LOGINKeadaan Samudra sudah mulai membaik. Oleh karenanya pemuda itu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
"Sayang, yakin mau sekolah hari ini?" tanya Dewi khawatir ketika melihat putranya sudah siap dengan seragam sekolahnya. "Iya, Sam udah ketinggalan banyak pelajaran Bun," jawabnya, "kalau kelamaan gak masuk, nanti Sam jadi bodoh." Jujur, dia sangat merindukan para sahabatnya. Selama hampir satu minggu tidak mendengar dan tidak melihat kekonyolan mereka rasanya ada yang kurang. Pemuda itu juga rindu mengendarai motor kesayangannya. "Ya udah, tunggu, Bunda bawa kunci mobil dulu." Pinta Dewi hendak mengambil kunci mobil yang tergantung di tempatnya. "Eh, mau ngapain?" tanya Samudra mengernyitkan kening. "Bunda mau antar kamu lah, apa lagi," jawab wanita itu gemas dengan sikap Samudra yang terlihat menggemaskan. "Jangan mulai Bun. Sam gak suka ah Bunda memperlakukan Sam kaya anak kecil gini." Pemuda itu mengerucutkan bibirnya dan merengek seperti anak kecil. Dewi mengusap rambut anak semata wayangnya lembut. Cup! dikecupnya kening Samudra dengan pergerakan yang lumayan cepat. "Bunda." protes pemuda itu tidak suka seraya langsung menjauhkan kepalanya. Wanita itu malah tertawa melihat anaknya yang menggeliat. Anak kecilnya telah berubah menjadi seorang remaja yang tampan. *** Di sinilah mereka saat ini, mentertawakan kebodohan yang dibuat Rain. "Jangan ketawa!" Sergah Rain menempelkan kedua tangannya di pinggang. Bukannya berhenti, tawa mereka malah semakin keras. Rain mengerucutkan bibirnya kesal. "Bu, baksonya satu lagi," pesan Rain masih tampak kesal. "Loh yang tadi udah habis neng?" tanya ibu kantin dengan polosnya. Rain kembali melirik teman-temannya yang masih saja menertawakannya. Ia mendengkus sebal. "Sudah," jawabnya asal. Gadis itu semakin geram dengan para pemuda di depannya itu. Rasanya ia ingin sekali menumpahkan sambal ke wajah mereka agar berhenti menertawakannya. "Berhenti tidak! Aku siram sambal mau?" "Sedang bahas apaan sih? Seru banget," ujar Samudra yang tiba-tiba muncul serta langsung memakan bakso milik Rain yang masih tersimpan di atas meja. "Hua air! Air!" Pemuda itu mengibas-ngibaskan tangannya seraya menjulurkan lidah. Tidak ada satu pun yang berbicara, mereka semua menatap sinis kearahnya kecuali Rain yang langsung memberinya air minum. "Kenapa melihatku seperti itu?" Samudra mengerutkan alisnya lalu mengambil alih gelas yang di pegang Rain dan langsung meneguknya sampai tetes terakhir. Pemuda itu tidak tahu apa yang membuat mereka menatapnya seperti ini. Dia hanya menunggu teman-temannya mengatakan padanya. "Lo itu teman kita bukan sih?" Kini Bintang yang bertanya. Namun nada suaranya seperti bukan sebuah pertanyaan. Samudra kembali mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti maksud dari pertanyaan yang dilayangkan salah satu sahabatnya itu. "Kita semua panik sama keadaan si Babas, lo ke mana aja?" Suaranya lebih tinggi dari biasanya, "teman susah malah ngilang." "Bintang, udah," lerai Rain. Gadis itu tidak tega melihat Samudra dimarahi dan disalahkan. Lagi pula Samudra pasti memiliki alasan, kan? Setidaknya itulah yang gadis itu pikirkan. "Rain, diem! si Bintang bener," tukas Dirgantara. Pemuda itu tidak suka jika adiknya membela Samudra yang menurutnya salah kali ini. "Bang Di!" seru Rain tidak suka dengan apa yang dikatakan sang kakak. "Kita kecewa sama lo, Sam." Kini giliran Angkasa yang bersuara. "Cukup!” Seru Sarah menghampiri mereka, "kalian gak bisa terus nyalahin Sam. Dia juga gak mau kaya gini." Sarah sudah seperti Dewi penolong untuk Samudra. Jika saja gadis itu tidak datang, habislah dia dicecar berbagai pertanyaan yang sudah pasti tidak akan pernah dijawab olehnya. "Maksud lo apa? Seenggaknya kasih kabar lah kalau emang gak bisa, bukan malah ngilang kaya di telan bumi," tukas Angkasa dengan sorot mata penuh amarah. "Angka!" Mata Sarah menjegil. Gadis itu tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Samudra tidak tahan lagi melihat pertengkaran antara sepupunya dengan sahabat-sahabatnya, pemuda itu langsung menarik Sarah untuk pergi dari sana. *** "Apa yang ada di otak lo sampai bicara kaya tadi?" Samudra menjadi berang melihat kelakuan ceroboh sepupunya itu. Hampir saja teman-temannya curiga. "Harusnya aku yang tanya. Kenapa diam aja? Aku gak bisa liat kamu disalahin terus. Mereka gak tau kebenarannya." Gadis itu masih tersulut emosi. Dia tidak habis pikir kenapa sepupunya itu diam saja saat teman-temannya menyalahkan dan memojokannya. "Justru karena mereka gak tau." Kini Samudra juga semakin tersulut emosi. "Sam," lirihnya. Gadis itu merasa kasihan pada pemuda di hadapannya ini. Dia selalu bersikap seakan baik-baik saja, padahal ia tahu pemuda itu jauh dari kata baik-baik saja. "Sarah.” Panggil Samudra menurunkan pandangannya seraya meremas pundak gadis itu, “ini masalah gue sama teman-teman gue. Lo jangan bikin ini makin runyam plis." "Aku gak terima. Seenggaknya mereka harus tau kebenarannya." Sarah benar-benar tidak suka sepupunya diperlakukan seperti tadi. Rasanya ia ingin berteriak tepat di gendang telinga mereka tentang alasan Samudra tidak datang dan seakan menghilang. Napas Samudra naik turun, pemuda itu juga terbawa emosi pada gadis yang sedang berdiri di hadapannya sekarang. Ia tidak suka ada yang mencampuri urusan pribadinya. "Masalah Babas aja udah buat mereka khawatir, apalagi kalau mereka tau alasan gue gak datang." Samudra menatap tajam sepupu cantiknya itu, "wajar mereka marah, nanti juga bakal baik sendiri," pungkas Samudra mengakhir perdebatan. *** Rain menemui Sarah untuk bertanya soal pernyataan yang tadi akan gadis itu utarakan pada mereka. Ia merasa ada yang tidak beres di sini dan seperti yang direncanakan sebelumnya, Rain akan menyelidikinya. "Sarah." Panggil Rain sembari berlari menghampirinya. Gadis itu menoleh dan sedikit terkejut dengan kedatangannya. "Eh, Rain." "Tadi pas di kantin kamu mau ngomong apa sama kita?" tanyanya langsung to the point. "Ini masalah gue sama teman-teman gue." "Masalah Babas aja udah buat mereka khawatir, apalagi kalau mereka tau alasan gue gak datang." Perkataan Samudra tiba-tiba muncul dalam pikirannya, Sarah tidak mau mengecewakan sepupunya. Biarlah mereka tahu dari mulut pemuda itu sendiri. "Sarah." Rain melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahnya. "Lupain aja," kata Sarah dengan senyum dipaksakan. "Duluan ya." Gadis itu memilih pergi, ia tidak ingin sampai keceplosan yang pasti akan membuat sepupunya marah padanya. Sarah meninggalkan Rain yang masih berdiri di koridor dengan wajah ditekuk. Ia masih berdiri di tempat, memerhatikan punggung gadis itu yang semakin jauh. "Semakin mencurigakan," pikirnya. "Rain." Panggil Tia menepuk bahunya. Membuat gadis itu terperanjat kaget. "Kamu lagi apa berdiri sendirian di sini?" tanyanya heran melihat gadis itu berdiri seorang diri. Rain mengerjap beberapa kali. "Nunggu pangeran berkuda putih," jawabnya asal. "Si Sam?" Tebak Tia dengan kepala yang terus bergerak ke kiri dan ke kanan seperti mencari keberadaan seseorang. Rain mengerutkan keningnya. "Kenapa jadi dia?" Entah apa yang Tia pikirkan sampai bisa berpikiran pemuda tampan itu. Sam, pemuda yang diidolakan semua siswi di sekolah ini. "Dia kan pangeran kamu," jawab Tia membuat gadis itu salah tingkah. "Ngaco." Rain memalingkan wajahnya kala merasakan pipinya terasa panas. Mungkin saja sekarang ini pipinya sudah merona karena malu. "Haha ... ngaco apa ngaco?" goda Tia semakin semangat menggoda teman sekelasnya itu. "Udah ah, ayo ke kelas!" Ajak Rain langsung menariknya. Ia sangat risih digoda seperti itu terlebih godaannya itu memang fakta. Samudra adalah pangeran berkuda putih untuknya.Setelah pulang dari sekolah, Samudra kembali mengantar gadis itu ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Lelaki itu mencium tangan ibunya Viola ketika berpapasan di depan ruangan yang gadis itu tempati. Samudra meminta maaf karena mengajak Viola pergi sampai senja seperti ini. Namun, bukannya memarahinya, wanita paruh baya itu jusrtu mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat senyum putrinya kembali. Setelah itu Samudra pamit pulang. Lagi pula gadis itu sebentar lagi harus meminum obatnya dan beristirahat. Saat dilorong rumah sakit tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya ke dinding saat dadanya terasa sakit, napasnya sesak dan pandangannya tampak kabur. Samudra tidak dapat menyangkal bahwa tubuhnya kelelahan, bahkan lelaki itu lagi-lagi melupakan obat yang harus dikonsumsinya. Ia berjalan dengan langkah terseok-seok sembari sebelah tangannya digunakan untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan beban tubuhnya. Namun, semakin lama Samudra me
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya mereka telah sampai ke sebuah bangunan yang tidak asing bagi Samudra, tetapi asing untuk gadis itu. Ya, mereka berdua kini sedang berada di sekolah lelaki itu sekarang. Viola menatap bangunan megah itu dengan mata yang berbinar. Senyuman indah itu tidak pernah luntur dari wajah pucatnya. “Ayo masuk!” Ajak Samudra seraya menggandeng tangannya. Viola menarik tangannya membuat lelaki itu mengerutkan keningnya. Bingung melihat wajah Viola yang terlihat cemas. “Apa mereka tidak akan mengusirku? Aku bukan siswi di sini,” ucap gadis itu menundukkan kepalanya. “Ya ampun aku pikir kenapa,” saut Samudra, “tenang saja ada puluhan siswi yang bersekolah di sini. Mereka tidak mungkin sadar kalau kamu bukan salah satu siswi di sini.” “Kamu yakin?” tanya gadis itu masih cemas akan ketahuan. “Ya,” jawab Samudra seyakin mungkin, “ayo akan aku buktikan.” Lanjutnya kembali menggenggam tan
Setelah pulang sekolah Samudra tidak langsung pulang ke rumahnya ataupun pergi bersama anak-anak Nature Squad seperti yang selalu mereka lakukan. Lelaki itu pergi untuk menemui teman barunya, Viola, gadis yang sempat ia pikir sebagai laki-laki botak yang hendak bunuh diri. Tok tok tok! “Masuk,” ucap seorang wanita paruh baya dari dalam. Samudra menyembulkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Baik wanita paruh bay aitu ataupun gadis cantik yang sedang duduk di kursi roda sama-sama tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kelakuannya yang menggemaskan. “Ayo masuk, Nak Sam,” ujar wanita paruh baya itu lagi yang tidak lain adalah ibu dari Viola. Ia sudah cukup tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai teman putrinya itu dan ia juga senang karena kehadiran Samudra, putrinya terlihat lebih ceria dan banyak tersenyum. Lelaki itu langsung masuk dan tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Kemudian ia
Sam dan Viola sama-sama menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan ke sana ke mari. "Kamu serius mau menjadi bapak peri untukku?" tanya gadis itu membuat kening pemuda itu berkerut. “Bapak peri?” tanya Samudra tidak mengerti. “Bukankah kamu tadi mengatakan akan menciptakan memori indah untukku? Kupikir kamu seperti ibu peri dalam cerita dongeng, tapi berhubung kau seorang laki-laki jadi kau bapak, bukan ibu,” jawab gadis itu membuat Samudra membuka mulutnya tidak percaya bisa bertemu dengan gadis sepolos dirinya. “Iya.” Jawab pemuda itu seraya menganggukan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Caranya?" tanya Viola lagi. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya seraya mendorong kursi roda Viola, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang dan menatap mata gadis itu dengan serius. "Mimpimu apa?" tanyanya. "Hah!" Viola mengerjap beberapa kali ketika mata mereka beradu. Dia merasa sangat gugup di tatap seperti itu.
Hari ini Baskara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit begitu pun dengan Bianca. Nugroho dengan cekatan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk kedua anaknya. Bianca yang melihat perubahan dari ayahnya itu merasa sangat bahagia sampai menitihkan air mata karena terharu, sementara Brisia tidak tau entah ke mana. Wanita itu tidak ikut menjemput kedua saudaranya."Kak Brisia mana Yah?" tanya Bianca."Entahlah. Mungkin Kakakmu sedang sibuk dengan urusannya," jawab pria dewasa itu seraya fokus menyetir.Baskara menatap kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sedari tadi dia terus menggenggam tangan Bianca tanpa mau melepaskannya."Kak, kepalanya masih sakit?" tanya pemuda itu khawatir."Sedikit," jawab Bianca sembari memegang perban yang terlilit di kepalanya."Jangan cemas! Kakak tidak apa-apa," lanjutnya tidak ingin membuat sang adik cemas.Nugroho yang sedang fokus menyetir, mengintip ke harmonisan kakak beradik itu lewat k
Uhuk! Uhuk!Sedari tadi Rita terus batuk-batuk, dia merasakan seluruh badannya tidak enak dan suhu tubuhnya sedikit hangat, sepertinya wanita itu terserang demam.Bintang yang menyadarinya langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sup jagung kesukaan ibunya. Namun, setelah masakannya jadi dan siap untuk di antarkan dia baru menyadari bahwa ibunya tidak mungkin memakannya jika Bintang yang memberikannya.Lantas pemuda itu kembali ke atas untuk meminta bantuan Bima untuk mengantarkannya dan meminta merahasiakan bahwa sup ini Bintang yang membuatnya.Awalnya Bima tidak setuju, tetapi setelah dia melihat sorot mata adiknya, dia pun luluh.Tok tok tok!Bimamengetuk pintu kamar ibunya dengan membawa semangkuk sup jagung yang dibuatkan Bintang. Wanita itu tersenyum ketika melihat putra kebanggaannya datang."Makan dulu, Ma," ucap pemuda itu sembari duduk di pinggir tempat tidur siap menyuapi sang ibu.Wanita itu







