Share

Nameless Love
Nameless Love
Penulis: Bara Shinju

Yang tidak di Inginkan

Alloh memberikan kamu di dalam hidupku, namun DIA tidak memberikan izin untuk aku sebagai takdirmu. 

"Nduk, sudah siap belum?!" Seru dia dari arah lorong menuju kamarku. 

Aku menunduk. Mengemasi buku diary yang baru saja aku buat nulis isi hatiku. Siapa lagi yang menjadi tempatku untuk menceritakan perasaanku kecuali buku diary ungu yang mulai kehabisan lembarannya. 

Ku masukan buku tersebut pada laci nakas. Lalu menguncinya. Aku paling takut, jika buku itu di baca oleh seseorang. Itu akan menghancurkan semua hubungan dalam rumah ini. 

"Ya Alloh, Nduk. Kok belum siap-siap,tho?" 

Laki-laki itu sudah ada di ambang pintu. Tanyanya berkacak pinggang, dan wajahnya menunjukkan kekesalan karena melihatku belum berdandan. Aku memang menyuruhnya untuk menunggu aku sehabis mandi, tapi nyatanya untu mandi pun aku malas dan akhirnya hanya berganti baju saja. 

Bukan cuaca yang menjadikan aku dingin. Namun hati, dia membeku. Membuat setiap jujur tubuhku kaku. 

"Aku gak ikut, ya Mas. Mas saja sama Ibu yang pergi." 

"Kenapa? Kamu sakit?"

Dia lantas masuk ke dalam kamarku. Berdiri di depanku lalu menempelkan telapak tangannya di dahiku. Menyibakkan sedikit hijab yang aku gunakan untuk mengecek suhu pada keningku. Hal yang tidak biasa orang lain lakukan, adalah ketika dia selalu mengecek suhu badan dengan menempelkan pula telapak tangan lainnya di dahinya. Dengan wajah yang ia dekatkan tepat di depan ku, menatapku, lalu merasai setiap unsur panas yang entah sama atau tidak. 

"Sama saja. Ayolah, jangan malas. Anak perawan kok malas." Ujarnya seraya menjauhkan wajahnya dan menjauhkan telapak tangan dari keningku. 

"Aku beneran malas, Mas. Ada banyak tugas juga dari kampus." 

Dengan segera aku berdiri dari tepian ranjang yang sejak tadi menjadi singasanaku. Berjalan menuju rak buku, dan memilih beberapa di sana. Meskipun aku juga tidak tahu, buku apa yang aku harus buat jadikan alasan untuk itu. 

"Ya sudah. Gak jadi aja." 

"Loh, kok gitu? Udah mepet,Lo acaranya. Kalau gak beli sekarang kapan lagi?" 

Aku berbalik, membantah keinginannya. Dia malah duduk santai sambil bersandar di tempat ku tadi. Memainkan peranan ponselku yang memang sejak tadi aku geletakan begitu saja di atas ranjang. 

"Mas bisa pesan online. Sama saja, kan." 

Aku mendengus kesal. 

"Ya sudah. Aku siap-siap. Mas tunggu di luar!" 

Akhirnya aku kalah. Dia selalu seenaknya memutuskan sesuatu sendiri. 

"Kok masih di sini?" tanyaku. 

Dia masih asyik bermain game dengan ponselku. 

"Nunggu kamu siap-siap. Nanti, kamu di tunggu di luar malah molor lagi." 

Aku berdecak. Membuang muka kesal

"Ya Alloh, mas. Gak gak, aku beneran siap-siap. Kamu keluar dulu!" Perintahku. 

"Aku siapin bajumu, gih. Kamu mandi dulu." 

Dia langsung beranjak menuju lemariku. Membuka dan memilih baju-baju yang tergantung rapi di dalamnya. Mengeluarkan satu sweater Hoodie berwarna coklat muda, lalu satu rok plisket berwarna coklat tua. Tidak lupa, dia juga memilih satu pasmina cream untukku juga. 

"Udah." 

Dia meletakkan itu semua di atas ranjang. Aku melihat dengan kesal. 

Dia tahu semua tentangku. Dia hafal setiap apa yang aku suka dan tidak. Dia pun tahu, apa yang bisa membuatku tidak melawan perkataannya. 

"Aku ganti baju. Mas keluar." 

"Kenapa? Dulu juga biasanya kamu ganti baju di depanku gak masalah." 

"Udah beda, Mas. Udah...Sana keluar. Kalau gak keluar, bakalan tambah lama nanti."

Aku mendorong tubuhnya ke arah pintu kamar. Mengeluarkan dia sampai depan pintu. Lalu segera menutup rapat-rapat pintu tersebut. 

Ku tundukkan kepala. Menyandarkan kepala pada daun pintu tersebut.

"Nimas...jangan lama-lama!"

Dia masih di depan pintu. Bicaranya ringan tanpa beban. Itu mungkin karena hatinya sedang bahagia. 

"Hai! Sudah belum? Mas masuk,ya?" Ujarnya padahal belum juga ada lima menit. Dia selalu menggodaku. Tak tau kah, jika hatiku tak lagi sekuat dulu? 

Namanya, Muhammad Alshad Al Fahri. Cerita dari ibu, nama itu di berikan oleh ibunya saat dia masih bayi dulu. Seperti namanya Alshad dia adalah karunia Tuhan, yang hadir di tengah-tengah gundah gulana Paman dan bibi. Al Fahri seperti pahlawan, karena setelah ia lahir aku bisa hadir sebagai putri tunggal di keluarga kecil ini. 

Ya, Mas Alshad adalah kakak sepupuku. Dia lahir jauh sebelum aku ada di dunia ini. Umur kami terpaut lima tahun. Meskipun begitu, dia sudah seperti kakak kandung yang selalu siaga untukku sejak dulu. 

Sosok laki-laki yang saat aku mulai berlatih berjalan, dia yang ada belakang mengawasi sambil menjaga alih-alih jika aku akan terjatuh terjungkal. Sosok laki-laki yang saat aku mulai belajar menyendok makanan, dia dengan telaten menjumputi satu persatu nasi yang tumpah dari wadah makan ku. 

Sosok laki-laki yang saat aku akan memulai sekolah, dia yang selalu siaga dengan sepedanya lalu berteriak, "Nimas!!!Ayo berangkat!" 

Dan dengan senyum mengembang aku akan berlari ke depan rumah. Langsung naik di belakang boncengan sepedanya. 

Banyak cerita masa lalu, yang hingga saat ini masih jelas jika aku kenang. Sampai aku tidak sadar, kapan rasa yang seharusnya tidak ada itu hadir di tengah-tengah persaudaraan. 

"Nimas!! Sudah belum?" Dia berteriak lagi. Membubarkan lamunanku. Aku segera beranjak. Mengambil pakaian yang telah ia siapkan tadi dan segera menggantinya dengan baju yang sekarang aku pakai. 

Apa yang ia pilihkan tidak pernah ia salah. Mungkin aku yang tidak kuasa menolak, atau memang ia tahu apa yang aku suka. 

Sebab suka karena terbiasa bersama. Sebab tahu, karena ia ada di setiap tumbuh kembangku. 

Dia selalu mengatakan,"Masmu ini tahu apa saja yang kamu suka dan tidak suka, Nimas. Jadi tenang saja," Setiap kali aku memilih apa yang harus ku pilih dia tidak jarang terlebih dahulu memilihkan untukku. Dan benar saja, aku suka. 

Aku pun kadang seperti itu. Memilih sesuatu untuknya yang selalu dia anggap tepat. Karena itulah, saat ini dia ngeyel mengajakku. 

"Lama sekali kamu, Nimas. Udah kayak anak gadis aja!" Protesnya. 

Aku tersenyum tipis. Dia bisa saja menungguku di teras atau ruangan lainya. Toh, aku sudah bilang akan ikut dengannya. Tapi, dia masih berdiri di balik pintu yang aku kunci itu. Kenapa? Entahlah, dia selalu menjaga dan menanti tanpa jeda. Dan itu semua membuatku merasakan sakit tiada tara. Karena mungkin, sebentar lagi bukan aku yang menjadi prioritasnya. Aku kalah oleh keadaan. Aku kalah oleh kenyataan. Bahwa aku harus melepaskan tanpa boleh memperlihatkan air mata kepedihan. 

Setelah selesai aku membuka pintu kamar. Menampakkan diriku di depannya. Sudah siap untuk menemani kemana langkah kakinya akan di bawa. 

"Wow, cantik sekali, adik Mas ini." Pujinya takjub. Aku mengukir senyum tipis.

Barangkali itu pernah menjadi pujian yang sangat indah. Pujian pernah aku rasakan berkali-kali hingga aku lupa, bahwa dia tidak akan pernah pergi dari kehidupanku nanti. Terkadang manusia, hanya bisa merasakan namun lupa untuk mengingat apa yang akan terjadi di masa depan. 

"Ayo!" Serunya dengan mengandeng tanganku. 

"Udah ah, aku bukan anak kecil lagi." 

Aku melepas gandengannya. Namun, dia kembali meraihnya dan semakin erat menggenggamnya. Dia ruang tamu, kami berpamitan dengan orang tua kami. 

"Buk, berangkat, nggeh." 

Mas Alshad meraih tangga ibu lalu mencium punggung beliau berganti lalu ayah yang duduk di sampingnya. Aku pun melakukan hal yang sama.

"Hati-hati, Lo. Jangan larut malam kalau pulang." Pesan ibu. 

"Nggeh, bu Lek. Assalamualaikum." Salam Mas Alshad bersamaan denganku. 

"Waaikumsalam..." Balas orang tua ku. 

Sesampai di depan rumah. Mas Alshad membukanya pintu mobil untukku barulah setelah itu dia masuk ke pintu kemudi. 

Sebelum dia yang mengenakan sabuk pengaman untukku aku dengan segera melilitkan sabuk itu pada tubuhku.

"Bagus. Tumben," ujarnya setelah mengetahui aku selesai mengenakan sabuk pengaman. 

Lagi-lagi aku tersenyum tipis. Mobil melaju pelan, mulai melewati perumahan dan menuju jalan raya. Jalanan sore kerap ramai dan penuh dengan pekerja yang baru saja pulang dari tempat mereka mengais nafkah. 

Tujuan kami sebenarnya tidak jauh. Masih di dalam kota tepatnya pusat kota. Jadi tidak memakan perjalanan yang lama. Hanya 25 menitan kami sampai pada tempat tujuan kami. 

Mobil di parkir di tepian jalan raya. Banyak deretan mobil lainya yang sudah rapi berjajar di sana. Jalan ini tidak pernah sepi, meskipun tengah malam sekalipun. 

Tukang parkiran memberikan satu kertas berisikan nomer parkir. Setelah itu barulah kami keluar dari mobil. 

Mas Alshad tak canggung menggandengku melewati trotoar yang penuh dengan orang yang lalu lalang. Jejeran toko memenuhi area tersebut, dengan beragam dagangan. Kebanyakan adalah toko baju dan swalayan kecil. Di sudut jalan ada juga apotek. Cukup terkenal di kota ini, karena berbagai macam obat di sediakan di sana. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status