Share

Bab 7 Ultraman

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 7

"Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Adit. Aku mengangguk seraya tersenyum.

"Beneran?" Lagi, Mas Adit bertanya.

"Iya, Mas, aku hamil. Dua garis pada alat itu artinya aku sedang hamil."

"Tidak bisa! Kamu harus gugurkan!"

Suara lantang dari arah pintu sungguh membuatku kaget. Pun dengan Mas Adit yang seketika berdiri. Aku berbalik dari posisi yang tadinya membelakangi pintu kini jadi semakin jelas melihat siapa yang datang.

Ya, wanita dengan memegang gelas besar berisi teh itu adalah ibu. Beliau meletakkan gelas itu di atas meja dan mendekat. Langkah demi langkah membuat posisi kami semakin seakan tidak ada jarak.

Tanpa aku duga, beliau kemudian dengan cepat merebut alat tes kehamilan yang berada di tangan Mas Adit dan meremasnya. Aku tahu jika selama ini Ibu melarangku untuk hamil, tapi aku juga punya naluri. Setiap hari aku bersama anak-anak, setiap hari aku mendengar celotehan mereka, setiap hari juga aku melihat tingkah laku menggemaskan mereka. Bagaimana aku tidak iri melihat semua itu?

"Bu, sebentar lagi Ibu akan punya cucu," ucapku dengan berbinar. Aku berharap Ibu akan luluh jika mendengar kabar inu langsung dariku.

"Tidak sudi aku punya cucu!" Kata-kata Ibu begitu jelas terdengar di telinga. Seketika itu juga perasaan kecewa hadir.

"Kenapa, Bu?"

"Kamu masih tanya kenapa? Lihat diri kamu baik-baik! Apa kamu punya waktu untuk merawatnya nanti? Apa kamu punya uang untuk membiayainya nanti? Punya uang juga nggak sok-sokan mau punya anak, dikira punya anak itu nggak butuh banyak biaya, hah?! Satu lagi, aku nggak mau direpotkan dengan titipan bayi apalagi jika harus mendengar tangisan bayi setiap malam. Brisik!" Astaga, jadi karena itu alasan ibu melarang punya anak? Lagi-lagi tentang uang.

"Tapi Ai sudah hamil, Bu."

"Gugurkan! Kaya gitu aja kok repot!" Ibu menjawab dengan entengnya.

"Astaghfirullah hal adzim, tega sekali Ibu?!"

"Loh, kenapa? Yang tega itu kamu! Sudah tahu ekonomi kurang tapi masih nekad punya anak. Bukankah selama ini Ibu sudah memintamu untuk meminum pil KB? Kenapa bisa kebobolan?" cecar Ibu. Matanya kini menelisik padaku. Sedangkan aku … perasaanku sudah hancur saat ini. Kebahagiaan yang tadinya sangat tergambar jelas seketika sirna dengan ucapan dari ibu mertua.

"Atau kamu memang sengaja tidak meminumnya?"

"Kalau iya, kenapa?" jawab dan tanyaku langsung.

"Dasar pembangkang!"

"Stop!" Mas Adit bersuara. Laki-laki yang sedari tadi diam itu akhirnya mendekat dan kini berada di tengah-tengah antara posisi aku dan Ibu.

"Apa kalian tidak bisa sehari saja tidak bertengkar? Rasanya telinga ini panas dan tidak ada ketenangan di rumah ini," kata Mas Adit. Pandangannya sesekali ke arahku dan sesekali berpindah ke arah Ibu.

"Ibu juga sama, Dit. Kamu tahu sendiri kalau Ibu itu nggak suka dengan pertengkaran, tapi istri kamu ini, loh, selalu memancing keributan," ujar Ibu membuatku tak percaya. Bagaimana bisa Ibu bilang jika beliau tidak suka pertengkaran dan bilang jika aku yang memancing emosi.

"Jadi begitu, Bu? Aku yang selalu memancing emosi? Terus yang tiba-tiba datang ke sini dan melarangku untuk punya anak siapa?"

"Aku! Memangnya kenapa? Pokoknya gugurkan kandungan kamu, titik!"

"Tidak akan pernah. Titik!"

"Berani kamu sama Ibu, hah?!"

"Tentu saja. Aku akan berani jika aku tidak bersalah dan satu lagi, ini anakku akan aku jaga dia dari makhluk yang berani mengganggunya. Makhluk astral memang tidak suka sama bayi."

"Apa kamu bilang? Makhluk astral? Kamu pikir ibu makhluk astral?"

"Ai tidak pernah bilang Ibu adalah makhluk astral tapi Ai bilang jika makhluk yang mengganggu bayi. Sekarang, tanyakan pada diri ibu sendiri Ibu ganggu apa tidak?" Ibu menatapku dengan nyalang, wajahnya merah padam dan bisa aku dengar jika nafasnya kini memburu. Terlihat dari dadanya yang naik turun tidak beraturan. Sedangkan aku … aku berusaha meredam emosi yang sudah timbul sejak awal. Aku manusia biasa yang akan mempertahankan apa yang aku punya. Termasuk sekarang, sekuat tenaga aku akan pertahankan janin yang kini ada di perut.

"Sudah berhenti! Tolong kalian jangan bertengkar lagi. Rasanya kepalaku mau pecah mendengar kalian yang terus bertengkar. Bu … tolong keluar dari kamar, biar Adit yang bicara sama Ai," ucap Mas Adit. Dia kemudian mengusap bahu ibunya lembut dan membalikan badannya. Kemudian perlahan menuntunnya untuk keluar dari kamar.

"Dit, tolong kamu bilangin sama istri kamu itu biar lebih sopan sama Ibu. Hati Ibu rasanya sangat sakit, Dit. Seumur-umur Ibu baru pernah diperlakukan kayak gini. Kamu dan Ani tidak pernah sekalipun membentak sama Ibu, tapi mantu Ibu justru sudah sangat berani." Ibu masih berkata pada anaknya sembari melangkah, dan tentu saja aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas.

"Iya, Bu … iya. Sekarang, Ibu ke kamar dulu istirahat."

"Pokoknya bujuk istri kamu biar mau gugurkan kandungannya. Bukannya Ibu jahat, Dit, tapi Ibu justru kasihan sama kalian. Mau dikasih makan apa anak kalian nanti kalau kalian saja masih kekurangan? Gaji kamu masih pas-pasan, Dit. Coba pikirkan dengan baik." Ibu masih berusaha membujuk, tidak … lebih tepatnya mempengaruhi pikiran dari Mas Adit, tapi aku yakin jika Mas Adit masih punya hati dia pasti akan mendukungku.

"Nanti Adit bilang sama Ai, Bu …."

Apa? Apa maksudnya? Apa artinya Mas Adit akan mendukung Ibunya? Tidak, itu tidak mungkin terjadi. Mas Adit sama sepertiku, ingin secepatnya punya anak.

Dua orang itu kemudian keluar dari kamar menyisakan aku yang masih berdiri mematung. Meratapi bagaimana tadi aku membayangkan dengan indah jika kabar bahagia ini juga akan disambut dengan kebahagiaan, tapi nyatanya justru tidak.

Kesal, aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang, mengusap perutku yang masih rata dan berandai-andai bagaimana perut ini nantinya akan semakin membesar.

Tenang, Nak, Bunda akan selalu menjagamu. Bunda tidak akan membiarkan sesuatu menyakitimu. Batinku.

"Dek," ucap Mas Adit yang kini sudah duduk di sampingku.

"Apa?!"

"Adek, marah?"

"Menurut, Mas?"

"Maaf, Dek … maafkan sikap Ibu. Nanti Mas, akan membujuknya."

"Memangnya bisa? Bukannya Mas akan selalu menuruti keinginan Ibu?" tanyaku tidak yakin dengan ucapan dari Mas Adit. Aku menatap manik mata hitam miliknya, mencoba mencari pembenaran atas kata-katanya. Namun, Mas Adit justru merangkulku dan membawanya dalam pelukan.

"Adek tahu, jika Adek dan Ibu adalah dua wanita yang sangat, Mas cintai? Kalian adalah sumber kebahagiaan, Mas. Jika kalian selalu bertengkar rasanya hati Mas itu sakit," ucapnya, "sebisa mungkin Mas akan penuhi keinginan kalian."

"Termasuk jika aku harus menggugurkan kandungan ini?" Aku mengurai pelukan dan beralih memandang ke wajah suami. Wajah yang tampan dengan hidung mancung yang membuatnya semakin mempesona. Rahangnya kokoh serta yang paling aku suka adalah matanya yang teduh.

Mas Adit diam, tidak menjawab pertanyaan dariku. Pandangannya juga menunduk, apa itu artinya dia juga kan memenuhi permintaan dari Ibu?

"Apa Mas, tidak bahagia jika aku hamil?" cecarku, "jawab, Mas!"

"Bukan, bukan begitu, Dek. Mas sangat bahagia. Sebentar lagi, Mas akan menjadi seorang ayah, tapi … yang dikatakan oleh Ibu ada benarnya juga."

"Maksud, Mas?"

"Ya, kita belum punya penghasilan yang mencukupi untuk anak kita nanti."

"Mas! Anak itu bawa rejeki masing-masing, dan lagi siapa yang bilang penghasilan kita tidak mencukupi? Yang membuat kita selalu kekurangan adalah gaya hidup ibu," jelasku yang sudah mulai kembali terbawa emosi. Bisa-bisanya suamiku sendiri berpikiran sama dengan ibunya.

"Apa-apa sukanya dibeli tapi tidak melihat kondisi keuangan, memaksakan membeli walaupun dengan cara berhutang yang ujung-ujungnya dibebankan pada kita. Coba kalau Ibu nggak kaya gitu, tiap bulan tidak akan pusing dengan tagihan dan cicilan."

"Tapi beliau ibuku, satu-satunya orang tua yang aku punya, Dek. Sebisa mungkin aku akan menuruti keinginannya."

"Termasuk membunuh darah daging kamu sendiri, Mas?" tanyaku penuh penekanan. Tanpa terasa air mata sudah mengalir di pipi, rasanya begitu pedih dan sakit hati ini.

"Bukan begitu, Dek, jangan salah paham."

"Kalau begitu apa? Jelaskan padaku!"

"Mas … mas–"

"Mas apa? Mau bilang, kalau Mas nggak bisa menolak keinginan Ibu?"

"Dek, dengarkan Mas baik-baik dulu."

"Sekarang begini saja, kita pindah dari rumah ini. Bagaimana?"

"Nanti bagaimana dengan Ibu?"

"Nah, kan, sudah aku duga jika Mas tidak akan mau. Sudahlah, Mas … aku capek bicara sama Mas. Jadi laki-laki kok lembek banget. Suami itu harusnya lindungi istri, lindungi anak, ini malah nggak! Sana, minta kelonin sama Ibu atau minta ngempeng saja sekalian!" kataku dengan nada yang cukup tinggi. Tidak bisa lagi aku berkata-kata pada laki-laki yang kini hanya bisa menunduk. Selalu sikapnya seperti ini, setidaknya sebagai laki-laki ada ketegasan darinya. Ini malah tidak.

Menaikkan kedua kaki, aku kemudian tiduran dengan membelakangi posisi suami yang saat ini masih duduk. Lantas aku kemudian mengambil ponsel milikku.

Siapa pelindungku?

Sebagai bentuk kekecewaan aku membuat status pada W******p. Sebenarnya aku tipe orang yang jarang sekali membuat status tapi rasanya kali ini aku ingin mengungkapkan apa yang aku rasa walaupun tidak secara langsung. Setelah itu aku kemudian meletakkan kembali ponsel dan mulai memejamkan mata.

Entah berapa lamanya, mata ini terpejam. Aku terbangun kemudian melihat ke arah layar ponsel milikku. Sudah tengah malam rupanya. Mataku menyipit melihat banyak sekali pesan yang masuk. Satu per satu pesan aku buka, rata-rata dari teman sesama guru yang justru berkomentar pada status yang aku buat.

[ Tumben, Bu Ai bikin status ] Begitu rata-rata isi pesannya. Berbeda dengan satu nomor yang memberikan komentar berbeda.

[ Aku akan selalu jadi pelindung untukmu. Ceritakan padaku, Na, ada apa? Setidaknya jadikan aku sahabatmu. Jangan pernah menyimpan masalahmu sendiri. ]

[ Na ]

[ Nana ]

[ Hey, Ultraman sudah datang. Sudah siap melindungi. Katakan di mana monster jahat yang sudah berani menggangu Nanaku? ]

[ Nana … jangan biarkan Ultraman nganggur ]

Rentetan pesan dari Mas Reza cukup membuatku tersenyum. Selalu saja dia bisa menghiburku, sama seperti dulu.

Rasa haus yang memaksaku untuk segera bangkit dan meletakkan kembali ponsel pada tempatnya. Secepatnya aku beranjak dan melangkah menuju ke dapur. Namun, baru saja aku melangkah keluar kamar, lamat-lamat aku mendengar suara orang yang sedang mengobrol. Sepertinya itu dari arah ruang tamu.

Penasaran, akhirnya aku mengikuti sumber suara. Benar saja, ternyata memang ibu mertua dan Mas Adit yang sedang berbincang. Dari balik tembok aku bisa mendengar jika namaku disebut. Aku mendekat tapi tidak sampai terlihat oleh mereka, menajamkan pendengaran aku mendengarkan dengan baik apa yang mereka bicarakan.

"Dit, bujuk itu istrimu untuk mau menggugurkan kandungannya."

"Maaf, Bu, tapi Adit juga pengin punya anak."

"Iya, Ibu tahu, Ibu ngerti … apa kamu pikir Ibu nggak pengin punya cucu? Ibu itu pengin banget punya cucu, Dit, tapi Ibu juga nggak mau cucu Ibu menderita. Coba nanti kalau anak kamu lahir terus kamu nggak sanggup belikan dia susu, apa kamu nggak kasihan?"

"Tapi, Bu–"

"Kamu, kan, bisa punya anak lagi, Dit. Nanti kalau kamu sudah berkecukupan kamu program lagi sama Ai biar bisa punya anak. Jadi, anak kamu bahagia, tidak kekurangan. Benar, 'kan?"

"Nanti Adit pikirkan, Bu."

"Jangan dipikirkan nanti, pokoknya kamu harus berhasil membujuk Ai. Kamu bisa kan?"

"Iya, Bu."

Apa? Mas Adit mengiyakan? Itu artinya, Mas Adit setuju dengan Ibunya untuk menggugurkan kandunganku? Keterlaluan kamu, Mas!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status