Melihat ibunya pulang dari belanja, Ratih segera masuk ke dalam rumah ibunya, seperti biasa ingin meminta bahan makanan.
"Ini semua gara-gara si Rani," ujarnya menggerutu.Melihat wajah ibunya yang terlihat kesal sekali, Ratih bertanya, "Ibu, kenapa?"Bu Tut memandang Ratih dengan wajah kusutnya. "Ibu lagi kesal sama si Rani, berani banget dia mempermalukan Ibu."Ratih mencebikkan bibirnya. "Ibu, habis dari tempat mangkal Kang Parto kan? Belanja apa tadi?" Tangannya membuka kantong belanjaan yang berada di atas meja."Hanya ini, Bu?" tanya Ratih sembari menenteng kantong belanjaan yang hanya berisi tahu, tempe, sayur bayam dan beberapa butir cabe.Bu Tut melihat anaknya dengan mata melotot, membuat Ratih sedikit meringis."Hehehe..," Ratih cengengesan. "Ratih, minta, ya, Bu?" Tanpa rasa bersalah dia memasukkan sebagian bahan-bahan tadi ke dalam kantong plastik kecil untuk dibawanya pulang."Kamu, ini, Ratih! Setiap kali ke sini minta terus!" tegur Bu Tut. "Ya, gimana, Bu? Ratih, lagi nggak ada duit buat beli! Nggak ada yang ngasih Ratih duit! Habis mau minta sama siapa lagi coba kalau nggak mintanya sama Ibu?" Tangannya mengambil satu gorengan yang dibawa Bu Tut dan memasukkannya ke dalam mulut. "Makanya, cari suami sana!" ketus Bu Tut.Ratih mencebikkan bibir. Paham betul kalau ibunya sedang mode marah akan merembet kemana-mana. Tak ingin pembahasan jadi panjang, Ratih mengiyakan saja."Iya, Bu! Nanti, Ratih cepat-cepat cari suami. Biar bisa nafkahin Ratih."Mendengar ucapan anaknya yang sedikit sendu, Bu Tut mulai melunak tapi masih berkata dengan ketus."Cari itu yang kaya, biar Ibu bisa ikut nikmatin duitnya juga. Kayak suaminya Rani, tuh. Si Irwan.""Tuh, liat si Rani. Enak, kan jadi dia? Punya suami, duitnya banyak. Dia nggak perlu kerja, tinggal minta aja sama suaminya." "Iya, Bu. Beruntung banget jadi Rani. Mas Irwan itu sudah ganteng, duitnya banyak banget lagi, kelihatannya. Seandainya aja Mas Irwan ketemu sama aku duluan." Ratih berangan-angan."Makanya dari dulu, tuh, cari suami yang bener. Jangan kaya si Jono benalu itu." Bu Tut mencubit paha anaknya. Ratih mengaduh kesakitan."Aw..., Ibu, apaan sih? Sakit tau, Bu!" "Habisnya, Ibu jadi teringat sama si Jono, kan. Bikin Ibu kesel jadinya!"Ratih mengusap pahanya yang terasa perih akibat ulah Ibunya tadi.Teringat mantan suaminya, Ratih juga ikutan kesal. "Aku juga mana tau, Bu, kalau Mas Jono kelakuannya gitu! Kalau tau dari awal, Ratih juga nggak mau nikah sama Mas Jono.""Ratih juga kesal, Bu! Omongannya punya duit banyak, taunya cuma bualan belaka.""Gara-gara dia aku jadi janda gini. Untung nggak punya anak dari dia.""Makanya, kalau kepincut sama laki, diliat bener-bener! Jangan lagi kaya si Jono!" Ratih mengangguk. "Aku heran deh, Bu, sama keluarganya Rani. Bisa banyak gitu duitnya. Emang Mas Irwan kerja apa, ya?" Ratih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang mantan suaminya."Eh.., iya juga, ya? Kok, Ibu nggak kepikiran atau kepo sama kerjaannya si Irwan." Seakan tersadar oleh perkataan Ratih."Cuman, Ibu pernah dengar kalau Irwan itu punya usaha di pasar. Sejenis toko sembako gitu lah, tapi kata orang-orang, hanya kios kecil.""Kok, bisa ya, Bu? Kios kecil tapi istrinya sering banget belanja? Kadang Ratih jua sering liat, setiap hari selalu ada saja kurir paket yang datang ke rumah Rani," ucapnya."Ibu pernah liat, kiosnya Mas Irwan seperti apa?"Bu Tut terdiam. Dia mencoba mengingat. "Iya.. Ibu pernah liat satu kali. Tokonya kecil tapi pengunjungnya ramai," tambahnya."Emmm.... Aku jadi curiga, Bu! Apa jangan-jangan mereka pakai penglaris, ya?""Maksud, kamu?" Bu Tut masih tidak mengerti."Itu, Bu. Semacam pesugihan." Mata Bu Tut melotot seperti hendak keluar dari tempatnya.Brakk...Bu Tut menggebrak meja, membuat Ratih terkejut mendengarnya."Ibu, apaan sih? Mau bikin aku jantungan, ya?""Wah, nggak bisa dibiarin ini! Kalau sampai benar itu, harus cepat kita usir saja!" ucap Bu Tut emosi.Ratih gelagapan melihat Ibunya begitu serius menanggapi ucapannya tadi. "E-eh.. Bu, tapi kita harus pastikan dulu, supaya warga kampung percaya dan bisa dijadikan bukti apabila nanti mereka mengelak. Nanti kaya kejadian waktu itu lagi kalau kita nggak ada bukti."Bu Tut manggut-manggut mendengar penjelasan anaknya. "Bener juga apa kata kamu!""Kalau begitu, nanti kita pantau kiosnya!" ajak Bu Tut.Ratih mengangguk mengiyakan. "Aku penasaran sama kiosnya Mas Irwan sebesar dan seramai apa sih? Sampai bisa menuruti semua keinginan istrinya yang sok alim itu," batin Ratih.****Keesokan harinya ..."Bu Tut, nggak mampir nih?" tanya Bu Rosma."Nggak, saya lagi sibuk nih! Ada keperluan," jawabnya."Tumben jalan sama Ratih!" timpal Bu Irma. "Mau shopping, ya?" tanyanya lagi."Ish.. kepo deh!""Kalau mau shopping, jangan lupa ngajak saya juga, atuh! Kita 'kan bestie. Tapi kalau nggak mau ngajak juga nggak apa-apa asal ada oleh-olehnya pas pulang nanti." Bu Irma dan Bu Rosma cengengesan.Bu Tut menadahkan tangannya. Bu Irma dan Bu Ros saling berpandangan. Mereka bingung."Sini! Mana uangnya?"Mereka berdua masih tidak mengerti. "Uang apa maksudnya, Bu?" tanya mereka bersamaan."Ya, uang buat titipannya lah! Kalian berdua pikir belanja-belanja itu ngambilnya gratis apa?" "Yeah..., Bu Tut, kami berdua 'kan hanya bercanda," ucap Bu Ros."Iya. Jangan diambil hati lah!" timpal Bu Irma."Kirain..! Ya sudah. Saya dan Ratih mau pergi dulu." Mereka berdua pun pergi meninggalkan orang-orang yang tengah berkumpul di pangkalannya Kang Parto.Sesampainya di pasar Bu Tut celingak-celinguk mencari posisi yang pas untuk melihat keadaan.Ratih yang tak paham dengan apa yang sedang dilakukan ibunya hanya bisa melongo."Ibu ngapain? Celingak-celinguk kaya mau maling aja," ucapnya."Hush.... Kurang ajar, kamu!""Habis. Dari tadi Ratih liat Ibu kaya gitu! Emangnya mau ngapain?""Ibu ini lagi nyari tempat yang pas buat mantau.""Ohh... Emang kiosnya yang mana, Bu?""Itu...!" Bu Tut menunjuk sebuah kios kecil menjual keperluan pokok yang masih tutup.Ratih memperhatikan dengan seksama. Memang benar apa yang dikatakan ibunya. Kios itu sangat kecil. Bahkan sangat berbeda sekali dengan toko sembako yang berada di sampingnya."Belum buka, Bu! Ibu tau jam berapa biasanya Mas Irwan buka?""Biasa sih, jam setengah delapan sudah buka. Mungkin sebentar lagi.""Perut Ratih lapar, Bu. Kita makan dulu, ya? Bayarnya pake uang Ibu! Hehehe." Ratih nyengir memperlihatkan giginya."Huh... Dasar kamu ini! Setelah nanti kamu punya suami lagi, jangan lupa ganti semua, ya!""Iya, Bu!""Ingat, cari yang kaya!" "Heemmm..."Mereka makan dengan lahap sampai tak sadar bahwa Irwan sudah membuka tokonya. Bu Tut dan Ratih tecengang. Seperti membenarkan prasangka mereka bahwa Irwan memakai pesugihan saat tiba-tiba Irwan melakukan sesuatu pada kiosnya.Bersambung....Hayo... kira-kira apa yang dilakukan Irwan?"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak