Baskara benar-benar terpukul dengan meninggalnya nenek tercinta, apalagi ia tidak diijinkan untuk sekadar mengantar neneknya ke peristirahatan terakhirnya.
"Babas." Panggil Wina mengetuk pintu kokoh tersebut, "ada teman-teman kamu datang."
"Gimana?" tanya Bintang berbisik karena tidak sabar ingin melihat kondisi sahabatnya yang terus mengurung diri di dalam kamar.
"Dari semalam dia belum keluar-keluar kamar," jawab Wina tampak sangat khawatir dengan kondisi pemuda itu.
"Babas." Kini Rain yang mencoba memanggilnya, tetapi hasilnya tetap sama, pemuda itu tidak mau keluar dari kamarnya bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun.
"Bas, kamu harus makan, nanti kamu sakit." Wina kembali mengetuk pintu kamar dengan ketukan yang lebih keras dari sebelumnya.
"Bas buka! Kamu tidak sendiri. Ada kita-kita yang selalu siap menjadi sandaran buatmu," seru Angkasa berusaha meyakinkan pemuda itu bahwa dia tidak sendiri.
Sedangkan kondisi di dalam kamar sangatlah kacau. Baskara dari semalam terus menangisi kepergian sang nenek, pikirannya begitu kalut.
Pemuda itu mulai beranjak serta kembali mengambil benda tajam itu. Membayangkan saat neneknya masih hidup dan selalu ada di dekatnya.
Bagaikan menonton film yang terus berganti. Canda, tawa, senang, sedih, luka, ia lalui bersama dengan sang nenek. Sampai gambarannya kembali pada tubuh kaku sang nenek dan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pemuda itu tidak bisa menolong nyawa orang yang paling berarti untuknya.
"Aku cucu yang tidak berguna!" Umpatnya seraya menjambak rambut frustrasi.
"Babas!" Kini mereka semua mencoba mendobrak pintu kamarnya karena takut pemuda itu melakukan hal yang tidak diinginkan.
"Buat apa Babas hidup kalau nenek juga ninggalin Babas?" Gumamnya mulai menempelkan benda tajam itu pada pergelangan tangannya. Sensasi dingin bisa langsung ia rasakan.
"Saudari bahkan ayah tidak menginginkan kehadiran Babas, nenek juga tega ninggalin Babas. Ini terlalu sakit Tuhan. Sakit!" lirihnya.
Aku gak kuat nek, Babas pengen ikut nenek aja.
Brak!
"Babas!!" Pekik Dirgantara melihat pemuda itu sudah terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari pergelangan tangannya.
Breet!
Tanpa berpikir panjang
Dirgantara langsung merobek bajunya untuk menahan darah tersebut agar tidak terus keluar dan membuat sahabatnya itu kehabisan darah.***
"Mau ke mana Sayang?" tanya Dewi pada anak semata wayangnya itu.
"Ke rumah Babas. Tadi malam neneknya baru saja meninggal," jawab Samudra.
"Innalilahi, Bunda ikut berduka cita ya," kata wanita itu.
"Sam berangkat ya, Bun." Pamitnya lalu mencium lengan wanita yang di panggil bun atau lebih tepatnya bunda.
"Iya, hati-hati ya Sayang." Ingat Dewi mengecup puncak kepala sang putra.
Kringg! Kringg!
"Rain sudah tidak sabar ketemu Sam." Bisiknya seraya menunjukan nama yang tertera di layar ponselnya.
Dewi tersenyum. "Dasar anak muda."
"Ngomel nih pasti," batin Samudra yang sudah tahu sifat sahabat cantiknya itu.
"Hallo, iya, sebentar lag--"
"Sam, Babas ...." Rain menangis di ujung telepon.
Tubuh Samudra mulai gemetar, jantungnya bergemuruh lebih cepat dan telapak tangannya sudah dibanjiri oleh keringat dingin.
"Ada apa Sayang?" tanya Dewi pada sang putra yang hanya berdiri tanpa berkata sepatah katapun. Namun, wanita paruh baya itu bisa melihat wajah anaknya berubah pucat pasi.
"Babas ... potong nadinya," lanjut Rain, isakannya semakin terdengar pilu.
Samudra tersentak, ia menjatuhkan ponselnya begitu saja dan langsung berpegangan pada tangan kursi dan memejamkan matanya dengan sangat kuat menahan rasa sakit yang teramat menghujani dada kirinya.
Rain menjadi khawatir karena sedari tadi Samudra tidak berbicara sedikitpun, ditambah ia mendengar suara Dewi berteriak memanggil Anton, suaminya.
"Sam kamu masih di sana, kan?"
"Mas Anton!" teriak Dewi memanggil suaminya untuk kesekian kalinya.
Kekhawatiran Rain semakin bertambah kala mendengar nada suara wanita paruh baya itu yang begitu panik. Berulang kali ia mencoba memanggilnya namun hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban. Bahkan sekarang sambungan telepon tersebut telah diputus.
***
Baskara sudah di bawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan segera. Mereka semua menunggu dengan hati yang gelisah, panik, takut, semua berkecamuk menjadi satu.
Belum lagi mereka dikejutkan oleh luka-luka yang ada di kedua tangan lelaki itu, dan jika dilihat dari bekas lukanya, itu bukanlah luka baru.
Dengan kata lain lelaki itu sudah sering melukai dirinya sendiri.
"Sejak kapan dia suka ngiris?" tanyanya. Bintang meringis membayangkan luka-luka yang tercetak di tangan Baskara.
Mereka semua menggeleng. Rain memegang ponselnya kuat, pikirannya terbagi dengan Samudra yang tiba-tiba memutuskan sambungan teleponnya serta Dewi yang memanggil Anton dengan panik.
"Apa yang terjadi padamu Sam? Semoga kamu baik-baik saja," pikirnya.
"Apa ada keluarga pasien?" tanya dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Saya kakaknya," Dirgantara terpaksa berbohong. Lagi pula Baskara memang sudah tidak memiliki keluarga lagi setelah kepergian neneknya. Setidaknya itu yang mereka ketahui.
"Mari ikut saya," kata dokter berjalan ke ruangannya.
"Apa kalian tau apa yang terjadi dengan pasien?" tanya dokter.
Mereka semua menggeleng. "Tidak, Dokter."
"Memangnya dia kenapa?" tanya Dirgantara.
"Pasien mengalami self-injury atau biasa disebut juga self-harm." Jawab sang dokter seraya membenarkan letak kacamatanya.
"Apa?" Kaget Bintang yang mengetahui jenis penyakit yang dikatakan oleh dokter tersebut.
"Kalau terus dibiarkan ini sangat berbahaya, bisa membunuh dirinya sendiri," lanjut dokter melanjutkan.
"Babas ngiris karena terpukul dengan kepergian neneknya," pikir Angkasa dan langsung disangkal oleh Bintang.
"Selama ini dia pasti menyimpan beban yang amat berat, tapi kita tidak tahu beban apa itu." Bintang melihat ke depan dengan tatapan bingung sekaligus masih tidak percaya dengan apa yang dialami salah satu sahabatnya tersebut.
Self-injury atau self-harm merupakan tindakan menimbulkan luka-luka pada tubuh diri sendiri secara sengaja. Tindakan ini dilakukan tidak dengan tujuan bunuh diri, tetapi sebagai suatu cara untuk melampiaskan emosi-emosi yang terlalu menyakitkan untuk diekspresikan dengan kata-kata. Self-injury dapat berupa mengiris, menggores kulit dan membakarnya, melukai atau mememarkan tubuh lewat kecelakaan yang sudah direncanakan sebelumnya. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim mereka bahkan menyuntikan racun ke dalam tubuh.
"Jadi, self-injury itu sebuah penyakit psikologis?" tanya Rain.
"Iya. Secara singkatnya penderita melakukan ini untuk mengatasi rasa sakit secara emosional atau menghilangkan rasa kekosongan kronis dalam diri dengan memberikan sensasi pada diri sendiri. Kata buku yang aku baca sih gitu," jelas Bintang. Mereka lupa bahwa sekarang ini masih berada di ruangan dokter.
"Apa penyakit ini bisa disembuhkan?" Kini Angkasa yang bertanya.
"Bisa. Semua penyakit pasti ada obatnya." Bukan Bintang yang menjawab, melainkan sang dokter yang sedari tadi menyaksikan obrolan anak-anak muda itu.
"Kita sebagai sahabatnya harus terus support dia. Pokoknya sedetikpun jangan biarkan dia mempunyai keinginan untuk menyakiti dirinya sendiri lagi," kata Bintang dan mereka semua mengangguk setuju.
Setelah mereka keluar dari ruangan dokter, Angkasa beserta yang lainnya hanya bisa duduk dan menunggu kabar baik di dalam sana.
"Aku tidak menyangka ternyata selama ini Babas menyimpan beban yang begitu berat." Monolog Angkasa sedih dengan keadaan yang menimpa salah satu sahabatnya.
"Dek, kamu sudah menghubungi Sam?" tanya Dirgantara. Bukannya menjawab pertanyaan dari kakaknya, Rain malah terdiam seraya memandangi ponselnya yang mati.
Setelah pulang dari sekolah, Samudra kembali mengantar gadis itu ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Lelaki itu mencium tangan ibunya Viola ketika berpapasan di depan ruangan yang gadis itu tempati. Samudra meminta maaf karena mengajak Viola pergi sampai senja seperti ini. Namun, bukannya memarahinya, wanita paruh baya itu jusrtu mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat senyum putrinya kembali. Setelah itu Samudra pamit pulang. Lagi pula gadis itu sebentar lagi harus meminum obatnya dan beristirahat. Saat dilorong rumah sakit tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya ke dinding saat dadanya terasa sakit, napasnya sesak dan pandangannya tampak kabur. Samudra tidak dapat menyangkal bahwa tubuhnya kelelahan, bahkan lelaki itu lagi-lagi melupakan obat yang harus dikonsumsinya. Ia berjalan dengan langkah terseok-seok sembari sebelah tangannya digunakan untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan beban tubuhnya. Namun, semakin lama Samudra me
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya mereka telah sampai ke sebuah bangunan yang tidak asing bagi Samudra, tetapi asing untuk gadis itu. Ya, mereka berdua kini sedang berada di sekolah lelaki itu sekarang. Viola menatap bangunan megah itu dengan mata yang berbinar. Senyuman indah itu tidak pernah luntur dari wajah pucatnya. “Ayo masuk!” Ajak Samudra seraya menggandeng tangannya. Viola menarik tangannya membuat lelaki itu mengerutkan keningnya. Bingung melihat wajah Viola yang terlihat cemas. “Apa mereka tidak akan mengusirku? Aku bukan siswi di sini,” ucap gadis itu menundukkan kepalanya. “Ya ampun aku pikir kenapa,” saut Samudra, “tenang saja ada puluhan siswi yang bersekolah di sini. Mereka tidak mungkin sadar kalau kamu bukan salah satu siswi di sini.” “Kamu yakin?” tanya gadis itu masih cemas akan ketahuan. “Ya,” jawab Samudra seyakin mungkin, “ayo akan aku buktikan.” Lanjutnya kembali menggenggam tan
Setelah pulang sekolah Samudra tidak langsung pulang ke rumahnya ataupun pergi bersama anak-anak Nature Squad seperti yang selalu mereka lakukan. Lelaki itu pergi untuk menemui teman barunya, Viola, gadis yang sempat ia pikir sebagai laki-laki botak yang hendak bunuh diri. Tok tok tok! “Masuk,” ucap seorang wanita paruh baya dari dalam. Samudra menyembulkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Baik wanita paruh bay aitu ataupun gadis cantik yang sedang duduk di kursi roda sama-sama tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kelakuannya yang menggemaskan. “Ayo masuk, Nak Sam,” ujar wanita paruh baya itu lagi yang tidak lain adalah ibu dari Viola. Ia sudah cukup tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai teman putrinya itu dan ia juga senang karena kehadiran Samudra, putrinya terlihat lebih ceria dan banyak tersenyum. Lelaki itu langsung masuk dan tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Kemudian ia
Sam dan Viola sama-sama menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan ke sana ke mari. "Kamu serius mau menjadi bapak peri untukku?" tanya gadis itu membuat kening pemuda itu berkerut. “Bapak peri?” tanya Samudra tidak mengerti. “Bukankah kamu tadi mengatakan akan menciptakan memori indah untukku? Kupikir kamu seperti ibu peri dalam cerita dongeng, tapi berhubung kau seorang laki-laki jadi kau bapak, bukan ibu,” jawab gadis itu membuat Samudra membuka mulutnya tidak percaya bisa bertemu dengan gadis sepolos dirinya. “Iya.” Jawab pemuda itu seraya menganggukan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Caranya?" tanya Viola lagi. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya seraya mendorong kursi roda Viola, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang dan menatap mata gadis itu dengan serius. "Mimpimu apa?" tanyanya. "Hah!" Viola mengerjap beberapa kali ketika mata mereka beradu. Dia merasa sangat gugup di tatap seperti itu.
Hari ini Baskara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit begitu pun dengan Bianca. Nugroho dengan cekatan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk kedua anaknya. Bianca yang melihat perubahan dari ayahnya itu merasa sangat bahagia sampai menitihkan air mata karena terharu, sementara Brisia tidak tau entah ke mana. Wanita itu tidak ikut menjemput kedua saudaranya."Kak Brisia mana Yah?" tanya Bianca."Entahlah. Mungkin Kakakmu sedang sibuk dengan urusannya," jawab pria dewasa itu seraya fokus menyetir.Baskara menatap kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sedari tadi dia terus menggenggam tangan Bianca tanpa mau melepaskannya."Kak, kepalanya masih sakit?" tanya pemuda itu khawatir."Sedikit," jawab Bianca sembari memegang perban yang terlilit di kepalanya."Jangan cemas! Kakak tidak apa-apa," lanjutnya tidak ingin membuat sang adik cemas.Nugroho yang sedang fokus menyetir, mengintip ke harmonisan kakak beradik itu lewat k
Uhuk! Uhuk!Sedari tadi Rita terus batuk-batuk, dia merasakan seluruh badannya tidak enak dan suhu tubuhnya sedikit hangat, sepertinya wanita itu terserang demam.Bintang yang menyadarinya langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sup jagung kesukaan ibunya. Namun, setelah masakannya jadi dan siap untuk di antarkan dia baru menyadari bahwa ibunya tidak mungkin memakannya jika Bintang yang memberikannya.Lantas pemuda itu kembali ke atas untuk meminta bantuan Bima untuk mengantarkannya dan meminta merahasiakan bahwa sup ini Bintang yang membuatnya.Awalnya Bima tidak setuju, tetapi setelah dia melihat sorot mata adiknya, dia pun luluh.Tok tok tok!Bimamengetuk pintu kamar ibunya dengan membawa semangkuk sup jagung yang dibuatkan Bintang. Wanita itu tersenyum ketika melihat putra kebanggaannya datang."Makan dulu, Ma," ucap pemuda itu sembari duduk di pinggir tempat tidur siap menyuapi sang ibu.Wanita itu
"Argh!Apa yang baru saja aku lakukan?" Netranya menerawang jauh ke laut lepas yang membentang kebiruan, membiarkan ombak menyapu kakinya. Pemuda itu masih tidak percaya dengan apa yang diakukannya, membongkar begitu saja rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat.Saat sedang melampiaskan kekesalannya tiba-tiba Samudra melihat seorang pemuda berkepala plontos berjalan ke tengah laut."Woy!!" Cegah Samudra langsung menarik tangannya dan betapa terkejutnya ketika mendengar suara pemuda itu yang terdengar seperti suara perempuan."Lepaskan aku!" bentaknya."Kamu perem--"Gadis berkepala plontos itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu menghempas tangan Samudra dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.Dengan masih keterkejutannya Samudra kembali mengejar gadis itu untuk meminta maaf karena telah menganggapnya seorang laki-laki, Samudra yakin ucapannya itu sudah membuat gadis itu tersinggung.
Maya melihat putra sulungnya sedang membereskan pakaian dan beberapa perlengkapan yang akan pemuda itu bawa."Aa, yakin mau berangkat besok? Bukankah Aa bilang berangkat setelah kelulusan?" tanyanya. Pemuda itu hanya mengangguk dengan lemah."Kenapa terburu-buru sekali?” tanyanya lagi. Wanita paruh bay aitu masih merasa aneh dengan keberangkatan putranya yang tiba-tiba.“Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa lupain dia, Bu,” jawab Angkasa dalam batinnya.Tok! Tok! Tok!"Siapa yang bertamu, ya?" pikir Maya. Dia pun pergi dari kamar putranya untuk membukakan pintu."Assalamu'alaikum," ucap seseorang di luar rumah memberi salam."Wa'alaikumusalam," jawab wanita itu, "eh, Nak Sam, silakan masuk.""Angka nya ada Tante?" tanya Samudra dengan ramah.Wanita itu tersenyum memperlihatkan sifat keibuannya. "Sebentar, Tante panggilkan. Silakan duduk, Nak."Maya kembali masuk untuk memanggi
"Sarah, sebenarnya Sam itu siapa kamu?" tanya Angkasa membuat Sarah menaikkan sebelah alisnya, bingung akan pertanyaan pemuda itu. "Lho, kamu juga tau kan dia sepupu aku," jawabnya. "Sepupu ya?" Pemuda itu tersenyum miring, "bohong!" "Bohong? Apa maksudnya Bohong? Kenapa kamu malah nuduh aku bohong? Kamu kenapa sih? Kalau memang tidak mau berteman denganku lagi ya sudah, tapi bukan begini caranya," gadis itu menjadi kesal karena telah dianggap berbohong. "Aku cemburu!" aku Angkasa sudah tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Setelah mengatakan itu Angkasa menarik napas Panjang dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku cemburu melihatmu pelukan dengannya. Gak ada sepupu yang memberikan perhatian lebih sampai meluk-meluk gitu. Perhatian kamu tuh seperti seorang wanita kepada lelakinya,bulshitkalau kalian tidak ada hubungan apa-apa," lanjutnya membuat Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu masih terkejut