Home / Rumah Tangga / Nazar Poligami / Pak Burhan Kelaparan

Share

Pak Burhan Kelaparan

Author: Annisa DM
last update Last Updated: 2024-03-06 06:39:36

Sementara itu, Fitri dan Bang Karmin cekikikan. Mereka senang melihat para tamu berhamburan keluar pesta dengan umpatan-umpatan pedas dan wajah marah.

"Udah, Neng. Kita pulang ya?" tanya Bang Karmin setelah semua tamu di pesta pulang.

"Iya, Bang!" jawab Fitri sumringah. Meskipun sempat sedih, tapi sekarang ia senang. Rencananya berhasil dan berjalan mulus.

'Ini baru awal, kita buat permainan selanjutnya, hingga kau menyesal menyakiti hati ibuku!' gumam Fitri dalam hati.

Tekadnya sudah bulat. Jika bukan dirinya siapa lagi yang berani membalaskan sakit hati ibunya. Karma tidak harus selalu datang mandiri, bisa juga diundang.

Bang Karmin kemudian melajukan motornya ke arah jalan pulang. Ia mengendarai dengan kecepatan sedang.

"Bang, berhentinya di pangkalan ojek aja ya," ujar Fitri saat hampir sampai pangkalan ojek.

"Enggak sekalian sampai rumah aja, Neng?" tanya Bang Karmin heran.

"Gak usah, Bang!" cegah Fitri sedikit keras.

Ia takut ketahuan ibunya kalau kabur dari rumah. Walaupun nanti pada akhirnya memang akan ketahuan juga. Jika Pak Burhan pulang ke rumah Bu Fatimah, setelah masa kilir pernikahan.

Masa kilir setelah menikahi janda adalah menemaninya selama tiga hari, sementara jika menikahi gadis selama tujuh hari. Tapi entahlah dengan Pak Burhan yang sebetulnya ilmu agamanya tidak terlalu dalam.

Setibanya di pangkalan ojek, Bang Karmin menghentikan motornya. "Alhamdulillah, sampai dengan selamat!" ucapnya dengan sumringah.

"Makasih ya, Bang." Fitri langsung membayar ongkos ojek Bang Karmin dengan harga spesial, lebih dari biasanya.

"Banyak banget, Neng!" Bang Karmin kaget saat Fitri tak mau diberi uang kembalian.

"Gak apa-apa, sekalian beli ide Abang tadi." Fitri langsung melenggang pulang setelah mengatakannya.

Ia cukup puas melihat kehancuran pesta pernikahan ayahnya. Walaupun agak terlambat, sehingga ayahnya tetap jadi suami Bu Melvi.

Fitri kemudian mengendap-endap memasuki halaman rumah. Lalu, menaiki jendela untuk masuk ke kamar. Saat ia masuk, benda bulat di dinding menunjukan pukul sebelas lebih lima belas menit.

Fitri menarik napas lega. Setidaknya ia sampai sebelum adzan dzuhur, karena jika lewat pastilah ibunya sudah menyuruhnya sholat. Alamat ketahuan, jika ketika Bu Fatimah ke kamar dia tidak ada.

"Fit ... Fitri ... bangun, Nak. Sudah masuk waktu sholat dzuhur." Bu Fatimah mengetuk pintu kamar saat adzan berkumandang.

"Iya, Bu," jawab Fitri dari dalam kamar dan bergegas membuka kunci kamar.

Terlihat Qintan masih duduk di depan sofa ruang tengah. Ia menatap Fitri yang keluar kamar. Penasaran dengan aksi adik iparnya tadi di pesta.

Selesai sholat, Qintan langsung menuju ke kamar Fitri. "Fit, Mbak masuk, ya," izinnya di depan pintu.

"Iya, Mbak," sahut Fitri yang sedang asyik memainkan ponsel pintarnya.

Ia melihat-lihat status di aplikasi biru. Banyak sekali status tentang kehancuran pernikahan ayahnya. Sesekali tersenyum, karena itu adalah ulahnya.

Qintan menutup pintu kemudian duduk di hadapan Fitri. "Gimana? Berhasil, kan?" tanyanya dengan antusias.

"Iya dong, Mbak. Meskipun telat, jadi Ayah udah sah nikah sama janda gatel itu. Tapin,pestanya berantakan! Gagal Total!" Fitri berkata dengan semangat. Matanya berbinar dengan senyum yang tak pudar dari bibirnya.

Mereka tertawa berdua saat bercerita. Qintan memang akrab dengan Fitri karena perangainya yang supel dan baik. Ia bukan lulusan pondok seperti Farid tapi ia sekolah di sekolah berbasis Islam.

*******

Sementara itu, di rumah pengantin baru, Bu Melvi masih emosi. Pestanya gagal total. Ia diam di kamar dengan wajah masam dan cemberut.

"Dek, sudahlah. Jangan marah terus," bujuk Pak Burhan yang sejak tadi didiamkan oleh istri barunya.

"Gimana gak marah, Mas? Lihat kan, tadi pestanya berantakan! Aku juga bakal diomongin orang sekampung ini. Malu Mas, malu .... !" Bu Melvi nyerocos dengan bibir yang masih mengerucut.

"Ya, mau gimana lagi. Acaranya juga sudah selesai, sudah gak ada tamu lagi. Tinggal sebagian keluarga kamu di luar," timpal Pak Burhan cuek.

Hal itu malah membuat Bu Melvi semakin marah. Ia tak habis pikir dengan pemikiran suaminya.

"Mas, gak peka banget sih sama perasaan aku!" Bu Melvi pergi keluar setelah mengucapkannya dengan setengah berteriak.

Pintu kamar ditutup dengan kencang. Suaranya sontak membuat Pak Burhan kaget. Alhasil, ia hanya bisa mengelus dada.

"Ampun ... gimana kalau saya jantungan. Alamat langsung mati denger pintu ditutup kayak tadi! Aneh, padahal Fatimah gak pernah berani kasar sama suami," gerutu Pak Burhan kesal pada istrinya.

Ia ditinggal sendiri di kamar. Keluar pun malas karena masih banyak keluarga istrinya di luar. Mana mereka sedang asik membicarakan kekacauan pernikahan tadi.

Bu Melvi pergi ke kamar mandi untuk membersihkan make up pengantin yang ekstra tebal dan menor.

"Melvi!" panggil ibunya yang sedang duduk di karpet yang digelar di ruang tengah.

"Apa, Bu?" tanya Bu Melvi malas.

"Kamu itu. Kok, bisa sampai ada kecoa gitu! Pasti itu ulah anak suami kamu!" sungut Bu Tuti pada anaknya.

"Gak tahulah, Bu. Aku juga bingung!" Bu Melvi langsung melanjutkan perjalanannya ke kamar mandi.

Ia sendiri malas meladeni ibunya yang cerewet. Tidak akan beres satu jam kalau Bu Tuti sudah bicara.

Setelah dari kamar mandi, Bu Melvi langsung makan dengan lauk menggoreng telur untuk dirinya sendiri. Ia tak mau makan masakan prasmanan karena jijik. Apalagi mengingat tadi ada kecoa yang menghebohkan pesta.

Selesai makan, ia ke kamar dan langsung tidur siang. Tak peduli dengan suaminya yang masih duduk bengong di sana.

Menjelang sore, Pak Burhan merasa perutnya keroncongan. Sementara di sebelahnya sang istri malah tidur dengan lelap.

"Dek," panggil Pak Burhan lembut sambil menepuk-nepuk bahu Bu Melvi yang tidur membelakanginya.

"Dek."

"Dek!" Kali ini Pak Burhan sedikit keras.

"Apa, sih, Mas? Dari tadi berisik aja!" tanya Bu Melvi ketus.

"Mas laper. Makan, yuk!" ajak Pak Burhan dengan wajah memelas.

"Aku udah makan tadi. Kalau mau makan ambil aja sendiri! Aku masih kesel sama kejadian tadi!" Bu Melvi menutupkan selimut ke seluruh tubuhnya hingga atas kepala. Sama sekali tak peduli pada suaminya.

"Ambilkan dong, Dek. Mas malu banyak keluargamu di luar," titah Pak Burhan semakin menyedihkan.

"Males, ambil aja sendiri!" jawab Bu Melvi malah semakin marah.

"Kamu kok gitu sama suami. Fatimah aja gak pernah berani kayak gitu sama aku!" Pak Burhan mulai marah saking kesalnya dengan tingkah istrinya. Ditambah perutnya keroncongan.

"Gak usah banding-bandingin aku sama istri kamu itu, Mas! Lagian kamu yang bilang aku lebih segalanya dari dia. Lebih cantik, lebih seksi!" Bu Melvi tersulut amarah.

Ia langsung bangun dan marah-marah pada Pak Burhan. Matanya nyalang menatap lelaki itu dan jarinya menunjuk-nunjuk ke wajah suaminya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nazar Poligami    Pencarian Bu Melvi

    31Bu Melvi membuka matanya. Ia baru saja sadar dari bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Netranya mengedar kesana-kemari. Ia tak mengenal tempat itu. "Duh, di mana aku?" gumam Bu Melvi dengan kepala yang masih terasa berat. Ia kembali menajamkan penglihatan. Ruangan itu nampak seperti gudang. Banyak barang-barang bekas di sana. Belum lagi debu yang begitu tebal dan membuat sesak pernapasan. Bu Melvi tidak bisa lari kemanapun. Tangan dan kakinya terikat ke sebuah kursi. Perutnya juga mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi. "Hai, Dek Melvi sayang ...." Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar menggema di ruangan tersebut. Pak Bastoni mendekat dengan ditemani dua bodyguard-nya. "Gimana? Mau terus di sini atau kita ke hotel?" tanya Pak Bastoni dengan tatapan nakal yang memuakkan. "Aku udah gak mau punya hubungan sama kamu, Mas! Aku capek! Gak liat waktu harus keluar cuma buat muasin kamu!" pekik Bu Melvi dengan emosi. Ya, kadang permintaan lelaki hidung belang ini membuatn

  • Nazar Poligami    Bu Melvi ditawan

    Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di

  • Nazar Poligami    Pak Bastoni (Selingkuhan Bu Melvi)

    Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k

  • Nazar Poligami    Komisaris

    "Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de

  • Nazar Poligami    Orang Pintar

    Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.

  • Nazar Poligami    Perjalanan Panjang

    "Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status