Samudra memarkirkan mobilnya kemudian memasuki rumah yang sudah seperti tempat siksaan untuknya.
Bukan siksaan fisik melainkan siksaan batin.
Di rumah ini dia mendengar dan melihat pertengkaran orangtuanya yang tidak kunjung selesai, setiap malam.
Ya, malam atau lebih tepatnya tengah malam. Karena itu adalah waktu yang paling tepat untuk mereka meluapkan semua emosi dan kekecewaan. Dimana mereka berfikir bahwa putranya sudah terlelap dan tidak akan mendengarkan semua pertengkaran sialan itu.
Kemudian Samudra kembali melangkahkan kakinya menuju meja kecil yang ada di sudut ruang keluarga, tempat dulu mereka menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga yang bahagia.
Samudra mengambil sebuah foto yang dipajang di atas meja, menampakkan wajah kedua orang tuanya yang sedang memegang kedua tangan mungil anak laki-laki yang sedang tersenyum ke arah kamera.
Diusap foto ibu dan ayahnya lalu menempelkan telapak tangannya pada dada bidangnya.
Sam
Semenjak kejadian tadi, Angkasa terus kepikiran akan keadaan Sarah. Dia benar-benar bingung harus berbuat apa? Mengingat gadis itu sangat ketakutan saat melihatnya.Saat sebuah solusi melintas dalam benaknya, Angkasa bergegas beranjak untuk mengambil ponselnya yang disimpan di atas meja, lalu jarinya mulai menari-nari menyentuh layar ponsel yang kini sudah terisi oleh kumpulan hurup yang telah menjadi sebuah rangkaian kata.Kemudian setelah dia membacanya berulang kali serta yakin akan isi pesan yang akan dikirimkan pada sahabatnya, Samudra, Angkasa mengklikiconkirim yang ada dilayar.***"Binar." Panggil Dirgantara berlari mengejarnya, "tunggu!"Gadis itu terus berjalan bahkan mempercepat langkahnya. Dia benar-benar kesal dengan candaan pemuda itu.Hap!Dirgantara berhasil meraih tangan Binar yang langsung ia tarik agar gadis itu tidak terus melangkah pergi."Sorry, aku hanya bercanda," k
Samudra terperanjat ketika rasa sakit itu kembali menyapanya. Dengan napas yang tersengal, dia mencoba meraih toples obat yang ada di samping tempat tidur.Namun, kali ini rasa sakit itu tidak dapat ditahan lagi. Bagaikan beribu belati yang sangat panas ditancapkan tepat ke jantungnya.Pemuda itu tersungkur ke lantai, meraung-raung kesakitan seraya mencengkram dadanya kuat-kuat. Tubuhnya basah bermandikan keringat yang bulirnya sebesar biji jagung, wajahnya sudah pucat pasi."Bunda, Ayah, Bibi, tolong!" Teriak Samudra sekeras yang ia bisa. Walaupun pada kenyataannya teriakannya itu hanya seperti bisikan.Tidak ada yang mendengar permintaan tolong pemuda malang itu, dia semakin merintih kesakitan. Pasokan udara pun semakin sulit untuk ia dapatkan, kelopak matanya semakin terasa berat dan lelah.Samudra ... sekarat.“Tuhan, apakah ini akhir hidupku? Jika ini waktunya, tolong jemput aku tanpa rasa sakit dan jangan buat Bunda terus bersedi
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Anton."Istri Bapak tidak apa-apa. Dia hanya syok saja," tutur sang dokter."Lalu, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Anton lagi. Dokter yang ber-name tagToni itu hanya menghela napas."Maaf, saya harus menyampaikan ini, kondisi anak Bapak semakin memburuk. Sam harus segera melakukan transplantasi jantung. Jantungnya kini sudah sangat rusak dan kondisi seperti ini bisa kapan saja terjadi," jelas Dokter Toni."Apa tidak ada cara lain untuk menyelamatkan anak saya selain melakukan transplantasi jantung?" tanya Anton frustasi, "berapapun biayanya akan saya bayar asalkan putra saya selamat.""maaf, Pak. Jantung Sam sudah benar-benar rusak, jalan satu-satunya untuk menyelamatkannya hanya mengganti jantungnya dengan jantung baru. Kami sudah melakukan operasi untuk menutup lubangnya, tapi kembali lagi jantungnya sudah sangat rusak sehingga operasi penutupan lubang pun tidak ada gunanya la
Mata Baskara berbinar masih belum percaya bisa duduk bersama di meja makan dengan ayah dan kedua kakaknya. Sebuahmomentyang dulu hanya sebatas angan kini telah menjadi kenyataan. Mereka sedang sarapan bersama di meja makan. Tidak ada yang berbicara hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu, semuanya fokus pada makanannya masing-masing. Nugroho melirik Baskara dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah itu ia menghentikan sarapannya lalu beranjak dari sana begitu saja dan tidak lama Brisia mengikutinya. Baskara hanya menundukkan kepalanya, ternyata pemuda itu masih belum diterima di keluarga ini. Meski dia sudah tinggal satu atap dengan keluarganya, tetapi kenapa rasa sakit itu tak kunjung hilang? Kapan kebahagiaan akan berpihak kepadanya? Bianca menepuk punggung tangan sang adik pelan seraya tersenyum padanya. "Percaya sama Kakak. Lambat laun mereka akan menerima kamu di sini. Jangan menyerah! Kak
Sedari tadi Dirgantara hanya memainkan ponselnya. Benda pipih itu berputar-putar di atas meja. Pemuda itu begitu penasaran dengan jawaban yang nantinya akan dia dapatkan. Jujur saja menunggu adalah hal yang paling dibenci olehnya. "Bang Di kenapa sih?" tanya Rain pusing melihat tingkah kakaknya yang akhir-akhir ini terlihat berbeda. Dirgantara menatap adiknya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan sebelum menariknya masuk ke dalam kamar. Rain semakin tidak mengerti dengan kakaknya itu, dia seperti bukan Dirgantara yang Rain kenal. "Ini benar Bang Di, kan?" tanya Rain dengan wajah polosnya. Pemuda itu mengerutkan alisnya bingung dengan pertanyaan sang adik. "Bukan orang jahat yang nyamar jadi Abang aku?" tanya gadis itu semakin ngaco. Pletak! Dirgantara melayangkan satu jitakkan ke kepalanya, membuat Rain cemberut seraya mengelus kepalanya yang terasa sedikit sa
Name : AngkasaOrigin of school : SMA 2 GarudaAccepted into Waseda University Japan, majoring in Architecture and Building on the Full Scholarship pathway.Wanita itu langsung memeluk putranya dengan perasaan yang teramat bahagia dan bangga."Selamat, A. Ibu bangga sama Aa." Maya memeluk erat tubuh Angkasa, begitupun dengan Angkasa yang membalas pelukan ibunya tak kalah erat.Tidak sia-sia usahanya belajar mati-matian selama ini. Sekarang Angkasa bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri seperti cita-citanya tanpa harus membebani orang tuanya dengan biaya yang pastinya sangatlah mahal."Aa, itu surat apa?" Tanya gadis kecil itu seraya menghampiri kakak dan ibunya.Angkasa meren
Kriiing!Kriiing!"Thanks, God," ucap Samudra ketika suara melengking itu membangunkannya dari kematian sementaranya.Pemuda itu selalu mengucap syukur ketika membuka mata karena Tuhan telah memberinya kesempatan untuk hidup, ia tidak akan lalai dengan perintah-Nya.Waktu masih menunjukan pukul 04.30 WIB dan tidak lama terdengar lantunan suara adzan yang sangat indah. Samudra segera bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh, setelah itu bersiap-siap untuk pergi ke sekolah."Den, bangun, sudah pagi." Panggil Teti mengetuk pintu kamar."Iya, aku sudah bangun kok, Bi." Samudra sedikit berteriak agar wanita paruh baya itu mendengarnya kemudian ia mulai memasangkan alat ECG di badannya seperti yang sudah Dokter Leon ajarkan.Pemuda itu tersenyum miris menatap pantulan dirinya di cermin, alat itu sudah terpasang di dada bidangnya. Dia terlihat seperti seorang robot yang memerlukan rangkaian kabel agar teta
Setelah berjam-jam belajar matematika yang membuat kepala serasa ingin pecah itu akhirnya mereka dapat bernapas lega ketika bel istirahat berbunyi. Kelas yang tadinya penuh, seketika kosong ditinggalkan penghuninya. "Ayo ke kantin! Anak-anak pasti senang banget kamu sudah masuk sekolah lagi," ajak Bintang. Samudra masih diam di tempatnya, dia yakin teman-temannya akan menginterogasinya karena beberapa hari ini selalu absen. Jujur saja, pemuda itu belum menyiapkan jawaban. "Masih banyak yang belum aku salin, kamu duluan saja." Tolaknya seraya kembali membuka buku catatannya. Bintang mengerutkan alis, bingung. Lalu menarik paksa sahabatnya itu untuk ikut bersamanya. *** Refleksmereka semua berdiri ketika Samudra dan Bintang datang. Dan benar saja pemuda itu langsung dicercar berbagai pertanyaan. "Kamu sebenarnya sakit apa sih? Perasaan sering banget absen." Angkasa mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat jaraknya