Share

Bab 4 Pernikahan impian

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 4

[ Na, aku sudah berhasil. Satu per satu aku mewujudkan impian kita. Aku mewujudkannya untukmu, Na. Aku punya rumah untuk kita, aku punya mobil juga untuk kita dan satu lagi di rumah aku punya kolam renang. Bukankah impianmu dulu punya rumah yang ada kolam renangnya? Kamu mau, kan, hidup bersama denganku? ] Membacanya membuat hatiku semakin teriris. Apa kamu tahu Mas, kamu menceritakan segala impian kita dulu dan kamu mewujudkannya. Sedangkan aku di sini, hidupku dalam kekurangan. Apa aku tinggalkan saja semuanya dan hidup bersamamu? Rasanya aku lelah, capek dengan ini semua.

Tanpa terasa bulir bening sudah mengalir di sudut mata, mengingat betapa berbedanya kehidupanku dan mantan. Aku jadi berandai-andai, kalau saja aku belum menikah mungkin sekarang aku akan langsung mengiyakan permintaan dari Mas Reza. Atau kalau saja dulu aku dan dia tidak berpisah mungkin takdirku akan lain. Tidak kekurangan dan punya mertua seperti sekarang.

Bolehkah aku menyesal? Menyesal dengan keputusanku dulu menerima pinangan Mas Adit yang baru aku kenal selama dua bulan? Padahal jelas aku sudah tahu jika Mas Adit hanyalah seorang kuli di toko bangunan tapi kenapa justru aku jadi terpikat dengan rasa peduli dan perhatian yang diberikannya dulu?

Mas Adit memang penyayang tapi tidak punya banyak uang. Apa aku kurang bersyukur? Kurang bersyukur seperti apa lagi? Aku diam jika Mas Adit memberikan uang untuk ibunya, aku diam ketika ibunya meminta hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan untuk dibeli walaupun memaksa untuk dicicil. Ditambah dengan sikap kakak ipar yang selalu seenaknya.

Seharusnya dulu aku mendengarkan ucapan ibu. Beliau memintaku untuk memikirkan terlebih dahulu ketika Mas Adit akan melamarku.

"Ai, pikirkan dulu masak-masak. Kamu, kan, baru kenal dua bulan, apa kamu juga sudah mengenal keluarganya?" Begitu yang ibu sampaikan dulu, dan bodohnya aku yang tidak mendengar nasihatnya. Berbeda waktu bersama Mas Reza, ibu sangat setuju dengan hubunganku.

Ah, sudahlah daripada menyesali apa yang sudah terjadi lebih baik aku tidur saja. Besok ada hari yang harus aku lewati dengan kekuatan penuh, mungkin juga aku butuh kekuatan ultraman biar lebih kuat. Namun, sebelum aku tidur terlebih dahulu aku hapus semua chat dari Mas Reza dan mematikan tombol data. Aku tak mau jika tiba-tiba Mas Adit membaca chat dari mantanku.

Mataku terbuka saat bunyi alarm dari ponsel berdering dengan nyaring. Menandakan saatnya untuk berperang dengan aneka cucian dan juga peralatan dapur. Di sampingku Mas Adit masih tertidur lelap. Hal yang pertama aku lakukan adalah merendam cucian. Akan tetapi saat akan mengambil sabun yang aku gantung di tembok kamar mandi tidak kutemukan barang itu. Aku ingat betul kalau sabun dengan berat satu kilo itu masih utuh belum aku buka.

"Cari apa?" Pertanyaan dari ibu yang datang tiba-tiba membuatku kaget, hampir saja aku terjatuh saking kagetnya.

"Ibu ngagetin aja, Ai lagi cari sabun. Perasaan kemarin Ai beli terus digantung di sini. Kenapa sekarang nggak ada?" jawab dan tanyaku dengan heran. Tanganku menunjuk pada tempat di mana sabun itu berada.

"Oh, itu … kemarin dibawa sama Ani," jawab Ibu sukses membuatku tambah kaget.

"Maksudnya dibawa gimana ya?" tanyaku untuk memastikan.

"Nih, yang namanya dibawa itu diambil terus dibawa pulang, masa nggak tahu? Katanya guru kenapa lemot?" sewot Ibu.

"Loh, itu, kan Ai yang beli mau buat nyuci kenapa dibawa?" Masih tak kupercaya dengan apa yang dikatakan oleh ibu. Bagaimana bisa sampai sabun saja sampai dibawa sama Mbak Ani. Keterlaluan! Mending kalau dibawa sekalian sama cuciannya, ini cuciannya ditinggal.

"Ani belum gajian, mau nyuci nggak punya sabun, jadi ya diambil itu sabun. Lagian kenapa, sih kalau diambil? Nggak boleh? Pelit amat!" jelas Ibu. Tangannya bersedekap dan tatapannya tertuju dengan tajam padaku. Sabar Ai, ini masih pagi jangan sampai hanya karena sabun jadi ribut.

"Terus gimana Ai mau nyuci kalau kaya gini caranya, Bu?" Masih dengan kata-kata yang lembut aku berusaha berbicara dengan wanita yang belum beruban walau usianya sudah lebih dari setengah abad.

"Ya direndam dulu, nanti dicuci pakai sabun. Nggak tahu juga hal kaya gitu?"

"Masalahnya yang buat rendam cucian raib, mana bisa nyuci kalau kaya gini. Nggak usah diterangin juga Ai bisa nyuci," sungutku kesal.

"Warung jam segini sudah buka, tinggal beli saja kok repot."

"Ai nggak punya uang," jawabku. Sebenarnya masih ada uang sisa belanja kemarin tapi aku alokasikan untuk beli bensin.

"Minta sama Adit."

"Uangnya Mas Adit, kan sudah buat bayar utang Ibu dan itu adalah uang gaji untuk sebulan ke depan. Sekarang uang itu sudah habis, Ai nggak tahu kita mau makan dari mana."

"Makan itu dari mulut. Udahlah, kamu cari sendiri solusinya. Pokoknya yang Ibu tahu, jatah untuk Ibu harus ada dan tidak boleh kurang. Cicilan juga jangan sampai lupa," tandas Ibu.

"Tapi, Bu—"

"Tidak ada tapi-tapian! Cuci baju sekarang, lalu masak!" Setelah itu, Ibu kemudian keluar dari kamar mandi menyisakan aku yang memendam rasa gondok!

Bugh!

Kutendang ember yang sudah berisi air yang sedianya untuk merendam baju sebagai pelampiasan, setelahnya aku keluar dari kamar mandi. Biarlah nanti saja sepulang mengajar aku mencucinya lagian sekarang di samping nggak ada sabun juga aku sudah bad mood.

Beralih ke dapur, aku mulai menanak nasi dan kubuat telur dadar. Menu sederhana tapi lebih tepatnya seadanya. Nyatanya hanya ada telur empat biji di dalam kulkas.

Pukul tujuh kurang lima belas menit aku sudah siap berangkat, keluar dengan tas punggung serta menenteng map kemudian menuju ke ruang makan bersama dengan Mas Adit yang juga sudah siap pergi bekerja.

Masih dengan suasana dingin, aku tidak mengajak Mas Adit bicara apalagi ditambah tragedi raibnya sabun makin dongkol saja hatiku. Kalau ditanya ya aku jawab kalau tidak ya sudah aku diam.

"Ayo sarapan, Dek," ajak Mas Adit, namun hanya kutanggapi dengan anggukan.

Sepiring nasi dengan sepotong telur dadar sudah terhidang. Bertiga, aku, suami serta mertua sarapan bersama.

"Tante …." Teriakan dari luar disertai gedoran pintu terdengar. Bisa aku tebak siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan Dena. Ibu mertua langsung menghentikan makannya, gegas beranjak dan menuju ke pintu.

"Ai, seperti biasa, Mbak titip Dena." Tanpa salam, Mbak Ani langsung mengucapkan, dan tanpa menunggu jawaban dariku dia kemudian pergi. Dan kejadian seperti kemarin juga terulang kembali. Dena masih memakai baju tidur dan tentu saja belum mandi.

Menarik napas berat, aku melepas sendok yang sedianya akan masuk ke mulut.

"Biar Mas aja yang ngurusin Dena. Adek, lanjut saja sarapan," ucap Mas Adit. Mungkin dia mengerti jika aku merasa berat. Gimana nggak berat kalau tiap pagi dititipkan anak yang baru bangun tidur kemudian memandikan dan juga menyediakan makan. Bukannya tidak ikhlas tapi Mbak Ani juga tidak terlalu sibuk. Anaknya baru 1, suaminya juga kerja di bengkel tidak jauh dari rumah dan lagi berangkatnya siang. Lantas, kenapa Dena ke sini belum siap?

Setelah Dena siap, aku kemudian berangkat. Pun dengan Mas Adit yang juga berangkat ke toko bangunan.

Sampai di gerbang anak-anak sudah ramai. Mereka menyambutku dengan meminta untuk bersalaman. Tampak Bunda Izza sedang duduk sendirian dengan ponsel di tangannya, namun tatapannya justru sesekali melirik ke arah gerbang. Mungkin ada seseorang yang sedang dia tunggu.

Hingga jam masuk, Bunda Izza masih tetap berada di tempatnya. Padahal Izza sendiri sudah berbaris siap untuk masuk ke kelas.

"Nah itu dia," celetuk Bunda Izza yang masih bisa kudengar. Bersamaan dengan itu, terlihat dari arah gerbang Zivanna bersama dengan Mas Reza datang.

"Maaf, Bu, Zivanna terlambat," ucap gadis cilik yang diikat dua.

"Nggak apa-apa, ayo masuk barisan," jawabku seraya mengarahkan.

"Maaf, saya terlambat mengantar, tadi macet," imbuh Mas Reza.

"Tidak apa-apa, ini juga baru mau masuk," jawabku, "Zivanna, ayo salim sama Papa nanti masuk ke kelas." Zivanna menurut, dia kemudian mencium punggung tangan Mas Reza dan mengecup kedua pipinya. Setelahnya, Zivanna kembali masuk ke dalam barisan dan masuk ke dalam kelas.

"Kalau begitu, saya permisi masuk ke dalam kelas," pamitku.

"Tunggu, Na!" Duh, kenapa lagi sama Mas Reza, kenapa selalu saja memanggilku Nana.

"Maaf?" tanyaku seraya melirik posisi Bunda Izza berada.

"Ehm, maksud saya Bu Aisyah," ucap Mas Reza meralat, "saya ada keperluan dengan Ibu. Bisakah nanti saya bertemu?"

"Nanti bisa bicarakan di ruangan saya jika menyangkut anak-anak," jawabku.

"Terima kasih. Kalau begitu saya permisi."

"Tunggu, Papa Zi. Dari tadi itu saya nungguin Papa Zi, kenapa malah dicueki?" protes Bunda Izza.

"Ada perlu apa, ya?"

"Mau nebeng sama Papa Zi, motor saya mogok dari tadi sudah tunggu angkot tapi nggak ada yang lewat. Rumah saya di ujung jalan, pas bukan sekalian sama Papa Zi?" Ya ampun, jadi ini alasan dari tadi Bundanya Izza di sini? Dia ingin ikut bersama dengan Mas Reza? Kalau alasannya angkot, aku rasa itu hanya bualan. Harusnya kalau naik angkot tidak menunggu di dalam sekolah, mana mungkin ada angkot yang masuk ke dalam kelas.

Mas Reza berdiri mematung, mungkin dia sedang bingung dengan permintaan Bunda Izza atau justru dia sedang senang? Entahlah.

"Ayo, Papa Zi." Bunda Izza berdiri sejajar dengan Mas Reza dan setelahnya menarik lengan Mas Reza untuk berjalan bersama. Berjalan seakan terpaksa sesekali Mas Reza menengok ke arahku.

Setelah itu kegiatan mengajar berlangsung. Ada rasa tersendiri ketika berinteraksi dengan anak-anak. Banyak tingkah polos mereka yang membuatku melupakan sejenak peliknya hidup.

Ting

Satu pesan masuk ke ponselku.

[ Na, tolong … aku ingin bicara sama kamu. Sepulang sekolah nanti, aku jemput kamu. Jangan bicara di ruangan kamu, ya …. Tolong ] Pesan dari Mas Reza tidak lupa diberi emot memohon di akhir kalimat.

[ Maaf, nggak bisa ]

[ Ya sudah pokoknya nanti aku tungguin kamu di depan sekolah sampai kamu keluar ]

[ Kalau aku tetap nggak mau gimana? ]

[ Gampang, tinggal aku masuk ke sekolah terus nungguin kamu di depan kelas. Sekalian saja aku ngomong di depan guru yang lain ]

[ Kamu masih sama, sukanya ngancam ]

[ Cintaku juga masih sama. Hanya untuk kamu ]

[ Gombal! ]

[ Siapa yang gombal? Pokoknya nanti aku jemput. Titik! ]

[ Nggak usah, ketemu saja di kios bakso kemarin jam 2 ]

[ Yess. Aku tunggu ]

Keputusan untuk menemuinya akhirnya aku ambil daripada dia nekad menunggu di sekolah.

Waktu untuk pulang tiba, untung saja Dena tadi dijemput oleh Mbak Ani. Segera, aku menuju ke motor matic milikku. Rasanya hatiku berdetak tidak karuan saat ini. Kios bakso menjadi tujuanku.

Sampai di depan kios ternyata justru malah tutup. Mesin motor yang sudah mati dihidupkan kembali, niatku ingin berbelok pergi dari kios. Namun, seseorang justru mengagetkanku.

"Mbak disuruh masuk sama Pak Reza," ucap wanita yang memakai celemek di dada.

"Tapi kiosnya tutup," jawabku ragu.

"Nggak kok, nggak tutup. Tadi ada perbaikan di rolling door jadi ditutup sementara," jelasnya, "ayo masuk."

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menurut mengikuti langkah wanita itu. Rolling door dibuka sedikit kemudian wanita itu mempersilahkan aku untuk masuk.

Alangkah terkejutnya aku begitu masuk ke kedai. Ruangan yang waktu itu masih berwarna putih polos kini sudah berhias aneka pita besar dan bunga-bunga di setiap sudut. Tepat di hadapanku sudah terbentang karpet merah dengan kanan dan kiri juga dihias mawar merah. Sungguh, aku jadi teringat akan sesuatu.

"Apa ini mirip sama impian pernikahan kamu?" Baru saja aku mengingat, sudah ada seseorang yang berbisik persis dengan yang aku pikirkan. Pernikahan impian dengan karpet merah membentang dan tentu saja mawar merah kesukaan. Sayangnya, pernikahanku dulu hanya pernikahan sederhana sebatas keluarga yang datang.

Mataku semakin terpesona ketika lampu yang tadinya menyala dengan terang kini dimatikan. Lampu hiasan aneka warna menyala, serta musik khas pernikahan seperti di film-film diputar menambah suasana semakin romantis. Aku terlena, saat Mas Reza meraih tanganku, membimbingku melewati karpet merah. Persis seperti sepasang pengantin yang tengah berbahagia.

"Aku mencintaimu, Nana … maukah kamu hidup bersamaku? Kita wujudkan impian kita menjadi keluarga yang bahagia, bersama anak-anak kita nanti."

Apa yang harus aku jawab?

🌹🌹🌹

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status