Share

Part 4

Melihat ibunya pulang dari belanja, Ratih segera masuk ke dalam rumah ibunya, seperti biasa ingin meminta bahan makanan.

"Ini semua gara-gara si Rani," ujarnya menggerutu.

Melihat wajah ibunya yang terlihat kesal sekali, Ratih bertanya, "Ibu, kenapa?"

Bu Tut memandang Ratih dengan wajah kusutnya. "Ibu lagi kesal sama si Rani, berani banget dia mempermalukan Ibu."

Ratih mencebikkan bibirnya. "Ibu, habis dari tempat mangkal Kang Parto kan? Belanja apa tadi?" Tangannya membuka kantong belanjaan yang berada di atas meja.

"Hanya ini, Bu?" tanya Ratih sembari menenteng kantong belanjaan yang hanya berisi tahu, tempe, sayur bayam dan beberapa butir cabe.

Bu Tut melihat anaknya dengan mata melotot, membuat Ratih sedikit meringis.

"Hehehe..," Ratih cengengesan. "Ratih, minta, ya, Bu?" Tanpa rasa bersalah dia memasukkan sebagian bahan-bahan tadi ke dalam kantong plastik kecil untuk dibawanya pulang.

"Kamu, ini, Ratih! Setiap kali ke sini minta terus!" tegur Bu Tut. 

"Ya, gimana, Bu? Ratih, lagi nggak ada duit buat beli! Nggak ada yang ngasih Ratih duit! Habis mau minta sama siapa lagi coba kalau nggak mintanya sama Ibu?" Tangannya mengambil satu gorengan yang dibawa Bu Tut dan memasukkannya ke dalam mulut. 

"Makanya, cari suami sana!" ketus Bu Tut.

Ratih mencebikkan bibir. Paham betul kalau ibunya sedang mode marah akan merembet kemana-mana. Tak ingin pembahasan jadi panjang, Ratih mengiyakan saja.

"Iya, Bu! Nanti, Ratih cepat-cepat cari suami. Biar bisa nafkahin Ratih."

Mendengar ucapan anaknya yang sedikit sendu, Bu Tut mulai melunak tapi masih berkata dengan ketus.

"Cari itu yang kaya, biar Ibu bisa ikut nikmatin duitnya juga. Kayak suaminya Rani, tuh. Si Irwan."

"Tuh, liat si Rani. Enak, kan jadi dia? Punya suami, duitnya banyak. Dia nggak perlu kerja, tinggal minta aja sama suaminya." 

"Iya, Bu. Beruntung banget jadi Rani. Mas Irwan itu sudah ganteng, duitnya banyak banget lagi, kelihatannya. Seandainya aja Mas Irwan ketemu sama aku duluan." Ratih berangan-angan.

"Makanya dari dulu, tuh, cari suami yang bener. Jangan kaya si Jono benalu itu." Bu Tut mencubit paha anaknya. Ratih mengaduh kesakitan.

"Aw..., Ibu, apaan sih? Sakit tau, Bu!" 

"Habisnya, Ibu jadi teringat sama si Jono, kan. Bikin Ibu kesel jadinya!"

Ratih mengusap pahanya yang terasa perih akibat ulah Ibunya tadi.

Teringat mantan suaminya, Ratih juga ikutan kesal. "Aku juga mana tau, Bu, kalau Mas Jono kelakuannya gitu! Kalau tau dari awal, Ratih juga nggak mau nikah sama Mas Jono."

"Ratih juga kesal, Bu! Omongannya punya duit banyak, taunya cuma bualan belaka."

"Gara-gara dia aku jadi janda gini. Untung nggak punya anak dari dia."

"Makanya, kalau kepincut sama laki, diliat bener-bener! Jangan lagi kaya si Jono!" 

Ratih mengangguk. 

"Aku heran deh, Bu, sama keluarganya Rani. Bisa banyak gitu duitnya. Emang Mas Irwan kerja apa, ya?" Ratih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang mantan suaminya.

"Eh.., iya juga, ya? Kok, Ibu nggak kepikiran atau kepo sama kerjaannya si Irwan." Seakan tersadar oleh perkataan Ratih.

"Cuman, Ibu pernah dengar kalau Irwan itu punya usaha di pasar. Sejenis toko sembako gitu lah, tapi kata orang-orang, hanya kios kecil."

"Kok, bisa ya, Bu? Kios kecil tapi istrinya sering banget belanja? Kadang Ratih jua sering liat, setiap hari selalu ada saja kurir paket yang datang ke rumah Rani," ucapnya.

"Ibu pernah liat, kiosnya Mas Irwan seperti apa?"

Bu Tut terdiam. Dia mencoba mengingat. "Iya.. Ibu pernah liat satu kali. Tokonya kecil tapi pengunjungnya ramai," tambahnya.

"Emmm.... Aku jadi curiga, Bu! Apa jangan-jangan mereka pakai penglaris, ya?"

"Maksud, kamu?" Bu Tut masih tidak mengerti.

"Itu, Bu. Semacam pesugihan." Mata Bu Tut melotot seperti hendak keluar dari tempatnya.

Brakk...

Bu Tut menggebrak meja, membuat Ratih terkejut mendengarnya.

"Ibu, apaan sih? Mau bikin aku jantungan, ya?"

"Wah, nggak bisa dibiarin ini! Kalau sampai benar itu, harus cepat kita usir saja!" ucap Bu Tut emosi.

Ratih gelagapan melihat Ibunya begitu serius menanggapi ucapannya tadi. "E-eh.. Bu, tapi kita harus pastikan dulu, supaya warga kampung percaya dan bisa dijadikan bukti apabila nanti mereka mengelak. Nanti kaya kejadian waktu itu lagi kalau kita nggak ada bukti."

Bu Tut manggut-manggut mendengar penjelasan anaknya. "Bener juga apa kata kamu!"

"Kalau begitu, nanti kita pantau kiosnya!" ajak Bu Tut.

Ratih mengangguk mengiyakan. "Aku penasaran sama kiosnya Mas Irwan sebesar dan seramai apa sih? Sampai bisa menuruti semua keinginan istrinya yang sok alim itu," batin Ratih.

****

Keesokan harinya ...

"Bu Tut, nggak mampir nih?" tanya Bu Rosma.

"Nggak, saya lagi sibuk nih! Ada keperluan," jawabnya.

"Tumben jalan sama Ratih!" timpal Bu Irma. "Mau shopping, ya?" tanyanya lagi.

"Ish.. kepo deh!"

"Kalau mau shopping, jangan lupa ngajak saya juga, atuh! Kita 'kan bestie. Tapi kalau nggak mau ngajak juga nggak apa-apa asal ada oleh-olehnya pas pulang nanti." Bu Irma dan Bu Rosma cengengesan.

Bu Tut menadahkan tangannya. Bu Irma dan Bu Ros saling berpandangan. Mereka bingung.

"Sini! Mana uangnya?"

Mereka berdua masih tidak mengerti. "Uang apa maksudnya, Bu?" tanya mereka bersamaan.

"Ya, uang buat titipannya lah! Kalian berdua pikir belanja-belanja itu ngambilnya gratis apa?" 

"Yeah..., Bu Tut, kami berdua 'kan hanya bercanda," ucap Bu Ros.

"Iya. Jangan diambil hati lah!" timpal Bu Irma.

"Kirain..! Ya sudah. Saya dan Ratih mau pergi dulu." Mereka berdua pun pergi meninggalkan orang-orang yang tengah berkumpul di pangkalannya Kang Parto.

Sesampainya di pasar Bu Tut celingak-celinguk mencari posisi yang pas untuk melihat keadaan.

Ratih yang tak paham dengan apa yang sedang dilakukan ibunya hanya bisa melongo.

"Ibu ngapain? Celingak-celinguk kaya mau maling aja," ucapnya.

"Hush.... Kurang ajar, kamu!"

"Habis. Dari tadi Ratih liat Ibu kaya gitu! Emangnya mau ngapain?"

"Ibu ini lagi nyari tempat yang pas buat mantau."

"Ohh... Emang kiosnya yang mana, Bu?"

"Itu...!" Bu Tut menunjuk sebuah kios kecil menjual keperluan pokok yang masih tutup.

Ratih memperhatikan dengan seksama. Memang benar apa yang dikatakan ibunya. Kios itu sangat kecil. Bahkan sangat berbeda sekali dengan toko sembako yang berada di sampingnya.

"Belum buka, Bu! Ibu tau jam berapa biasanya Mas Irwan buka?"

"Biasa sih, jam setengah delapan sudah buka. Mungkin sebentar lagi."

"Perut Ratih lapar, Bu. Kita makan dulu, ya? Bayarnya pake uang Ibu! Hehehe." Ratih nyengir memperlihatkan giginya.

"Huh... Dasar kamu ini! Setelah nanti kamu punya suami lagi, jangan lupa ganti semua, ya!"

"Iya, Bu!"

"Ingat, cari yang kaya!" 

"Heemmm..."

Mereka makan dengan lahap sampai tak sadar bahwa Irwan sudah membuka tokonya. Bu Tut dan Ratih tecengang. 

Seperti membenarkan prasangka mereka bahwa Irwan memakai pesugihan saat tiba-tiba Irwan melakukan sesuatu pada kiosnya.

Bersambung....

Hayo... kira-kira apa yang dilakukan Irwan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status