Share

KENCAN PERTAMA -7-

Entah sudah berapa menit aku berdiri di depan lemari pakaianku yang sudah rusak dan kayunya mulai rapuh oleh rayap, wajar saja karena umur lemari ini sudah sepuluh tahun, ia belum punya uang untuk mengganti lemari usang ini. Tapi bukan itu permasalahannya sekarang, masalahnya adalah isi lemari itu.

Ia sedang mencari mana baju yang kayak untuk ia pakai ke Club, meskipun itu tempat yang penuh maksiat, namun ia percaya bahwa pertemuan yang melibatkan Pak Gilbert di dalamnya pasti pertemuan yang mewah dan elegan, yang berisi ratusan orang dengan setelan jas mahal, gaun indah, dan perhiasaan yang berharga fantastis.

Membayangkan betapa mewahnya acara nanti malam dan membedakan pakaian semua orang di sana nantinya dengan pakaian di lemarinya membuat ia menghela nafas kasar dan kembali menutup lemari tersebut. Tak ada satu pun baju atau gaun yang layak pakai, dari pada mempermalukan diri sendiri di pesta mahal itu, lebih baik ia segera menelepon bosnya dan mengatakan tidak bisa ikut ke pesta itu.

Ia pun mengambil ponsel manualnya yang masih dipencet, sudah sangat ketinggalan jaman. Setelah menemukan kontak bosnya, ia langsung klik telepon dan menunggu panggilan itu tersambung.

"Ada apa kamu telepon saya? Sudah siap-siap untuk nanti malam?"

"Pak, saya mau mengatakan bahwa saya tidak bisa ikut ke pesta itu."

"Saya tidak menerima penolakan dan satu lagi, ini perintah, bukan permintaan."

Belum sempat ia memberi tahu alasannya namun sambungan panggilan itu sudah dimatikan sepihak, ia sangat kesal dengan tingkah semena-mena dari bosnya, jika dalam Novel Romance tokohnya akan melempar telepon karena kesal atau marah. Namun Nam iya malah meletakkan ponsel kuno itu dengan lembut di atas meja agar tidak rusak, ia bukan pengusaha kaya raya yang punya uang ratusan miliar untuk membeli ponsel baru, bisa makan saya sudah untung. Percuma juga berusaha menelepon bosnya, hanya menghabiskan pulsanya saja karena ia yakin panggilannya tak akan diangkat lagi.

"Sekarang bagaimana ini? Aku tidak punya baju atau gaun untuk datang ke pesta, sedangkan pria itu tak mau mendengarkan ucapanku."

Rasa frustasi terlihat jelas di raut wajahnya, tak lupa tatapan putus asa dengan keadaan seperti ini. Tanpa ia sadari adiknya yang hendak masuk ke kamar, terdiam di depan pintu kamar sambil menatap kasihan pada dirinya.

Lalu adiknya itu pergi dari sana. Sedangkan ia masih memikirkan caranya untuk bisa hadir ke pesta itu. Namun tetap saja ia tak punya cara agar bisa berpakaian layak di pesta nanti.

"Dari pada aku sibuk memikirkan tentang baju, lebih baik aku memasak untuk makan malam. Biarkan saja Pak Gilbert datang ke sini dan melihat keadaan yang sebenarnya."

Akhirnya ia memutuskan keluar dari kamarnya karena tak mau gila jika lama-lama ada di kamarnya dan terus berpikir keras. Setelah sampai di dapur, ia langsung sibuk memasak masakan sederhana seperti ikan teri dengan sambal, sayur, dan nasi.

Kurang lebih setengah jam, akhirnya masakannya sudah matang, ia pun langsung menaruh masakan itu di rak piring, lalu hendak memanggil adiknya untuk makan malam, namun adiknya sudah datang lebih dulu.

Namun ia bingung dengan apa yang dibawa adiknya, sebuah gaun, sepatu, alat rias, dan perhiasaan. Sedangkan Nasya tersenyum senang lalu menghampiri dirinya.

"Kakak belum siap-siap ke pesta?"

"Ini Nasya bawa keperluan untuk Kakak ke pesta."

"Kamu dapat ini semua dari mana?"

"Bibi Yanti, dia baik banget Kak. Aku bilang jika Kakak mau ke pesta, jadi dia meminjamkan gaun, sepatu, alat rias, dan perhiasaan palsu ini buat Kakak. Ayo Kak, siap-siap."

Mendengar jawaban adiknya, rasa terharu memasuki relung hatinya, matanya mulai berkaca-kaca dan meneteskan air mata, kemudian ia memeluk erat tubuh adiknya, ia tak menyangka jika adiknya bisa melakukan hal ini demi dirinya.

"Makasih, kamu baik banget."

"Aku kan sayang sama Kakak jadi aku akan melakukan apa pun untuk Kakak. Ayo Kak cepat siap-siap, nanti telat."

"Oke, kamu makan malam dulu, sudah Kakak buatkan makan malamnya."

"Iya."

Ia pun menerima semua keperluan untuk ke pesta itu dan mulai mandi, kemudian berpakaian dan berdandan, untung saja ia pernah bekerja di salon sehingga tahu caranya berdandan, ia sengaja tidak memakai riasan terlalu tebal karena ia ingin riasan yang natural saja.

Dari gembel menjadi putri raja, itulah gambaran dirinya saat ini. Begitu cantik, bukannya ia narsis dan memuji dirinya sendiri namun ia saja pangling pada dirinya sendiri saat ini.

"Kakak cantik banget."

Mendengar pujian adiknya yang baru saja memasuki kamar, pipinya pun bersemu merah karena malu dipuji. Sedangkan adiknya terlihat begitu senang melihat penampilannya.

"Pasti semua orang di sana akan memuji kecantikan Kakak."

"Kamu ini bisa saja memujinya."

Baru saja adiknya ingin membalas perkataannya namun suara klakson mobil membuat mereka menoleh ke arah jendela kamar secara bersamaan, lalu berjalan ke arah jendela itu untuk melihat siapa yang datang karena jarang sekali mobil masuk ke desa kumuh ini.

Ia hanya bisa mendengus sebal karena bosnya itu tidak mendengarkan dirinya untuk menunggu di gang depan saja, buat apa masuk ke gang dan membuat satu desa heboh dengan kehadiran pangeran di malam hari dengan mobil putih mewahnya? Sekarang lihat, semua tetangganya keluar dari rumahnya saat mendengar suara mobil itu. Mereka semua terlihat kagum dengan mobil dan pemiliknya itu, begitu pun dengan adiknya.

"Dia itu mau sombong atau apa sih?"

"Kakak kenal?"

Mendengar gerutuan yang keluar dari bibirku, membuat adikku menoleh ke arahku dengan tatapan tanya dan penasaran. Aku pun menyesal karena sudah membuat adiknya bertanya tentang pria itu.

"Bos Kakak di kantor."

"Dia suka sama kakak?"

"Bukan, kamu jangan salah paham. Kakak ini sekretarisnya jadi harus berangkat bersamaan ke pesta kantor."

Sebelum adikku berpikir dan ternyata lebih aneh lagi, ia pun langsung keluar dari kamar ini dan bersiap-siap untuk segera berangkat. Namun adikku yang sangat penasaran terus saja bertanya tanpa henti dan tak lupa menggoda status hubunganku dengan Pak Gilbert. Coba saja adikku tahu bagaimana sikap pria itu padaku, pasti adikku akan membenci sosok bernama Gilbert.

"Masa sih Kak cuma bos dan sekretaris? Engga ada yang lebih?"

"Engga ada, sudah Kakak berangkat dulu ya?"

"Iya, hati-hati di jalan."

"Oke, kamu jaga rumah."

"Hm."

Setelah berpamitan pada adiknya akhirnya ia keluar dari rumah dan berjalan ke arah mobil putih itu, rasanya sangat malu saat semua warga desa menatap dirinya yang masuk ke dalam mobil. Saat sudah di dalam mobil akhirnya ia bisa menghela nafas lega.

Ia menunggu bosnya itu menjalankan mobil ini agar kumpulan tetangganya itu bubar dan berhenti membicarakan diriku, namun pria ini tidak mengerti situasi dan malah terus menatap ke arahku dengan tatapan yang menurutku aneh. Tidak seperti biasanya bosku ini melamun. Dengan nada sopan akhirnya ia angkat suara untuk menyadarkan pria itu.

"Pak, Ayo cepat jalankan mobilnya, semua orang melihat kita."

"Iya, tenang. Jangan buru-buru."

"Lagian Bapak kan sudah bilang, tunggu di gang depan, nanti saya jalan ke gang depan, ini malah masuk."

"Suka-suka saya, kamu kenapa mengatur saya?!"

Mendengar nada teriakan dari bosku membuat aku terdiam dan hanya mengalah karena kekuasaan dan posisi yang ia punya. Akhirnya mobil ini berjalan menjauh dari kampungku menuju ke arah Club, tempat pesta berlangsung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status