Home / Rumah Tangga / Nazar Poligami / Malam Pertama Gagal

Share

Malam Pertama Gagal

Author: Annisa DM
last update Last Updated: 2024-03-07 16:16:11

"Ya sudah, kalau gak mau dibandingkan, ambil makanan. Cepat!" titah Pak Burhan dengan emosi. Ditambah dengan perutnya yang keroncongan.

"Iya, iya!" Bu Melvi akhirnya menurut dengan berjalan sambil menghentak-hentakan kakinya seperti anak kecil.

"Kenapa kamu? Masih pengantin baru udah cemberut aja!" Bu Tuti bertanya dengan wajah ketus.

"Tahu tuh, punya suami baru satu hari udah nyusahin!" ketus Bu Melvi pada ibunya.

"Layani suami itu yang bener. Biar kalau dia senang, duitnya gak akan kemana," ujar Bu Tuti dengan santainya.

Bu Melvi berdecih kesal dan langsung menuju ke dapur mengambil makanan. Ia menambahkan lauk sisa prasmanan yang masih menumpuk. Malas membuat lauk baru.

"Melvi, itu lauk mau digimanain? Masih numpuk gitu!" tanya Bu Tuti saat anaknya hendak kembali ke kamarnya.

"Bagi-bagi tetangga ajalah, Bu! Ribet banget. Biasanya kan makanan sisa prasmanan emang dibagiin." Bu Melvi kemudian masuk ke dalam kamar setelah menjawab.

Sementara para saudara yang melihat kelakuan ibu dan anak itu hanya geleng-geleng kepala.

"Ibu sama anak kelakuannya sama, sebelas dua belas!" bisik salah satu saudara yang dibenarkan saudara lainnya.

Bu Melvi tak mempedulikan bisikan itu. Ia melanjutkan langkahnya menuju ke kamar.

"Nih, makanannya!" ucap Bu Melvi ketus saat menyodorkan sepiring makanan pada Pak Burhan.

"Loh, kok, lauk sisa prasmanan sih, Dek? Kan, tadi ada kecoanya!" protes Pak Burhan.

"Makan aja yang ada! Daripada kelaparan di sini," jawab Bu Melvi santai sambil kembali berbaring di kasur.

Pak Burhan akhirnya menerima piring itu dengan sangat terpaksa. Cacing-cacing sudah berdemo di perutnya. Mau tak mau ia siapkan juga makanan itu ke mulut.

Baru satu suap, kerongkongannya serasa menolak makanan itu masuk. Berkali-kali ia coba menahan untuk tidak muntah. Tapi, membayangkan kecoa, tikus, dan binatang menjijikan lainnya membuatnya semakin mual.

Pak Burhan berlari keluar kamar. Ia menuju ke kamar mandi dan memuntahkan cairan putih kekuningan. Karena sedari pagi belum makan apapun.

"Nasib ... nasib." Pak Burhan bergidik ngeri membayangkan tumpukan makanan menjijikan itu.

"Loh, Pak Burhan kok muntah-muntah?" tanya Bu Tuti yang notabene sekarang jadi mertuanya.

"Iya, saya jijik Bu makan makanan sisa prasmanan," jawab Pak Burhan dengan lemas.

"Owalah ... dasar Melvi. Ya sudah, beli nasi Padang aja, Pak. Kebetulan, kami semua juga lapar," ujar Bu Tuti yang meminta ditraktir pada menantunya.

"A-apa?!" Pak Burhan melihat semua keluarga istri barunya.

Ruangan tengah dan dapur penuh dengan keluarganya. Belum lagi anak-anak yang sedang bermain di luar.

"Y-ya sudah, Bu. Beli aja, saya ambil uang dulu." Pak Burhan pun kembali ke kamar dengan sangat terpaksa.

Ia mengambil beberapa lembar uang merah untuk mentraktir semua keluarga Bu Melvi.

'Ibu sama anak sama aja. Mata duitan,' gerutu Pak Burhan dalam hati.

Ia keluar dan meminta salah satu pemuda untuk membelikan nasi Padang. Tak tanggung-tanggung sampai lima puluh porsi untuk semua keluarga Bu Melvi.

Pak Burhan masuk ke dalam kamar. Ada Bu Melvi yang sedang asik memainkan ponsel di sana.

"Dek, harusnya kamu pilih katering itu yang bener. Jadi, aku yang harus traktir semua keluargamu makan nasi padang," ucap Pak Burhan dengan wajah cemberut.

"Biarinlah, Mas. Sekali-kali juga!" Bu Melvi membalas dengan ketus.

Pak Burhan hanya menghela napas panjang. Seumur pernikahan dengan Bu Fatimah rasanya ia tak pernah merasa direndahkan seperti itu.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar. Pak Burhan bergegas membukanya. Ia harap makanan yang dipesan segera datang.

"Ayo, Pak. Ini nasinya udah datang," ajak Bu Tuti dengan sumringah.

Pak Burhan pun keluar kamar bersama istrinya. Mereka mengambil jatah makanan yang ada.

"Bukannya kamu dah makan, Dek?" tanya Pak Burhan heran.

"Tadi cuma dikit. Orang lauknya cuma telor. Kalau ini kan enak," jawab Bu Melvi sembari makan dengan lahap.

***

"Dek, keluargamu kapan pulang?" tanya Pak Burhan sehabis makan.

"Sore ini juga paling pada pulang, setelah bagiin makanan," jawab Bu Melvi yang masih sibuk dengan makanannya.

"Oh, syukurlah." Pak Burhan segera berdiri untuk cuci tangan.

Bisa bangkrut dirinya kalau semua keluarga istri barunya di sana terus. Pasti ibu mertuanya akan minta traktir makanan lagi.

Menjelang sore, semua keluarga Bu Melvi mulai pulang. Makanan prasmanan habis dibagikan ke tetangga. Kebanyakan dari mereka langsung membuang makanan itu.

Berita soal kehebohan pernikahan Bu Melvi tersebar kemana-mana. Sehingga semua orang jijik untuk makan makanan sisa prasmanan itu. Tak sedikit juga yang malah nyinyir.

Malam tiba, rumah sudah kembali kosong. Hanya tersisa Bu Tuti yang juga sudah tidur di kamarnya. Rumah itu tak begitu luas. Hanya ada dua kamar di sana. Itulah sebabnya anak Bu Melvi memilih untuk tidur di rumah ibunya.

Pak Burhan keluar dari kamar mandi dengan wajah dan tubuh yang segar. Tak sabar belah duren ke istri mudanya.

"Dek, waktunya malam pertama!" seru Pak Burhan sembari berjoget saat masuk kamar. Terlihat sekali kalau ia begitu sumringah.

Bu Melvi menatap suaminya dari atas ke bawah. Badan gempal, kulit sudah sedikit kendor, dan wajahnya pun sudah kelihatan menua. Hal itu membuatnya malas untuk melayani suaminya.

"Aku masih kesel sama kejadian tadi siang, jadi gak mood. Sudahlah tidur aja sana!" bentak Bu Melvi yang langsung tidur dengan menghadap tembok kamar.

"Loh, loh, gak bisa gitu dong, Dek! Aku udah keluar uang banyak buat pernikahan kita. Masa mau belah duren aja gak boleh!" protes Pak Burhan tak terima. Padahal nafsunya sudah di ubun-ubun.

"Gak mau! Pergi sana, tidur di luar kalau masih maksa!" usir Bu Melvi dengan sengit.

"Kamu jadi istri yang nurut dong, Dek! Fatimah mana ada nolak pas aku kepengen," sahut Pak Burhan tak terima.

"Ya sudah, sana balik ke rumah istri pertamamu!" usir Bu Melvi dengan penuh emosi. Matanya nyalang menatap Pak Burhan.

"Ya, maksudnya gak gitu, Dek ...." Pak Burhan keceplosan menyebut nama istri pertamanya.

Bu Melvi pun tidur menghadap tembok. Tak peduli dengan suaminya yang sudah tidak sabar untuk menikmati malam pertama.

Pak Burhan menghela napas panjang. Hari sudah larut. Malu kalau terus bertengkar dengan istrinya. Bisa-bisa didatangi warga. Apalagi mereka tinggal di kampung.

"Ah, gagal! Sabar Jon, ya," ucap Pak Burhan dengan wajah memelas. Ia menatap ke bagian bawah tubuhnya. Si Jhon pun ikut lemas menerima kenyataan itu.

Pak Burhan yang masih dilanda nafsu belum bisa tidur. Ia hanya duduk termenung sembari sesekali menatap ke arah istrinya.

Sayangnya, tak ada respon lagi dari Bu Melvi. Akhirnya, Pak Burhan pun ikut tidur dengan saling memunggungi dengan istri barunya. Malam pertama yang naas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nazar Poligami    Pencarian Bu Melvi

    31Bu Melvi membuka matanya. Ia baru saja sadar dari bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Netranya mengedar kesana-kemari. Ia tak mengenal tempat itu. "Duh, di mana aku?" gumam Bu Melvi dengan kepala yang masih terasa berat. Ia kembali menajamkan penglihatan. Ruangan itu nampak seperti gudang. Banyak barang-barang bekas di sana. Belum lagi debu yang begitu tebal dan membuat sesak pernapasan. Bu Melvi tidak bisa lari kemanapun. Tangan dan kakinya terikat ke sebuah kursi. Perutnya juga mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi. "Hai, Dek Melvi sayang ...." Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar menggema di ruangan tersebut. Pak Bastoni mendekat dengan ditemani dua bodyguard-nya. "Gimana? Mau terus di sini atau kita ke hotel?" tanya Pak Bastoni dengan tatapan nakal yang memuakkan. "Aku udah gak mau punya hubungan sama kamu, Mas! Aku capek! Gak liat waktu harus keluar cuma buat muasin kamu!" pekik Bu Melvi dengan emosi. Ya, kadang permintaan lelaki hidung belang ini membuatn

  • Nazar Poligami    Bu Melvi ditawan

    Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di

  • Nazar Poligami    Pak Bastoni (Selingkuhan Bu Melvi)

    Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k

  • Nazar Poligami    Komisaris

    "Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de

  • Nazar Poligami    Orang Pintar

    Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.

  • Nazar Poligami    Perjalanan Panjang

    "Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status