Kurang lebih dua jam tibalah mereka. Kang Deni, Raka dan Reno meminta izin pada warga desa Berbura yang berada di kaki gunung untuk naik gunung. Warga menyambut hangat kedatangan mereka.
"Kita absen dulu baru naik ke atas sebelum gelap," teriak Reno. Para alumni hanya memantau dan memberi bantuan, selanjutnya para pengurus PA yang bertindak.
"Udah berapa bulan gue di rumah aja, lumayan bosan. Kalau udah gitu, gunung jadi tujuan gue," ucap Doni tersenyum melihat pemandangan pepohonan.
"Di gunung kita bisa berdamai dengan diri sendiri, sekaligus belajar menghargai kehidupan dan alam," ucap Kang Deni yang mengenakan pakaian serba hitam. Tidak lupa ia mengelus jenggotnya.
"Denger Don, mencintai alam berarti menjaga kebersihan. Lo buang puntung rokok sembarangan!" semprot Erga melihat Doni baru saja membuang bekas rokoknya.
"Khilaf gue, beneran. Sumpah!" Doni buru-buru mengambil yang dia buang.
Tampak jelas Raka yang berdiri di samping Doni memperhatikan gerak-gerik Nayla, cewek itu sesekali mengusap keningnya karena keringat yang berjatuhan. Belum lagi mulai udah keringatan.
Raka yang sudah biasa naik gunung, berjalan santai naik ke atas. Hal paling dirindukan para pecinta alam adalah perjalanan menuju puncak, cuacah yang dingin dan minum kopi bersama.
"Boy sini. Sini boy," ditengah perjalanan Doni memanggil cowok di depannya. Jangan heran, semua cowok dipanggil boy sama Doni karena faktor kebiasaan. Alias pelupa nama orang.
"Lo bawain tas Tina, kasian dia mulai lemes," kata Doni seraya melepaskan tas ransel Tina dan memberikan ke si boy itu. Doni memberikan itu karena melihat laki-laki itu hanya membawa hand bag saja.
"Lo kan cowok dia cewek. Otomatis tenaga lo lebih banyak dong." Ucap Doni. Tina mengiyakan memberi tasnya.
"Maaf ya ngerepotin," ucap Tina menarik nafas lega.
"Cewek cantik mah menang banyak," cibir salah satu perempuan yang melewati mereka. Di belakang mereka tampak Nayla dan Beca yang mulai kelelahan.
"Lo masih kuat kan, La?" tanya Beca yang berjalan beriringan Nayla dan Rangga.
"Santui, Bek," terdengar nafas Nayla yang berat. Sejujurnya ini pertama kali dia buang tenaga paling banyak.
"Abis ini kalau lo nggak kuat, kita keluar aja dari PA ya," suara Beca pelan, seperti berbisik.
"Keluar? Bukannya lo antusias banget ikut ginian.Kan banyak cowok ganteng anak kuliah, alumninya ganteng-ganteng, macho-machoo," runtuk Nayla dengan ngegas. Karena Beca sangat mengidolakan cowok anak kuliahan.
"Gue udah dapet gebetan. Yang ini lebih mantep. Perfect pokoknya," jawab Beca pasti.
"Kepala otak lo nggak jauh-jauh dari cowok Bek, nggak mikirin pinggang gue udah encok ini," keluh Rangga dengan mata melotot.
"Sabar napa, ini belum ada apa-apanya Ga." Beca menepuk bahu cowok itu.
Terlalu sibuk melihat jalan Nayla tidak mendengar dengan jelas perkataan Beca. Membiarkan kedua temannya itu berdebat.
Mereka terpecah namun selalu ada alumni yang mendampingi mereka. Sekeliling tampak pepohonan dan juga rumput liar. Kaum cowok sesekali membabat tanaman liar yang mengganggu jalan mereka.
"Kita akan membentuk tenda di sini, besok pagi kita akan naik kepuncak gunung," ucap Kang Deni, menunjukkan sudut-sudut yang akan mereka pasang tenda. Semua anggota melakukan tugas mereka.
"Pada bawa bontot kan? Kumpul di sini, kita makan bareng." Galih wakil presiden PA meletakkan daun pisang.
Ellena, Nita dan Sisil mengambil bekal makanan semua orang dan mencampurnya ke dalam daun pisang yang sudah di sediakan, Begitulah cara kebersamaan mereka untuk makan malam hari ini.
* Nayla *
Setelah tenda dome berdiri, Reno membagi setiap tenda empat orang. Nayla, Beca, Tina, dan Desy satu tenda bersamaan. Tina sudah lebih dulu request pada Reno. Setiap tenda diberikan satu headlamp untuk menerangi tenda mereka.
Prittt! Priit! Prittt!
Tanda mereka berkumpul.
"Semuanya kumpul bentuk barisan, yang anggota baru sebelah kanan karena akan di orientasi," teriak Galih. "Buat anak lama akan membantu masa orientasi berlangsung." Mereka pun melakukan apa yang diperintahkan Galih.
Disudut kiri tenda mereka ada air mancur yang berasal dari mata air. Sepertinya itu sengaja dibuat warga untuk memudahkan pendaki gunung. Sebagian anggota ada yang memasak, ada juga yang ikut ambil bagian sebagai petugas orientasi.
"Waktunya JJM, jalan-jalan malam. Prosesnya adalah kalian akan jalan ke depan mengikuti petunjuk dan menemukan para petugas orientasi. Nanti, mereka akan orientasi kalian dengan pertanyaan atau melakukan sesuatu. Sampai titik akhir kalian kembali ke sini," ucap Galih melihat wajah cemas anggota baru.
"Mimpi apa gue bisa ikutan kegiatan frontal kaya gini. Jahat kalian bawa gue latihan militer malam-malam," runtuk Rangga yang berdiri di samping Nayla. Cowok itu menyentakkan kakinya antara kesal dan takut. Nayla mengelus lengan Rangga pelan, seakan merasakan hal yang sama.
Nayla, Rangga, dan Desy berjalan saling dorong-dorongan ke depan mengikuti arahan. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam. Semua pohon di sekeliling tampak berwarna gelap. Mereka menebak-nebak apa yang akan terjadi dalam hati. Terlihat dari kejauhan Doni sedang menunggu di bawah pohon dengan api unggun. "Sebelum kita mulai, kita kenalan dulu. Nama gue--" "Udah kenal Ka Doni, siapa coba yang nggak kenal," potong Desy dengan senyum manis. Mereka jongkok di depan api unggun berhadapan dengan Doni. "Okeh kalau gitu," ucap Doni tersenyum bangga. "Kalian sekarang masuk ke area abang Doni, udah pada baca lembaran materi yang kemarin dibagiin, kan?" tanya Doni. "Gue kasih pertanyaan, jawab dengan benar," ucap Doni menatap ketiga juniornya. "Nggak inget
"Semuanya terima kasih untuk partisipasinya. Semoga anggota baru jangan ada yang kapok. Terus semangat mengikuti ekskul pecinta alam." Reno sang Presiden PA memberi kata sambutan."Besok pagi kita akan naik gunung sampai puncak. Kalian pasti nggak sabaran kan mau ke sana?" Semua menyahut dengan bersorak kegirangan. Mereka mengelilingi api unggun. Api itu menghangatkan tubuh mereka malam itu. Dengan syahdu mereka melantunkan lagu MAHAMERU diiringi suara gitar Raka. Raka main gitar? Nayla mendengus kesal. Cowok yang menurutnya sudah termasuk dalam deretan sempurna sebagai cowok. Dan sekarang, dia punya kelebihan lagi."La, lo mandi?" tanya Rangga. Nayla menyahut dengan menggelengkan kepalanya. "Kok rambut lo nggak kotor lagi? Tadi kan
15 menit berlalu. Perjalanan mereka masih lumayan jauh. Keringat sudah bercucuran di tubuh mereka. Sebagian orang mengambil kayu yang tergeletak untuk dijadikan tongkat. Walaupun tubuh mereka sudah kehabisan tenaga, mereka masih semangat untuk sampai ke puncak. Nayla terhenti dengan nafas tersengal-sengal, ia menundukkan kepala lalu memijit dengkulnya yang sudah mulai keram. Ini pertama kalinya cewek itu mengeluarkan tenaga paling banyak. "Nih pegang," tiba-tiba Reno memberikan kayu kokoh untuk menjadi tongkat Nayla. "Makasih." Nayla tersenyum. Ini baru cowok, nggak kayak orang sebelah, galak. Nayla melirik dengan sinis Raka yang berada tidak jauh darinya. "Ayok," ajakReno. Nayla tersentak lalu mengikuti dengan kikuk di
Raka dan kawan-kawannya asyik masak mie dengan kompor gas yang kecil ala-ala anak kemping yang mereka bawa. Cowok itu tersenyum memandang sekeliling. Hal yang paling ia rindukan. Perjalanan ke puncak, udara yang sejuk dan minum kopi bersama pendaki lain. "Pemandangannya nggak berubah ya tiap kita ke sini," ujar Doni seraya mengaduk mienya. Wajahnya serius tampak prihatin. "Lo bangun aja kolam renang di sini, Don. Biar pemandangan berubah." Ujar Erga, disambut tawa teman-temannya. "Ya hilanglah pesona gunungnya, bego!" "Lo-nya yang bego! Percuma gue kuliahin." Abel masih tergelak. Mereka saling sahut-menyahut dengan tergelak. "Eh, dari tadi gue nggak liat Ellena sama genknya?" Mike mengedarkan pandangannya m
Raka yang berada tidak jauh, menghampiri mereka dengan tatapan penasaran. "Napa Kang?" tanya Raka. "Nayla Anastasya Susanto belum keliatan. Takutnya masih di gunung. Lihat noh, gunung udah ketutup kabut." Kang Deni melihat ke arah gunung. Mereka pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Kang Deni, raut wajah mereka berubah cemas. "Kita naik ke atas sekarang!" ucap Raka tegas. Di sahut anggukan yang lain. "Reno! Lo di sini amanin semua anak-anak. Gue sama alumni naik ke atas lagi." ucap Kang Deni dengan wajah serius. "Kang, gue ikut!" Reno hendak beranjak juga. "Boy, terus siapa yang nunggu sini. Sekarang waktunya lo tunjukin jiwa pemimpin lo, anggota lo di sini juga cemas. Mereka butuh lo juga," kata Doni menepuk bahu Reno. Cowok itu mengangguk tanda paham. "Ayok Kang, kita harus c
"Nayla...! Nay!!" Nayla mendongak mendengar namanya dipanggil. Tangannya mengusap air matanya. Telinganya semakin jelas mendengar suara itu. Sangat familiar, suara yang biasanya memarahi dia. Nayla bangkit, menyeret kakinya untuk mencari asal suara itu. "Tolong..." Nayla bergerak menuju cahaya senter itu. Raka terhenti, melihat wanita yang dicari ada di depannya. Ia bernafas lega. Akhirnya ketemu, bathin Raka lega. Tanpa pikir panjang Nayla berlari terseret-seret meraih Raka dan memeluknya. Betapa lega hatinya ada yang bisa menemukannya. Ia semakin mengeratkan pelukannya, suara tangisannya terdengar sangat kencang. Membuat seluruh penghuni hutan bisa mendengarnya. Raka yang tertegun dengan tindakan N
Pagi ituterdengar kicauan burung. Raka yang mulai tersadar dari tidurnya, membuka mata perlahan. Di sampingnya sudah ada sepasang mata yang masih terpejam. Bibir mereka terlalu dekat, bila Raka menundukkan kepalanya sedikit maka bibir itu akan bersentuhan. Ditatapnya lekat wajah gadis itu. Kalau nggak bawel ini cewek sebenarnya cantik juga. Raka menyingkirkan rambut yang menutupi mata Nayla. Lentik banget bulu matanya, bibirnya merah alami. Raka mulai tak kuasa menyentuh mata, hidungnya yang mancung, sampai ke bibir Nayla. Seperti ingin menjadikan miliknya. "Ciptaan Tuhan yang sempurna." Tiba-tiba Nayla menggerakkan kepala. Cepet-cepat Raka mengalihkan tangannya. Matanya ditutup seakan belum bangun sedari tadi. "Aaaaaaa!"
Raka menarik tangan Nayla hingga terjatuh ke dalam pangkuannya. Dia menurunkan tubuh cewek itu lalu menutup pintu mobil. Raka tidak menggubris panggilan Reno yang terdengar kesal. "Raka! Nayla nggak mau jangan dipaksa," ucap Reno turun dari mobil. Hingga mereka berhadapan. Tapi Raka tidak perduli. Raka menggendong Nayla dengan gaya bridal. Lalu menurunkan di atas jok motornya. Cowok itu memasang helm yang agak longgar di kepala Nayla. Ternyata size kepala laki-laki dan perempuan berbeda. Nayla, menelan saliva. Belum sadar dengan keterkejutannya, kini Raka meraih tangannya ke dalam pinggang cowok itu. Nayla melepaskan pinggang Raka. "Jatoh gue nggak tangung ya." Mendengar itu dengan sangat terpaksa Nayla memeluk pinggang Raka kembali. Raka tersenyum dibalik helmnya. Di sisi lain, seisi penumpang tr