Share

Bab 6 Keterlaluan

Author: Sarinah
last update Last Updated: 2022-09-08 08:25:59

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 6

Aku tidak menjawab, gegas aku melangkah keluar dari ruko. Namun, saat membuka rolling door, justru aku kaget dengan sosok yang berdiri di depan pintu.

"Mas A–dit."

Mati aku! Bagaimana kalau Mas Adit tahu apa yang terjadi di dalam? Batinku.

Laki-laki yang memakai kaos kerah berwarna biru dengan nama toko bangunan tercetak lingkaran di dada itu menatapku lekat. Pun denganku yang yang dilanda rasa panik dan gugup. Baru kali ini aku merasakan seperti ini. Mungkin seperti ini rasanya ketika maling akan tertangkap tapi aku bukan maling tentunya. Aku hanya takut jika suamiku mengetahui apa yang terjadi di dalam walaupun aku tahu aku tidak melakukan apa pun. Salahku hanya bertemu dengan Mas Reza yang ternyata adalah mantanku, itu saja.

Aku tidak selingkuh … iya aku tidak selingkuh kenapa aku harus takut? Aku hanya takut jika Mas Adit salah paham.

"Dek, lagi ngapain di sini?" tanya Mas Adit. Matanya mulai menelisik ke dalam kios yang pintunya masih sedikit terbuka.

"A–anu, itu–"

Dapat aku lihat jika dahi Mas Adit berkerut sementara aku justru keringat dingin sudah mulai menetes. Ayo dong, mikir … cari alasan yang tepat bagaimana aku bisa ada di sini. Perintahku pada diriku sendiri.

"Anu apa, Dek? Kok mukanya pucet gitu? Adek sakit?" Tangan Mas Adit terulur, menempelkannya pada keningku. "Nggak demam."

"Aku nggak sakit, Mas. Mas sendiri lagi ngapain di sini?" Aku berusaha mencairkan perasaan.

"Mas tanya aja belum dijawab ini malah udah balik tanya. Kenapa Adek ada di sini? Kenapa belum pulang?"

"Oh, besok ada acara di sekolah terus aku disuruh pesan bakso buat besok," jawabku bohong.

"Tapi kiosnya tutup," kata Mas Adit.

"Iya, tapi pemiliknya ada kok di dalam. Makannya aku tadi masuk," kilahku. Entah bagaimana aku begitu lancar memberikan jawaban bohong. Seumur-umur kayaknya baru kali ini aku memberikan jawaban yang tidak benar pada suamiku.

"Benarkah? Kalau begitu, ayo kita makan bakso bareng," ajak Mas Adit yang tentu saja berhasil membuatku semakin gugup.

"Aku yang bayar, Dek," lanjut Mas Adit. Dia kemudian melangkah maju mendekat ke arahku. Gawat, kalau dia sampai masuk maka aku bisa ketahuan. Mas Reza masih di dalam dan ruangan kios juga masih dihias.

"Mas, baksonya udah habis," ucapku seraya mendorong dada Mas Adit.

"Habis? Gagal, deh, makan bakso," jawab Mas Adit.

"Makan di rumah saja, yuks," ajakku seraya menggandeng tangan Mas Adit.

"Ayo."

"Ngomong-ngomong, Mas kenapa ada di sini?"

"Oh, itu di sebelah kios kan mau di renovasi. Mereka pesan bahan bangunan terus Mas yang antar," sahut Mas Adit, "kita pulang bareng, ya, nanti biar Eko yang bawa mobilnya."

"Terus motornya gimana?"

"Nanti ke toko dulu, Mas ambil motor." Aku setuju dengan usulan Mas Adit. Biar saja mobil pick up yang memuat bahan bangunan dibawa Eko—teman kerja Mas Adit.

Ada perasaan lega ketika Mas Adit tidak mengetahui tentang apa yang terjadi di dalam kios, namun rasa bersalah justru lebih besar dari rasa lega yang aku rasa. Harusnya aku bisa mengendalikan perasaanku, harusnya aku tidak larut kembali pada masa lalu. Laki-laki di sampingku adalah masa depanku bukan dia yang hadir dari masa lalu.

Maaf, Mas …. Hanya itu yang bisa aku katakan walau hanya dalam hati.

Sampai di rumah, aku sudah sampai duluan. Tadi Mas Adit ambil dulu motornya di toko dan aku langsung pulang tidak menunggunya. Rasa penat langsung membawaku berbaring di ranjang setelah sebelumnya melepas tas punggung dan sepatu. Bayangan kejadian di kios menari-nari di pikiranku. Berbagai pertanyaan juga muncul tentang apa saja yang Mas Reza katakan.

Jika benar apa yang sudah Mas Reza katakan berarti memang benar jika bukan hanya aku yang menderita karena perpisahan, tapi dia juga. Ah, sudahlah buat apa aku memikirkannya. Toh, ini semua sudah terjadi, menyesal juga apa yang harus disesali?

"Bagus, ya, pulang-pulang langsung tiduran!" Suara itu seketika membuyarkan pikiranku. Gegas, aku bangun dan duduk.

"Maaf, Bu, Ai lelah," ucapku.

"Lelah? Lelah habis ngapain? Nyanyi? Atau ngasuh anak orang?" cibir Ibu. Seperti biasa jika Ibu sudah mencibirku bibirnya akan mulai komat-kamit mengeluarkan seribu umpatan.

"Kerja nggak ada gajinya aja masih dilanjutkan. Mending kamu kerja kaya Ani. Biarpun dia cuma pembantu tapi setidaknya gajinya lebih gede daripada kamu!" Entah sudah keberapa ratus kalinya Ibu berkata seperti itu. Selalu membandingkan pekerjaanku dan Mbak Ani.

"Bu, kalau gaji Mbak Ani lebih gede, kenapa hp sampai dibelikan, kenapa makanan di sini sering dibawa sampai sabun saja dibawa?"

"Oh, jadi kamu mau perhitungan? Nggak ikhlas maksud kamu?" Ibu mendekat, dan matanya sudah melotot seakan ingin memakanku hidup-hidup.

"Bu, Mbak Ani kerja, suaminya juga kerja. Katanya gajinya lebih gede dari aku kenapa malah minta? Bukannya harusnya ngasih sama Ibu?" Sebenarnya aku ingin menjawab jika memang aku tidak ikhlas tapi rasanya kurang sopan jika aku mengatakan secara langsung. Rasanya sudah jengah dengan semua yang dikatakan oleh ibu.

"Apa pernah Ibu dikasih sesuatu sama Mbak Ani? Nggak, 'kan?"

Muka ibu semakin merah padam, ada rasa takut menghampiri tapi rasanya juga sudah lelah memendam semuanya.

"Kamu? Sudah berani kamu sama Ibu? Jadi mantu saja nggak becus sudah sok-sokan mau banding-bandingkan sama Ani. Adit saja tidak protes kenapa justru kamu yang protes? Ingat ya, kamu hanya wanita yang kebetulan dinikahi Adit. Kamu itu hanya numpang!"

"Kurang becus apalagi aku? Semua pekerjaan aku yang kerjain, bahkan setiap hari yang kasih jatah sama Ibu itu aku. Walaupun gaji Ai kecil tapi Ai selalu kasih sama Ibu."

"Becus seperti apa yang kamu maksud? Nyuci baju aja nggak! Masak cuma telor dadar. Dan satu lagi, uang jatah itu anggap saja biaya kamu tinggal di sini!" Ya ampun, begitu rupanya pemikiran ibu. Jadi aku dianggap seperti ngontrak?

"Bagaimana bisa nyuci kalau sabunnya dibawa sama Mbak Ani? Jelaskan, Bu …." Aku mengusap dada demi mendengar apa yang diucapkan oleh Ibu. Rasanya sangat sakit hati ini.

Bersamaan dengan itu terdengar ucapan salam. Aku sudah paham dengan suara itu, pasti Mas Adit yang pulang. Mendengar anak laki-lakinya pulang, Ibu segera keluar dari kamar.

"Awas kamu! Ibu aduin sama Adit!" ancam Ibu sebelum keluar. Bodo amat lah, mau diaduin juga silahkan. Aku yang tadinya berdiri kemudian berbaring kembali di ranjang. Tiduran dengan membelakangi arah pintu. Beberapa saat kemudian ranjang terasa ada pergerakan dan terasa ada usapan di kaki. Aku tahu siapa yang melakukannya, siapa lagi kalau bukan suamiku.

"Adek bertengkar lagi sama Ibu?" tanya Mas Adit. Aku diam saja tidak menanggapi pertanyaannya.

"Apa tidak bisa kalau tidak bertengkar dengan Ibu? Mas jadi serba salah, Dek. Mas bingung." Sudah kuduga jika suamiku akan berkata seperti ini. Dia bingung tentunya harus membela siapa. Seharusnya sekali saja, Mas Adit bisa lebih bijak. Mas Adit satu-satunya laki-laki di rumah ini, tapi dia terlalu lembek. Harusnya dia jadi pelindung buatku tapi nyatanya tidak.

Jengah dengan perkataan Mas Adit akhirnya aku beranjak, mengambil uang yang tersisa di tas kemudian pergi ke warung. Masih bisa aku dengar suara panggilan dari Mas Adit tapi biarlah. Paling juga mau membela ibunya.

Sebungkus sabun cuci pakaian sudah ditangan, segera aku pergi ke kamar mandi dan mulai merendam cucian yang tadi pagi aku tinggalkan. Setelahnya, aku mulai mengucek satu per satu baju yang sudah direndam. Namun, alangkah terkejutnya aku ketika mendapati baju Mbak Ani dan suaminya serta Dena berada dalam rendaman cucian. Aku bisa mengenali baju itu dengan baik karena Mbak Ani sering memakainya dan juga seragam kerja suaminya Mbak Ani yang penuh oli.

Apa-apaan ini? Bagaimana bisa ada baju mereka di sini? Ogah banget kalau harus mencuci baju mereka. Tanpa pikir panjang segera aku memisah baju mereka yang pastinya sudah tercampur dengan air rendaman. Lebih parahnya lagi dari sekian banyak rendaman, baju keluarga Mbak Ani ternyata lebih banyak daripada cucian milikku. Keterlaluan!

Setelah itu, kulanjutkan kembali untuk mencuci dan membiarkan baju milik Ani teronggok di ember yang satunya.

Lepas maghrib baru aku selesaikan mencuci dan rasanya tubuh ini sangat lelah.

***

Pagi ini aku bangun kesiangan, lupa menyalakan alarm semalam. Namun, begitu aku duduk rasa pusing justru melanda. Rasanya apa yang di depanku berputar dan perut ini seperti diaduk. Mual sekali.

Kamar mandi menjadi tujuanku, rasa mual membuatku ingin memuntahkan isi dalam perutku.

"Dek, kamu kenapa?" tanya Mas Adit seraya merangkulku saat aku dari kamar mandi.

"Masuk angin sepertinya. Kemarin habis nyuci 'kan langsung tidur, nggak makan malam," jawabku.

"Duduk di sini, Mas buatkan teh manis untumu." Dibimbingnya aku menuju kursi yang ada di meja makan sedangkan aku memegangi perutku yang masih terasa tidak nyaman.

"Kamu nggak lupa minum pil nya, kan?" Ibu mertua yang tengah menonton televisi kemudian mematikan layar dan mendekat.

"Nggak, Bu," jawabku bohong. Padahal aslinya aku sudah tidak minum pil KB itu entah berapa lama. Pikiranku pun jadi teringat akan sesuatu. Ya, sudah satu minggu aku telat datang bulan. Apa itu artinya, aku hamil? Jika iya, betapa senangnya hatiku.

Setelah merasa lebih baik kemudian aku berangkat menuju ke sekolah, namun sebelum itu terlebih dahulu aku menuju ke apotik. Untung saja ada apotik 24 jam yang buka di sekitar sekolah. Tiga buah alat tes uji kehamilan dengan berbagai merk aku beli. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menggunakannya.

Sampai di sekolah aku langsung menuju ke kamar mandi, segera aku keluarkan alat yang sudah aku beli. Sebelum itu aku baca dulu petunjuk penggunaan. Setelah paham kemudian mulai menggunakannya.

Rasanya sangat deg-degan ketika perlahan ada garis satu yang terlihat.

"Ayolah, satu lagi garisnya," gumamku.

"Apa nggak salah? Ini nggak salah, kan?" Pertanyaan itu meluncur setelah ketiga alat yang aku celupkan bergaris dua dengan jelas.

"Alhamdulillah … alhamdulilah," ucapku penuh syukur. Aku harus memberitahu Mas Adit soal ini. Rasanya aku sangat bahagia, ada janin di dalam perutku.

Keluar dari kamar mandi, kemudian menuju ke ruang guru. Setelahnya menuju ke kelas. Saat itu juga aku bertemu Mas Reza yang mengantar Zivanna.

"Na, eh maksud saya Bu Ai," ucap Mas Reza.

Aku mengangguk dan tersenyum sebagai balasan sapaan.

"Masih ada yang ingin aku bicarakan. Apa nanti bisa bertemu lagi?"

"Maaf nggak bisa. Aku ada acara. Permisi." Kutinggalkan Mas Reza yang masih berdiri mematung di depan kelas, berganti denganku yang mulai berinteraksi dengan anak-anak.

"Aku akan menghubungimu, Na." Kalimat itu yang aku dengar sebelum aku masuk ke kelas.

***

Waktu berjalan begitu lambat, rasanya aku sudah tidak sabar untuk menunggu suamiku pulang. Alat tes kehamilan sudah aku siapkan di dalam amplop. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Begitu mendengar deru motor di halaman segera aku keluar menyambut.

"Istri Mas, cantik banget. Gimana? Masih pusing sama mual?" tanya Mas Adit. Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Ayo, Mas. Ada yang mau aku tunjukkin sama, Mas." Tanpa menunggu persetujuan aku menarik tangan Mas Adit kemudian menuntunnya ke kamar.

"Duduk dulu, Mas," titahku. Mas Adit menurut, dia duduk di tepian ranjang. Amplop yang sudah kupersiapkan kemudian aku berikan padanya.

"Apa ini?" tanya Mas Adit. Dia membolak-balik amplop itu.

"Buka saja, nanti Mas bakalan tahu."

Mas Adit kemudian membuka, dan dia mengeluarkan isinya. Alat berbentuk segi panjang kecil itu kemudian diperhatikan baik-baik.

"Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Adit. Aku mengangguk seraya tersenyum.

"Beneran?" Lagi, Mas Adit bertanya.

"Iya, Mas, aku hamil. Dua garis pada alat itu artinya aku sedang hamil."

"Tidak bisa! Kamu harus gugurkan!"

🌹🌹🌹

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 80 Jalankan rencana

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 79 Aku mau kembali

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 78 Modus

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 77 Ibu peri ngambek?

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 76 Hilangnya nurani

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 75 Kita ke pengadilan

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status