Share

Bab V : Saat ibumu sudah jatuh cinta, suaramu takkan terdengar.

  “Itu muka kenapa?”tanya Arka begitu melihat wajah sahabatnya pagi ini.

 Ara mengusap wajahnya sendiri dengan salah satu tangan,”Davina tiba-tiba minta dijemput.”jawabnya tak bertenaga.

 “Tadi malam?”tanya Arka heran dengan salah satu alis terangkat.

 “Sekitar lima jam yang lalu.”sahut Ara memutar matanya.

 “Dia pulang jam tiga pagi?!”suara Arka terdengar meninggi begitu menyadari penyebab sahabatnya kurang tidur,”Terus dia bisa ke rumah sakit pagi ini?”tanyanya kemudian dengan suara yang tiba-tiba berbisik.

 Ara langsung tertawa begitu mendengar perubahan cara bicara sahabatnya itu,”Pertanyaannya kita juga sebelumnya enggak pernah tahukan kalau ternyata dia suka banget keluar malam?”jawabnya sambil memiringkan kepala.

 Arka mengangguk,”Benar juga ya. Mukanya betul-betul enggak ada bedanya. Kurang tidur apa enggak sama saja.”gumamnya membenarkan.

#

 “Kamu nanti sore ada janji sama Alya dan Devan?”tanya Zia pada Nara yang duduk di sebelahnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

 Nara menganggukkan kepala,”Sekitar jam lima. Mereka mau lihat gaun di tempat mbak Khansa.”jelasnya.

 “Kalian ada permen enggak? Mau dong.”tanya Embun tiba-tiba.

 “Ada di dalam tas mbak.”sahut Nara sambil menunjuk tasnya yang terletak di ujung meja kerjanya.

 Dengan santai Embun mendekat lalu mulai mencari permen di dalam tas milik Nara,”Sejak kapan kamu punya benda seperti ini?”tanya sambil mengangkat sebuah dompet kartu dari tas Nara.

 Mata Nara membesar begitu melihat benda di tangan Embun, ia lupa sama sekali untuk mengembalikannya pada Ara.

 “Kamu beli dompet seharga satu bulan gaji?”tanya Zia dengan alis berkerut begitu melihat merek yang tertera pada dompet di tangan Embun.

 “Itu bukan aku yang beli.”jelas Nara akhirnya,”Itu permintaan maaf dari mas Ara.”katanya lagi.

 Zia mengejap-ngejapkan matanya,”Kesalahan apa yang mengharuskan dia memberi kamu dompet seharga satu bulan gaji?”tanyanya begitu mendengar penjelasan Nara.

#

 “Kenapa si bontot kelihatan capek banget sih ma?”tanya pak Yono pada istrinya.

 “Biasa pa lagi banyak kerjaan.”jawab ibu Linda sambil menyodorkan segelas teh hangat pada suaminya.

 “Dua anak kita kapan akan nikah?”gumam pak Yono sambil mengambil sepotong martabak telur yang tersaji di atas meja.

 Ibu Linda tertawa mendengar suaminya mengeluh,”Mau nikah sama siapa? Orang Arka saja sekarang enggak punya pacar. Nara juga sama habis tahun lalu putus dari Gio sampai sekarang belum punya gandengan lagi.”jelasnya.

 Pak Yono meresap pelan tehnya,”Kenapa Nara putus sama si jurangan emas itu?”tanyanya.

 “Papa kok manggilnya sama kayak Arka sih? Namanya itu Gio. Awas jangan sampai kedengaran Nara nanti dia bisa marah.”kata ibu Linda mengingatkan suaminya,”Ketangkap basah jalan sama teman sekolahnya.”jelasnya lagi menjawab pertanyaan ayah Nara.

 “Selingkuh?”tanya pak Yono memastikan.

 “Begitu deh pak.”sahut ibu Linda membenarkan pertanyaan suaminya.

#

 “Mama sama masmu kemarin itu sempat makan malam bareng Nara.”kata ibu Ratih begitu melihat Nathan, putra bungsunya yang baru tiba di rumah sore itu.

 “Nara adiknya mas Arka?”tanya Nathan yang hampir tersedak waktu mendengar perkataan ibunya.

 “Kamu juga tahu kalau Arka punya adik perempuan yang namanya sama kayak kakakmu?”tanya ibu Ratih pada putra bungsunya.

 Nathan terlihat ragu untuk menjawab,”Tapi aku enggak pernah ketemu ma.”jawabnya,”Mama yakin kalau mereka pacaran?”tanya Nathan memastikan kata-kata ibunya lagi.

 “Masmu enggak mengelak sih waktu mama tanya.”jelas ibu Ratih ringan,”Kamu tahu enggak kalau adiknya Arka itu manis sekali. Mama suka banget. Mana anaknya baik, sopan, mandiri juga.”jelasnya panjang lebar pada putra bungsunya yang kini sibuk sendiri dengan pikirannya.

 Nathan menjadi semakin bingung dengan maksud ibunya. Karena ia sama sekali tidak menyangka kalau kakak sulungnya akan punya hubungan dengan adik sahabatnya. Bagaimana mungkin ia melewatkannya? Rasanya terakhir kali ia mendengar kalau kakaknya itu sedang suka dengan temannya yang sesama dokter. 

#

 “Alya dan Devan batal ke tempat Khansa hari ini?”tanya Embun begitu mengangkat telepon dari Nara.

 “Iya mbak katanya mendadak ada urusan kerjaan yang enggak bisa ditinggal.”jelas Nara sambil berhenti mengambil sepotong roti isi kacang di salah satu toko roti yang terdapat di dalam mal.

 “Terus sekarang kamu mau pulang?”tanya Embun kemudian,”Sebaiknya kamu tidur cepat malam ini. Kalau kamu sampai jaga malam lagi nanti tak carikan lowongan jadi hansip ya.”omelnya sambil tertawa.

 Nara ikut tertawa mendengar kata-kata rekan kerjanya itu,”Selesai beli roti aku pulang kok.”jawabnya lalu mengakhiri pembicaraan. Nara melihat nampan di salah satu tangannya,”Sepertinya masih kurang.”gumamnya pelan lalu mulai melihat-lihat kira-kira roti apa yang akan mencuri perhatiannya?

#

 “Maaf.”kata Nara terkejut waktu jepitannya berbenturan dengan jepitan lain saat hendak mengambil sepotong roti di dalam rak. Suasana tiba-tiba berubah seperti adegan yang sering terjadi di iklan pasta gigi Hanya saja tidak ada senyuman yang menghiasi wajah Nara karena mendadak perasaannya jadi tidak enak.

 “Nara?”panggil suara dari sisi yang berseberangan dengan tempat Nara berdiri dan lagi-lagi entah kenapa suara itu terdengar akrab di telinganya. 

 Karena rak roti cukup  tinggi dan menutupi sosok yang menyapanya Nara segera menunduk dan mengintip di antara sela-sela roti.

 “Mas Ara?”ujar Nara merasa tidak terima begitu melihat pria yang berdiri di hadapannya. Kenapa lagi-lagi mereka bertemu tanpa janji? Omelnya dalam hati.

 Ara tersenyum sambil mengangkat nampan yang penuh roti di kedua tangannya.

#

 “Ini mas.”kata Nara sambil menyodorkan dompet kartu yang waktu itu diberikan kepadanya.

 Ara mendorong kembali dompet itu ke arah Nara,”Itukan untuk kamu. Kenapa dikasih balik ke aku?”tanyanya bingung.

 “Beban mas bawa dompet seharga satu bulan gaji.”kata Nara memberi alasan.

 Alis Ara berkerut tidak percaya mendengar alasan adik sahabatnya itu,”Masak? Gajimu hanya seharga ini?”tanyanya sambil menunjuk dompet kartu di tangan Nara.

  Nara memutar mata sambil menghela napas,”Kami bertiga sepakat untuk memutar keuntungan tiga tahun pertama untuk biaya operasional. Jadi sementara itu kami dapat gaji yang sama.”jelasnya dan kenapa ia harus menjelaskan hal ini pada sahabat kakaknya? Pikir Nara,”Sudah pokoknya aku enggak bisa terima.”katanya lagi menegaskan.

 “Kamu jual saja kalau begitu.”ujar Ara santai.

 “Kenapa harus aku jual? Kan mas bisa pakai.”sahut Nara bingung.

 “Dokter mana pernah menyimpan kartu nama? Aku kan bukan pengusaha”jawab Ara sekenanya.

 “Masak enggak ada orang yang bisa dikasih?”tanya Nara lagi. Kenapa jadi dirinya yang harus pusing karena masalah dompet? Omel Nara tanpa suara.

 “Habis yang aku kasih menolak kecuali kamu bisa merayu orang yang aku kasih.”jawab Ara sambil tersenyum iseng.

 Nara menghela napas panjang mendengar jawaban pria cuek di hadapannya.

#

 Ibu Ratih memperhatikan putra sulungnya yang baru masuk lalu meletakkan kantong besar berisi roti di atas meja makan.

 “Kamu habis pergi dengan pacarmu?”tanya ibu Ratih sambil menunjuk bawaan yang di bawa pulang oleh Ara.

 Ara memutar mata mencerna maksud pertanyaan ibunya,”Iya ma tadi aku beli ini sama Nara.”jelasnya. Sudah pasti yang dimaksud ibunya bukan Davina dan ia juga tidak berbohong karena memang tadi dirinya bertemu dengan Nara.

 “Kapan kita makan malam sama-sama lagi? Mama suka sekali sama pacarmu itu.”ujar ibu Ratih sambil memegang kalung hadiah ulang tahun dari putra dan gadis yang disangka calon menantunya itu.

 “Nanti deh ma. Kami atur waktu dulu.”jawab Ara sambil mengaruk kepalanya yang tidak gatal.

#

 Nathan mendengar suara pintu kamar ditutup, itu pertanda kakak sulungnya sudah sampai di rumah dengan cepat ia keluar dari kamarnya.

 “Mas!”panggil Nathan menerjang masuk dengan cepat.

 Ara yang terkejut langsung memutar badannya menghadap Nathan,” Itu pintu gunanya untuk diketuk.”omelnya sambil menunjuk ke arah pintu,”Jangan main masuk saja terus bikin kaget orang!”kata Ara lagi melanjutkan omelannya.

 “Mas kok bisa pacaran sama adiknya mas Arka?”tanya Nathan tanpa memperdulikan ocehan kakaknya.

 “Kok kamu itu bisa sampai ke telingamu?”tanya Ara heran.

 Nathan menunjuk ke bawah lantai,”Mama yang bilang.”sahutnya singkat,”Bukan terakhir mas cerita sama aku kalau mas lagi suka sama dokter dari rumah sakit mana itu.”kata Nathan lagi melanjutkan rasa penasarannya.

 Ara menghela napas panjang,”Mama salah paham, lebih tepatnya tante Winda teman arisan mama yang salah paham dan soal Davina mama belum tahu.”jelasnya.

 “Tunggu jadi mas sebenarnya pacaran sama siapa?”tanya Nathan dengan dahi berkerut bingung.

 “Pacarku Davina tapi mama tahunya Nara yang pacarku.”jelas Ara cepat.

 “Jadi mama malah sudah pernah ketemu adiknya mas Arka tapi belum tahu sama sekali soal pacar benarannya mas?”tanya Nathan lagi memastikan setelah mencerna antara cerita yang ia dengar dari ibunya dan kakak sulungnya itu.

 Ara menganggukkan kepala,”Lebih kurang begitu.”jawabnya membenarkan tebakkan adiknya.

 “Terus mas enggak mau klarifikasi? Nanti kalau jadi salah paham bagaimana?”tanya Nathan dengan kerutan yang semakin banyak muncul di dahinya.

 “Ini juga sudah jadi salah paham. Kamu tahu sendiri mama kalau sedang senang apa juga enggak didengar.”jawab Ara dengan merana,”Mana mama suka banget lagi sama Nara.”gumamnya lagi.

 Nathan mengacak rambutnya dengan gemas,”Wah kalau begini perkara saat ibumu sudah jatuh cinta, suaramu takkan terdengar.”katanya dengan wajah serius.

 Ara langsung tertawa begitu mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut adiknya itu,”Kamu kok tiba-tiba bikin sajak? Aku yang pusing kok kamu malah jadi pujangga?”katanya.

#

 “Kamu beli roti di Bogor? Kenapa baru sampai sekarang?”tanya pak Yono begitu melihat putri bungsu yang memberi kabar sudah akan pulang tapi baru muncul di rumah hampir tiga jam kemudian.

 Nara menarik napas panjang begitu mengingat perdebatan mengenai dompet kartu yang lagi-lagi masih berakhir di dalam tasnya.

 “Ke mana lagi tadi?”tanya bu Linda sambil membuka bungkusan roti yang dibawa Nara.

 “Mendadak ada urusan ma.”jelas Nara singkat sambil meletakkan tasnya.

 “Sudah sana mandi. Ini sudah mau jam sembilan malam.”perintah pak Yono pada putrinya,”Kamu sudah makan?”tanyanya lagi.

 Lagi-lagi Nara menghela napas, ia lupa kalau dirinya belum makan malam. Rencana untuk pulang cepat dan makan malam di rumah jadi berantakan,”Belum pa tadi enggak sempat.”jawabnya dengan suara sedih, 

 “Cepat mandi lalu makan malam.”kata ibu Linda. 

 Nara mengangguk perlahan lalu segera berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

 “Anakmu kalau terus begitu lama-lama bisa sakit.”ujar pak Yono pada istrinya.

#

 Hampir jam sebelas setelah akhirnya Nara selesai mandi, makan malam dan menerima ceramah dari kedua orangtuanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar karena kantuk dan lelah. Nara bergegas menuju kamar mandi dan mengambil sikat gigi.

 “Sebaiknya dijual di mana itu dompet.”kata Nara pada dirinya sendiri dengan mulut penuh busa sambil mengetuk jari-jarinya di atas wastafel

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status