Share

Bab 8-Kecurigaan

Keadaan Samudra sudah mulai membaik. Oleh karenanya pemuda itu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

"Sayang, yakin mau sekolah hari ini?" tanya Dewi khawatir ketika melihat putranya sudah siap dengan seragam sekolahnya.

"Iya, Sam sudah ketinggalan banyak pelajaran Bun," jawabnya, "kalau kelamaan tidak masuk, nanti Sam jadi bodoh."

Jujur, dia sangat merindukan para sahabatnya. Selama hampir satu minggu tidak mendengar dan tidak melihat kekonyolan mereka rasanya ada yang kurang. Pemuda itu juga rindu mengendarai motor kesayangannya.

"Ya sudah, tunggu, Bunda bawa kunci mobil dulu." Pinta Dewi hendak mengambil kunci mobil yang tergantung di tempatnya.

"Eh, mau ngapain?" tanya Samudra mengernyitkan kening.

"Bunda mau antar kamu lah, apa lagi," jawab wanita itu gemas dengan sikap Samudra yang terlihat menggemaskan.

"Jangan mulai Bun. Sam tidak suka Bunda memperlakukan Sam seperti anak kecil seperti ini." Pemuda itu mengerucutkan bibirnya dan merengek seperti anak kecil.

Wanita itu mengusap rambut anak semata wayangnya lembut. Cup! dikecupnya kening Samudra dengan pergerakan yang lumayan cepat.

"Bunda." protes pemuda itu tidak suka seraya langsung menjauhkan kepalanya.

Wanita itu malah tertawa melihat anaknya yang menggeliat. Anak kecilnya telah berubah menjadi seorang remaja yang tampan.

***

Di sinilah mereka saat ini, mentertawakan kebodohan yang dibuat Rain.

"Jangan ketawa!" Sergah Rain menempelkan kedua tangannya di pinggang. Bukannya berhenti, tawa mereka malah semakin keras. Rain mengerucutkan bibirnya kesal.

"Bu, baksonya satu lagi," pesan Rain masih tampak kesal.

"Loh yang tadi sudah habis neng?" tanya ibu kantin dengan polosnya.

Rain kembali melirik teman-temannya yang masih saja menertawakannya. Ia mendengkus sebal. "Sudah," jawabnya asal.

Gadis itu semakin geram dengan para pemuda di depannya itu. Rasanya ia ingin sekali menumpahkan sambal ke wajah mereka agar berhenti menertawakannya. "Berhenti tidak! Aku siram sambal mau?"

"Sedang bahas apaan sih? Seru banget," ujar Samudra yang tiba-tiba muncul serta langsung memakan bakso milik Rain yang masih tersimpan di atas meja.

"Hua air! Air!" Pemuda itu mengibas-ngibaskan tangannya seraya menjulurkan lidah. Tidak ada satu pun yang berbicara, mereka semua menatap sinis kearahnya kecuali Rain yang langsung memberinya air minum.

"Kenapa melihatku seperti itu?" Samudra mengerutkan alisnya lalu mengambil alih gelas yang di pegang Rain dan langsung meneguknya sampai tetes terakhir.

Pemuda itu tidak tahu apa yang membuat mereka menatapnya seperti itu. Dia hanya menunggu teman-temannya mengatakan padanya.

"Kamu itu teman kita bukan sih?" Kini Bintang yang bertanya. Namun nada suaranya seperti bukan sebuah pertanyaan.

Samudra kembali mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti maksud dari pertanyaan yang dilayangkan salah satu sahabatnya itu.

"Kita semua panik sama keadaan si Babas, kamu ke mana saja?" Suaranya lebih tinggi dari biasanya, "teman susah malah menghilang."

"Bintang, sudah," lerai Rain. Gadis itu tidak tega melihat pemuda itu dimarahi dan disalahkan. Lagi pula, Samudra pasti memiliki alasan, kan? Setidaknya itulah yang gadis itu pikirkan.

"Rain, diam! Yang dikatakan si Bintang itu benar," tukas Dirgantara. Pemuda itu tidak suka jika adiknya membela Samudra yang menurutnya salah.

"Bang Di!" seru Rain tidak suka dengan apa yang dikatakan sang kakak.

"Kita kecewa sama kamu, Sam." Kini giliran Angkasa yang bersuara.

"Cukup!” Seru Sarah menghampiri mereka, "kalian tidak bisa terus menyalahkan Sam. Dia juga tidak mau seperti ini."

Sarah sudah seperti Dewi penolong untuk pemuda itu. Jika saja gadis itu tidak datang, habislah dia dicecar berbagai pertanyaan yang sudah pasti tidak akan pernah dijawab olehnya.

"Maksud kamu apa? Setidaknya kasih kabar kalau memang tidak bisa, bukan malah menghilang seperti di telan bumi," tukas Angkasa dengan sorot mata penuh amarah.

"Angka!" Mata Sarah menjegil. Gadis itu tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Samudra tidak tahan lagi melihat pertengkaran antara sepupunya dengan sahabat-sahabatnya, pemuda itu langsung menarik Sarah untuk pergi dari sana.

***

"Apa yang ada di otakmu sampai bicara seperti tadi?" Samudra menjadi berang melihat kelakuan ceroboh sepupunya itu. Hampir saja teman-temannya curiga.

"Harusnya aku yang tanya. Kenapa diam saja? Aku tidak bisa melihatmu disalahkan terus. Mereka tidak tahu kebenarannya." Gadis itu masih tersulut emosi. Dia tidak habis pikir kenapa sepupunya itu diam saja saat teman-temannya menyalahkannya.

"Justru karena mereka tidak tahu." Kini pemuda itu juga semakin tersulut emosi.

"Sam," lirihnya. Gadis itu merasa kasihan pada pemuda di hadapannya ini. Dia selalu bersikap seakan baik-baik saja, padahal ia tahu pemuda itu begitu menderita.

"Sarah.” Panggil Samudra menurunkan pandangannya seraya meremas pundak gadis itu, “ini masalahku dengan teman-temanku. Kamu tidak usah ikut campur."

"Tetap saja, aku tidak bisa menerimanya. Setidaknya mereka harus tahu kebenarannya." Gadis itu benar-benar tidak suka sepupunya diperlakukan seperti tadi. Rasanya ia ingin berteriak tepat di gendang telinga mereka tentang alasan pemuda itu tidak datang dan seakan menghilang.

"Sarah!" Bentaknya, "kamu mau lihat aku mati karena marah-marah terus?"

Napas Samudra naik turun, pemuda itu benar-benar marah pada gadis yang sedang berdiri di hadapannya itu. Ia tidak suka ada yang mencampuri urusan pribadinya.

"Bukan seperti itu--" sela Sarah.

"Masalah Babas saja sudah membuat mereka khawatir, apalagi kalau mereka tahu alasanku tidak datang." Samudra menatap tajam sepupu cantiknya itu, "kamu tenang saja aku bisa mengatasi ini."

"Wajar mereka marah, nanti juga baik sendiri," pungkas Samudra mengakhir perdebatan.

***

Rain menemui Sarah untuk bertanya soal pernyataan yang tadi akan gadis itu utarakan pada mereka. Ia merasa ada yang tidak beres di sini dan seperti yang direncanakan sebelumnya, Rain akan menyelidikinya.

"Sarah." Panggil Rain sembari berlari menghampirinya.

Gadis itu menoleh dan sedikit terkejut dengan kedatangannya. "Eh, Rain."

"Tadi pas di kantin kamu mau ngomong apa sama kita?" tanyanya langsung to the point.

"Ini masalahku dengan teman-temanku. Kamu tidak usah ikut campur."

"Masalah Babas saja sudah membuat mereka khawatir, apalagi kalau mereka tahu alasanku tidak datang. Kamu tenang saja, aku bisa mengatasi ini."

Perkataan pemuda itu tiba-tiba muncul dalam pikirannya, Sarah tidak mau mengecewakan sepupunya. Biarlah mereka tahu dari mulut pemuda itu sendiri.

"Sarah." Rain melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahnya.

"Lupakan saja," kata Sarah dengan senyum dipaksakan.

"Duluan ya." Gadis itu memilih pergi, ia tidak ingin sampai keceplosan yang pasti akan membuat sepupunya marah padanya.

Sarah meninggalkan Rain yang masih berdiri di koridor dengan wajah ditekuk. Ia masih berdiri di tempat, memerhatikan punggung gadis itu yang semakin jauh.

"Semakin mencurigakan," pikirnya.

"Rain." Panggil Tia menepuk bahunya. Membuat gadis itu terperanjat kaget.

"Kamu sedang apa berdiri sendirian di sini?" tanyanya heran melihat gadis itu berdiri seorang diri.

Rain mengerjap beberapa kali. "Nunggu pangeran berkuda putih," jawabnya asal.

"Si Sam?" Tebak Tia dengan kepala yang terus bergerak ke kiri dan ke kanan seperti mencari keberadaan seseorang.

Gadis itu mengerutkan keningnya. "Kenapa jadi dia?"

Entah apa yang Tia pikirkan sampai bisa berpikiran pemuda tampan itu. Sam, pemuda yang diidolakan semua siswi di sekolah ini.

"Dia kan pangeran kamu," jawab Tia membuat gadis itu salah tingkah.

"Ngaco." Rain memalingkan wajahnya kala merasakan pipinya terasa panas. Mungkin saja sekarang ini pipinya sudah merona karena malu.

"Haha ... ngaco apa ngaco?" goda Tia semakin semangat menggoda teman sekelasnya itu.

"Udah ah, ayo ke kelas!" Ajak Rain langsung menariknya. Ia sangat risih digoda seperti itu terlebih godaannya itu memang fakta. Samudra adalah pangeran berkuda putih untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status