MasukSarah langsung pergi ke rumah sakit ketika mendapat kabar sepupunya masuk rumah sakit. Ia mempercepat langkahnya saat manik matanya melihat tantenya yang sedang duduk di depan ruang ICU.
"Tante, Sam kenapa?" tanya Sarah. "Sam abis menerima panggilan dari Rain," Wanita paruh baya itu bahkan tidak sanggup melanjutkan perkataannya. "Sa, Tante takut." Lanjutnya diiringi dengan isak tangis yang kembali pecah. Gadis itu hanya memeluk Dewi untuk memberikannya kekuatan. Dewi langsung menghampiri Dokter Leon yang baru saja keluar dari ruang ICU, ia adalah dokter yang menangani Samudra selama ini, sekaligus kakak dari Sarah. Jadi, mereka masih satu keluarga besar. "Kondisinya masih sangat lemah dan belum sadarkan diri, tapi Tante jangan khawatir, Sam anak yang kuat, dia gak akan kalah hanya karena ini," tutur Dokter Leon menenangkan wanita yang sedang dilanda kecemasan itu. *** Baskara sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Bintang dan Angkasa yang menjaganya sementara Dirgantara pamit untuk mengantar Rain pulang, tapi nanti dia akan kembali dan menginap di rumah sakit. Baskara beruntung meski ia tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarga kandungnya, tetapi pemuda itu memiliki sahabat-sahabat yang sangat menyayanginya lebih dari seorang keluarga. Anak-anak Nature Squad akan menjadi tameng terdepan untuk melindungi dan menjaganya. "Kok gue jadi sedih, ya?" Tanya Angkasa entah pada siapa. Melihat sahabatnya yang masih terbaring di ranjang pesakitan. Bintang ikut melihat Baskara yang masih memejamkan matanya, alis dan dahinya mengernyit kala teringat kondisi memprihatinkan sahabatnya beberapa waktu lalu. "Semua orang juga sedih kali." "Gue merasa jadi sahabat yang gak berguna. Kita tuh sahabatan udah setahun lebih harusnya kita udah saling tahu satu sama lainnya," ujar Angkasa merutuki ketidaktahuannya. Bintang berdiri seraya memandangi langit malam dari balik jendela kamar. "Ada kalanya masalah itu cukup dirinya sendiri yang tau." "Tapi, kalau udah gini kan--" "Lo gak sholat?" Tanya Bintang melihat waktu sudah menunjukan jam sepuluh malam. Angkasa membuka mulutnya lalu memukul dahinya pelan, seperti baru teringat sesuatu. "Lah iya! Lupa gue saking paniknya." "Ya udah sholat dulu sana! Babas biar gue yang jagain." Bintang mendorong pelan Angkasa untuk segera melaksanakan kewajibannya. Setelah Angkasa pergi, Bintang kembali menatap luka-luka yang ada di tangan sahabatnya itu, ia bergidik ngeri. "Gue pikir cuma masalah geu yang berat, ternyata lo punya masalah yang jauh lebih berat dari gue Bas," gumam Bintang berbicara pada orang yang bahkan tidak bisa menjawabnya. Bintang sangat paham apa yang dirasakan oleh Baskara karena ia juga merasakannya. Hanya saja, meskipun ibunya tidak menyukainya, tidak menganggapnya, setidaknya ia masih mempunyai ayah dan saudara yang sangat sayang serta peduli padanya. Sedangkan Baskara? Dia hanya memiliki neneknya yang bahkan sekarang telah pergi meninggalkannya. Pemuda itu sebatang kara. *** "Bintang, si Babas udah sadar?" Tanya Dirgantara seraya menjatuhkan bokongnya ke sofa panjang yang ada di ruangan tersebut. Ia menghela napas lalu membuangnya kasar untuk membuang rasa lelahnya. "Belum." Pemuda itu ikut mendorong kaki Dirgantara agar memberi bokongnya sedikit ruang untuk ikut bergabung dengannya. Dirgantara memperhatikan Baskara dengan tatapan kasihan sekaligus bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu. "Si Angka mana?" tanya Dirgantara karena hanya Bintang yang ada di ruangan. "Lagi sholat." Jawab Bintang yang kini sudah beralih dengan koran yang berada di atas meja kecil dekat sofa. "Oh." Respon Dirgantara meliriknya sekilas lalu menyenderkan tubuh lelahnya seraya memijat pelipisnya ketika terasa berdenyut, pusing memikirkan masalah-masalah yang sedang terjadi hari ini. "Lo udah sholat?" tanya Bintang tanpa mengalihkan pandangannya dari benda favoritnya itu. "Udah pas balik gue sholat dulu," jawabnya yang kini sudah memejamkan matanya dan enggan untuk dibuka kembali. Dirgantara mulai mengantuk karena kelelahan fisik dan mental. *** Perlahan mata lelaki itu terbuka, secercah cahaya terang mentari pagi terpancar masuk ke dalam ruang rawatnya, bau obat-obatan sudah tercium oleh inderanya. "Bunda," panggilnya dengan volume suara yang pelan. Wajahnya masih sangat pucat dan tubuhnya juga masih terasa sangat lemas. "Alhamdulilah, anak bunda sudah sadar." Haru Dewi. Setelah semalaman Samudra tidak sadarkan diri akhirnya putranya itu siuman pagi ini. "Sebentar, Bunda panggilkan dokter dulu, ya." Wanita itu sedikit berlari untuk memanggil Dokter Leon. Tak lama dia kembali bersama Dokter Leon yang langsung memeriksa keadaanya. "Bagaimana?" tanya Dewi, berharap bahwa anak lelakinya sudah baik-baik saja. "Syukurlah keadaannya sudah jauh stabil, dua hari lagi Sam udah diperbolehkan pulang, tapi harus tetap jaga kesehatan dan obatnya jangan sampai telat diminum," jelas Dokter Leon. "Jangan dibuang lagi." Lanjutnya dengan berbisik pada sepupunya itu sebelum beranjak dari ruangan tersebut. Dewi tersenyum pada anak semata wayangnya, kemudian wanita itu duduk di kursi yang sudah disediakan. Meski berusaha kuat, tetap saja hati ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya terbaring lemah di rumah sakit? "Bunda, Sam gak suka lihat wajah Bunda murung gitu," kata Samudra menarik sudut bibir Dewi agar tersenyum. "Nah kalau senyum kan cantik." Pemuda itu memberinya senyum tulusnya. "Bunda kupaskan pisang, mau?" tawarnya. Sam mengangguk lalu sedetik kemudian pemuda itu langsung menanyakan ponselnya. "Sayang, kamu baru aja siuman, kok yang dicari malah ponsel bukannya nanyain Bunda atau ayah. Hmm bunda cemburu tau sama ponsel kamu," balas Dewi dengan lembut diselingi dengan candaan agar putranya lupa dengan rasa sakitnya. "Bunda lebay ih. Tolong ponsel Sam, bunda cantiknya aku." Samudra menyodorkan tangannya yang bebas dari infus seraya mengerucutkan bibirnya layaknya anak balita membuat wanita itu lupa bahwa putranya telah remaja. Ia menghela napasnya kemudian memberikan ponsel Samudra yang sedari tadi disimpan di dalam tas hitamnya. "Mau telepon siapa sih anak ganteng bunda ini? Rain ya?" tebaknya. Siapa lagi orang yang bisa membuat anaknya seperti ini kalau bukan gadis itu. Samudra mengangguk seraya mencari kontak Rain di ponselnya, kemudian mengklik icon panggil. Tanpa harus menunggu lama, suara si penerima panggilan langsung memenuhi gendang telinganya. "Hallo, Sam, kamu ke mana aja? Kenapa dari kemarin gak bisa dihubungi? Kamu kamu baik-baik aja, kan? Kamu--" kata Rain dalam satu tarikan napas. Suaranya begitu nyaring sampai membuat Sam harus sedikit menjauhkan ponselnya jika tidak ingin gendang telinganya rusak akibat pekikan gadis itu. "Nanyanya satu-satu dong, Rain," Sam dibuat gemas olehnya. Andai saja gadis itu ada dihadapannya, mungkin hidung gadis itu sudah menjadi korban kegemasannya. "Namanya juga lagi khawatir." Terdengar sebuah protes dari Rain, Samudra sedikit terkikik geli membayangkan bagaimana lucunya ekspresi gadis itu sekarang. "Cie yang khawatir," Pemuda itu semakin gencar menggodanya. "Kamu ke mana aja sih? Kenapa susah banget dihubungi?" tanya Rain tidak terpengaruh dengan ledekan yang baru saja Samudra layangkan padanya yang gadis itu butuhkan sekarang ini adalah penjelasan. Sebuah penjelasan kenapa dia mematikan sambungannya begitu saja dan hilang kabar selama tiga hari ini. "Biasa dihukum sama Bunda gak boleh keluar rumah gara-gara ngilangin Tupperware.kesayangannya." Alibinya yang terdengar begitu bodoh. "Bohong! Waktu itu aku dengar tante Dewi teriak manggil om Anton, terus gak lama handphone kamu mati. Sebenarnya apa yang terjadi? Jujur!" Paksa Rain. Ia tidak akan percaya dengan alasan konyol seperti itu. "Oh, itu gue gak sengaja pecahin gelas, biasalah ibu-ibu paniknya suka lebay. Oh iya, hampir lupa, gimana Babas sekarang? Sorry, gue belum bisa jenguk." Samudra menghela napas, dia merasa bersalah entah sudah berapa banyak ia berbohong pada Rain hari ini. "Alhamdulilah keadaannya berangsur membaik. Kata dokter Babas depresi berat," jelas Rain. Nada suaranya berubah sedih. Samudra terkejut, ia mengernyit kala dadanya kembali berdenyu nyeri. "Selama ini kita pikir Babas itu sehat-sehat aja, tapi ternyata ...." Bahkan Rain tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Gadis itu benar-benar masih tidak percaya dengan apa yang dialami salah satu sahabatnya itu. Dan di tempat Samudra, Sarah sudah berdiri di pintu ruangan memperhatikannya sejak tadi. "Rain, udah dulu ya, pulsa gue mau abis nih." Lagi-lagi Samudra langsung memutuskan sambungannya secara sepihak. "Mau sampai kapan? Setidaknya mereka harus tahu," ujar Sarah membuat Sam menggelengkan kepalanya pelan. *** Di pagi yang masih gelap, disaat matahari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya, pemuda jangkung itu sudah siap dengan pakaian santainya. "Abang mau ke rumah sakit, mau ikut?" tawarnya. "Bang Di duluan aja, Rain mau ke rumah Tia dulu." Gadis itu sibuk merapikan buku yang akan ia bawa ke dalam tas ranselnya. "Nyalin tugas nih pasti," tebak Dirgantara kembali menggoda sang adik. "Enak aja emangnya aku bang Di kerjasnnya nyontek," Rain mendengkus, "aku tuh mau kerja kelompok." *** Sedari tadi pemuda itu tidak mau berbicara pada siapapun. Ia masih sangat syok ketika melihat tangannya tidak tertutup hoodie yang selalu dipakainya. "Tinggalin gue sendiri," pinta Baskara dengan tatapan datarnya. "Tapi, Bas--" "Keluar!" Bentak pemuda itu seraya menunjuk pintu dengan telunjuknya. Angkasa keluar seperti yang diminta sahabatnya, ia ingin membuat sedikit ruang untuk Baskara agar dapat menenangkan pikirannya. Baskara menatap tangannya nanar, luka-luka itu tidak tertutup dengan hoodie yang selalu ia pakai. Itu artinya teman-temannya sudah tahu dan mungkin mereka juga sudah mengetahui penyakit mentalnya. “Apakah setelah ini gue akan kembali sendirian?” pikirnya. "Kok di luar?" tanya Dirgantara pada Angkasa yang sedang duduk seraya memainkan game di ponselnya. "Babas minta ditinggal." Jawab pemuda itu masih fokus pada permainan. Dirgantara melotot, tidak habis pikir pada sahabat satunya ini. Kenapa disaat seperti ini dia malah membiarkan pemuda itu seorang diri di dalam sana. Bagaimana jika dia kembali melakukan hal bodoh? "Terus kenapa lo malah ikuti kemauan dia? Kalau dia coba ngiris lagi gimana?" Tanya Dirgantara seraya langsung merebut ponsel pemuda itu dengan kesal. "Aaahh!" Angkasa sedikit berteriak karena ulah Dirgantara permainan yang sebentar lagi akan dimenangkannya justru malah berakhir dengan kekalahan. "Gue juga gak akan selalai itu. Gue udah amanin semua barang yang kira-kira berbahaya. Lagian apa yang bisa membahayakan di ruangan itu?" Angkasa memutar bola matanya jelak lalu merebut kembali ponselnya, "gara-gara lo gue kalah wlah." Dia mengerucutkan bibirnya dan menatap tajam ke arah Dirgantara yang tampak tidak peduli sama sekali. "Si Bintang belum ke sini?" tanya Dirgantara mengalihkan topik pembicaraan. "Ini hari Minggu," balas Angkasa masih dongkol akibat ulah sahabatnya itu.Setelah pulang dari sekolah, Samudra kembali mengantar gadis itu ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Lelaki itu mencium tangan ibunya Viola ketika berpapasan di depan ruangan yang gadis itu tempati. Samudra meminta maaf karena mengajak Viola pergi sampai senja seperti ini. Namun, bukannya memarahinya, wanita paruh baya itu jusrtu mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat senyum putrinya kembali. Setelah itu Samudra pamit pulang. Lagi pula gadis itu sebentar lagi harus meminum obatnya dan beristirahat. Saat dilorong rumah sakit tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya ke dinding saat dadanya terasa sakit, napasnya sesak dan pandangannya tampak kabur. Samudra tidak dapat menyangkal bahwa tubuhnya kelelahan, bahkan lelaki itu lagi-lagi melupakan obat yang harus dikonsumsinya. Ia berjalan dengan langkah terseok-seok sembari sebelah tangannya digunakan untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan beban tubuhnya. Namun, semakin lama Samudra me
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya mereka telah sampai ke sebuah bangunan yang tidak asing bagi Samudra, tetapi asing untuk gadis itu. Ya, mereka berdua kini sedang berada di sekolah lelaki itu sekarang. Viola menatap bangunan megah itu dengan mata yang berbinar. Senyuman indah itu tidak pernah luntur dari wajah pucatnya. “Ayo masuk!” Ajak Samudra seraya menggandeng tangannya. Viola menarik tangannya membuat lelaki itu mengerutkan keningnya. Bingung melihat wajah Viola yang terlihat cemas. “Apa mereka tidak akan mengusirku? Aku bukan siswi di sini,” ucap gadis itu menundukkan kepalanya. “Ya ampun aku pikir kenapa,” saut Samudra, “tenang saja ada puluhan siswi yang bersekolah di sini. Mereka tidak mungkin sadar kalau kamu bukan salah satu siswi di sini.” “Kamu yakin?” tanya gadis itu masih cemas akan ketahuan. “Ya,” jawab Samudra seyakin mungkin, “ayo akan aku buktikan.” Lanjutnya kembali menggenggam tan
Setelah pulang sekolah Samudra tidak langsung pulang ke rumahnya ataupun pergi bersama anak-anak Nature Squad seperti yang selalu mereka lakukan. Lelaki itu pergi untuk menemui teman barunya, Viola, gadis yang sempat ia pikir sebagai laki-laki botak yang hendak bunuh diri. Tok tok tok! “Masuk,” ucap seorang wanita paruh baya dari dalam. Samudra menyembulkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Baik wanita paruh bay aitu ataupun gadis cantik yang sedang duduk di kursi roda sama-sama tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kelakuannya yang menggemaskan. “Ayo masuk, Nak Sam,” ujar wanita paruh baya itu lagi yang tidak lain adalah ibu dari Viola. Ia sudah cukup tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai teman putrinya itu dan ia juga senang karena kehadiran Samudra, putrinya terlihat lebih ceria dan banyak tersenyum. Lelaki itu langsung masuk dan tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Kemudian ia
Sam dan Viola sama-sama menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan ke sana ke mari. "Kamu serius mau menjadi bapak peri untukku?" tanya gadis itu membuat kening pemuda itu berkerut. “Bapak peri?” tanya Samudra tidak mengerti. “Bukankah kamu tadi mengatakan akan menciptakan memori indah untukku? Kupikir kamu seperti ibu peri dalam cerita dongeng, tapi berhubung kau seorang laki-laki jadi kau bapak, bukan ibu,” jawab gadis itu membuat Samudra membuka mulutnya tidak percaya bisa bertemu dengan gadis sepolos dirinya. “Iya.” Jawab pemuda itu seraya menganggukan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Caranya?" tanya Viola lagi. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya seraya mendorong kursi roda Viola, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang dan menatap mata gadis itu dengan serius. "Mimpimu apa?" tanyanya. "Hah!" Viola mengerjap beberapa kali ketika mata mereka beradu. Dia merasa sangat gugup di tatap seperti itu.
Hari ini Baskara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit begitu pun dengan Bianca. Nugroho dengan cekatan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk kedua anaknya. Bianca yang melihat perubahan dari ayahnya itu merasa sangat bahagia sampai menitihkan air mata karena terharu, sementara Brisia tidak tau entah ke mana. Wanita itu tidak ikut menjemput kedua saudaranya."Kak Brisia mana Yah?" tanya Bianca."Entahlah. Mungkin Kakakmu sedang sibuk dengan urusannya," jawab pria dewasa itu seraya fokus menyetir.Baskara menatap kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sedari tadi dia terus menggenggam tangan Bianca tanpa mau melepaskannya."Kak, kepalanya masih sakit?" tanya pemuda itu khawatir."Sedikit," jawab Bianca sembari memegang perban yang terlilit di kepalanya."Jangan cemas! Kakak tidak apa-apa," lanjutnya tidak ingin membuat sang adik cemas.Nugroho yang sedang fokus menyetir, mengintip ke harmonisan kakak beradik itu lewat k
Uhuk! Uhuk!Sedari tadi Rita terus batuk-batuk, dia merasakan seluruh badannya tidak enak dan suhu tubuhnya sedikit hangat, sepertinya wanita itu terserang demam.Bintang yang menyadarinya langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sup jagung kesukaan ibunya. Namun, setelah masakannya jadi dan siap untuk di antarkan dia baru menyadari bahwa ibunya tidak mungkin memakannya jika Bintang yang memberikannya.Lantas pemuda itu kembali ke atas untuk meminta bantuan Bima untuk mengantarkannya dan meminta merahasiakan bahwa sup ini Bintang yang membuatnya.Awalnya Bima tidak setuju, tetapi setelah dia melihat sorot mata adiknya, dia pun luluh.Tok tok tok!Bimamengetuk pintu kamar ibunya dengan membawa semangkuk sup jagung yang dibuatkan Bintang. Wanita itu tersenyum ketika melihat putra kebanggaannya datang."Makan dulu, Ma," ucap pemuda itu sembari duduk di pinggir tempat tidur siap menyuapi sang ibu.Wanita itu







