Share

Bukan Pengikat Biasa

Tujuan kami bukan apotek atau toko baju. Tapi, toko perhiasan yang ada di serbang jalan ini. Toko emas mulia. Rasanya lemas sekali kakiku untuk menginjak kaki di pelataran toko tersebut. Namun genggaman tangan Mas Alshad terus menuntunku untuk sampai pada toko tersebut.

"Selamat datang. Ada yang bisa kami bantu, mau cari perhiasan apa?"

Seorang pelayan wanita datang dengan ramah.

"Cincin, Mbak." Jawab Mas Alshad.

"Untuk pernikahan? Atau untuk mbak-nya?" tanya pelayanan tersebut dengan menunjuk ke arahku dengan telapak tangan yang lebar.

Aku nyengir. Kalau itu benar, aku pasti adakan dengan senang bukan masam seperti ini.

"Pernikahan, Mbak." Jawab Mas Alshad lagi.

"Oh. Baiklah, tunggu sebentar."

Sembari menunggu mbak pelayanan itu mengambil beberapa contoh cincin tersebut. Aku duduk, mengambil ponselku dan mengutak-atik apapun yang bisa aku lihat dan chek. Menscroll laman Instragram ataupun melihat status W******p orang-orang yang tersimpan di kontak.

"Silakan, Mas, Mbak..."

Pelayanan itu datang. Membawa beberapa cincin couple.

"Nduk... Lihat."

Mas Alshad menegur karena aku tidak segera melihat-lihat cincin tersebut.

"Ini desain terbaru toko kami. Taburan pasir diamond putih di sekeliling cincin."

Mbak itu memperlihatkan desain tersebut padaku. Mau tidak mau aku mengambilnya. Aku lihat detail tersebut, seperti berpasir namun cukup elegan dan mewah.

"Sini,"

Mas Alshad merebut cincin tersebut. Lalu dengan cepat memasangnya di jari manisku. Aku terkejut. Dia juga mengelus-elus cincin sekaligus jemariku tersebut.

Andai benar, cincin itu akan melingkar di jariku pastilah aku akan mengembangkan senyum di bibirku ini. Namun, cincin ini hanya sebagai contoh dan percobaan yang nantinya akan di berikan oleh perempuan lain.

Ah, Nimas. Sadarlah... Jangan lagi kamu berharap lebih.

"Cantik. Pas untuk Mbak-nya!" Seru pelayanan tersebut.

"Sedikit longgar, ya? Apa bisa pesan dengan ukuran jarinya?" tanya Mas Alshad.

"Barangkali jari Mbak Nadia lebih besar daripada punyaku." Sahutku.

"Masak? Sama mungkin?" Bantah Mas Alshad.

Aku mengembuskan nafas kasar. Terserahlah.

"Loh, saya kira mbaknya yang jadi calon pengantinnya." Sahut pelayanan tersebut.

Blus! Wajahku langsung merah padam. Anggapan itu saja sudah bisa membuatku tidak bisa menahan malu dan gejolak hati yang tak karuan.

"Haha. Bukan, Mbak. Ini adik saya." Balas Mas Alshad.

Kata-kata itu langsung membuat hatiku jatuh teratakan semua.

Kenyataan yang pahit bukan. Ketika aku, sebagai sepupu adik perempuan entah sejak kapan memiliki rasa ingin memiliki yang lebih dari kakak sepupu laki-lakinya. Seharusnya rasa itu tidak pernah ada.

Kenyataan dalam patah hati lainya adalah, ketika kita tidak bisa memiliki namun di takdirkan untuk mencintai.

Aku melihat cincin di jari manisku. Berlahan aku melepas, lalu meletakkannya di atas wadahnya lagi.

"Cantik, tidak?'' tanya Mas Alshad lagi.

Aku tersenyum tipis lalu mengangguk. Dia berbinar, lalu mengambil kotak cincin tersebut.

"Aku ambil ini, ya mbak. Tiga pasang." Kata Mas Alshad pada karyawan tersebut.

"Hah! Banyak sekali, mau di taruh mana cincin lainya?" tanyaku tidak mengerti.

"Nih, kamu suka, kan?" Jemari Mas Alshad mengambil cincin itu lagi. Lalu memasukkannya kembali pada jari manisku. Rasa haru tiba-tiba merasuk dalam hatiku. Melihat cincin itu melingkar manis di jarimu lagi.

Aku tidak ingin cincinnya sebenarnya. Aku menginginkan dia yang sedang tersenyum indah di depanku.

"Kalau mau apa-apa, bilang. Jangan manyun terus gitu." Ujarnya sambil mencubit hidungku.

Aku pura-pura kesal dan lekas menjauhkannya jarinya yang jahil dari hidungku.

"Apaan, sih? Ikhlas, nggak? Lagian aneh-aneh. Masak iya, couple tiga?" Cemberutku.

"Ya, gak papa, kan? Toh, Nadia juga gak bak bakal keberatan. Dia kan, sahabatmu."

Kenyataan lain yang harus aku telan. Aku tidak bisa membenci orang yang akan merebut dia dariku. Karena gadis itu adalah sahabatku sendiri. Kami telah lama bersahabat, bahkan sudah seperti saudara.

Cincin itu sudah melingkar. Namun dia simbol kasih sayang seorang kakak pada adiknya. Tanda terimakasih, atas waktu yang selama ini telah kita lalu, pun mungkin tanda syukur karena aku telah mempertemukan dia dengan jodohnya.

"Yuk..."

Mas Alshad sudah membawa sekantong lagi sepasang cincin lainya. Senyum di bibirnya, sejak tadi sama sekali tidak pudar. Mungkin, itu karena dia sedang Bahagia. Bahagia, akan memulai kehidupan barunya.

Baru saja kami keluar dari toko perhiasan tersebut. Tidak tahu, bagaimana kejadiannya seseorang menabrakku dari belakang. Membuatku langsung tersungkur jatuh ke depan.

"Aw!"

"Maaf...Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja." Seorang laki-laki dengan satu tongkat di tanyanya. Pandangan tak menentu arah, pun tongkatnya yang seakan dia buat untuk mencari tahu apa yang ada di depannya.

"Nimas, kamu tidak apa-apa?" Mas Alshad langsung membantuku berdiri. Sedang laki-laki di depanku masih saja memandang tanpa arah lagi.

"Maaf, ya Mbak. Saya kurang hati-hati." Ungkapnya lagi. Dia berbinar kepadaku, namun arah matanya tidak sampai memandangku.

Aku sudah berdiri lagi. Saling mencari tahu keadaannya dengan bertukar pandang dengan Mas Alshad. Sepertinya, Mas Alshad memikirkan hal yang sama juga.

"Mbak, tidak apa-apa? Apa ada yang luka. Sekali lagi, maaf ya Mbak." Ungkapan lagi.

Sejak tadi dia terus terusan meminta maaf.

Mas Alshad dengan segera meraih tangan laki-laki tersebut. Mengarahkan ke arahku yang sedang berdiri memandangnya.

"Tidak apa-apa, Mas. Adik saya baik-baik saja, kok." Kata Mas Alshad.

"Iya. Saya baik-baik saja." Tambahku.

"Syukurlah,"

Ke khawatirannya mulai mereda. Dia mengelus dadanya dengan seulas senyum di bibirnya.

"Kausar! Kamu disini rupanya!"

Seorang wanita berhijab dengan pakaian longgar hitam menawan berlari kecil ke arah kami.

"Maaf, beb. Tadi, aku tidak sengaja menabrak orang ini." Ujarnya ketika ia sampai di antara kami. Aku mengulum senyum sambil menundukkan badan. Tanda hormat. Mas Alshad melakukan hal yang sama.

"Maaf, ya..." Kata wanita itu penuh penyesalan.

Kedua orang ini suka sekali meminta maaf. Padahal, kecelakaan tadi tidaklah parah. Aku pun hanya merasakan sakit di telapak tangga dan siku kakiku saja.

"Tidak apa-apa. Kalau gitu saya permisi dulu, ya..." Mas Alshad mengakhiri.

"Apa ada yang luka? Perlu ke dokter, kami bisa mengantarkannya!" tawar wanita itu.

"Tidak...tidak... Saya baik-baik saja, kok." Tolakku sambil menggeleng kepala cepat.

"Oh, baiklah. Sekali lagi, maaf ya... Maklum kami baru saja pindah di kota ini. Dan Rey belum mengenal daerah di sini." Ungkapnya sambil melihat kearah laki-laki yang menabrakku tadi.

"Oh... Iya, lain kali hati-hati lagi." Balasku.

Baru setelah itu, Mas Alshad kembali berpamitan. Masalahnya tidak seberapa, tapi perbincangan sampai lama. Itu artinya, mereka orang-orang baik.

Setiap orang baik. Pasti akan ringan mengucapkan tolong,maaf, dan terimakasih. Tiga kata yang menurut sebagian orang biasa saja, tapi itu bisa menunjukan sebuah karakter seseorang. Meskipun itu baru pertama kali kita bertemu dengannya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status