hanya cari Lela. Apakah kamu tau di mana dia?""Oh, Lela? Dia memang paling laris diantara kami." Tawa wanita itu membuat dada sesak. Namun, Yoga tak peduli. Ia hanya ingin Lela kembali."Di mana dia?""Malam ini dia enggak ada di sini. Sudah sejak pagi katanya izin untuk istirahat."Yoga kaget. Ke mana lagi mencari Lela sementara tidak ada tempat lain yang ia tahu selain di sini.Terusan berlia"Bagaimana aku tidak memikirkannya? Aku menikah dengan lelaki beristri. Yang sekarang telah berpisah tapi masih sama-sama masih saling mencintai. Aku tidak bisa begini terus, Mas. Kalian kembalilah. Aku akan pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian.""Sudah kubilang, pernikahan bukan untuk mainan. Tidak semudah itu berpisah. Apalagi, aku sudah pernah merasakannya. Kalau memang aku dan Nayla ditakdirkan untuk kembali, maka dia harus menerimamu juga."Berlian pasrah saja. Sebenarnya, dia juga ragu. Namun, apa kata Arham, dia akan menurut saja.Setelah beberapa saat, Nayla membuka mata lagi. Yang pertama ia lihat, jelas adalah Arham. Lelaki yang senantiasa menemani. "Mas ...." Nayla langsung menggenggam tangan Arham."Kamu sudah mendingan? Makan dulu, ya? Aku suapin." Arham hendak meraih mangkuk yang ada di atas nakas. "Mas, kenapa dia ada di sini?" Nayla menatap Berlian yang terus menunduk. "Dia, kan, istriku, Nay." Nayla kembali menangis. Ia teringat sesuatu dan masih b
Fitnah yang akhirnya membawa Arham pada ruangan direktur. Di sana, dia berdiri dan menjawab setiap pertanyaan dari atasannya. "Saya harap, masalah kamu tidak menjadikan nilai kerjamu menurun. Kamu harus profesional, Ham. Kamu sudah mendapat nama baik di sini. Karirmu cemerlang tiga tahun berturut-turut.""Baik, Pak. Saya mohon undur diri dulu." Arham segera keluar. Ia tak sampai hati siapa yang telah membuat fitnah tentang dirinya. Ketika melewati beberapa karyawan lain pun, terdengar bisik-bisik. Mereka saling melirik dan berkata lirih. Tak peduli dengan itu, lepas istirahat siang, Arham menjemput putrinya. Ternyata Berlian ada di sana. Wanita muda dengan wajah yang tampak semakin cantik itu duduk bersebelahan dengan Sherina. Mereka langsung menyambut kedatangan Arham. "Kamu datang dengan siapa, Berlian?" "Aku ...." Berlian masih menimbang. Ia ragu ingin mengatakannya. "Katanya kamu enggak tau sekolahan Sherina di mana? Karena kita hanya datang sekali saat itu."Pertanyaan Arh
"Maaf, Sus. Saya ingin melihat siapa laki-laki yang bernama istri saya tadi." Ketika Arham menyebut Nayla masih istrinya, ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul di hati Berlian. Namun, ia tak begitu mempermasalahkan."Baik, Pak." Suster membuka tutup kain itu. Tampak wajah pucat yang sudah tak bernyawa lagi.Yang paling terkejut melihat itu adalah Berlian. Dia sangat mengenal laki-laki itu. Air matanya lirih seketika. Ia teringat Yoga. Lelaki paling baik yang pernah ia temui. "Mas Alby." Air mata Berlian pecah. Ia menutup mulutnya dengan tangan. Suster pun segera menutup kembali dan membawa Alby ke ruang pengurusan jenazah. Lalu, akan menghubungi pihak keluarga. Dari sana, Berlian meminta pihak rumah sakit agar dia bisa ikut mengantar jenazah. Arham mengizinkan. Setelah selesai, jenazah langsung dimasukkan ke dalam mobil ambulans lagi. Di dalam sana, Berlian ikut masuk bersama dua lelaki di bagian belakang. Sepanjang perjalanan, tangisnya pecah dan hanya bisa berdo'a untuk pria ya
"Tapi, Om, saya juga punya tanggungan. Saya punya suami.""Lantas, kenapa suami kamu tidak ikut ke sini? Apakah dia menunggu seseorang di rumah sakit? Suami kamu masih cinta sama mantan istrinya?" Berlian semakin merasakan sesak dalam dadanya. Sejauh ini, ia memang melihat kalau Arham memang masih mencintai Nayla. Namun, Berlian sadar diri. Ia tidak berhak cemburu."Om, Ibu di mana? Berlian kangen sama Ibu? Apakah dia pergi juga?" Demi memendam rahasia kehidupannya, ia mengalihkan pembicaraan. "Ibumu sudah pergi juga." Berlian ternganga. Kelopak matanya berkedip begitu cepat untuk menghalau Air mata yang mengaburkan pandangan lagi. Butiran sebiji jagung mulai runtuh dan semakin sering."Dia menitipkan kamu padaku. Dia meminta maaf padamu. Dia juga sudah menjadi lebih baik sebelum kembali pada Tuhannya. Dia sudah bertaubat, Berlian. Sayang, dia tidak bisa bertemu denganmu di saat-saat terakhirnya." Yoga menceritakan semua.Berlian semakin terisak. Besok, ia meminta Yoga agar mengant
"Dia hanya masih belum terbiasa denganmu. Aku yakin, dengan kamu melebihkan rasa sabar, insyaallah dia pasti akan luluh juga. Tutuplah keburukan itu dengan kebaikan." Malam itu mereka habiskan dengan saling mendukung. Berlian sepakat akan mencoba kembali mendekati Sherina. Tak ada kata mudah sebelum dicoba. Mencoba tak cukup hanya sekali, mungkin kesakitan yang akan kamu dapat di awal. Namun, masih ada harapan untuk berhasil di kemudian hari.*Mobil hitam dengan kaca terbuka berhenti di sebuah halaman yang tampak bersih terawat. Namun, tampak sepi tak berpenghuni. Mereka bertiga turun dari mobil. Arham yang pertama mengetuk pintu setelah bel ia tekan dan tak ada yang membukakan."Assalamualaikum, Nay?" Pria itu berteriak. Di belakangnya, ada gadis yang sudah tak sabar ingin memeluk dan bertemu Nayla. Sudah berkali-kali diketuk, pintu tak juga dibuka. "Kok, Mama enggak buka pintu, ya? Mungkin lagi keluar, Sayang," katanya pada gadis kecil itu. Seketika wajah Sherina meredup. Ia ta
"Papa enggak akan marah, Tante. Pokoknya aku mau ketemu Mama." Terus begitu, Sherina menangis terisak-isak. Ia meronta sampai memukuli Berlian. "Sherina, kita tunggu Papa pulang kerja aja, ya? Tante beneran enggak tau rumah Mama kamu. Tante minta maaf, ya?" Berlian juga terus membujuk. Ia mengajak Sherina yang masih labil itu ke kamar lagi. Memeluknya dengan hangat dan menganggap sebagai anak sendiri. Mencoba menceritakan kisah-kisah dirinya yang berjuang sendiri, dengan sepenuh hati Berlian menenangkan hati gadis kecil itu. Mereka merebahkan diri di atas tempat tidur yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik anak gadis dengan nuansa pinky.Jejak tangis Sherina masih jelas, tetapi dongeng dan sebagian kisah yang Berlian ceritakan belum selesai. Berlian terus menceritakan kebaikan Nayla dan Arham, hingga gadis kecil itu akhirnya tertidur pulas. *"Tante, katanya kita mau ke rumah Mama? Tante tadi sudah janji." Makan malam baru saja dimulai. Berlian kembali membatalkan suapan nasi