“Pasien infeksi hati?”tanya Arka saat melihat sahabatnya sedang membaca berkas salah satu pasien.
Ara mengangguk tanpa mengalihkan padangannya,”Sudah sampai bolak balik demam tapi tidak langsung diperiksa sudah sampai kuning kulitnya. Hari ini sudah langsung periksa laboratorium lengkap dan MRI.”jelasnya. “Padahal kalau sakit tinggal ke dokter. Kenapa harus tunggu sampai parah?”gerutu Arka sambil memasukkan kedua tangan di kedua kantong pada sisi jas kerjanya. “Sibuk dok. Enggak tahu kalau zaman sekarang waktu itu berharga?”sahut Ara singkat. “Kenapa orang enggak pernah sadar kalau sampai sakit waktu bakal terbuang dengan sia-sia?”gumam Arka lagi. Ara tertawa mendengar sahabatnya yang mengerutu pagi-pagi,”Karena kalau sampai enggak ada orang yang sakit, kita bakal sibuk main ponsel pak dokter.”sahutnya sambil menepuk bahu Arka lalu berjalan pergi.# “Mbak ini sudah siap. Mau diambil apa dikirim?”tanya Nadira pada Zia sambil menunjuk beberapa foto berukuran besar lengkap dengan bingkai. “Nanti aku coba tanya dulu dengan kliennya.”sahut Zia tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Ini video yang mau diganti lagunya?”tanya Nara sambil menunjuk layar laptop Zia. Zia mengangguk,”Kliennya kemarin bilang terserah begitu sudah selesai malah berubah pikiran.”jawabnya sambil mendesah pelan. “Tapi kamu sudah hubungi pihak editor?”tanya Nara memastikan. “Sudah dan sudah dimarahi juga. Kamu tahu sendirikan ribetnya musti buat ulang. Ganti lagu berarti ganti bagian. Enggak beda dengan buat baru.”jawab Zia sambil mendesah pelan. Tanpa sadar Nara ikut mendesah. Zia menatap rekan kerjanya dengan wajah bingung,”Aku yang dimarahi editor kenapa kamu yang ikut merana?”tanyanya “Kamu tahu tempat jual barang yang cepat laku enggak?”tanya Nara tanpa menjawab pertanyaan yang Zia ajukan. Kini Zia menatap Nara dengan alis terangkat sebelah.# Nara terus memandangi layar laptopnya terlalu banyak situs jual beli yang tersedia, ia sampai bingung memilih. “Kamu mau jual apa sih?”tanya Embun yang sejak tadi berdiri di belakang kursi kerja Nara. “Dompet kartu.”jawab Nara singkat. “Itu bukannya hadiah? Mau kamu jual?”tanya Zia tiba-tiba ikut bergabung. “Mas Ara yang suruh.”jelas Nara datar sambil menopak wajah dengan sebelah tangannya. “Kok kalian aneh sih? Hadiah apa yang malah disuruh jual sama yang memberi?”tanya Embun bingung dengan dahi berkerut. Zia bangkit dari kursi berjalan mendekati kedua rekan kerjanya lalu menunjuk dahi Embun,”Jangan berkerut terlalu lama mbak berbahaya.”katanya mengingatkan. Embun langsung panik dengan cepat memegang dahinya. “Jadi benaran mau dijual?”tanya Zia lagi pada Nara sambil tertawa karena melihat tingkah Embun. Nara mengangguk lagi,”Sepertinya begitu.”jawabnya lelah.# “Kamu kenapa enggak mau ikut acara nanti malam?”tanya Davina saat dirinya menelepon Ara siang ini. Ara memijit kedua pelipis dengan sebelah tangannya,”Enggak bisa sayang. Aku masih ada jadwal praktek sampai sore.”jelasnya. “Tapikan kamu bisa datang terlambat. Acaranya pasti sampai malam.”kata Davina memberi alasan. “Selesai subuh maksudmu?”tanya Ara meralat perkataan kekasihnya,”Besok pagi aku ada jadwal operasi.”katanya lagi. Arka yang sedang berjalan melewati Ara bertanya tanpa suara siapa orang yang sedang menelepon dirinya.# “Praktekmu kan jam enam sudah selesai. Acaranya bukan mulai jam sepuluh malam?”tanya Arka bingung saat mendengar alasan sahabatnya menolak ajakan pacarnya itu. Ara memutar matanya,”Bisa sih kalau kamu mau gantiin operasi besok pagi.”sahutnya ringan. “Enggak makasih! Itukan pasienmu.”tolak Arka sambil mengoyangkan kedua tangannya di depan dada. “Kalau begitu jangan tanya kenapa aku enggak pergi.”cibir Ara kesal.# “Halo.”sapa Nara begitu mengangkat telepon di meja kerjanya. “Nara? Kamu masih di kantor?”tanya Gio begitu mendengar suara Nara. Alis Nara terangkat sebelah karena bingung,”Gio?”panggilnya ragu. “Kamu lagi ngapain?”tanya Gio berusaha mencari bahan pembicaraan. “Menelepon?”jawab Nara bingung. Beberapa hari yang lalu ia memang sempat bingung akan kedatangan Gio waktu itu tapi setelah dipusingkan oleh urusan dompet kartu bermerek yang tidak kunjung selesai, dirinya kini betul-betul lupa sama sekali Gio tertawa mendengar jawaban yang Nara berikan,”Iya juga sih kamu lagi menelepon. Malam ini mau makan sama-sama?”ajaknya. Belum sempat menjawab Nara mendapat panggilan masuk di ponselnya. “Maaf aku ada telepon dari klien.”jawab Nara cepat,”Mungkin lain kali?”katanya lagi sambil mengakhiri telepon mereka.# “Mereka mau ketemu jam berapa?”tanya Embun sambil menyodorkan beberapa daftar kontrak yang sudah disetujui pada Nara. Nara mengangguk sambil menerima tumpukkan berkas yang diberikan Embun,”Ini sudah oke semua mbak?”tanyanya memastikan. “Sudah tapi ini termasuk si pasangan resek.”sahut Embun sambil tersenyum penuh arti. “Putri sama Aiman mbak? Mereka jadi pakai kita?”tanya Zia panik begitu mendengar kata-kata Embun. “Dan sudah pembayaran pertama.”jelas Embun sambil memejamkan matanya. “Kenapa diterima mbak?”tanya Zia lagi-lagi dengan suara panik. “Ya kamu masak rezeki ditolak?”ujar Nara yang kemudian menumpuk kedua tangan di dadanya,”Sabar-sabar ya kamu.”katanya tiba-tiba. “Kamu suruh siapa yang sabar?”tanya Embun bingung. “Hatiku mbak. Biar enggak darah tinggi.”jelas Nara tersenyum yakin. Zia segera mengambil salah satu berkas lalu membacanya. “Kamu lihat apa?”tanya Nara bingung “Mereka masih tahun depan menikahnya jadi masih ada waktu.”sahut Zia cepat menjawab pertanyaan Nara. Embun memandang kedua rekannya yang sibuk begitu mendengar nama klien mereka yang sulit dihadapi,”Jadi kalian ya yang mau mengurus Putri dan Aiman?”godanya sambil tersenyum geli. Nara dan Zia menoleh ke arah Embun dengan cepat,”Sama-sama mbak!”kata keduanya.# “Bagaimana?”tanya Alya pada Devan calon suaminya begitu berjalan keluar dari ruang ganti bersama Nara. Mata Devan mengamati gaun panjang berwarna merah menyala dengan bagian atas yang terbuka,”Warnanya apa tidak terlalu mencolok?”tanyanya tidak yakin. “Kalau untuk pengambilan foto di luar ruangan memang lebih bagus dengan warna yang mencolok karena latarnya akan lebih luas.”jelas Nara tenang,”Tapi untuk modelnya bagus ya?”tanya Nara kemudian meminta pendapatan kedua kliennya. Alya menatap cermin besar di hadapannya lalu mengangguk setuju. Khansa yang baru keluar setelah mempersiapakan gaun-gaun lain untuk dicoba oleh Alya tersenyum puas dengan pilihannya,”Kamu cocok sekali mengenakan warna merah.”pujinya. “Modelnya bagus aku juga suka.”kata Devan memberi pendapat. “Kita coba model yang lain?”ajak Nara cepat.# “Cuma sebentar.”pinta ibu Ratih begitu melihat putra sulungnya tiba di rumah. “Ma aku habis menyelesaikan tiga operasi berturut-turut.”sahut Ara dengan wajah lelah. Namun tanpa peduli dengan alasan putranya, ibu Ratih dengan cepat menarik lengan Ara menuju mobil. Ara menghela napas,”Memang tidak bisa ditunda sampai besok ma?”tanyanya berharap ibunya berubah pikiran. “Besok mama ada arisan.”kata ibu Ratih memberi alasan.# “Pesanan atas nama Ratih sudah siap?”tanya ibu Ratih begitu tiba di meja resepsionis. “Mohon tunggu sebentar.”jawab salah seorang pegawai lalu mempersilahkan ibu Ratih dan Ara duduk. Setelah menunggu beberapa saat mereka mempersilahkan ibu Ratih untuk masuk. “Kamu tunggu di sini saja. Mama hanya sebentar.”kata ibu Ratih kemudian berjalan masuk, dengan malas Ara hanya duduk bersandar di sebuah sofa besar menunggu ibunya. Sekitar lima belas menit kemudian ibu Ratih keluar,“Langsung tak bawa saja kalau begitu. Terima kasih.”kata ibu Ratih,”Jangan lupa ya pesanan yang satu lagi.”katanya sambil tersenyum ramah. “Mama pesan lagi?”tanya Ara bingung sambil mengikuti ibunya berjalan keluar. “Kamu komentar saja. Ayo pulang.”ajak ibu Ratih.# Sudah hampir jam delapan malam, akhirnya Alya dan Devan selesai memilih gaun mana yang akan mereka gunakan untuk foto di Yogyakarta nanti. Nara keluar dari kamar ganti dan menghampir Devan yang sedang menunggu Alya selesai berganti pakaian. “Nanti untuk pakaian yang perlu kamu siapkan akan aku kirim secepatnya. Semua akan disesuaikan dengan pilihan gaun tadi.”jelas Nara cepat,”Sebentar aku harus mengecek kembali dengan mbak Khansa.”katanya kemudian berjalan menuju meja depan.# “Mbak Khansa ini sudah oke semua ya?”tanya Nara melihat lembaran pesanan kliennya. “Sudah. Badan Alya juga sudah diukur. Nanti hanya perlu datang lagi satu kali setelah ukurannya disesuaikan.”jelas Khansa. “Mbak, kok ada lima gaun? Bukan seharusnya cuma ada empat?”tanya Nara bingung. “Empat punya Alya.”jawab Khansa. “Terus satu lagi punya siapa?”tanya Nara semakin bingung. “Punya jeng Nara Kamila.”sahut Khansa sambil mengedipkan sebelah matanya. “Punyaku? Kok bisa?”tanya Nara menunjuk dirinya sendiri. Khansa melirik ke arah dalam butik memastikan Alya dan Devan tidak melihat mereka,”Itu urusan nanti. Seharusnya kamu kasih tahu aku.”bisiknya pada Nara. Nara menarik mundur kepalanya,”Soal apa mbak?”tanyanya tidak mengerti maksud Khansa. “Calon mertua kayak ibu Ratih kamu ketemu di mana itu?”tanya Khansa penasaran. “Tante Ratih? Kok mbak bisa kenal? Terus kenapa bisa tante Ratih sewa gaun untuk aku?”tanya Nara dengan mata membesar. Khansa tertawa melihat reaksi Nara yang panik,”Wah kamu benar-benar enggak tahu? Kalau aku bilang ibu Ratih pilih gaun seharga sepuluh juta untuk dirimu bagaimana?”ujarnya sengaja menambah kepanikan Nara. “Harga gaunnya sepuluh juta?!!”tanya Nara lagi-lagi dengan nada meninggi dan panik. Belum sempat Khansa menjawab pertanyaan Nara, Alya dan Devan muncul di belakang mereka dengan bingung. “Gaunnya sampai sepuluh juta? Enggak kemahalan mbak Khansa? Kan hanya sewa.”tanya Alya tiba-tiba. Khansa langsung dengan cepat menanggapi agar kliennya tidak salah paham,”Bukan gaun kalian kok. Tenang saja. Semua sudah jadi satu di dalam paket. Aman!”jelasnya cepat sambil tersenyum. Nara yang juga menyadari bahwa kliennya mendengar permbicarannya dengan Khansa langsung tersenyum,”Iya tadi kami sedang membahas gaun lain.”jelasnya. Alya dan Devan mengangguk mengerti. “Kalau begitu kami pamit ya.”kata Devan sambil menggandeng tangan Alya. Alya tersenyum lalu mohon diri,”Kami duluan. Terima kasih.”katanya.# Setelah Alya dan Devan menghilang dari pintu, Nara kembali menatap Khansa lalu mengulangi pertanyaannya,“Mbak itu gaun harganya sepuluh juta?”tanyanya masih dengan suara panik. “Itu harga sewanya. Gaunnya masih baru. Barusan datang jadi kamu akan jadi pemakai pertama.”jelas Khansa ringan. “Mbak kenapa dikasih sih?”tanya Nara kembali panik. “Ya masak langganan mau sewa aku tolak. Mana sudah langsung dibayar pula.”jelas Khansa. “Apa? Sudah dibayar?”tanya Nara semakin meninggi. Khansa menutup telinganya,”Tenang jeng. Kan cuma gaun, sudah disewa ya tinggal kamu pakai.”katanya tenang,”Tapi ngomong-ngomong kamu mau ke mana pakai gaun itu?”tanya Khansa heran. Nara menghela napas pelan,”Mana aku tahu mbak?”sahutnya balas bertanya. “Jadi gaunnya mau kamu coba sekarang?”tanya Khansa lagi,”Kalau enggak ada acara dipakai ke kantor juga boleh kok. Kita kan rekanan sudah lama aku percaya kok sama kamu.”candanya sambil tertawa. Nara menggeleng,”Pokoknya mbak harus kembalikan uang sewa gaunnya. Soalnya aku enggak akan pakai itu gaun.”katanya lagi mengingatkan Khansa. Dahi Khansa berkerut bingung,”Mau dikembalikan ke mana itu uang sewa?”tanyanya heran. “Nanti biar aku urus dulu. Besok aku akan kabari mbak. Oke?”sahut Nara yakin tidak yakin dengan kata-katanya sendiri.“Nara kamu masak mi instan pakai air satu panci?”tanya ibu Linda sambil menunjuk ke arah wastafel tempat putrinya sedang mengisi air,”Itu sampai luber.”katanya lagi.Nara terkejut dengan cepat iya mematikan keran air lalu menuang setengah isinya,”Maaf ma.”gumamnya.“Kenapa kamu minta maaf sama mama? Orang yang bayar tagihan airkan kamu juga.”sahut ibu Linda santai lalu berjalan menuju kamarnya.“Mama bisa saja.”kata Nara sambil tertawa lalu mengambil sebungkus mi instan.#Arka agak malam baru tiba di rumah ia masuk tanpa suara dan melihat adik bungsunya sedang duduk di meja makan, melamun dengan sepiring mi goreng yang belum disentuh. Perlahan Arka mengambil sesuap lalu suapan kedua kemudian suapan berikutnya namun karena makan terlalu cepat ia tersedak.“Mas Arka!”panggil Nara terkejut dan baru menyadari kehadiran kakaknya. Mata Nara membesar saat melihat piring di hadapannya hampir kosong,”Kenapa dihabisin?!”omelnya.
“Kamu kenapa pagi-pagi ada di sini?”tanya Arka heran begitu melihat sahabatnya muncul di depan pintu rumahnya.Mata Ara berputar berusaha untuk membuat alasan bodoh yang bisa terdengar masuk akal.“Aku kebetulan lewat.”jawab Ara sambil membasahi bibirnya. Tadi malam ia tidak berhasil menjelaskan kepada Nara tentang acara keluarga yang harus mereka hadiri minggu depan dan gadis itu tidak membalas pesan ataupun mengangkat teleponnya.Arka mengangkat sebelah alisnya karena bingung,”Kamu dari mana sampai bisa lewat daerah sini?”tanyanya.Ara memasang wajah bodoh,”Kita cari sarapan saja yuk! Aku enggak sempat makan pagi nih.”pintanya tanpa menjawab pertanyaan yang Arka ajukan.#“Siapa yang datang?”tanya ibu Linda dari dalam rumah.Mendengar suara panggilan dari dalam rumah Ara menarik napas lega.“Itu dipanggil tante Linda.”kata Ara sembari menunjuk ke arah dalam rumah,”Aku tante!”jawabnya sambil berjalan masuk melewati
“Kamu sakit?”tanya Nara yang baru tiba di kantor saat melihat wajah pegawainya yang pucat.Nadira mengejap pelan lalu mengatur napasnya,”Mbak fotonya Lili dan Roni kena rembesan dari plafon yang bocor.”jelasnya panik.Nara berusaha memahami situasi,”Seberapa parah? Mbak Embun sudah datang?”tanyanya pelan.“Belum ada yang datang mbak.”jawab Nadira.“Kapan fotonya mau diambil?”tanya Nara memastikan.Nadira Kembali memasang wajah panik,”Harusnya sore ini.”jelasnya.“Coba aku lihat dulu.”ajak Nara sambil berjalan masuk ke dalam kantor.Noda cokelat yang menghiasi foto klien mereka terlihat begitu jelas dan karena permukaan kain yang digunakan sebagai media untuk mencetak foto, noda itu bisa menyerap dengan sempurna. Nara memutar matanya,”Kamu coba hubungi pihak studio untuk minta mereka cetak lagi lalu tanya kapan bisa selesai. Biar Lili dan Roni nanti aku yang hubungi.”katanya pada Nadira.#Embun dan Zia
Nara memandang sahabat kakaknya dengan kesal.“Kamu enggak mau pulang? Ayo aku antar.”ujar Ara santai tanpa peduli dengan tatapan tajam yang diarahkan kepadanya.“Tolong dijelaskan bagaimana mobil ini bisa enggak menarik perhatian tetangga dan seisi rumahku?”tanya Nara dingin menunjuk ke arah mobil mahal milik Ara.Ara memamerkan deretan giginya,”Kita ke rumahku dulu kalau begitu.”ujarnya cepat.“Enggak usahlah mas. Aku naik taxi saja.”sahut Nara menunjuk deretan taxi di depan lobi hotel.“Jangan dong inikan sudah jam sepuluh malam. Masa kamu mau pulang naik taxi sendirian.”sahut Ara melarang.“Kalau kita harus ke rumah mas dulu juga akan makin malam aku pulangnya.”gerutu Nara datar.“Tenang kita hanya akan ganti mobil.”ujar Ara ringan sambil mendorong Nara masuk ke dalam mobil.#“Kata mas kita akan langsung ke rumahku?”protes Nara sebal dengan suara berbisik agar ibu Ratih tidak mendengar kata-katany
Arka yang sedang bersiap-siap untuk makan malam kini menatap adik bungsunya yang tiba di rumah tidak lama setelah dirinya dengan wajah bingung,”Kamu bilang mau pulang tepat waktu karena capek?”tanyanya dengan alis terangkat sebelah mengingat Nara menolak untuk menunggu dirinya yang masih harus menanggani pasien di ruang ICU.Nara hanya tersenyum bodoh saat melihat Arka dengan tangan yang sedang sibuk menyendok nasi di meja makan bertanya kepadanya. Bagaimana dirinya bisa mengatakan kalau ia sekarang ini sangat ingin memasukkan sahabat kakaknya itu ke dalam kotak lalu melemparkannya ke samudra Hindia karena setiap kali selalu saja membawa masalah untuknya.“Kamu kok belakangan jadi sering makan malam-malam?”tanya Arka heran begitu melihat Nara mengambil piring dan ikut bergabung dengannya.Tiba-tiba ibu Linda yang keluar dari kamar untuk mengambil air minum malah ikut bergabung di meja makan begitu mendengar pembicaraan kedua anaknya,“Iya kamu d
Nara memandang pantulan dirinya di cermin, menghela napas karena melihat kalung itu kembali melingkar di lehernya. Matanya tiba-tiba membesar dengan cepat ia berlari membuka tas kerjanya lalu mengeluarkan sebuah amplop,”Aku lupakan memberikan ini ke mas Ara.”ocehnya pada dirinya sendiri,”Atau sebaiknya aku jual juga kalung ini?”gumam Nara lagi. Namun, lagi-lagi Nara menghela napas panjang bagaimana caranya menjual kalung berlian yang surat-suratnya bahkan tidak ada padanya, bisa-bisa nanti disangka barang curian. Ia juga belum mengembalikan gaun sewaan ke butik Khansa. Kenapa sekarang kamarnya jadi dipenuhi barang-barang mahal? Gerutu Nara lelah.#Pagi ini ibu Linda yang sedang sarapan bersama suami dan kedua anaknya tiba-tiba sibuk menyadari akan sesuatu,”Sejak kapan kamu pakai kalung? Baru ya?”tanyanya sambil menunjuk ke arah leher putri bungsunya.Nara nyaris tersedak bubur ayam yang ada di mu
“Jadi pacar mas itu mbak Davina?”tanya Nara begitu sahabat kakaknya itu selesai bercerita tentang alasannya datang ke rumah sakit lain siang tadi.Ara mengangguk,”Baru tiga minggu? Kurang lebih.”jawabnya tidak yakin,”Tunggu kok kamu bisa kenal sama Davina?”tanyanya heran.Nara mengangguk pelan,”Enggak kenal cuma pernah ketemu waktu mas Arka lagi tugas di Bandung.”jelasnya singkat lalu dengan cepat memutar badannya menghadap ke arah kursi kemudi,”Jadi kapan mas akan kasih tahu tante Ratih tentang masalah ini?”tanyanya sambil melipat kedua tangan di bawah dada.“Secepatnya.”jawab Ara cepat, ia agak sedikit terkejut karena tiba-tiba Nara mengubah topik pembicaraan. Beruntung mereka sudah sampai di restoran cepat saji yang ditunjuk Nara jadi ia menghentikan mobilnya,”Kamu enggak mau pesan makanan.”katanya segera mengalihkan perhatian Nara dengan menunjuk benda besar berbentuk kotak dan berwarna hitam yang mempersilahkan pelanggan untuk memesan makanan. K
“Kamu besok bisa tolong papa sebelum berangkat ke rumah sakit?”tanya pak Alex pada putra sulungnya.Ara mengalihkan pandangan dari layar laptopnya,”Ke lokasi proyek pa?”tanyanya menebak maksud ayahnya.Pak Alex mengangguk,”Nathan besok pagi harus ketemu pemasok kopi di kedainya.”jelasnya memberi alasan.“Hanya perlu mengambil beberapa foto dari semua bagiankan?”tanya Ara memastikan tujuannya pergi ke lokasi yang dimaksud oleh ayahnya.#Zia dan Embun menopang dagu dengan kedua tangan mereka masing-masing menunggu Nara melanjutkan ceritanya. Mata Nara mengejap-ngejap melihat tingkah kedua rekannya itu.“Ini kalau aku enggak lanjutin ceritanya kalian enggak bakal kerja?”tanya Nara sebelum melanjutkan ceritanya.Keduanya dengan kompak menganggukkan kepala.“Karena bekerja dengan dipenuhi rasa penasaran itu tidak baik.”sahut Zia