Share

Bang Adi meminta sertifikat rumah Bapak

Nasib si Bungsu

(Saat masa jaya orang tua telah habis)

Part 6

Karena tidak tega meninggalkan Bapak, aku memilih untuk di rumah saja, semoga saja esok atau lusa Ibu kembali pulang.

"Badanmu udah enakan Sup?" tanya Bapak, sambil memijit pelan lututnya.

"Alhamdulilah udah, tapi kayaknya Yusup belum bisa narik Pak."

"Memangnya Bapak nyuruh kamu narik?"

"Yusup mau ke warung, Bapak mau nitip dibeliin apa?"

"Tidak usah Sup, kayak punya uang aja kamu."

"Kalau untuk makan in syaa Allah ada Pak."

"Bapak gak mau apa-apa, yang penting kamu beli beras aja biar kita bisa makan."

"Yusup ke warung dulu ya Pak."

"Iya Sup."

Aku pergi ke warung untuk berbelanja, menggunakan uang yang diberikan Arif kemarin, satu kilo beras, satu kantong sayur sop, dan satu papan tempe.

"Mbok, aku mau beras sekilo, sayur sop sebungkus, sama tempe 1," ucapku pada Mbok Sumi, pemilik warung.

"Ibumu kemana Sup? tumben kamu yang belanja?" tanya Mbok Sumi.

"Oh, lagi nginep di rumah Bang Adi, Mbok."

"Ibumu pasti betah di sana ya Sup."

"Pasti Mbok."

"Kalau lagi ngobrol sama kami, pasti Ibumu banggain Abang-Abang kamu, katanya mereka udah sukses, punya rumah, mobil, gajinya gede, gak kayak kamu katanya yang cuma jadi Ojol."

"Alhamdulilah Mbok kalau gitu."

"Kasian jadi kamu ya Sup, ketiga Abang kamu kan kuliah, sementara kamu cuma lulusan SMP, jadi wajar kalau cuma jadi Ojol."

Aku hanya tersenyum, kemudian meminta Mbok Sumi untuk segera menyiapkan barang belanjaanku.

"Maaf ya Mbok, bukan maksud buru-buru, kasian Bapak sendirian di rumah."

"Iya Sup." Mbok Sumi tersenyum tipis.

Sampai di rumah, segera ku olah semuanya agar segera bisa dinikmati.

"Pak, sarapan dulu ya."

"Iya Sup, bentar ya, badan Bapak belum keringetan," ucap Bapak yang sedang berjemur di bawah hangatnya sinar mentari pagi.

Dokter yang menanangi Bapak memang menyarankan Bapak untuk berjemur setiap pagi, meskipun Bapak sudah tidak bisa beraktivitas, karena sinar mentari pagi memiliki banyak manfaat untuk kesehatan.

Hari ini harusnya Bapak pergi ke Rumah Sakit untuk kontrol, namun apa boleh buat, aku tidak memiliki uang untuk membawanya ke sana, meskipun berobatnya gratis, tetap saja memerlukan biaya untuk menyewa mobil dan keperluan lainnya.

"Hari ini jadwal Bapak kontrol, maafin Yusup ya Pak, gak bisa bawa Bapak ke Rumah Sakit," aku meminta maaf karena merasa bersalah.

"Tidak apa Sup, nanti kalau kamu punya uang, beliin obatnya aja ya di apotik, bawa contohnya, pasti ada kok."

Aku hanya mengangguk, meskipun tahu itu tidak disarankan, karena Dokter pun harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum meresepkan obat kepada pasiennya.

Ini adalah pertama kalinya Bapak tidak kontrol, setelah setahun lebih beliau berobat jalan.

Entah mengapa penghasilanku bulan ini benar-benar turun, biasanya aku bisa menyisihkan tidak kurang dari dua puluh ribu bahkan lebih untuk membayar iuran BPJS dan menyewa mobil saat jadwal kontrol Bapak tiba.

"Sup, kok sayurnya hambar, kamu gak pake garam masaknya?" tegur Bapak saat menikmati sarapan yang aku siapkan.

"Maaf Pak, kata Dokter kan Bapak harus mengurangi garam, supaya darah Bapak tetap stabil."

"Oh gitu, ya sudah."

Aku perhatikan Bapak tidak begitu berselera menimati makanannya, mungkin karena rasanya yang tidak begitu lezat.

"Setengah jam lagi minum obat ya Pak, Yusup mau nyuci dulu," ucapku pada Bapak.

Bapak menggangguk.

Baju yang kurendam dua hari lalu aromanya sudah berubah, mungkin karena terlalu lama berada di dalam air.

Air rendaman sebelumnya aku buang, kemudiam diganti dengan air dan deterjen baru.

Tidak lama langsung aku sikat kemudian dibilas menggunakan air mengalir.

Meskipun laki-laki, tetapi aku sudah biasa melakukan ini. Sejak kecil Ibu selalu memintaku untuk membantunya menyekesaikan semua pekerjaannya.

"Sup, motor kamu ada bensinnya?" tanya Bapak saat aku sedang menjemur pakaian.

"Kenapa emang Pak?"

"Nanti sore jemput Ibu kamu ya."

"Oh iya Pak," meskipun ragu, aku tetap meng-iya-kan permintaannya.

"Ibu kamu itu cerewet, pasti Abang kamu sama Istrinya ngerasa gak nyaman kalau Ibu kelamaan di sana."

"Kalau Ibunya yang gak mau pulang gimana?"

"Jemput dulu saja, kalau kamu sudah ke sana tetapi Ibu gak mau pulang, sudah biarkan, tunggu dia sampai balik sendiri."

Setelah melaksanakan shalat ashar, aku langsung bersiap untuk menjemput Ibu.

"Bapak gak apa-apa aku tinggal sendirian, rumah Bang Adi kan jauh, pasti lama."

"Gak apa-apa, udah cepat berangkat takut keburu hujan."

"Oh iya Pak, Yusup berangkat dulu ya."

Baru saja ke luar dari gang, aku berpapasan dengan mobil Bang Adi, meskipun banyak kendaraan sejenis, tapi aku sangat yakin jika itu adalah milik Abangku.

Aku langsung memutar arah dan benar saja, saat sampai, mobil Bang Adi sudah terparkir di halaman rumah.

Rupanya Bang Adi mengantarkan Ibu pulang, dia hanya sendiri tidak bersama anak maupun Istrinya.

"Eh Abang rupanya, Yusup baru mau jemput Ibu ke sana," aku mengulurkan tangan pada Ibu dan juga Bang Adi.

Akan tetapi mereka seperti tidak melihatku keberadaanku.

"Ayo Bu, ngomong sama Bapak!" ucap Bang Adi pada Ibu.

"Pak, Adi mau pinjam sertifikat rumah ini katanya, dia butuh uang besar untuk membuka usaha," ucap Ibu langsung.

Bapak hanya terdiam.

"Sertifikat rumah ini dibalik nama dulu sama Adi, nanti sertifikatnya akan Adi pakai untuk jaminan ke Bank, Bapak gak usah hawatir, rumah ini bukan dijual kok jadi Bapak sama Ibu masih bisa tinggal di sini, Adi yang bayar cicilannya sampai lunas, siapa lagi kan, gak mungkin tukang ojek bisa bayar," ucap Bang Adi, sudut matanya melirik ke arahku.

"Tidak boleh, ini harta Bapak satu-satunya."

"Ayolah Pak, masa tidak mau bantu anak sendiri."

"Apa perjuangan Bapak selama ini kurang?"

"Uang ini untuk usaha Pak, kalau usahanya maju dan sukses Bapak juga nanti yang nikmatin hasilnya."

"Omong kosong, kamu ini benar-benar tidak tahu diri Adi, orang tua sedang sakit bukannya menjenguk, menanyakan keadaan saja tidak pernah, malah datang-datang minta sertifikat rumah, Bapak ini bukan orang bodoh, Bank mana yang mau menerima rumah butut seperti sebagai agunan?"

"Ayolah Pak, bantu Adi, kalau anak kita sukses, kan kita juga yang bangga," Ibu berusaha meluluhkan Bapak.

"Percuma sukses tapi lupa sama orang tua."

"Bapak ini gak adil, waktu Jejen nikah, Bapak rela menjual tanah yang dibelakang rumah, dan sekarang aku cuma mau pinjam sertifikat saja Bapak gak kasih."

"Jejen juga dulu ngomongnya kayak kamu, alasannya pinjam, tapi mana? semuanya omong kosong."

Ibu kemudian masuk ke dalam kamar, tidak lama dia kembali keluar membawa sebuah map berwarna hijau muda yang merupakan sertifikat rumah ini.

"Ini sertifikatnya, bawa saja, omongan Bapak kamu gak usah didengar!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status