Share

Bab 5 Masa lalu

Author: Sarinah
last update Last Updated: 2022-09-07 23:18:16

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 5

Aku terlena, saat Mas Reza meraih tanganku, membimbingku melewati karpet merah. Persis seperti sepasang pengantin yang tengah berbahagia.

"Aku mencintaimu, Nana … maukah kamu hidup bersamaku? Kita wujudkan impian kita menjadi keluarga yang bahagia, bersama anak-anak kita nanti."

Apa yang harus aku jawab?

Imajinasiku Mas Reza mengatakan hal itu, akan tetapi nyatanya Mas Reza hanya berdiri di sampingku. Dia tidak meraih tanganku, ketika melihat ke bawah kedua tanganku masih dalam posisi semula. Sialan, bagaimana mungkin aku bisa membayangkan sejauh itu? Sadar Ai, sadar …. Aku bermonolog dengan diriku sendiri sampai kupukul kepalaku agar otakku tidak oleng seperti tadi.

“Na, ayo,” ajak Mas Reza.

“Ke mana?” tanyaku heran.

“Ayolah.” Sedikit memaksa, Mas Reza menarik tanganku. berjalan melewati karpet merah dengan hiasan pada kanan dan kiri bunga mawar kini aku sudah sampai di sebuah meja dan kursi yang juga sudah tertata sedemikian rupa. Mas Reza kemudian menarik salah satu kursi dan memintaku untuk duduk. Tidak lama setelahnya, Mas Reza juga duduk berseberangan denganku.

“Na, maaf … aku dulu gagal mewujudkan pernikahan impianmu. Sekarang aku menggantinya. Ya … walaupun bukan pernikahan secara nyata tapi jujur sekarang aku sangat senang, membayangkan jika seandainya hal itu nyata terjadi,” ucap Mas Reza panjang lebar. Mulutku rasanya terkunci tidak bisa berkata sepatah kata pun. hanya mendengarkan dengan seksama apa yang Mas Reza katakan. Dari manik matanya bisa kulihat jika saat ini dia sedang menatapku lekat. Aku jadi merasa salah tingkah dibuatnya. Segera aku menunduk menghindarinya.

Tidak lama setelahnya, Mbak yang tadi aku bertemu saat masuk kini menghidangkan makanan untuk kami.

"Silahkan dinikmati. Ini pertama kalinya, kedai bakso disulap jadi seperti ini. Rasanya ini seperti di film-film," ujarnya seraya menatap ke sekeliling dengan senyuman mengembang.

"Terima kasih juga, Mbak, sudah diijinkan untuk sewa kedai ini," sahut Mas Reza.

"Tentu saja diijinkan. Sekaligus aku juga doakan kalian supaya langgeng, dan secepatnya menuju pelaminan. Jangan lupa, nanti undang aku, ya …. Atau, nanti pesan baksoku pas acara. Tenang aja, aku kasih harga khusus untuk kalian," lanjutnya dengan berapi-api. Aku tidak menimpali, justru aku bingung dengan ucapannya.

"Pastinya," jawab Mas Reza. Lantas wanita yang setelah diketahui adalah pemilik dari kedai bakso itu kemudian pergi dan kini meninggalkan kembali aku dan Mas Reza yang duduk berdua di meja dengan semangkok bakso di depan kami. Aromanya menguar membuat perutku keroncongan tapi justru rasa itu hilang mengingat aku berada seperti di tempat yang salah.

"Mas, ini maksudnya apa?" Akhirnya aku bertanya setelah dari tadi aku diam. Diamku itu antara bingung terpesona dengan semua yang dilakukan Mas Reza dan juga apa tujuannya. Aku tidak berani menebaknya tentang tujuannya, apa mungkin dia akan melamarku? Itu sebenarnya hal yang aku inginkan. Dulu. Kalau sekarang … walaupun aku menginginkannya, sepertinya itu mustahil bukan mustahil untuknya tapi mustahil untukku. Aku sadar diri akan statusku. Aku adalah seorang istri dari Mas Adit. Walau bagaimanapun juga dia suamiku.

"Mas …." Aku mengulangi pertanyaanku karena pertanyaan awal ku tidak digubris oleh Mas Reza dia justru tersenyum dan menatapku lebih lekat. Tangannya digunakan untuk menopang dagunya dan tatapan tajamnya seperti terhunus ke dalam jantungku. Ah, tatapan itu … tatapan itu yang dulu membuatku tersipu, membuatku semakin hanyut dalam rasa cintanya, tapi sekarang aku tidak boleh tergoda dengan tatapannya tapi aku juga tidak memungkiri jika aku merindukannya. Aku rindu tapi ini adalah hal yang terlarang. Tidak … tidak aku tidak boleh ikut menatapnya.

Sebisa mungkin aku melawan desiran aneh yang timbul di dalam dada. Desiran yang lagi-lagi timbul seperti saat dulu bersama.

"Mas, coba terangkan apa maksud dari ini semua."

"Makan dulu baksonya, Na …," jawab Mas Reza.

"Nggak! Jawab dulu pertanyaanku!"

"Nana, makan dulu nanti pasti aku jelasin. Kasihan, tuh, baksonya sudah melambai-lambai."

"Lagi diet, nggak makan bakso!" sahutku ketus. Gimana ini, sih, orang sudah penasaran malah disuruh makan bakso.

"Jangan diet, aku nggak suka. Nanti pipi kamu nggak tembem lagi. Kamu itu imut, apalagi kalau pipimu tambah tembem."

"Kok jadi ngelarang? Memangnya siapa kamu?" tanyaku masih dengan herannya. Mataku menyipit melihat dengan lebih jelas laki-laki yang tersenyum manis padaku.

"Aku? Aku adalah laki-laki yang menyimpan berjuta cinta untukmu," jawabnya semakin membuatku heran. Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu padaku.

"Kalau cinta kenapa kamu tinggalin aku dulu? Kalau cinta, kenapa kamu memilih wanita lain? Kalau cinta kenapa kamu menyakitiku?" Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulutku. Entah bagaimana bisa aku aku mengatakannya yang jelas kata-kata itu keluar dari hatiku. Pertanyaan yang ingin aku sampaikan dulu dan sekarang baru bisa aku menyampaikannya.

"Na, maaf aku memang salah, tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku," jawab Mas Reza. Dia kemudian mendekat, kursi digeretnya hingga duduk di sampingku tidak lagi duduk berhadapan.

"Kenapa, Mas? kenapa kamu dulu tinggalin aku? Dan sekarang dengan entengnya kamu kembali masuk ke kehidupanku." Aku berkata dengan menunduk dan tanpa terasa bulir bening ini sudah jatuh di pipi.

"Apa Mas tahu kalau aku dulu hancur saat ditinggal begitu saja sama, Mas? Bahkan ingin rasanya aku mengakhiri hidup saat itu?" Lirih aku mengatakan berbarengan dengan isakan yang keluar.

"Na … maaf …."

"Apa yang perlu dimaafkan, Mas? Maaf karena sudah berhasil membuatku hancur atau maaf karena baru kali ini datang kembali?" tanyaku sendu.

"Bukan itu, Na … ada hal yang tidak kamu ketahui tentang alasan kenapa aku dulu bisa meninggalkan kamu begitu saja," jawab Mas Reza, "kamu tahu, rasanya aku jauh lebih sakit daripada yang kamu rasakan."

Hening, kini tidak ada yang bersuara. Apalagi aku yang masih sibuk dengan air mata dan pikiranku sendiri. Kenapa juga aku harus mengingat masa lalul, masa lalu yang begitu menyakitkan dan kini justru hadir kembali.

"Na, kamu harus tahu kenapa aku dulu meninggalkanmu. Aku juga nggak ingin, Na … tapi aku terpaksa." Mas Reza menjelaskan dan tentu saja berhasil membuatku mengalihkan perhatian. Mas Reza semakin mendekat, tangannya hendak mengusap air mata di pipi tapi secepatnya aku menepis dan aku melakukannya sendiri.

"Jangan nangis, Na … aku paling tidak sanggup melihat wanita yang aku cintai menangis," ucapnya.

"Bohong! Kamu justru sudah lebih dari membuatku menangis, bahkan air mataku sampai kering saat kamu meninggalkan aku dulu!" sentakku.

"Na, dengarkan aku baik-baik. Aku terpaksa meninggalkan kamu, semua demi keluarga, demi ibu demi ayah," papar Mas Reza. Aku mendongak, dengan wajah yang masih sesenggukan aku melihat dengan jelas jika sekarang Mas Reza sedang menyeka sudut matanya.

"Aku dijodohkan, Na …."

"Aku tahu, dan kamu menerimanya dengan senang hati terus meninggalkan aku. Berapa tahun kita bersama nyatanya mungkin sudah membuat kamu bosan dan meninggalkan aku begitu saja. Dan alasan perjodohan pas dijadikan sebagai alasan, bukan begitu, Mas?" Aku menekankan pada bagian perjodohan agar dia jelas dengan apa yang aku sampaikan.

"Na, demi Tuhan aku tidak seperti itu. Kalau aku bisa aku sudah menolaknya, tapi apa kamu tahu aku menikah di mana? Aku menikah di rumah sakit, Na, di depan ayahku yang sedang kritis. Bisa apa aku? Demi ayah aku melakukannya, demi ayah agar bisa diobati, tapi nyatanya setelah aku menikah justru ayah pergi meninggalkanku. Apa itu bukan hal yang menyakitkan? Aku sakit, Na, bukan cuma kamu!" Kali ini aku yang terkejut dengan penjelasan Mas Reza, yang aku tahu hanya Mas Reza meninggalkan aku karena menerima perjodohan kemudian menghilang tanpa jejak.

"Tidak ada hari yang tidak ada nama kamu di hati aku, Na. Aku hidup dalam rasa bersalah, aku hidup dengan rasa ingin menemuimu, aku hidup dengan rasa ingin menjelaskan semuanya kepadamu tapi aku nggak bisa."

"Kenapa kamu nggak mengatakannya?" Lirih, aku bertanya.

"Setelah akad nikah, aku pergi ke luar negeri. Mertuaku yang memintanya untuk mulai mengembangkan bisnis di sana. Aku sudah berusaha menolaknya tapi aku tidak bisa," terang Mas Reza, "aku melakukannya demi ayah, Na … demi ayah …."

Sesenggukan Mas Reza menjelaskan, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hatiku yang tadinya bergemuruh karena emosi kini justru merasa iba dengan apa yang dirasakan Mas Reza. Aku tahu benar bagaimana kehidupan Mas Reza dulu. Orang tuanya hanya pegawai biasa. Sama sepertiku yang harus kuliah dengan modal pas-pasan.

Apalagi ketika kami berpacaran, makan bersama di restoran jadi hal yang mewah dan hanya bisa dihitung dengan jari. Aku maklum, karena aku sadar orang tua bersusah payah membiayai kuliah bukan untuk berfoya-foya.

"Na, apa kamu tahu saat melihat kamu lagi rasanya perasaanku sangat gembira? Seperti saat kita dulu waktu di kampus." Mas Reza mengingatkan bagaimana dulu aku dan dia saat masih sama-sama menjadi mahasiswa. Tidak ada hari yang terlewati sendirian, selalu berdua. Bahkan, mahasiswa lain selalu bilang di mana ada Nana di situ ada Reza.

"Nanaku mana?" Mas Reza selalu bertanya pada teman-teman jika tidak mendapati ku di ruang kelas. Selalu Mas Reza akan bilang Nanaku tapi jika ada orang lain yang memanggil Nana tidak diijinkan.

"Hanya aku yang boleh memanggilnya Nana, kalian tidak! Ini Nanaku, milikku." Begitu yang diucapkan Mas Reza ketika ada orang lain yang ikut memanggilku Nana.

"Na, apa kamu mau kembali seperti dulu?" Pertanyaan dari Mas Reza mengagetkan lamunanku, bersamaan dengan itu dering telepon terdengar dari ponsel yang ada di dalam tas. Segera aku menjawab panggilan yang ternyata dari ibu. Beliau memintaku untuk segera pulang.

"Maaf, Mas, aku harus pulang." Gegas, aku segera meraih tas punggung yang sedari tadi ada di pangkuan dan beranjak.

"Tapi, Na–"

"Aku harus pulang," tandasku. Dari nada bicara Ibu di telepon bisa aku tebak jika saat ini Ibu sedang murka. Entah apa sebabnya. Aku sedang tidak mau ribut jadi lebih baik aku pulang saja.

"Aku antar, ya," ajak Mas Reza.

"Tidak, aku bawa motor."

"Kalau begitu, nanti aku chat."

Aku tidak menjawab, gegas aku melangkah keluar dari ruko. Namun, saat membuka rolling door, justru aku kaget dengan sosok yang berdiri di depan pintu.

"Mas A–dit."

🌹🌹🌹

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 80 Jalankan rencana

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 79 Aku mau kembali

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 78 Modus

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 77 Ibu peri ngambek?

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 76 Hilangnya nurani

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 75 Kita ke pengadilan

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status