Mata Embun membesar begitu selesai mendengar cerita Nara.
“Kamu makan malam sama mamanya Ara?”tanyanya memastikan. Nara hanya bisa menghela napas dengan wajah merana,”Kayaknya enggak cukup kacau dengan aku terus-terusan kebetulan ketemu sama mas Ara. Kemarin harus banget ditambah sama ketemu tante Ratih.”gumamnya tak berdaya. “Kamu enggak minta Ara untuk kasih tahu mamanya?”tanya Embun lagi,”Terus kata kamu kemarin itu Ara sudah punya pacar. Kalau tiba-tiba kalian enggak sengaja ketemu apa tidak jadi runyam?”tambahnya mengingatkan.# “Sayang, kita hari ini jadi ketemu?”tanya Ara memastikan saat menelepon Davina pagi ini. “Jadwal operasiku sampai jam tiga sore.”jawab Davina yang sedang melangkah menuju ruang prakteknya. “Aku praktek sampai jam empat hari ini. Kalau begitu kita ketemu waktu jam makan malam.”kata Ara memutuskan. Davina memutar matanya,”Sayang, tapi jangan terlalu malam ya pulangnya. Soalnya aku harus siap-siap. Teman sekolahku ada pesta ulang tahun,”ujarnya,”Aku sudah harus masuk ruang operasi nih. Sampai ketemu nanti malam.”kata Davina sebelum akhirnya menutup telepon dari Ara. “Sudah mau empat puluh tahun masih juga buat pesta ulang tahun.”gumam Ara sambil menghela napas dengan mata menatap layar ponselnya. “Memang orang mau buat pesta ulang tahun ada batas umurnya dok?”tanya salah seorang suster yang sedang menunggu Ara menandatangani laporan pemerikasaan pasien. “Ya enggak juga sih sus.”sahut Ara malu karena ternyata ada yang mendengar kata-katanya. # “Gio? Kenapa kamu bisa di sini?”tanya Nara dengan mata membesar karena terkejut begitu melihat mantan pacarnya muncul di kantor tiba-tiba dengan kedua tangan yang menenteng kotak-kotak berisi makanan. “Aku bawa makan siang untuk kalian.”jawab Gio sambil mengangkat kedua tangannya. “Kamu habis bikin dosa apa? Sampai mantanmu tiba-tiba muncul di sini?”tanya Zia pada Nara dengan suara berbisik agar Gio tidak mendengarnya. Nara dengan cepat mendorong lengan Zia dan menyuruh rekan kerjanya itu diam. “Wah mas Gio. Baik banget.”sahut Nadira yang tiba-tiba muncul dan menyambut makan siang gratisnya. “Terima kasih ya mas.”tambah Galang yang muncul di belakang Nadira. “Maaf ya.”ucap Nara melihat tingkah pegawainya. Gio hanya menatap Nara sambil tersenyum.# Setelah Gio pamit dan meninggalkan kantor Nara, semua mata kini menatap Nara dengan pandangan bertanya Kenapa bapak mantan itu bisa muncul di sini? “Kamu lupa cerita sesuatu sepertinya?”tanya Embun sambil melipat kedua tangan di bawah dada. “Mbak Nara kalau mantannya kayak mas Gio sih mendingan balikkan lagi.”ujar Nadira tiba-tiba memberi saran. “Sembarangan!”tegur Zia sambil memukul pelan bagian belakang kepala Nadira,”Kamu kayak enggak tahu saja kalau mereka putus karena Gio ketahuan selingkuh.”jelasnya lagi. “Harus banget ya hal itu dibahas?”tanya Nara dingin. Menyadari perubahan nada bicara rekan kerjanya Zia langsung memasang senyum bodoh. “Sudah masa lalu biarkan saja berlalu.”kata Embun berusaha menenangkan suasana,”Jadi cerita apa yang kami lewatkan?”tanyanya lagi. “Tiga hari yang lalu aku ke toko Gio.”kata Nara mengawali ceritanya. Mata Galang membesar menatap salah satu bosnya itu,”Mbak Nara ke sana untuk beli perhiasan? Memang di Jakarta enggak ada toko perhiasan lain mbak? Secara kalau hanya untuk mengharap dapat potongan yang belum tentu dikasih hal itu terlalu berisiko.”katanya tidak terima dengan apa yang Nara lakukan. Berganti kini seluruh isi kantor yang terkejut karena tiba-tiba satu-satunya pria di dalam kantor mereka membuka mulutnya dan bicara panjang lebar. “Tunggu kenapa berisiko?”tanya Nadira bingung. “Ya menurut kamu saja? Kalau disambut baik, kalau enggak? Apa enggak niat banget bikin malu diri sendiri?”jelas Zia cepat,”Lagi kamu kenapa ke sana sih?”tanyanya pada Nara. Nara memutar matanya,”Menurut kalian saja? Apa mungkin aku ke sana?”jawabnya dengan balas bertanya. “Lalu?”tanya Embun semakin penasaran. “Mas Ara. Jadi kami enggak sengaja ketemu, terus mana aku tahu itu toko langganan tante Ratih.”cerita Nara dengan memotong bagian kalau dirinya juga ikut kebagian jatah dibelikan kalung dan mungkin itulah alasan munculnya Gio hari ini. Penasaran kalau ternyata mantan ceweknya mungkin saja sudah punya pacar baru.# “Kita benar-benar pulang sekarang?”tanya Ara sambil menunjuk ke arah pintu keluar rumah makan sunda, tempat dirinya dan Davina makan malam. Davina menyeruput es jeruk di gelasnya lalu mengangguk,”Tadi pagi aku sudah bilangkan.”sahutnya santai. “Tapi ini baru jam enam lewat. Kata kamu acaranya jam sepuluh.”ujar Ara heran dengan alis terangkat sebelah. “Aku itu perlu siap-siap.”jelas Davina tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Ara menghela napas pelan lalu memutar matanya. Kalau ia lanjutkan mereka pasti akan mengakhiri malam ini dengan adu mulut. # Kenapa sampai malam begini Gio enggak meneleponnya? Pikir Nara dalam hati. “Nasinya mau kamu putar-putar sampai kapan?”tanya Arka pada adiknya dengan wajah heran. Bingung dengan pertanyaan kakaknya, Nara mengangkat kepala lalu menatap Arka dengan wajah bertanya. Arka tidak menjawab hanya menujuk ke arah piring makan adiknya itu. Mata Nara membesar karena terkejut melihat nasi di sendoknya sudah bulat seperti bola. “Kasihan sampai pusing nasinya.”canda Arka sambil menggelengkan kepala,”Kamu lagi mikirin apa sih?”tanyanya ingin tahu. Nara menggeleng dengan cepat,”Enggak ada mas. Aku enggak lagi mikir apa-apa.”jawabnya. “Enggak mikir apa-apa tapi duduk di meja sampai satu jam.”tegur pak Yono yang tiba-tiba ikut bergabung menimpali pembicaraan kedua anaknya.# “Jadi kamu sempat pergi ke tokonya si jurangan emas itu?”tanya Arka pada Nara tiba-tiba begitu melihat ayah mereka masuk ke dalam kamar. Nara yang sedang meneguk air sontak menyemburkan seluruh isi mulutnya,”Mas tahu dari mana?”tanyanya sambil terbatuk-batuk. “Ih jorok.”ujar Arka memasang wajah geli,”Siapa lagi?”katanya membalas pertanyaan dengan pertanyaan sambil mengangkat sebelah alis. “Mas Ara cerita sama mas?”tanya Nara tidak percaya. Arka mengangkat sebelah bahu,”Dia bilang kalian pergi ke toko punya mantanmu dan mantanmu yang punya toko itu hanya si jurangan emas.”jelasnya santai. “Namanya Gio mas!”sahut Nara tidak terima, sejak awal dirinya pacaran bahkan sampai putus Arka tidak pernah setuju dengan hubungan mereka sampai-sampai tidak pernah mau memanggil Gio dengan namanya, selalu saja menyebutnya jurangan emas. “Apalah arti sebuah nama?”sahut Arka ringan. “Banyak mas artinya. Enggak punya nama enggak bisa bikin KTP.”oceh Nara membalas kakaknya.# Arka tertawa begitu mendengar sahabatnya selesai menceritakan kejadian yang baru dialaminya. “Kamu ketawa bahagia amat?”protes Ara tidak terima dengan reaksi sahabatnya. “Ya lagi kamu hampir tiap kali makan malam selalu kena tinggal.”kata Arka memberi komentar sambil menyeka air matanya. “Kenapa juga semua teman Davina selalu ulang tahun?”omel Ara tidak terima. “Itu karena setiap saat pasti ada orang yang lahir pak!”oceh Arka menanggapi dengan santai. Ara menghela napas pelan lalu menutup mulutnya yang menguap lebar. “Sudah mending kamu tidur daripada galau-galau enggak jelas.”ujar Arka tanpa menunggu Ara menjawab ia langsung mengakhiri pembicaraan mereka.# Punya mantan ganteng, baik dan sukses itu enggak ada gunanya karena sudah jadi mantan. Apalagi yang sudah tertangkap basah pernah selingkuh. Hubungan yang sudah dijalin bertahun-tahun kandas sudah. Apa jangan-jangan Gio sengaja membuat dirinya kini jadi penasaran? Berbagai macam pikiran muncul di kepala Nara. Sudah hampir jam sebelas malam dan masih belum ada penjelasan tentang munculnya Gio di kantor Nara siang ini. “Ini memang ada sesuatu? Atau hanya aku saja yang sedang menulis cerita?”oceh Nara pada dirinya sendiri,”Belum tentu ada maksudnya Gio datang siang tadi. Setiap orang bisa kapan saja datang membawa makan siang.”ujar Nara lagi memberi alasan pada dirinya sendiri. Bergegas Nara menarik selimut sampai menutupi kepalanya lalu tidur.# Nara membuka selimut,”Ya ampun! Kenapa aku enggak bisa tidur?”omelnya sambil bangun lalu duduk sambil memeluk lututnya. Mata Nara menatap jam yang menunjukkan sudah hampir pukul dua dini hari. Bukan karena dirinya masih menyimpan perasaan pada Gio tapi rasa penarasan memang sesuatu yang sangat berbahaya. Bisa membuat orang sampai hilang akal, lupa waktu karena memikirkan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mulai dari yang paling masuk akal sampai yang paling aneh. “Aku harus mengalihkan pikiranku.”gumam Nara memutar mata dan menatap langit-langit kamarnya. # Memilih mengerjakan pekerjaan saat tidak bisa tidur jelas pilihan yang salah. Nara memandang layar laptopnya dengan mata lelah yang tetap tidak mengantuk. Awalnya ia berharap bisa membunuh waktu dan menemukan rasa kantuk sambil mengerjakan konsep foto untuk para klien namun kini setelah hampir satu jam mengerjakan rasa kantuk itu tak juga kunjung datang. “Sebaiknya aku melakukan hal lain. Jangan bekerja.”gumam Nara sambil mematikan laptopnya. Beberapa saat setelahnya,”Wah ternyata mas Ara suka jalan-jalan. Pantas saja itu dua pak dokter jarang pulang. Setiap liburan mereka selalu pergi bersama.”ujar Nara yang kini malah sibuk membuka akun media sosial milik sahabat kakaknya itu. “Ini bukannya mbak Davina? Wah, penampilannya trendi banget. Sering banget ikut pesta sosialita.”kata Nara berkomentar. “Wah mbak Embun makan di mana ini? Kayaknya enak.”lagi-lagi komentar terlontar dari mulut Nara . Sosial media itu seperti pusaran air yang jika sudah mulai akan sulit dihentikan. Setelah satu foto berlanjut ke foto yang lain lalu foto berikutnya.# “Kamu semalaman enggak tidur?”tanya Arka begitu melihat adik bungsunya keluar dari kamar dengan wajah lelah dan sedang menguap lebar. Nara menghela napas sambil mengusap air matanya,”Iya mas aku enggak bisa tidur.”jelasnya tak bertenaga. “Jadi kamu benar-benar enggak tidur?”tanya Arka memastikan. “Kira-kira begitu mas.”jawab Nara singkat dengan suara parau lalu bergegas menuju ruang makan untuk sarapan.# “Jadi kamu penasaran sama Gio sampai enggak bisa tidur semalaman?”tanya Embun tidak percaya,”Aku enggak tahu kalau kamu punya rencana mati muda?”tanyanya lagi sambil berdecak kagum. “Aku juga sudah berusaha untuk enggak penasaran. Aku sampai kerja untuk mengalihkan pikiran.”gumam Nara membela diri. Embun memandang Nara dengan curiga,”Kamu kerja semalaman tapi satu saja enggak ada yang selesai konsep kliennya ?”tanyanya. Nara memamerkan deretan giginya,”Sisanya berlanjut buka media sosial sampai pagi.”jawabnya polos. “Ya ampun. Kamu nguntit siapa saja tadi malam?”tanya Embun sambil mendesah. “Lumayan banyak sih mbak.”kata Nara dengan senyum bodoh menghiasi wajahnya.“Mas dokter!” panggil pak Asep begitu melihat Ara.“Pak Asep? Apa kabar pak?” sahut Ara sambil tersenyum ramah, ”Sama siapa pak?” tanyanya.Pak Asep ikut tersenyum, ”Baik mas dokter.” jawabnya sambil menunjuk ke arah belakang punggung Ara, ”Menemani Indah bawa si kembar periksa.” jelasnya.Begitu menoleh Ara melihat sepasang anak berusia empat tahun sedang berlari ke arah mereka.“Siang mas dokter, sudah lama sekali. Apa kabar?” sapa Indah.Ara tersenyum begitu melihat Indah, ”Wah mereka sudah besar ya.” ujarnya sambil berjongkok menyapa si kembar, ”Kalian Nara kan?” tanyanya sambil tertawa.#“Nara belum datang?” tanya Arka sambil menganggukkan kepala begitu melihat pak Asep dan Indah.Ara melirik jam di pergelangan tangannya, ”Harusnya sudah di sini.” jawabnya sambil mencari, ”Itu dia.” katanya sambil menunjuk ke arah lift.#“Jalanan macet banget tadi.” jelas Nara napas terengah-engah.“Y
“Ya ampun ini jeng satu.” ujar Zia begitu tiba di kantor,”Ponsel kok ditinggal di kantor.”katanya sambil mengangkat ponsel milik Nara yang ada di atas meja.“Mbak Nara sudah pulang?” tanya Galang, ”Apa kalau enggak kita titip ke mas Arka saja? Mungkin mas Arka belum pulang.” sarannya sambil menunjuk ke arah bangunan sebelah.“Tapi teleponnya mas Arka enggak diangkat nih.” kata Zia saat mencoba menelepon Arka dengan menggunakan ponsel milik sahabatnya itu.#“Arka belum selesai ya.” gumam Ara begitu keluar dari ruang operasi, ”Mau pulang? Apa makan dulu ya? Kenapa aku jadi bingung begini.” ujarnya pada dirinya sendiri, ”Itu anak lagi ngapain ya? Kok bisa sih sudah seminggu dia benar-benar enggak nyariin aku.” keluh Ara tanpa sadar sambil menatap ponselnya.#“Halo?” jawab Ara tanpa sadar malah tersenyum lebar begitu melihat siapa yang meneleponnya.“Halo mas!” balas Zia cepat.Begitu mendengar suara Zia yang menjawab,
“Kok kamu enggak tanya apa-apa?” tanya Ara begitu duduk berhadapan dengan Davina.“Memang ada apa lagi yang bisa aku tanya?” balas Davina sedikit ketus, ”Bisa-bisanya dirimu enggak cerita sama sekali.” omelnya lagi.“Maaf aku juga bingung harus bagaimana ceritanya.” jelas Ara memberi alasan.“Kamu sih benar-benar bikin aku malu di depan keluargamu. Mana baru pertama kali ketemu lagi.” keluh Davina sambil menahan senyum.Melihat kekasihnya itu tidak jadi marah Ara pun menghela napas lega.#“Kamu benaran mau pergi?” tanya Embun begitu melihat Nara menutup teleponnya.Nara menghela napas panjang, ”Memang aku punya pilihan untuk enggak pergi?” jawabnya.“Kayaknya tante Ratih tahu apa enggak, enggak banyak pengaruhnya.” komentar Zia menanggapi.#“Mama yang benar saja? Kalau mas tahu bagaimana?” oceh Nathan begitu tahu kalau ibu Ratih habis menelepon Nara.“Mama kan kangen sama Nara.” kata ibu Ratih m
“Mbak! Itu tante Ratih datang.” ujar Nadira sambil berlari ke arah dalam kedai.“Ini kedai punya anaknya, sudah jelas tante Ratih pasti datang.” jawab Nara berusaha terdengar setenang mungkin padahal jantungnya tidak berhenti berdegup, apa lagi saat mendengar kalau kedua orangtuanya begitu bersemangat untuk menerima undangan dari Nathan.“Mbak! Tante Linda sama om Yono balik ke sini lagi sama mas Arka kapan?” kata Galang yang muncul dengan wajah panik beberapa saat kemudian, ”Itu tante Ratih sudah di depan.” katanya lagi tiba-tiba dengan suara berbisik.“Kamu telat.” balas Nadira cepat.#“Kok kalian masih di sini?” tanya Ara begitu melihat Zia sambil menunjuk penghuni kantor Nara yang lainnya.“Kami di sini sih enggak masalah mas.” jawab Zia dengan wajah cemas, ”Yang repot itu nanti tante Linda sama om Yono balik lagi sama mas Arka.” jelasnya cepat.Mendengar itu dalam hitungan detik Ara segera menghilang dari hadapan Z
“Kamu serius?” tanya Nathan memastikan begitu mendapat kabar dari Zinnia, rekan usahanya yang juga merupakan adik teman baiknya sejak masa SMA.“Iya mas. Bagaimana nih? Acaranya kan tinggal tiga hari lagi.” Jawab Zin cemas.Nathan mengetuk bagian belakang ponselnya sambil berpikir, ”Nanti biar aku yang coba cari gantinya.” kata Nathan akhirnya.#Ara dan Nara cukup lama saling berpandangan, keduanya tidak bisa langsung menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Arka. Untung saja Dewi dengan cepat membaca kepanikkan dua Nara itu, ”Sayang, sudah malam nih. Besok kan kamu juga ada jadwal operasi pagi.” katanya sambil mengapit lengan Arka, “Ayo kita pulang.” ajak Dewi dengan setengah memaksa sambil memberi isyarat pada Nara dengan menggerakkan kepalanya.“Iya mas sudah malam. Kami juga pulang dulu ya.” ujar Nara cepat segera menarik lengan Ara yang masih berdiri mematung dengan wajah kaku.#“Mas! Mas
“Mas Arka! Kok baru pulang?” tanya Nara saat keluar dari mobil dan berpapasan dengan kakaknya itu.“Habis seminar.” jawab Arka singkat, ”Kalian kenapa bisa sama-sama?” tanyanya heran.Ara yang tidak turun dari mobil hanya menurutkan kaca mobilnya, ”Mana ada seminar sampai jam sebelas malam?” tanyanya curiga.Arka tidak langsung menjawab mata-matanya bergerak-gerak cemas.“Mas kenapa malah kayak orang bingung begitu?” tanya Nara ikut menimpali.“Macet! Macet!” jawab Arka akhirnya, ”Jadi kenapa kalian bisa sama-sama?” ulangnya sengaja mengalihkan.”Terpaksa ketemu mas.” jawab Nara singkat.“Mustinya diriku yang bilang begitu.” balas Ara tidak terima, ”Tahu begitu tadi harusnya aku biarin kamu pulang sendiri.” gerutunya sebal.“Memang siapa yang suka diantarin pulang sama mas!” omel Nara dengan suara meninggi.Arka yang awalnya sempat panik dengan pertanyaan yang diajukan oleh Ara kini menarik