Share

Bab 7-Khawatir

Sarah langsung pergi ke rumah sakit ketika mendapat kabar sepupunya masuk rumah sakit. Ia mempercepat langkahnya saat manik matanya melihat tantenya yang sedang duduk di depan ruang ICU.

"Tante, Sam kenapa?" tanya Sarah.

"Dia habis menerima panggilan dari Rain, tiba-tiba--" Wanita paruh baya itu bahkan tidak sanggup melanjutkan perkataannya.

"Sa, Tante takut." Lanjutnya diiringi dengan isak tangis yang kembali pecah. Gadis itu hanya memeluk wanita itu untuk memberikannya kekuatan.

Dewi langsung menghampiri Dokter Leon yang baru saja keluar dari ruang ICU, dia adalah dokter yang menangani Samudra selama ini, sekaligus kakak dari Sarah. Jadi, mereka masih satu keluarga besar.

"Kondisinya masih sangat lemah dan belum sadarkan diri, tapi Tante jangan khawatir, Sam laki-laki yang kuat, dia tidak akan kalah hanya karena ini," tutur Dokter Leon menenangkan wanita yang sedang dilanda kecemasan itu.

***

Baskara sudah di pindahkan ke ruang perawatan, Bintang dan Angkasa yang menjaganya, sementara Dirgantara pamit untuk mengantar Rain pulang, tapi nanti dia akan kembali dan menginap di rumah sakit.

Baskara beruntung meski ia tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarganya, tetapi pemuda itu memiliki sahabat-sahabat yang sangat menyayanginya lebih dari seorang keluarga. Anak-anak Nature Squad akan menjadi tameng terdepan untuk melindungi dan menjaganya.

"Kok aku jadi sedih, ya?" Tanya Angkasa entah pada siapa seraya melihat sahabatnya yang masih terbaring di ranjang pesakitannya.

Bintang ikut menatap pemuda itu, alis dan dahinya mengernyit kala teringat kondisi memprihatinkan sahabatnya tadi. "Semua orang juga sedih kali."

"Aku merasa menjadi sahabat yang tidak berguna. Kita tuh sahabatan sudah setahun lebih harusnya kita sudah saling tahu satu sama lainnya," ujar Angkasa merutuki ketidaktahuannya.

Bintang berdiri seraya memandangi langit malam dari balik jendela kamar. "Ada kalanya masalah itu cukup dirinya sendiri yang tahu."

"Tapi, kalau sudah seperti ini kan--"

"Sudah semuanya sudah terjadi juga," potong Bintang.

"Kamu tidak sholat?" Tanya Bintang melihat waktu sudah menunjukan jam sepuluh malam.

Angkasa membuka mulutnya lalu memukul jidatnya pelan, seperti baru teringat sesuatu. "Oh iya, lupa saking paniknya."

"Ya sudah sana sholat dulu! Babas biar aku yang jagain." Bintang mendorong pelan sahabatnya itu untuk segera melaksanakan kewajibannya.

Setelah Angkasa pergi, Bintang kembali menatap luka-luka yang ada di tangan sahabatnya itu, ia bergidik ngeri.

"Aku pikir hanya masalahku yang berat, ternyata kamu punya masalah yang jauh lebih berat dariku," gumam Bintang berbicara pada orang yang bahkan tidak bisa menjawabnya.

Pemuda itu sangat paham apa yang dirasakan oleh Baskara, karena ia juga merasakannya. Hanya saja, meskipun ibunya tidak menyukainya, tidak menganggapnya, setidaknya ia masih mempunyai ayah dan saudara yang sangat sayang dan peduli padanya. Sedangkan Baskara? Dia hanya memiliki neneknya yang bahkan sekarang telah pergi meninggalkannya.

Pemuda itu sebatang kara.

***

"Bintang, si Babas sudah sadar?" Tanya Dirgantara seraya menjatuhkan bokongnya ke sofa panjang yang ada di ruangan tersebut. Ia menghela napas dan membuangnya kasar untuk membuang rasa lelahnya.

"Belum." Pemuda itu ikut mendorong kaki Dirgantara agar memberi bokongnya sedikit ruang untuk ikut bergabung dengannya.

Dirgantara memperhatikan Baskara dengan tatapan kasihan sekaligus bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu.

"Si Angka mana?" tanya Dirgantara, karena hanya Bintang yang ada di ruangan.

"Lagi sholat." Jawab Bintang yang kini sudah beralih dengan koran yang berada di atas meja.

"Oh." Respon Dirgantara meliriknya sekilas lalu menyenderkan tubuh lelahnya seraya memijat pelipisnya ketika terasa berdenyut, pusing memikirkan masalah-masalah yang sedang terjadi.

"Kamu sendiri sudah sholat?" tanya Bintang tanpa mengalihkan pandangannya dari benda favoritnya itu.

"Sudah. Sebelum ke sini aku sholat dulu," jawabnya yang kini sudah memejamkan matanya dan enggan untuk dibuka kembali.

"Sip. Kita minta kesembuhan untuk Babas sama Tuhan kita masing-masing," ujar Bintang, Dirgantara mengangguk setuju.

***

Perlahan mata lelaki itu terbuka, secercah cahaya terang mentari pagi terpancar masuk ke dalam ruang rawatnya, bahkan bau obat-obatan sudah tercium oleh inderanya.

"Bunda," panggilnya dengan volume suara yang pelan. Wajahnya masih sangat pucat dan tubuhnya juga masih terasa sangat lemas.

"Alhamdulilah, kamu sudah sadar Sayang." Senang Dewi. Setelah semalaman Samudra tidak sadarkan dia, akhirnya putranya itu siuman.

"Sebentar, Bunda panggilkan dokter dulu, ya." Wanita itu sedikit berlari untuk memanggil Dokter Leon. Tak lama dia kembali bersama Dokter Leon yang langsung memeriksa keadaanya.

"Bagaimana?" tanya Dewi, berharap bahwa anak lelakinya baik-baik saja.

"Syukurlah keadaannya sudah stabil, dua hari lagi Sam sudah diperbolehkan pulang, tapi harus tetap jaga kesehatan dan obatnya jangan sampai telat," jelas Dokter Leon.

"Jangan dibuang." Lanjutnya dengan berbisik pada sepupunya itu sebelum beranjak dari ruangan tersebut.

Samudra memutar bola matanya malas. "Dokter ngeselin," batinnya.

Dewi tersenyum kepada anak semata wayangnya itu, kemudian wanita itu duduk di kursi yang sudah disediakan. Meski berusaha kuat, tetap saja hati ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya terbaring lemah di rumah sakit?

"Bunda, Sam tidak suka lihat wajah Bunda seperti itu," kata Samudra menarik sudut bibir Dewi agar tersenyum.

"Nah kalau senyum kan cantik." Pemuda itu memberinya senyuman tulusnya.

"Bunda kupaskan pisang, mau?" tawarnya. Sam mengangguk lalu sedetik kemudian pemuda itu langsung menanyakan ponselnya.

"Sayang, kamu baru saja siuman, kok malah mencari ponsel bukannya bertanya Bunda atau ayah," balas Dewi dengan lembut diselingi dengan candaan agar putranya lupa dengan rasa sakitnya.

"Bunda, mana?" Samudra menyodorkan tangannya yang bebas dari infus seraya mengerucutkan bibirnya layaknya anak balita membuat wanita itu lupa bahwa putranya telah remaja.

Ia menghela napasnya kemudian memberikan ponsel Samudra yang sedari tadi disimpan di dalam tas hitamnya.

"Telepon siapa? Rain?" tebaknya. Siapa lagi orang yang bisa membuat anaknya seperti ini kalau bukan gadis itu.

Samudra mengangguk seraya mencari kontak Rain di ponselnya, kemudian mengklik icon panggil. Tanpa harus menunggu lama, suara si penerima panggilan langsung memenuhi gendang telinganya.

"Hallo, Sam, kamu ke mana saja? Kenapa tidak bisa dihubungi? Kamu tidak apa-apa, kan? Kamu--" kata Rain dalam satu tarikan napas. Suaranya begitu nyaring sampai membuat Sam harus sedikit menjauhkan ponselnya jika tidak ingin pendengarannya rusak akibat suara teriakan gadis itu.

"Nanyanya satu-satu dong, Rain," Sam dibuat gemas olehnya. Andai saja gadis itu ada dihadapannya, mungkin hidung gadis itu sudah menjadi korban kegemasannya.

"Namanya juga khawatir." Terdengar sebuah protes dari Rain, Samudra sedikit terkikik geli membayangkan bagaimana lucunya ekspresi gadis itu sekarang.

"Cie yang khawatir," Pemuda itu semakin gencar menggodanya.

"Kamu ke mana saja sih? Kenapa susah dihubungi?" tanya Rain tidak terpengaruh dengan ledekan yang baru saja Samudra layangkan padanya. Yang gadis itu butuhkan sekarang ini adalah penjelasan.

Sebuah penjelasan kenapa dia mematikan sambungannya begitu saja dan hilangnya dirinya selama tiga hari ini.

"Biasa dihukum sama Bunda tidak boleh keluar rumah, gara-gara ngilangin Tupperwarenya." Alibinya yang terdengar begitu bodoh.

"Bohong! Waktu itu aku dengar tante Dewi teriak manggil om Anton, terus tidak lama kemudian kamu mematikan sambungannya. Sebenarnya apa yang terjadi?" paksa gadis itu meminta penjelasan.

Entahlah. Apa sekarang ini sifat jahil pemuda itu sedang kumat atau tidak, yang jelas Rain tidak mungkin akan percaya dengan alasan konyol seperti itu.

"Oh, itu karena aku tidak sengaja pecahin gelas, biasalah ibu-ibu paniknya suka lebay. Oh iya, sampai saja lupa, gimana keadaan Babas sekarang? Sorry, aku belum bisa jenguk." Samudra menghela napas, dia merasa bersalah entah sudah berapa banyak ia berbohong pada gadis itu hari ini.

"Alhamdulilah, keadaannya sudah berangsur membaik. Kata dokter Babas menderita self-injury," jelas Rain. Nada suaranya berubah sedih.

"Astagfirullah! Kok bisa?" Samudra terkejut, dia mengernyit kala dadanya kembali nyeri.

"Kita juga tidak tahu. Selama ini kita pikir Babas itu sehat-sehat aja, tapi ternyata ...." Bahkan Rain tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Gadis itu benar-benar masih tidak percaya dengan apa yang dialami salah satu sahabatnya itu.

Sarah sudah berdiri di pintu ruangan memperhatikannya sejak tadi.

"Mmm ... Rain, sudah dulu ya, pulsaku mau habis." Lagi-lagi pemuda itu langsung memutuskan sambungannya secara sepihak.

"Mau sampai kapan? Setidaknya mereka harus tahu," ujar Sarah kepada sepupu tampannya itu.

***

Di pagi yang masih gelap, disaat matahari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya, pemuda jangkung itu sudah siap dengan pakaian santainya.

"Abang mau ke rumah sakit, mau ikut?" tawarnya.

"Bang Di duluan saja, Rain mau ke rumah Tia dulu." Gadis itu sibuk merapikan buku yang akan ia bawa ke dalam tas ranselnya.

"Nyalin tugas nih pasti," tebak Dirgantara kembali menggoda sang adik.

"Enak saja. Tidak lah!" Rain mendengkus, "aku tuh mau kerja kelompok."

***

Sedari tadi pemuda itu tidak mau berbicara pada siapapun. Ia masih sangat syok ketika melihat tangannya tidak tertutup hoodie yang selalu dipakainya.

"Tinggalkan aku sendiri," pinta Baskara dengan tatapan datarnya.

"Tapi, Bas--"

"Keluar!" Bentak pemuda itu seraya menunjuk pintu dengan telunjuknya.

Angkasa keluar seperti yang diminta sahabatnya, ia ingin membuat sedikit ruang untuk Baskara agar dapat menenangkan pikirannya.

Baskara menatap tangannya nanar, luka-luka itu tidak tertutup dengan hoodie yang selalu ia pakai. Itu artinya teman-temannya sudah tahu dan mungkin mereka juga sudah mengetahui kondisi psikisnya.

“Apakah setelah ini aku akan kembali sendirian?” pikirnya.

"Kok di luar?" tanya Dirgantara pada Angkasa yang sedang duduk seraya memainkan ponselnya.

"Babas minta ditinggal." Jawab pemuda itu masih fokus pada permainan yang ada di ponselnya.

Dirgantara melotot, tidak habis pikir pada sahabat satunya ini. Kenapa disaat seperti ini dia malah membiarkan pemuda itu seorang diri di dalam sana. Bagaimana jika dia kembali melakukan hal bodoh?

"Terus kenapa kamu malah ikuti kemauan dia? Kalau dia coba ngiris lagi gimana?" Tanya Dirgantara seraya langsung merebut ponsel pemuda itu kesal.

"Aaahh!" Angkasa sedikit berteriak karena ulah pemuda itu permainan yang sebentar lagi akan dimenangkannya justru malah berakhir dengan kekalahan.

"Aku juga tidak akan selalai itu. Aku sudah mengamankan semua barang yang kira-kira berbahaya. Lagi pula apa yang bisa membahayakan di ruangan itu?" Angkasa memutar bola matanya jelak lalu merebut kembali ponselnya, "gara-garamu aku kalah bodoh." Dia mengerucutkan bibirnya dan menatap tajam ke arah Dirgantara yang tampak tidak peduli sama sekali.

"Si Bintang belum ke sini?" tanya Dirgantara mengalihkan topik pembicaraan.

"Ini hari Minggu," balas Angkasa masih kesal akibat ulah sahabatnya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status