Share

Malam Pertama Gagal

"Ya sudah, kalau gak mau dibandingkan, ambil makanan. Cepat!" titah Pak Burhan dengan emosi. Ditambah dengan perutnya yang keroncongan.

"Iya, iya!" Bu Melvi akhirnya menurut dengan berjalan sambil menghentak-hentakan kakinya seperti anak kecil.

"Kenapa kamu? Masih pengantin baru udah cemberut aja!" Bu Tuti bertanya dengan wajah ketus.

"Tahu tuh, punya suami baru satu hari udah nyusahin!" ketus Bu Melvi pada ibunya.

"Layani suami itu yang bener. Biar kalau dia senang, duitnya gak akan kemana," ujar Bu Tuti dengan santainya.

Bu Melvi berdecih kesal dan langsung menuju ke dapur mengambil makanan. Ia menambahkan lauk sisa prasmanan yang masih menumpuk. Malas membuat lauk baru.

"Melvi, itu lauk mau digimanain? Masih numpuk gitu!" tanya Bu Tuti saat anaknya hendak kembali ke kamarnya.

"Bagi-bagi tetangga ajalah, Bu! Ribet banget. Biasanya kan makanan sisa prasmanan emang dibagiin." Bu Melvi kemudian masuk ke dalam kamar setelah menjawab.

Sementara para saudara yang melihat kelakuan ibu dan anak itu hanya geleng-geleng kepala.

"Ibu sama anak kelakuannya sama, sebelas dua belas!" bisik salah satu saudara yang dibenarkan saudara lainnya.

Bu Melvi tak mempedulikan bisikan itu. Ia melanjutkan langkahnya menuju ke kamar.

"Nih, makanannya!" ucap Bu Melvi ketus saat menyodorkan sepiring makanan pada Pak Burhan.

"Loh, kok, lauk sisa prasmanan sih, Dek? Kan, tadi ada kecoanya!" protes Pak Burhan.

"Makan aja yang ada! Daripada kelaparan di sini," jawab Bu Melvi santai sambil kembali berbaring di kasur.

Pak Burhan akhirnya menerima piring itu dengan sangat terpaksa. Cacing-cacing sudah berdemo di perutnya. Mau tak mau ia siapkan juga makanan itu ke mulut.

Baru satu suap, kerongkongannya serasa menolak makanan itu masuk. Berkali-kali ia coba menahan untuk tidak muntah. Tapi, membayangkan kecoa, tikus, dan binatang menjijikan lainnya membuatnya semakin mual.

Pak Burhan berlari keluar kamar. Ia menuju ke kamar mandi dan memuntahkan cairan putih kekuningan. Karena sedari pagi belum makan apapun.

"Nasib ... nasib." Pak Burhan bergidik ngeri membayangkan tumpukan makanan menjijikan itu.

"Loh, Pak Burhan kok muntah-muntah?" tanya Bu Tuti yang notabene sekarang jadi mertuanya.

"Iya, saya jijik Bu makan makanan sisa prasmanan," jawab Pak Burhan dengan lemas.

"Owalah ... dasar Melvi. Ya sudah, beli nasi Padang aja, Pak. Kebetulan, kami semua juga lapar," ujar Bu Tuti yang meminta ditraktir pada menantunya.

"A-apa?!" Pak Burhan melihat semua keluarga istri barunya.

Ruangan tengah dan dapur penuh dengan keluarganya. Belum lagi anak-anak yang sedang bermain di luar.

"Y-ya sudah, Bu. Beli aja, saya ambil uang dulu." Pak Burhan pun kembali ke kamar dengan sangat terpaksa.

Ia mengambil beberapa lembar uang merah untuk mentraktir semua keluarga Bu Melvi.

'Ibu sama anak sama aja. Mata duitan,' gerutu Pak Burhan dalam hati.

Ia keluar dan meminta salah satu pemuda untuk membelikan nasi Padang. Tak tanggung-tanggung sampai lima puluh porsi untuk semua keluarga Bu Melvi.

Pak Burhan masuk ke dalam kamar. Ada Bu Melvi yang sedang asik memainkan ponsel di sana.

"Dek, harusnya kamu pilih katering itu yang bener. Jadi, aku yang harus traktir semua keluargamu makan nasi padang," ucap Pak Burhan dengan wajah cemberut.

"Biarinlah, Mas. Sekali-kali juga!" Bu Melvi membalas dengan ketus.

Pak Burhan hanya menghela napas panjang. Seumur pernikahan dengan Bu Fatimah rasanya ia tak pernah merasa direndahkan seperti itu.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar. Pak Burhan bergegas membukanya. Ia harap makanan yang dipesan segera datang.

"Ayo, Pak. Ini nasinya udah datang," ajak Bu Tuti dengan sumringah.

Pak Burhan pun keluar kamar bersama istrinya. Mereka mengambil jatah makanan yang ada.

"Bukannya kamu dah makan, Dek?" tanya Pak Burhan heran.

"Tadi cuma dikit. Orang lauknya cuma telor. Kalau ini kan enak," jawab Bu Melvi sembari makan dengan lahap.

***

"Dek, keluargamu kapan pulang?" tanya Pak Burhan sehabis makan.

"Sore ini juga paling pada pulang, setelah bagiin makanan," jawab Bu Melvi yang masih sibuk dengan makanannya.

"Oh, syukurlah." Pak Burhan segera berdiri untuk cuci tangan.

Bisa bangkrut dirinya kalau semua keluarga istri barunya di sana terus. Pasti ibu mertuanya akan minta traktir makanan lagi.

Menjelang sore, semua keluarga Bu Melvi mulai pulang. Makanan prasmanan habis dibagikan ke tetangga. Kebanyakan dari mereka langsung membuang makanan itu.

Berita soal kehebohan pernikahan Bu Melvi tersebar kemana-mana. Sehingga semua orang jijik untuk makan makanan sisa prasmanan itu. Tak sedikit juga yang malah nyinyir.

Malam tiba, rumah sudah kembali kosong. Hanya tersisa Bu Tuti yang juga sudah tidur di kamarnya. Rumah itu tak begitu luas. Hanya ada dua kamar di sana. Itulah sebabnya anak Bu Melvi memilih untuk tidur di rumah ibunya.

Pak Burhan keluar dari kamar mandi dengan wajah dan tubuh yang segar. Tak sabar belah duren ke istri mudanya.

"Dek, waktunya malam pertama!" seru Pak Burhan sembari berjoget saat masuk kamar. Terlihat sekali kalau ia begitu sumringah.

Bu Melvi menatap suaminya dari atas ke bawah. Badan gempal, kulit sudah sedikit kendor, dan wajahnya pun sudah kelihatan menua. Hal itu membuatnya malas untuk melayani suaminya.

"Aku masih kesel sama kejadian tadi siang, jadi gak mood. Sudahlah tidur aja sana!" bentak Bu Melvi yang langsung tidur dengan menghadap tembok kamar.

"Loh, loh, gak bisa gitu dong, Dek! Aku udah keluar uang banyak buat pernikahan kita. Masa mau belah duren aja gak boleh!" protes Pak Burhan tak terima. Padahal nafsunya sudah di ubun-ubun.

"Gak mau! Pergi sana, tidur di luar kalau masih maksa!" usir Bu Melvi dengan sengit.

"Kamu jadi istri yang nurut dong, Dek! Fatimah mana ada nolak pas aku kepengen," sahut Pak Burhan tak terima.

"Ya sudah, sana balik ke rumah istri pertamamu!" usir Bu Melvi dengan penuh emosi. Matanya nyalang menatap Pak Burhan.

"Ya, maksudnya gak gitu, Dek ...." Pak Burhan keceplosan menyebut nama istri pertamanya.

Bu Melvi pun tidur menghadap tembok. Tak peduli dengan suaminya yang sudah tidak sabar untuk menikmati malam pertama.

Pak Burhan menghela napas panjang. Hari sudah larut. Malu kalau terus bertengkar dengan istrinya. Bisa-bisa didatangi warga. Apalagi mereka tinggal di kampung.

"Ah, gagal! Sabar Jon, ya," ucap Pak Burhan dengan wajah memelas. Ia menatap ke bagian bawah tubuhnya. Si Jhon pun ikut lemas menerima kenyataan itu.

Pak Burhan yang masih dilanda nafsu belum bisa tidur. Ia hanya duduk termenung sembari sesekali menatap ke arah istrinya.

Sayangnya, tak ada respon lagi dari Bu Melvi. Akhirnya, Pak Burhan pun ikut tidur dengan saling memunggungi dengan istri barunya. Malam pertama yang naas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status