Share

Bab 6-Self-Injury

Baskara benar-benar terpukul dengan meninggalnya nenek tercinta, apalagi ia tidak diijinkan untuk sekadar mengantar neneknya ke peristirahatan terakhirnya.

"Babas." Panggil Wina mengetuk pintu kokoh tersebut, "ada teman-teman kamu datang."

"Gimana?" tanya Bintang berbisik karena tidak sabar ingin melihat kondisi sahabatnya yang terus mengurung diri di dalam kamar.

"Dari semalam dia belum keluar-keluar kamar," jawab Wina tampak sangat khawatir dengan kondisi pemuda itu.

"Babas." Kini Rain yang mencoba memanggilnya, tetapi hasilnya tetap sama, pemuda itu tidak mau keluar dari kamarnya bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun.

"Bas, kamu harus makan, nanti kamu sakit." Wina kembali mengetuk pintu kamar dengan ketukan yang lebih keras dari sebelumnya.

"Bas buka! Kamu tidak sendiri. Ada kita-kita yang selalu siap menjadi sandaran buatmu," seru Angkasa berusaha meyakinkan pemuda itu bahwa dia tidak sendiri.

Sedangkan kondisi di dalam kamar sangatlah kacau. Baskara dari semalam terus menangisi kepergian sang nenek, pikirannya begitu kalut.

Pemuda itu mulai beranjak serta kembali mengambil benda tajam itu. Membayangkan saat neneknya masih hidup dan selalu ada di dekatnya.

Bagaikan menonton film yang terus berganti. Canda, tawa, senang, sedih, luka, ia lalui bersama dengan sang nenek. Sampai gambarannya kembali pada tubuh kaku sang nenek dan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pemuda itu tidak bisa menolong nyawa orang yang paling berarti untuknya.

"Aku cucu yang tidak berguna!" Umpatnya seraya menjambak rambut frustrasi.

"Babas!" Kini mereka semua mencoba mendobrak pintu kamarnya karena takut pemuda itu melakukan hal yang tidak diinginkan.

"Buat apa Babas hidup kalau nenek juga ninggalin Babas?" Gumamnya mulai menempelkan benda tajam itu pada pergelangan tangannya. Sensasi dingin bisa langsung ia rasakan.

"Saudari bahkan ayah tidak menginginkan kehadiran Babas, nenek juga tega ninggalin Babas. Ini terlalu sakit Tuhan. Sakit!" lirihnya.

Aku gak kuat nek, Babas pengen ikut nenek aja.

Brak!

"Babas!!" Pekik Dirgantara melihat pemuda itu sudah terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari pergelangan tangannya.

Breet!

Tanpa berpikir panjang

Dirgantara langsung merobek bajunya untuk menahan darah tersebut agar tidak terus keluar dan membuat sahabatnya itu kehabisan darah.

***

"Mau ke mana Sayang?" tanya Dewi pada anak semata wayangnya itu.

"Ke rumah Babas. Tadi malam neneknya baru saja meninggal," jawab Samudra.

"Innalilahi, Bunda ikut berduka cita ya," kata wanita itu.

"Sam berangkat ya, Bun." Pamitnya lalu mencium lengan wanita yang di panggil bun atau lebih tepatnya bunda.

"Iya, hati-hati ya Sayang." Ingat Dewi mengecup puncak kepala sang putra.

Kringg! Kringg!

"Rain sudah tidak sabar ketemu Sam." Bisiknya seraya menunjukan nama yang tertera di layar ponselnya.

Dewi tersenyum. "Dasar anak muda."

"Ngomel nih pasti," batin Samudra yang sudah tahu sifat sahabat cantiknya itu.

"Hallo, iya, sebentar lag--"

"Sam, Babas ...." Rain menangis di ujung telepon.

Tubuh Samudra mulai gemetar, jantungnya bergemuruh lebih cepat dan telapak tangannya sudah dibanjiri oleh keringat dingin.

"Ada apa Sayang?" tanya Dewi pada sang putra yang hanya berdiri tanpa berkata sepatah katapun. Namun, wanita paruh baya itu bisa melihat wajah anaknya berubah pucat pasi.

"Babas ... potong nadinya," lanjut Rain, isakannya semakin terdengar pilu.

Samudra tersentak, ia menjatuhkan ponselnya begitu saja dan langsung berpegangan pada tangan kursi dan memejamkan matanya dengan sangat kuat menahan rasa sakit yang teramat menghujani dada kirinya.

Rain menjadi khawatir karena sedari tadi Samudra tidak berbicara sedikitpun, ditambah ia mendengar suara Dewi berteriak memanggil Anton, suaminya.

"Sam kamu masih di sana, kan?"

"Mas Anton!" teriak Dewi memanggil suaminya untuk kesekian kalinya.

Kekhawatiran Rain semakin bertambah kala mendengar nada suara wanita paruh baya itu yang begitu panik. Berulang kali ia mencoba memanggilnya namun hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban. Bahkan sekarang sambungan telepon tersebut telah diputus.

***

Baskara sudah di bawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan segera. Mereka semua menunggu dengan hati yang gelisah, panik, takut, semua berkecamuk menjadi satu.

Belum lagi mereka dikejutkan oleh luka-luka yang ada di kedua tangan lelaki itu, dan jika dilihat dari bekas lukanya, itu bukanlah luka baru.

Dengan kata lain lelaki itu sudah sering melukai dirinya sendiri.

"Sejak kapan dia suka ngiris?" tanyanya. Bintang meringis membayangkan luka-luka yang tercetak di tangan Baskara.

Mereka semua menggeleng. Rain memegang ponselnya kuat, pikirannya terbagi dengan Samudra yang tiba-tiba memutuskan sambungan teleponnya serta Dewi yang memanggil Anton dengan panik.

"Apa yang terjadi padamu Sam? Semoga kamu baik-baik saja," pikirnya.

"Apa ada keluarga pasien?" tanya dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.

"Saya kakaknya," Dirgantara terpaksa berbohong. Lagi pula Baskara memang sudah tidak memiliki keluarga lagi setelah kepergian neneknya. Setidaknya itu yang mereka ketahui.

"Mari ikut saya," kata dokter berjalan ke ruangannya.

"Apa kalian tau apa yang terjadi dengan pasien?" tanya dokter.

Mereka semua menggeleng. "Tidak, Dokter."

"Memangnya dia kenapa?" tanya Dirgantara.

"Pasien mengalami self-injury atau biasa disebut juga self-harm." Jawab sang dokter seraya membenarkan letak kacamatanya.

"Apa?" Kaget Bintang yang mengetahui jenis penyakit yang dikatakan oleh dokter tersebut.

"Kalau terus dibiarkan ini sangat berbahaya, bisa membunuh dirinya sendiri," lanjut dokter melanjutkan.

"Babas ngiris karena terpukul dengan kepergian neneknya," pikir Angkasa dan langsung disangkal oleh Bintang.

"Selama ini dia pasti menyimpan beban yang amat berat, tapi kita tidak tahu beban apa itu." Bintang melihat ke depan dengan tatapan bingung sekaligus masih tidak percaya dengan apa yang dialami salah satu sahabatnya tersebut.

Self-injury atau self-harm merupakan tindakan menimbulkan luka-luka pada tubuh diri sendiri secara sengaja. Tindakan ini dilakukan tidak dengan tujuan bunuh diri, tetapi sebagai suatu cara untuk melampiaskan emosi-emosi yang terlalu menyakitkan untuk diekspresikan dengan kata-kata. Self-injury dapat berupa mengiris, menggores kulit dan membakarnya, melukai atau mememarkan tubuh lewat kecelakaan yang sudah direncanakan sebelumnya. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim mereka bahkan menyuntikan racun ke dalam tubuh.

"Jadi, self-injury itu sebuah penyakit psikologis?" tanya Rain.

"Iya. Secara singkatnya penderita melakukan ini untuk mengatasi rasa sakit secara emosional atau menghilangkan rasa kekosongan kronis dalam diri dengan memberikan sensasi pada diri sendiri. Kata buku yang aku baca sih gitu," jelas Bintang. Mereka lupa bahwa sekarang ini masih berada di ruangan dokter.

"Apa penyakit ini bisa disembuhkan?" Kini Angkasa yang bertanya.

"Bisa. Semua penyakit pasti ada obatnya." Bukan Bintang yang menjawab, melainkan sang dokter yang sedari tadi menyaksikan obrolan anak-anak muda itu.

"Kita sebagai sahabatnya harus terus support dia. Pokoknya sedetikpun jangan biarkan dia mempunyai keinginan untuk menyakiti dirinya sendiri lagi," kata Bintang dan mereka semua mengangguk setuju.

Setelah mereka keluar dari ruangan dokter, Angkasa beserta yang lainnya hanya bisa duduk dan menunggu kabar baik di dalam sana.

"Aku tidak menyangka ternyata selama ini Babas menyimpan beban yang begitu berat." Monolog Angkasa sedih dengan keadaan yang menimpa salah satu sahabatnya.

"Dek, kamu sudah menghubungi Sam?" tanya Dirgantara. Bukannya menjawab pertanyaan dari kakaknya, Rain malah terdiam seraya memandangi ponselnya yang mati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status