Di sepanjang malam mata ini terus terjaga. Setiap jam aku terus mengecek suhu tubuh Daffa. Hanya ingin memastikan apa demam Daffa semakin tinggi atau tidak. Kali ini bisa bernapas lega, demam di tubuh Daffa semakin menurun.
Aku menoleh ke arah jam yang ada di tembok, jarum jam menunjukkan pukul 21:00 wib. Mas Pandu juga tak kunjung pulang. Jangankan pulang, menghubunhikh walau hanya sekedar menanyakan bagaimana keadaan anaknya yang sedang sakit pun tidak.
Jujur saja, sikap Mas Pandu yang seperti itu membuat hati ini terasa nyeri. Serasa ada yang meremasnya. Kuat.
Ternyata perempuan itu sudah berhasil mencuri hati Mas Pandu seluruhnya. Kini hanya ada nama Lidya seorang yang bertahta di dalam kerajaan hatinya. Tak ada lagi ruang untuk aku dan juga Daffa.
Ponsel yang sedari tadi tergeletak itu bergetar, kuraih benda itu di atas nakas.
Satu pesan dit
Perempuan paruh baya itu terlihat keluar dari mobil dengan menenteng tas di tangan kanannya. Perempuan itu tersenyum ke arahku setelah pandangan kami bertemu. Kubalas senyuman itu.Ya, perempuan itu adalah Mama mertuaku.Terlihat ia melangkah ke arahku yang sedang duduk di teras rumah. Dengan terpaksa kucium punggung tangan Mama setelah tangannya terulur ke arahku."Sini Daffa biar Mama gendong."Sebenarnya ada rasa berat saat menyerahkan bayiku pada perempuan tak berhati itu. Namun Mama langsung mengambil alih Daffa dari pangkuanku."Mama dari mana?" tanyaku sesaat setelah Mama menghenyakkan tubuhnya di kursi yang ada di sampingku. Pandangannya tertuju pada Daffa."Dari rumah tadi," ucapnya tanpa menoleh ke arahku.Memang jarak rumah kami tidak jauh, hanya membutuhkan waktu tempuh 45 menit saja.
Suara deru mobil yang berhenti di halaman rumah membuatku melangkah ke arah depan.Masih ada perasaan kasihan yang hinggap di dalam sini.Langkahku seketika terhenti saat melihat Mas Pandu datang bersama Lidya. Mereka berdua langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, tanpa permisi."Mama di mana, Vit?" tanya Mas Pandu dengan raut wajah yang sangat khawatir, pun dengan Lidya."Di kamar, Mas," jawabku dengan jemari menunjuk ke arah kamar. Mas Pandu mengangguk lalu melangkah begitu saja, bersama Lidya– calon istri keduanya.Kuhembuskan napas berat, aku menyusul langkah mereka.Kini sepasang calon pengantin yang sedang di mabuk asmara duduk di tepi ranjang di samping Mama mertua.Menyadari kehadiranku, pandangan Mas Pandu beralih padaku yang sedang berdiri di ambang pintu.&
Aku kembali menuju kamar. Terlihat Mama mertua masih terbaring lemah di atas pembaringan, aku duduk di tepi ranjang dengan Daffa yang ada di gendonganku."Sudah baikan, Ma?" tanyaku sesaat setelah melihat Mama Mertua, wajah tua itu masih terlihat pucat."Iya, tapi perut masih ngerasa nggak nyaman," ucap Mama dengan lirih. Nada suaranya masih terdengar lemah.Entahlah, aku masih bingung dengan perasaanku saat ini. Dengan teganya kuberikan obat pencahar itu ke dalam minuman Mama, namun ada rasa kasihan yang menyelinap di dalam dada saat melihat Mama sampai pingsan, namun saat melihat dirinya sudah membaik ada rasa kecewa.Jahatkah aku?Kurasa tidak, bukankah apa yang dilakukan Mama jauh lebih kejam?"Mama tadi habis dari rumah Lidya?" tanyaku. Aku bangkit dari tempat dudukku, menimang-nimang Daffa.
Rencana Vita"Bagaimana? Kamu setuju?"Aku memikirkan jawaban yang tepat untuk kuutarakan pada Mama mertua. Aku tak boleh salah langkah. Aku harus lebih hati-hati. Mama mertua pandai sekali bersandiwara dan bermuka dua.Saat bersamaku ia pura-pura berada di pihakku, namun saat bersama Lidya ia pun juga bersikap seperti itu.Setelah beberapa saat memikirkan semuanya, aku sudah memutuskan jawabannya. Bukankah aku memang ingin mengikuti rencana yang dikatakan Mama? Bukankah membahagiakan orang tua itu sesuatu yang sangat baik, begitu juga yang kulakukan saat ini. Meskipun kebahagiaan itu hanya sesaat.Mama menatapku, raut wajahnya penuh harap."Baiklah, Ma. Tapi Mama bantu Vita kan? Mama tinggal di sini juga kan?" ucapku yang sepersekian detik kemudian membuat bibir yang masih terlih
Kini tidak ada lagi yang bisa kupercaya selain diriku sendiri. Setiap langkah yang kuambil, aku terus berusaha berhati-hati.Di rumah ini, kini tinggal kami berlima. Aku, Daffa, Mas Pandu, Mama Mertua dan Lidya.Setelah kepergian Mbok Jum, aku meminta Mbak Ratih untuk pulang ke kampung halamannya. Aku memberinya libur beberapa hari.Tujuanku hanyalah, agar perempuan ular itu sadar diri kalau dirinya tidak bisa duduk bersanding denganku. Apalagi sampai merebut kursi singgasana ku di rumah ini.Akan kusadarkan dia, posisi apa yang pantas untuk dirinya. Teringat dengan jelas saat Mbak Ratih kuminta berpura-pura untuk pulang ke kampungnya dengan alasan ada urusan keluarga yang harus segera di selesaikan."Loh, Mbok Jum pulang, kamu juga pulang. Terus siapa dong yang mengurus rumah ini?" jawabku bersandiwara. Pu
"Vit ...."Aku terkejut, tubuhku tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang memanggilku dan saat aku menoleh ternyata ia sudah berdiri di belakangku.Jantungku berdetak lebih kencang. Khawatir jika ia mendengar perbincanganku dan juga Aulia.Aku dan Aulia saling berpandangan.Kuhela napas panjang untuk menetralkan degup jantung yang sudah tak beraturan ini. Pandanganku beralih pada Mas Pandu yang masih berdiri di sana. Kupasang wajah setenang mungkin."Ya, Mas?" ucapku menahan gugup yang amat luar biasa. Takut jika Mas Pandu mendengar perbincanganku dengan Aulia."Aku pulang dulu, sekalian mau antar Mama pulang. Mobil Mama biar di sini saja." Ucapan Mas Pandu seketika membuat hati ini lega."Oh, iya, Mas," jawabku. Pandanganku beralih pada Aulia. Wajah yang semula gugup itu terlihat lega, sama sepertiku."Aku temui Mama dulu ya
Lima belas menit aku duduk di sofa dengan kedua kaki berselonjoran di atas sofa. Bantal sofa kutumpuk lalu kugunakan sebagai sandaran punggungku.Pikiran ini terus berputar, mencari cara bagaimana agar aku bisa mendapatkan tanda tangan Mas Pandu tanpa ia membaca isi tersebut.Kuuhela napas panjang saat tak kunjung kutemukan ide yang akan kulakukan."Secepat mungkin aku harus mendapatkan tanda tangan Mas Pandu. Kalau bisa sebelum kedua pasangan itu menikah," lirihku dengan pandangan menatap ke langit-langit rumah.Akhirnya aku beranjak dari tempat dudukku lalu melangkah menuju dapur. Saat langkahku kian mendekat, suara beradunya antara wajan dan spatula terdengar menelusup ke gendang telinga.Aku berdiri di ambang pintu, menatap Lidya yang sedang sibuk mengolah makanan."Belum selesai?"&
Kini aku duduk di tepi ranjang seraya membawa lembaran kertas yang membutuhkan tanda tangan Mas Pandu. Berkas-berkas pengalihan nama semua aset-aset milik kami.Bergegas aku beranjak dari tempat dudukku saat Mas Pandu keluar dari kamar mandi."Mas," panggilku. Aku melangkah mendekati lelaki itu. Namun bau tak sedap menusuk indra penciumanku, membuatku mengibaskan telapak tanganku."Bentar! Perut Mas sakit.""Tap ...."Belum sempat kulanjutkan ucapanku, tubuh Mas Pandu hilang di balik pintu. Kuhembuskan napas kasar.Tak bisa dipungkiri, jantung ini berdebar lebih kencang. Takut jika rencanaku kali ini gagal.Beberapa menit kemudian, Mas Pandu keluar. Baru saja aku ingin melangkah, Mas Pandu langsung berbalik kembali menuju kamar ma