Share

Pak Burhan Kelaparan

Sementara itu, Fitri dan Bang Karmin cekikikan. Mereka senang melihat para tamu berhamburan keluar pesta dengan umpatan-umpatan pedas dan wajah marah.

"Udah, Neng. Kita pulang ya?" tanya Bang Karmin setelah semua tamu di pesta pulang.

"Iya, Bang!" jawab Fitri sumringah. Meskipun sempat sedih, tapi sekarang ia senang. Rencananya berhasil dan berjalan mulus.

'Ini baru awal, kita buat permainan selanjutnya, hingga kau menyesal menyakiti hati ibuku!' gumam Fitri dalam hati.

Tekadnya sudah bulat. Jika bukan dirinya siapa lagi yang berani membalaskan sakit hati ibunya. Karma tidak harus selalu datang mandiri, bisa juga diundang.

Bang Karmin kemudian melajukan motornya ke arah jalan pulang. Ia mengendarai dengan kecepatan sedang.

"Bang, berhentinya di pangkalan ojek aja ya," ujar Fitri saat hampir sampai pangkalan ojek.

"Enggak sekalian sampai rumah aja, Neng?" tanya Bang Karmin heran.

"Gak usah, Bang!" cegah Fitri sedikit keras.

Ia takut ketahuan ibunya kalau kabur dari rumah. Walaupun nanti pada akhirnya memang akan ketahuan juga. Jika Pak Burhan pulang ke rumah Bu Fatimah, setelah masa kilir pernikahan.

Masa kilir setelah menikahi janda adalah menemaninya selama tiga hari, sementara jika menikahi gadis selama tujuh hari. Tapi entahlah dengan Pak Burhan yang sebetulnya ilmu agamanya tidak terlalu dalam.

Setibanya di pangkalan ojek, Bang Karmin menghentikan motornya. "Alhamdulillah, sampai dengan selamat!" ucapnya dengan sumringah.

"Makasih ya, Bang." Fitri langsung membayar ongkos ojek Bang Karmin dengan harga spesial, lebih dari biasanya.

"Banyak banget, Neng!" Bang Karmin kaget saat Fitri tak mau diberi uang kembalian.

"Gak apa-apa, sekalian beli ide Abang tadi." Fitri langsung melenggang pulang setelah mengatakannya.

Ia cukup puas melihat kehancuran pesta pernikahan ayahnya. Walaupun agak terlambat, sehingga ayahnya tetap jadi suami Bu Melvi.

Fitri kemudian mengendap-endap memasuki halaman rumah. Lalu, menaiki jendela untuk masuk ke kamar. Saat ia masuk, benda bulat di dinding menunjukan pukul sebelas lebih lima belas menit.

Fitri menarik napas lega. Setidaknya ia sampai sebelum adzan dzuhur, karena jika lewat pastilah ibunya sudah menyuruhnya sholat. Alamat ketahuan, jika ketika Bu Fatimah ke kamar dia tidak ada.

"Fit ... Fitri ... bangun, Nak. Sudah masuk waktu sholat dzuhur." Bu Fatimah mengetuk pintu kamar saat adzan berkumandang.

"Iya, Bu," jawab Fitri dari dalam kamar dan bergegas membuka kunci kamar.

Terlihat Qintan masih duduk di depan sofa ruang tengah. Ia menatap Fitri yang keluar kamar. Penasaran dengan aksi adik iparnya tadi di pesta.

Selesai sholat, Qintan langsung menuju ke kamar Fitri. "Fit, Mbak masuk, ya," izinnya di depan pintu.

"Iya, Mbak," sahut Fitri yang sedang asyik memainkan ponsel pintarnya.

Ia melihat-lihat status di aplikasi biru. Banyak sekali status tentang kehancuran pernikahan ayahnya. Sesekali tersenyum, karena itu adalah ulahnya.

Qintan menutup pintu kemudian duduk di hadapan Fitri. "Gimana? Berhasil, kan?" tanyanya dengan antusias.

"Iya dong, Mbak. Meskipun telat, jadi Ayah udah sah nikah sama janda gatel itu. Tapin,pestanya berantakan! Gagal Total!" Fitri berkata dengan semangat. Matanya berbinar dengan senyum yang tak pudar dari bibirnya.

Mereka tertawa berdua saat bercerita. Qintan memang akrab dengan Fitri karena perangainya yang supel dan baik. Ia bukan lulusan pondok seperti Farid tapi ia sekolah di sekolah berbasis Islam.

*******

Sementara itu, di rumah pengantin baru, Bu Melvi masih emosi. Pestanya gagal total. Ia diam di kamar dengan wajah masam dan cemberut.

"Dek, sudahlah. Jangan marah terus," bujuk Pak Burhan yang sejak tadi didiamkan oleh istri barunya.

"Gimana gak marah, Mas? Lihat kan, tadi pestanya berantakan! Aku juga bakal diomongin orang sekampung ini. Malu Mas, malu .... !" Bu Melvi nyerocos dengan bibir yang masih mengerucut.

"Ya, mau gimana lagi. Acaranya juga sudah selesai, sudah gak ada tamu lagi. Tinggal sebagian keluarga kamu di luar," timpal Pak Burhan cuek.

Hal itu malah membuat Bu Melvi semakin marah. Ia tak habis pikir dengan pemikiran suaminya.

"Mas, gak peka banget sih sama perasaan aku!" Bu Melvi pergi keluar setelah mengucapkannya dengan setengah berteriak.

Pintu kamar ditutup dengan kencang. Suaranya sontak membuat Pak Burhan kaget. Alhasil, ia hanya bisa mengelus dada.

"Ampun ... gimana kalau saya jantungan. Alamat langsung mati denger pintu ditutup kayak tadi! Aneh, padahal Fatimah gak pernah berani kasar sama suami," gerutu Pak Burhan kesal pada istrinya.

Ia ditinggal sendiri di kamar. Keluar pun malas karena masih banyak keluarga istrinya di luar. Mana mereka sedang asik membicarakan kekacauan pernikahan tadi.

Bu Melvi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan make up pengantin yang ekstra tebal dan menor.

"Melvi!" panggil ibunya yang sedang duduk di karpet yang digelar di ruang tengah.

"Apa, Bu?" tanya Bu Melvi malas.

"Kamu itu. Kok, bisa sampai ada kecoa gitu! Pasti itu ulah anak suami kamu!" sungut Bu Tuti pada anaknya.

"Gak tahulah, Bu. Aku juga bingung!" Bu Melvi langsung melanjutkan perjalanannya ke kamar mandi.

Ia sendiri malas meladeni ibunya yang cerewet. Tidak akan beres satu jam kalau Bu Tuti sudah bicara.

Setelah dari kamar mandi, Bu Melvi langsung makan dengan lauk menggoreng telur untuk dirinya sendiri. Ia tak mau makan masakan prasmanan karena jijik. Apalagi mengingat tadi ada kecoa yang menghebohkan pesta.

Selesai makan, ia ke kamar dan langsung tidur siang. Tak peduli dengan suaminya yang masih duduk bengong di sana.

Menjelang sore, Pak Burhan merasa perutnya keroncongan. Sementara di sebelahnya sang istri malah tidur dengan lelap.

"Dek," panggil Pak Burhan lembut sambil menepuk-nepuk bahu Bu Melvi yang tidur membelakanginya.

"Dek."

"Dek!" Kali ini Pak Burhan sedikit keras.

"Apa, sih, Mas? Dari tadi berisik aja!" tanya Bu Melvi ketus.

"Mas laper. Makan, yuk!" ajak Pak Burhan dengan wajah memelas.

"Aku udah makan tadi. Kalau mau makan ambil aja sendiri! Aku masih kesel sama kejadian tadi!" Bu Melvi menutupkan selimut ke seluruh tubuhnya hingga atas kepala. Sama sekali tak peduli pada suaminya.

"Ambilkan dong, Dek. Mas malu banyak keluargamu di luar," titah Pak Burhan semakin menyedihkan.

"Males, ambil aja sendiri!" jawab Bu Melvi malah semakin marah.

"Kamu kok gitu sama suami. Fatimah aja gak pernah berani kayak gitu sama aku!" Pak Burhan mulai marah saking kesalnya dengan tingkah istrinya. Ditambah perutnya keroncongan.

"Gak usah banding-bandingin aku sama istri kamu itu, Mas! Lagian kamu yang bilang aku lebih segalanya dari dia. Lebih cantik, lebih seksi!" Bu Melvi tersulut amarah.

Ia langsung bangun dan marah-marah pada Pak Burhan. Matanya nyalang menatap lelaki itu dan jarinya menunjuk-nunjuk ke wajah suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status