"Mas, kamu ngapain?" tanyaku saat melihat Mas Haris tengah bersujud di belakangku. "Tolong, jangan ceraikan aku, Rum. Kita bisa memulainya lagi dari awal. Memang salahku yang tanpa hati berniat membalaskan dendam padamu. Tapi percaya lah, Rum. Di hatiku cuma ada kamu seorang sekarang!" ucap Mas Haris mengiba."Maaf, Mas. Keputusanku sudah bulat. Sudah tidak bisa ditolerir dan juga diganggu gugat lagi. Sebuah hubungan yang dimulai dengan niat yang buruk, tak akan bisa berlangsung lama."Mas Haris menangis, sementara aku berjalan meninggalkannya. Biar lah, tak usah kupedulikan. Dia laki-laki. Bukankah katanya kalau laki-laki bisa dengan mudahnya berpindah hati? Semoga kamu menemukan kebahagiaanmu bersama Rumi, Mas.Aku pun melangkah menuju halaman rumah Bunda. Kulihat wanita itu merentangkan nyawanya, beliau memasang wajah sendu. "Selamat datang kembali, anakku," ucap Bunda, dengan tangis tertahan."Bunda." Aku mendekatkan diri pada wanita yang sudah melahirkanku itu. Air mata yang s
"Tadi jam sepuluh, Ayah suruh Haris buat pulang. Kami gak tega liat dia di depan rumah terus. Tetangga juga pada berkerumun karena kaget mendengar teriakan Haris. Bunda, gak tega lihat dia begitu. Tapi, Bunda lebih gak tega lagi melihat anak perempuan Bunda hidup bersama bayang masa lalu suaminya. Kamu yakin sudah ikhlas, Rum?" tanya Bunda. Untuk sesaat aku terdiam. Ikhlas? Sesuatu yang sangat sulit kugapai saat ini. Aku terpaksa mengangguk, karena tak ingin melihat Bunda kepikiran. "Sabar. Akan ada pelangi setelah hujan," ucap Bunda. "Aamiin." -Pagi hari. "Haris tadi nitip kunci, sama nafkah buat kamu," ucap Bunda ketika aku keluar dari kamar. "Kenapa Bunda terima uangnya? Harusnya kasihkan saja ke dia." "Sudah, tapi dia maksa." Aku mengangguk, lalu masuk lagi ke kamar untuk menaruh benda tadi, sekaligus mengecek amplopnya. Ternyata, selain uang juga ada surat di dalamnya.[Dear, Arumi Putri Nur Handayani. Aku tak salah menyebut nama, kan? Hehe. Aku minta maaf atas semua k
"Jodoh tak akan ke mana, kita pasti akan dipertemukan kembali," ucap Mas Haris yang membuatku mengangguk. Benar, jodoh tak akan ke mana. Aku pun berbalik, lalu bersama Nadia melangkah menuju mobil. Setiap langkah, tak hentinya aku beristighfar. Sekarang, status kami sudah lain. Aku dan dia, sudah beda jalan. Bukan karena membenci, namun karena mencintai. Miris. Nadia menggandeng tanganku, ia terus menguatkan hingga akhirnya kami sampai di mobil dan pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku melihat beberapa tetangga memperhatikanku. Wajar, mereka pasti masih penasaran kenapa Mas Haris di luar rumah, saat itu. Bunda memelukku. Menguatkan dan mengatakan bahwa akan ada kebahagiaan setelah ini. Aku mengangguk seraya meng-aamiinkan. Ah, Bunda. Beruntungnya aku memiliki orang tua sepertimu dan Ayah. Aku masuk ke dalam kamar. Di kamar, aku menangis lagi. Ah, padahal aku sudah janji untuk tak mengeluarkan air mata. Namun jika begini, rasanya sangat sakit.Allahu Rabbi... --Esok hari. Aku b
Aku terdiam. Bingung harus menjawab apa? Masa iya kujawab jika aku adalah calon istri Mas Haris? Apa kata mereka nantinya? Duh, mentalku kena. Dasar ibu-ibu nggak ada kerjaan. Setiap hari pemandangan yang kulihat adalah Mas Haris yang seperti orang tak memiliki tujuan hidup. Kegiatannya selalu kerja, pulang, mandi, makan, salat. Ia semakin mengabaikanku. "Mas, kenapa kamu berubah?" tanyaku saat Mas Haris tengah duduk di teras, pandangannya lurus menatap ke bintang dan bulan yang ada di langit. "Siapa yang berubah, Rum?" tanya Mas Haris sambil mendorong kursi rodaku. "Kamu sekarang menjadi pendiam. Berbeda sekali dengan dulu. Dulu, kamu bahkan selalu-""Dari waktu ke waktu, tumbuhan yang segar pun bisa berubah menjadi layu lalu mengering. Semua manusia, nggak mungkin sama sifat dan sikapnya dari waktu ke waktu." "Begitupun perasaanmu sama aku?" tanyaku pada Mas Haris. "Nggak. Aku masih sayang sama kamu." "Sebagai?" Lama Mas Haris terdiam, kemudian tersenyum dan mengajakku masuk
Aku mengambil ponsel, lalu mencari nomor seseorang di masa lampau. Setelah dapat, segera kukirim pesan padanya.[Oke. Tapi sekarang sudah beda harga.] [Sip.]Aku tersenyum, lalu memasukkan ponsel ke saku celana lagi, dan membantu Ibu memasak. Aku, tak pernah seumur hidupku tak mendapatkan apa yang kuinginkan. Jika aku sudah menginginkan sesuatu, aku pasti akan mendapatkannya. Siang hari. Aku sedang menyiram bunga kesukaan Ibu di halaman, saat kulihat Gina lewat. Gina, satu-satunya teman perempuan Mas Haris. Aku sangat tak suka dengannya. Perempuan yang selalu bisa membuat Mas Haris menolak ajakanku dengan alasan pertemanan. Meski kami tak pernah bertemu, tapi beberapa kali aku pernah melihat wajahnya sehingga dengan mudah mengenali."Gina!" teriakku. Gina menoleh, lalu menunjuk dirinya sendiri. Ia pun mendekat, mungkin tak menyangka jika aku memang mengenalinya. "Maaf, Mbak, panggil saya?" "Iya, nama kamu Gina, kan?""Oh, iya. Mbak yang namanya Arumi juga kan? Yang saudara jauhn
"Lelaki yang mana, Bu?" "Itu..." Aku melihat ke depan. Saat sampai, aku sedikit terkejut. Kenapa dia masih di sini? "Rumi nggak tahu, Bu. Jadi takut, sebaiknya kita tutup saja pintunya. Daripada dia berbuat yang enggak-enggak. Apalagi belakangan ini Rumi mendengar banyak sekali kejahatan yang merajalela." "Iya kah? Waduh, Ibu takut juga." Ibu pun menutup pintu dan jendela, lalu duduk di sofa sampai lelaki itu pergi. Maafkan Rumi, Bu, Rumi nggak bermaksud untuk berbohong, bathinku. Ibu menghela napas lega saat lelaki itu pergi, lalu mengelus tanganku. "Ibu takut kamu kenapa-napa, apalagi tadi Ibu lihat, kamu habis dari luar." "Ibu tahu?" tanyaku sedikit terkejut. Bagaimana jika Ibu tahu kalau aku memesan air itu? "Iya. Kan Ibu melihat kamu di pintu mau masuk. Sementara lelaki itu berdiri tak jauh dari kamu. Ya udah, Ibu mau baring-baring dulu di kamar. Capek." Aku mengangguk. Setelah Ibu masuk kamar, aku membuang napas lega. Hampir saja. Andai aku mengobrol dulu dengannya, bu
Aku berbalik menuju mobil, lalu menatap Arum yang sedang memakan rujak. Entah apa yang Kinos katakan, hingga wanita itu tertawa begitu lebar. Apakah kamu sudah melupakan aku, Rum? Apa kamu, sudah berhasil move on dan memilih Kinos? Apa kita tak bisa bersama? Kenapa, Rum? Kenapa kamu tak bisa menungguku? Kunyalakan mobil, lalu melaju melewatinya. Entah karena sengaja atau tidak, tepat mobilmu melewatinya, Arum menoleh dan memeperhatikan. Dia, tak mungkin tahu aku di dalam sini, kan? Mobil kulajukan ke tukang buah. Rumi mengirim pesan untuk membelikan buah sebagai cuci mulut setelah makan. Ah, Rumi. Kenapa perasaan ini habis tak bersisa untukmu? Seakan aku tak pernah mencintaimu, padahal dulu kami melewati hari dengan selalu bersama-sama. "Jeruknya sekilo, sama anggurnya dua kilo, ya, Pak," ucapku. "Ini, Pak." "Berapa?""Dua ratus lima belas ribu." Kuulurkan uang dan membawa buah itu ke dalam mobil. Pantas mahal, ternyata anggurnya kualitas super. Besarnya saja melebihi jempolku
Tok! Tok! Kuketuk pintu. Tak lama kemudian, wajah Ayah yang pertama kali kulihat. Beliau sedikit terkejut melihatku datang, lalu memelukku. "Ayah sudah bilang, kalau mau main, main aja. Asal siang hari. Kenapa tak pernah datang." "Sibuk, Yah," jawabku. "Ayo duduk, biar Ayah panggilkan Bunda." Aku mengangguk. Dulu, aku bisa bebas keluar masuk rumah ini. Namun sekarang rasanya berbeda, aku terasa canggung berada di sini. Apalagi statusku sekarang adalah tamu. Ke mana Arumi? Kenapa tak kelihatan? Apa tak di rumah, ya? Tak lama Bunda keluar, menghampiriku dan memeluk. Mereka berdua, meski baru beberapa tahun hidup bersama, namun sudah seperti orang tua kandungku sendiri. "Kok gak kasih kabar mau ke sini, Ris? Kan Bunda bisa masak dulu." "Nggak papa, Bun. Lagian Haris cuma sebentar saja." Bunda mengangguk. Lalu kami mulai bercerita. Hingga lama aku tak melihat Arumi keluar, sepertinya dia memang sedang tak di rumah."Arumi ke mana, Bun?" "Arumi? Di-dia, lagi pergi ke luar sebenta