Entah sudah berapa menit aku berdiri di depan lemari pakaianku yang sudah rusak dan kayunya mulai rapuh oleh rayap, wajar saja karena umur lemari ini sudah sepuluh tahun, ia belum punya uang untuk mengganti lemari usang ini. Tapi bukan itu permasalahannya sekarang, masalahnya adalah isi lemari itu.
Ia sedang mencari mana baju yang kayak untuk ia pakai ke Club, meskipun itu tempat yang penuh maksiat, namun ia percaya bahwa pertemuan yang melibatkan Pak Gilbert di dalamnya pasti pertemuan yang mewah dan elegan, yang berisi ratusan orang dengan setelan jas mahal, gaun indah, dan perhiasaan yang berharga fantastis.
Membayangkan betapa mewahnya acara nanti malam dan membedakan pakaian semua orang di sana nantinya dengan pakaian di lemarinya membuat ia menghela nafas kasar dan kembali menutup lemari tersebut. Tak ada satu pun baju atau gaun yang layak pakai, dari pada mempermalukan diri sendiri di pesta mahal itu, lebih baik ia segera menelepon bosnya dan mengatakan tidak bisa ikut ke pesta itu.
Ia pun mengambil ponsel manualnya yang masih dipencet, sudah sangat ketinggalan jaman. Setelah menemukan kontak bosnya, ia langsung klik telepon dan menunggu panggilan itu tersambung.
"Ada apa kamu telepon saya? Sudah siap-siap untuk nanti malam?"
"Pak, saya mau mengatakan bahwa saya tidak bisa ikut ke pesta itu."
"Saya tidak menerima penolakan dan satu lagi, ini perintah, bukan permintaan."
Belum sempat ia memberi tahu alasannya namun sambungan panggilan itu sudah dimatikan sepihak, ia sangat kesal dengan tingkah semena-mena dari bosnya, jika dalam Novel Romance tokohnya akan melempar telepon karena kesal atau marah. Namun Nam iya malah meletakkan ponsel kuno itu dengan lembut di atas meja agar tidak rusak, ia bukan pengusaha kaya raya yang punya uang ratusan miliar untuk membeli ponsel baru, bisa makan saya sudah untung. Percuma juga berusaha menelepon bosnya, hanya menghabiskan pulsanya saja karena ia yakin panggilannya tak akan diangkat lagi.
"Sekarang bagaimana ini? Aku tidak punya baju atau gaun untuk datang ke pesta, sedangkan pria itu tak mau mendengarkan ucapanku."
Rasa frustasi terlihat jelas di raut wajahnya, tak lupa tatapan putus asa dengan keadaan seperti ini. Tanpa ia sadari adiknya yang hendak masuk ke kamar, terdiam di depan pintu kamar sambil menatap kasihan pada dirinya.
Lalu adiknya itu pergi dari sana. Sedangkan ia masih memikirkan caranya untuk bisa hadir ke pesta itu. Namun tetap saja ia tak punya cara agar bisa berpakaian layak di pesta nanti.
"Dari pada aku sibuk memikirkan tentang baju, lebih baik aku memasak untuk makan malam. Biarkan saja Pak Gilbert datang ke sini dan melihat keadaan yang sebenarnya."
Akhirnya ia memutuskan keluar dari kamarnya karena tak mau gila jika lama-lama ada di kamarnya dan terus berpikir keras. Setelah sampai di dapur, ia langsung sibuk memasak masakan sederhana seperti ikan teri dengan sambal, sayur, dan nasi.
Kurang lebih setengah jam, akhirnya masakannya sudah matang, ia pun langsung menaruh masakan itu di rak piring, lalu hendak memanggil adiknya untuk makan malam, namun adiknya sudah datang lebih dulu.
Namun ia bingung dengan apa yang dibawa adiknya, sebuah gaun, sepatu, alat rias, dan perhiasaan. Sedangkan Nasya tersenyum senang lalu menghampiri dirinya.
"Kakak belum siap-siap ke pesta?"
"Ini Nasya bawa keperluan untuk Kakak ke pesta."
"Kamu dapat ini semua dari mana?"
"Bibi Yanti, dia baik banget Kak. Aku bilang jika Kakak mau ke pesta, jadi dia meminjamkan gaun, sepatu, alat rias, dan perhiasaan palsu ini buat Kakak. Ayo Kak, siap-siap."
Mendengar jawaban adiknya, rasa terharu memasuki relung hatinya, matanya mulai berkaca-kaca dan meneteskan air mata, kemudian ia memeluk erat tubuh adiknya, ia tak menyangka jika adiknya bisa melakukan hal ini demi dirinya.
"Makasih, kamu baik banget."
"Aku kan sayang sama Kakak jadi aku akan melakukan apa pun untuk Kakak. Ayo Kak cepat siap-siap, nanti telat."
"Oke, kamu makan malam dulu, sudah Kakak buatkan makan malamnya."
"Iya."
Ia pun menerima semua keperluan untuk ke pesta itu dan mulai mandi, kemudian berpakaian dan berdandan, untung saja ia pernah bekerja di salon sehingga tahu caranya berdandan, ia sengaja tidak memakai riasan terlalu tebal karena ia ingin riasan yang natural saja.
Dari gembel menjadi putri raja, itulah gambaran dirinya saat ini. Begitu cantik, bukannya ia narsis dan memuji dirinya sendiri namun ia saja pangling pada dirinya sendiri saat ini.
"Kakak cantik banget."
Mendengar pujian adiknya yang baru saja memasuki kamar, pipinya pun bersemu merah karena malu dipuji. Sedangkan adiknya terlihat begitu senang melihat penampilannya.
"Pasti semua orang di sana akan memuji kecantikan Kakak."
"Kamu ini bisa saja memujinya."
Baru saja adiknya ingin membalas perkataannya namun suara klakson mobil membuat mereka menoleh ke arah jendela kamar secara bersamaan, lalu berjalan ke arah jendela itu untuk melihat siapa yang datang karena jarang sekali mobil masuk ke desa kumuh ini.
Ia hanya bisa mendengus sebal karena bosnya itu tidak mendengarkan dirinya untuk menunggu di gang depan saja, buat apa masuk ke gang dan membuat satu desa heboh dengan kehadiran pangeran di malam hari dengan mobil putih mewahnya? Sekarang lihat, semua tetangganya keluar dari rumahnya saat mendengar suara mobil itu. Mereka semua terlihat kagum dengan mobil dan pemiliknya itu, begitu pun dengan adiknya.
"Dia itu mau sombong atau apa sih?"
"Kakak kenal?"
Mendengar gerutuan yang keluar dari bibirku, membuat adikku menoleh ke arahku dengan tatapan tanya dan penasaran. Aku pun menyesal karena sudah membuat adiknya bertanya tentang pria itu.
"Bos Kakak di kantor."
"Dia suka sama kakak?"
"Bukan, kamu jangan salah paham. Kakak ini sekretarisnya jadi harus berangkat bersamaan ke pesta kantor."
Sebelum adikku berpikir dan ternyata lebih aneh lagi, ia pun langsung keluar dari kamar ini dan bersiap-siap untuk segera berangkat. Namun adikku yang sangat penasaran terus saja bertanya tanpa henti dan tak lupa menggoda status hubunganku dengan Pak Gilbert. Coba saja adikku tahu bagaimana sikap pria itu padaku, pasti adikku akan membenci sosok bernama Gilbert.
"Masa sih Kak cuma bos dan sekretaris? Engga ada yang lebih?"
"Engga ada, sudah Kakak berangkat dulu ya?"
"Iya, hati-hati di jalan."
"Oke, kamu jaga rumah."
"Hm."
Setelah berpamitan pada adiknya akhirnya ia keluar dari rumah dan berjalan ke arah mobil putih itu, rasanya sangat malu saat semua warga desa menatap dirinya yang masuk ke dalam mobil. Saat sudah di dalam mobil akhirnya ia bisa menghela nafas lega.
Ia menunggu bosnya itu menjalankan mobil ini agar kumpulan tetangganya itu bubar dan berhenti membicarakan diriku, namun pria ini tidak mengerti situasi dan malah terus menatap ke arahku dengan tatapan yang menurutku aneh. Tidak seperti biasanya bosku ini melamun. Dengan nada sopan akhirnya ia angkat suara untuk menyadarkan pria itu.
"Pak, Ayo cepat jalankan mobilnya, semua orang melihat kita."
"Iya, tenang. Jangan buru-buru."
"Lagian Bapak kan sudah bilang, tunggu di gang depan, nanti saya jalan ke gang depan, ini malah masuk."
"Suka-suka saya, kamu kenapa mengatur saya?!"
Mendengar nada teriakan dari bosku membuat aku terdiam dan hanya mengalah karena kekuasaan dan posisi yang ia punya. Akhirnya mobil ini berjalan menjauh dari kampungku menuju ke arah Club, tempat pesta berlangsung.
Akhirnya kami pun sampai di dalam Club yang sudah dipenuhi lautan manusia yang bergoyang dan berpesta ria dengan minuman dan pasangan mereka. Tanganku dengan sengaja memeluk pinggang sekretarisku, dia terlihat risih dengan keberadaan tanganku di pinggangnya dan beberapa kali menurunkan tanganku dengan halus agar aku tidak tersinggung dengan penolakannya.Namun bukan Gilbert namaku jika dengan cepat mengalah, setiap kali ia turunkan tanganku maka saat itu juga aku naikkan lagi tanganku. Akhirnya dia mengalah karena lelah untuk menurunkan tanganku yang nakal. Diam-diam aku memperhatikan dirinya yang terlihat memukau malam ini, sebenarnya Namiya itu seksi dengan tubuh langsingnya dan beberapa aset unggulan para wanita yang ada di tubuhnya sangat menggoda untuk disentuh. Namun sayangnya dia sepertinya anak rumahan yang lugu sehingga masih memakai gaun selutut yang sopan itu."Ayo kita duduk di pojok.""Duduk di sini saja, Pak. Di
Pagi ini, aku bersiap-siap untuk bekerja ke kantor. Seperti biasanya aku sibuk menyiapkan segala hal dan bersih-bersih rumah agar nantinya saat aku pulang dengan keadaan lelah maka rumah sudah bersih. Aku mulai menyapu, mengepel, mencuci baju, masak, mencuci piring, menjemur dan menyetrika. Sebelum akhirnya aku mandi dan berpakaian dengan kemeja dan rok span yang sama saat aku melamar kerjaan karena aku hanya punya dua setelan baju kerja."Mungkin nanti jika sudah gajian maka aku akan membeli setelan kemeja dan rok untuk kerja," ucapku sambil menatap pantulan diriku di kaca yang terlihat tak menarik dan biasa saja."Apa yang Pak Gilbert lihat dariku? Cantik pun tidak, seksi juga tidak, pintar pun biasa saja. Mungkin mata bosku itu sedang sakit saat memutuskan memilih aku menjadi sekretarisnya.""Tapi seharusnya aku bersyukur jika mata bosku sakit saat itu, sehingga aku bisa dapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi."
Waktu jam istirahat pun dimulai, aku memilih tetap berada di mejaku saja karena aku bawa bekal jadi tak perlu turun ke lantai bawah yang terdapat kantin. Pandanganku sejenak tertuju ke arah pintu ruangan bosku yang belum terbuka sejak tadi, dia pasti sedang melakukan kegiatan mesum sehingga lupa waktu dan membatalkan makan siang dengan rekan kerja. Aku memilih tak mempedulikan mereka dan hendak makan namun gerakan tanganku terhenti ketika melihat seorang pemuda cukup tampan dengan senyum ramah berdiri di depanku dengan berkas di tangannya."Selamat siang, Namiya.""Selamat siang, Pak Andres.""Lagi makan siang ya?""Iya, Bapak ada keperluan apa di sini? Mau kirim berkas ke Pak Gilbert?"Keningku berkerut bingung saat pria itu menggelengkan kepalanya dan malah menarik kursi di depanku lalu duduk di depanku. Aku yang canggung dengan keadaan ini pun jadi tak enak hati lanjut makan saat ada Manajer
Waktunya jam pulang pun tiba, semua karyawan kantor mulai berjalan keluar dari kantor, aku pun hendak pulang dan ingin masuk ke dalam mobil namun tak jadi lalu kembali menutup pintu mobil saat melihat sekretarisku dengan salah satu bagian manajer yang tadi siang menjadi alasan aku kesal. Tadi siang makan bersama, sekarang ingin pulang bersama. Tak akan aku biarkan."Namiya!"Perempuan itu menoleh ke belakang dan terkejut sekaligus bingung saat melihat aku yang memanggilnya. Andres juga tak menyangka jika aku ada lagi di antara mereka, dia terlihat kesal namun berusaha tetap sopan karena aku atasannya."Pak Gilbert, ada apa memanggil saya?""Pulang bareng saya, ada tugas yang harus kamu selesaikan."Tak pernah aku berbohong hanya untuk menahan seorang perempuan, pasti sekretarisku ini bingung dengan apa yang aku ucapankan. Apalagi Andres yang terlihat tak percaya jika yang ucapan kan benar. Aku
Sudah seharian penuh ini aku dirawat di rumah sakit. Aku sudah bisa pulang karena tak ada luka dalam, hanya luka kecil di keningku. Aku pingsan karena syok dengan kecelakaan yang menimpaku. Adikku, Nasya sedang menyuapi aku bubur rumah sakit karena dia mau aku makan dulu sebelum pulang agar ada tenaga.Tadi aku sudah menolak makan karena aku tahu bubur khas buatan rumah sakit benar-benar tidak enak karena rasanya hambar namun adikku memaksaku untuk memakannya demi kesehatanku. Dia pun tak akan mengizinkan aku pulang jika belum makan. Alhasil aku pun terpaksa makan bubur ini dengan ekspresi cemberut."Oh ya, kau belum memberitahu aku tentang bagaimana kau bisa ada di sini dan mengetahui jika aku mengalami kecelakaan.""Bosmu mengantar supir untukku ke rumah sakit dan memberitahu aku ketika sudah sampai di rumah sakit."Kening berkerut bingung mendengar jawaban adikku, aku sebenarnya berharap jika Gilbert akan m
Pagi-pagi aku sudah bangun untuk melakukan aktivitasku seperti biasanya namun aku terkejut saat melihat adikku tak ada di sisi kasur di sampingku. Aku pun berjalan keluar kamar dan mencarinya di ruang tamu, kodnisi rumah yang sudah bersih serta semua macam cucian yang sudah bersih membuat aku bingung siapa yang mengerjakan semua ini. Bahkan sarapan sudah terhidang di atas meja, makanan sederhana berupa tempe, tahu, ikan, dan sayur namun terlihat lezat dan nikmat."Dimana, Nasya?""Siapa yang melakukan semua ini?""Apakah Nasya yang melakukannya?"Semua pertanyaan dalam diriku terjawab saat aku melihat adikku sudah rapi dengan seragam sekolahnya, dia tersenyum saat melihat aku sudah bangun lalu menuntunku untuk duduk di lantai untuk makan bersama kemudian memindahkan makanan dari meja ke lantai. Senyum manis menghiasi bibirnya, lalu dia menaruh nasi dan lauk di piringku."Hari ini aku sengaja ba
Aku masih terdiam di tempat sambil menatap bangunan tinggi di depanku ini yang merupakan perusahaan Jagat Sejahtera, tempat aku akan melakukan tes wawancara. Dalam hatiku sedikit ada keraguan untuk melangkah masuk ke dalam, entah kenapa hati kecilku mengatakan bahwa aku ini jahat, berbohong untuk mengkhianati perusahaan lamaku yaitu Pradipta Group. Tanganku sedikit meremas tali tas selempang yang terlampir di bahuku, berusaha menyangkal kata hatiku dan lebih mengutamakan logikaku."Aku tak akan melakukan ini jika Pak Gilbert adalah bos yang menghormati bawahannya. Ini bukan salahku."Aku hendak melangkah masuk ke dalam namun langkahku tertahan saat mendengar suara dering ponsel dari tasku, aku pun langsung mengambil ponselku dan mematikan ponselku saat tahu yang meneleponku adalah bosku."Entah bekerja atau tidak, di kantor atau di luar kantor, dia terus saja mengganggu aku. Sangat menyebalkan, untungnya aku akan segera menda
Pagi ini, aktivitasku berjalan seperti biasanya walaupun rasa bersalah menghantui diriku atas kejadian kemarin, namun aku tak menyesal telah melakukannya karena memang itu hakku dan sudah tercantum dalam kontrak kerja, aku hanya merasa bersalah pada Namiya karena membuatnya sedih.Aku baru saja datang ke kantor dan melihat meja sekretaris masih kosong, aku memaklumi jika Namiya tak datang hari ini ke kantor. Pasti Namiya masih merasa sakit di tubuh dan hatinya akibat perlakuanku semalam. Aku hanya bisa menghela nafas kasar, ingin sekali aku meneleponnya namun saat aku sudah membuka kontak nomornya di ponselku, jariku terasa begitu berat untuk menekan tombol hijau panggil."Aku terlalu pengecut untuk menghadapi Namiya sekarang, mungkin nanti aku akan menghubunginya untuk menanyakan kabarnya."Aku pun langsung masuk ke dalam kantor dan mulai melakukan tugasku sebagai bos di kantor walaupun nyatanya aku tidak fokus dengan pekerjaan kantor karena pikiranku masih tertuj