Share

Bab 8

     Nayla, Rangga, dan Desy berjalan saling dorong-dorongan ke depan mengikuti arahan. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam. Semua pohon di sekeliling tampak berwarna gelap. Mereka menebak-nebak apa yang akan terjadi dalam hati. Terlihat dari kejauhan Doni sedang menunggu di bawah pohon dengan api unggun.

    "Sebelum kita mulai, kita kenalan dulu. Nama  gue--"

       "Udah kenal Ka Doni, siapa coba yang nggak kenal," potong Desy dengan senyum manis. Mereka jongkok di depan api unggun berhadapan dengan Doni.

      "Okeh kalau gitu," ucap Doni tersenyum bangga. "Kalian sekarang  masuk ke area abang Doni, udah pada baca lembaran materi yang kemarin dibagiin, kan?" tanya Doni.  "Gue kasih pertanyaan, jawab dengan benar," ucap Doni menatap ketiga juniornya.

        "Nggak inget lagi Ka, tiba-tiba aja semua isi kepala hilang semua. Padahal sudah gue baca semua, beneran," ucap Nayla pelan diikuti anggukan kedua kawannya.

      "Kok bisa?" mata Doni melotot.

      "Namanya otak Ka, bisa ngeblank kalo kena sindrom. Ada kagak ya sindrom gunung?" Kata Rangga dengan wajah harap-harap cemas.

         "Parah!" Doni menggeleng kesal. "Untung gue duluan yang kalian dapetin, coba kalau yang lain, bagimana? Udah nyanyi deh kalian," suruh Doni.

      "Ka Doni yang baik dan ramah tamah. Kami nyanyi apa?" tanya Desy dengan mata lembut pada Doni.

       "Astaga nih anak bikin khilaf aja. Serah kalian mau nyanyi apa." Doni mengibaskan tangannya ke udara dengan pasrah. Ketiga orang itu pun berbisik melakukan musyawarah. Tidak lama mereka membuka suara.

LIHAT KEBUNKU PENUH DENGAN BUNGA

ADA YANG MERAH DAN ADA YANG PUTIH

SETIAP HARI KU SIRAM SEMUA

      Lol.. Lagu yang gembira mendadak horor mereka nyanyikan. Suasana semakin mencekam di kegelapan.

       "Stop! Stop! Lo bertiga mau bikin gue mati ketakutan. Itu lagu kaya manggil roh halus tau nggak!" Doni berdecak.

      "Eh, Ka Doni. Ngomong di hutan jangan sembarang. Beneran datang baru tahu rasa." Nayla parnoan.  Doni terdiam, tiba-tiba merasakan tengkuknya dingin seperti ada angin lewat.

"Sorry-sorry, gue khilaf." Doni memukul bibirnya dengan tangan beberapa kali. "Kalian sih, udah sana-sana lanjut  jalan ikutin jalur ini," usir Doni.

        "Makasih Ka Doni, aduh.. baik banget," ucap Nayla tersenyum manis.  Doni meneguk ludahnya lalu balas tersenyum.

      "Kalau baik, boleh minta nomornya dong," pinta Doni. Senyum Nayla hilang seketika, lalu melangkah menjauh dari Doni.

       "Kalau nomor gue mau Ka Doni?" Desy menawarkan diri dengan mata yang masih terkagum. Doni menatapnya tanpa ekspresi. Belum Doni menjawab Rangga lebih dulu menarik tangan Desy lalu menyusul Nayla yang sudah di depan.

"Jangan kegatelan. Inget ini hutan belantara!" Rangga berdecak.

       Sekarang  mereka ada di kawasan Ellena. Alumni cantik ini masih aktif di PA. Dia termasuk most wanted zaman SMA di Budi Mulia. Di tempat kuliahnya juga Ellena masih sepopuler itu. Gadis bertubuh tinggi seperti model itu bersedekap dada melihat juniornya yang berjejer.

        "Udah kayak latihan militer kita ya, niat banget mereka," komentar Rangga di sebelah Nayla. Matanya mengamati jaring-jaring berukuran tinggi sedengkul dan tanahnya sudah di siram air jadi terlihat becek.

           "Kalian jalan tiarap di bawah ini sampai ke depan. Kepala jangan sampai kena dengan jaring di atas," perintah  Ellena. Sekilas ia melirik Nayla.

         Semua juniornya mengikuti perintah Ellena tanpa mengeluh. Rangga merayap seperti cicak dengan cepat, di belakangnya Desy menyusul. Tiba giliran Nayla.

         "Stop! Ubah posisi. Kepala lo di bawah, mata lo menghadap langit," ucap Ellena dengan santai. Nayla bangkit lalu berhadapan dengan Ellena, kedua alisnya sudah bertautan.

     "Yang lain nggak gitu?"

"Sekarang gue mau ubah peraturannya. Masalah buat lo?"

       "Rambut gue bisa kotor dong Ka." Protes Nayla. Ellena membuang wajahnya, tidak perduli. Dengan kesal Nayla melakukan seperti perintah Ellena, alhasil rambutnya sudah bermandikan tanah.

         Brengsek

     "Tuh nenek sihir punya dendam kali sama Lo, La," ujar Rangga menepuk rambut panjang Nayla yang kotor. Cewek itu mengibaskan rambutnya dengan kesal.

       Tidak lama senior cewek di dekat pemancuran air memanggil junior. Semua calon anggota berbaris menunggu giliran. Satu persatu diguyur  dengan air. Sontak saja tubuh mereka langsung  menggigil, apalagi mereka tidak diperbolehkan memakai jaket.

         "Tahu kayak gini gue nggak akan ikutan, La. Ini namanya penyiksaan," keluh Rangga dengan bibir gemetar. "Kudu dilaporin mereka ini ke Ka Seto. Penyiksaan di bawah umur."

        "Sa-bar Rangga," ucap Nayla  di samping Rangga. Tangannya juga sudah meringkuk di depan dada sangking dinginnya.

       "Hei, lo yang  yang rambutnya di gerai sini," panggil Nita. Nayla yang merasa terpanggil mendekati gadis itu.

       "Dingin ya?"

       Nayla mengangguk, "I-Iya Ka."

       Tiba-tiba Nayla  kembali di guyur pakai air. Seketika itu matanya melotot karena terkejut. Tubuhnya terguncang menahan dingin. Tangannya sudah mengepal, dalam hati memaki seniornya itu.

         "Kalian juga kedinginan?" tanya Nita pada juniornya yang berjongkok. Mereka menggeleng serempak.

       "Kalian ada yang tahu bubur gunung terbuat dari apa aja?" tanya Mike. Cowok tinggi dan punya hidung mancung itu sangat ditunggu-tunggu kedatangannya di basecamp PA oleh kau hawa. Mike lebih perasa dibanding teman-temannya. Dia nggak tegaan melihat perempuan di kerjain. Sayangnya, tugasnya kali ini harus mengorbankan hati nuraninya.

         "Kalau nggak salah nasi dimasak jadi bubur terus dicampur balsem, minyak kayu putih, daun seledri sama kecap, Ka."

      "Pinter.." ucap Kang  Deny di sebelah Mike.

       Mike mengusap dada, tanda prihatin. Semua anggota berbaris, lalu Mike menyuapi satu persatu dengan bubur gunung. Siapa yang memuntahkan akan disuruh makan lagi.

Rangga menutup hidungnya saat sendok berisi bubur mendekat pada mulutnya. Lidahnya serasa mati rasa memakan bubur itu. Wajahnya sudah merah. Tenang saja bubur itu nggak bahaya, malah bisa mencegah supaya nggak masuk angin. Rasanya saja geli-geli pedas.

         Ronde terakhir di kawasan pohon pisang. Tempat yang akan di singgahi calon anggota. Raka dan yang lain sudah bersiap menyambut tahanannya.

       "Kalian pasti marah dong. Kesel pastinya dengan apa yang kalian terima?" tanya Raka dengan santai. Nggak ada jawaban dari juniornya, mereka takut menerima kejutan jika menjawab. Petugas orientasi mengambil satu persatu calon anggota untuk di bawa  mereka.

        "Teriak kuat-kuat sama pohon pisang ini. Anggep aja pohon ini orang yang lo benci," perintah Raka, dan juniornya adalah Nayla. Entah, sengaja atau tidak Raka memilih Nayla. Tangannya dimasukan ke saku hoodie-nya, matanya mengamati gadis itu.

       "Kamu jahat," teriak Nayla pada pohon pisang itu

      "Kurang kencang! Kurang gizi lo!"

       "BRENGSEK !"

       "Kurang panjang! Teriak yang kuat, nggak bisa marah?  Bilang cinta aja sama pohonnya anggep gebetan lo. Keluarin isi hati lo, teriak suka hati lo."

       "Manusia kurang ajar! Nggak  punya otak. Nggak  ada pri-kemanusiaan! Brengsek! Tolol, otak udang ! Cowok kamsupay!   Gara-gara lo gue sial!" teriak Nayla dengan emosi.

     "Sebutin nama yang lo benci."

     "RAKA NICHOLAS CIPUTRA!" teriak Nayla spontan. Setelah itu Nayla terdiam sejenak, lalu menoleh pada Raka. Cowok itu sedang menatapnya lekat. Nayla menelan saliva.

       "Sudah puas?"

       Nayla  tidak menjawab, ia menundukkan kepalanya menatap tanah. Jangan sampai ia diamuk Raka, rasanya sudah nggak punya tenaga lagi meladeni Raka sekarang.

     Cowok itu menyuruh Nayla mengikutinya. Mereka menuju tempat air seperti selokan yang panjang. Mata air dari gunung melewati selokan itu. Tampak beberapa calon anggota sedang di orientasi juga. Nayla disuruh masuk ke dalam selokan itu, setengah tubuhnya sudah terendam. Raka berjongkok di atas selokan, kepalanya tertunduk melihat Nayla.

       "Materi apa aja yang lo baca?"

        "Lupa," jawab Nayla ketus.

        "Rendam diri lo, kepalanya harus basah. Semuanya harus basah." Raka memberi perintah.

        Nayla mengepalkan tangannya, dia menahan nafas lalu berendam beberapa detik, kemudian bangkit dan duduk lagi. Raka bisa melihat mata gadis itu sudah merah dan tubuhnya gemetar, tapi tidak sedikit pun Nayla mengeluh.

         "Anak pecinta alam itu nggak ada yang manja, cengeng. Semua harus siap mental, apa pun yang harus dihadapi." Ujar Raka, "Semua cewek bisa cantik dengan perawatan. Tapi nggak semua punya mental yang kuat."

         "--- Kata-kata itu cuma bisa keluar dari mulut cowok nggak punya perasaan," balas Nayla telak. " Ini putaran terakhir, kan?  Game's over!" Nayla bangkit dari genangan air itu. Bajunya basah hingga membentuk lekukan tubuhnya. Lalu melewati Raka begitu saja.

Raka berdehem menatap pemandangan itu, nyaris membuatnya salah tingkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status