"Itu, Tante Rena, pacarnya Om Kelvin, iya kan Om?!" Gita sama saja dengan Viona. Suka menggoda Omnya. Wajahku kembali menghangat."O." Bibir wanita yang baru datang itu membulat."Butuh apa saja?" tanya Kelvin lagi.Aku menyebutkan aneka bumbu dapur, dan bahan lain yang aku butuhkan. Juga alat yang diperlukan. Panci berukuran lumayan besar telah disiapkan begitu juga bahan yang diperlukan.Untuk Ayam sengaja aku masak lebih dahulu, agar bumbunya meresap. Bukan masalah besar untuk mengerjakan semuanya. Disela memasak Ayam dan bebek rica aku mengeksekusi cabe yang baru dibawa Mbak Sari.Satu wajan penuh sambal sedang aku olah, Kelvin membantu mengikat rambutku dengan karet gelang. Dan juga memasangkan celemek padaku. "Capek sayang?" Kelvin memijat bahuku saat aku sedang mematangkan sambal di wajan."Nggak. Tapi, keringetan." Aku memperlihatkan dahiku padanya. Dia beranjak ke meja menarik beberapa tisu, dan mengelap keringatku."Bund, besok pakai urap juga?" tanyaku pada Bunda Kelvin."R
Memiliki seorang madu bukanlah keinginanku, namun ketika takdir berkata demikian, apa yang bisa aku katakan. Wanita itu lebih muda dariku, anak dari pemilik usaha di mana Mas Aris bekerja. Jatuh cinta karena sering bersama kata gadis itu tanpa merasa bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Tak habis pikir mengapa sekarang banyak gadis muda lebih tertarik pria dewasa, terutama suami orang. Dan mengapa begitu mudahnya seorang suami melabuhkan hati yang jelas-jelas sudah termiliki.Gadis itu datang, menunjukkan foto pernikahan yang dikatakannya terjadi satu bulan yang lalu. Dia menuntut pembagian waktu yang adil, karena dia merasa selama pernikahannya, Mas Aris lebih banyak bersamaku dibanding dengannya. Aku masih mencerna, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rasanya seperti orang linglung, bagaimana tidak, aku merasa rumah tanggaku selama ini baik-baik saja. Jangankan keributan, pertengkaran kecil pun tidak ada.Hari ini datang seorang wanita muda, mengaku sebagai istri Mas Aris, wanita ma
•••"Mas, katakan yang sebenarnya?" tanyaku dengan nada yang lebih tinggi."Aku dan I ...Indah sudah menikah," jawab Mas Aris.Meski Indah sudah menjelaskan, tetap saja jawaban Mas Aris membuatku tersentak juga."Tapi kenapa? Aku salah apa mas, sampai kamu tega mengkhianati pernikahan kita?" tanyaku yang masih tak habis pikir."Mas minta maaf," ucap Mas Aris."Mas, apa-apaan sih, ngapain minta maaf," sela Indah."Ya udah, nggak usah drama, pake acara nangis-nangis, sekarang sudah jelaskan?, Mas Aris juga sudah bilang sendiri.""Mas, minta perempuan ini untuk menutup mulutnya, atau aku yang akan menutup mulutnya untuk selamanya," ucapku kesal, Indah selalu menyela ucapanku."Indah, tenang dulu," ucap Mas Aris, Indah terbelalak saat mendengar Mas Aris menuruti permintaanku."Mas, kenapa jadi aku … ahh," seru Indah, kemudian berlari keluar, Mas Aris terlihat bingung, ragu hendak mengejar."Kejar saja nggak apa-apa," ucapku kemudian. Mas Aris menggeleng.Tak berapa lama, Indah kembali mas
Aku dan Bunda meninggalkan meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Masih bisa aku lihat wajah kacau Indah saat Ibu memintanya untuk membereskan semuanya."Indah, kamu itu sudah, cantik, pinter, nurut, rajin lagi. Ibu tambah sayang sama kamu." Kembali terdengar suara Ibu dari dapur."Sayang, kalau sudah nanti istirahat di kamar Ibu ya, sambil pijitin Ibu. Nanti ibu kasih tau apa saja yang Aris suka, dan apa yang anak itu tidak suka. Eh jangan lupa disapu sama dilap juga, biar kinclong kayak kamu," ucap Ibu lagi.Terlihat Ibu, meninggalkan Indah yang masih didapur, tak berapa lama terdengar suara kran dinyalakan. Suara panci bersentuhan dengan benda lainnya menandakan Indah sedang berkutat dengan aneka benda dapur yang lepas digunakan."Indah, jangan lupa sampahnya sekalian dibuang ke depan ya, sayang," teriak Ibu dari kamar."Iya, Bu," jawab Indah.Aku duduk di ruang tengah depan televisi, sambil memindahkan kacang shanghai dari toples ke dalam mulut. Apa ini solusi atau jalan kelu
Selepas magrib, Ibu sudah terlihat bersiap menunggu di ruang tengah. Indah masih bersiap, belum keluar dari kamar Ibu. Mas Aris juga belum terlihat pulang.Aku dan Bunda duduk di depan televisi seperti biasa, hanya bedanya kami duduk di bawah, Ibu duduk di sofa. Tak berapa lama Indah keluar dari kamar."Kamu ikut, ganti baju," perintah Ibu padaku. "Ngapain di ajak Bu?" tanya Indah pada Ibu, terlihat tak suka."Buat kasih bukti, kalau kita nggak cuman lihat-lihat aja. Biar mingkem itu mulut emaknya," bisik ibu, namun dengan suara jelas."Malas, pergi aja sendiri," balas Bunda."Tuh, kan. Ada yang ngaku kalah sebelum berperang," cibir Ibu.Mendengar cibiran Ibu, Bunda merasa tak terima, langsung menarikku ke kamar dan berganti pakaian. "Bunda luar biasa," ucapku sambil merapikan rambutku setelah memoles sedikit wajahku dengan bedak dan lipstik."Ningrum, Ibumu juga." Bunda menahan tawanya. Bagaimana tidak kompak, mereka bersama sejak kecil, nenekku dan nenek mas aris juga bersahabat.
Ibu masih mengusap tv berlayar lebar itu, Indah nampak tertegun, melihat bandrol harga yang terpasang. Ibu ikut melirik, bandrol harga dan matanya ikut membulat. Dia mendekatkan wajahnya dan kembali mundur."Kemahalan ya sayang?" tanya Ibu pada Indah, bocah sunda* itu tersenyum masam. "Tapi, Ibu suka yang ini," tambahnya."I … iya, Bu. Mas aku mau yang ini ya," pinta Indah tak bersemangat."Bu, Indah ke toilet sebentar ya," pamitnya kemudian. Ibu hanya mengangguk dan masih fokus memandangi tv di depannya penuh kekaguman. "Nik, kamu mau apa?" Bisik Ibu, tanpa melihat pada Bunda, "Nduk, kamu juga sekalian.""Rena nggak Bu," jawabku. Sejujurnya sepuas apapun hatiku melihat Indah di kerjain, tetap saja rasa sakit yang Mas Aris ciptakan tak serta merta berkurang."Oven yang besar itu, yang jadi satu sama kompor itu loh, Rum," jawab Bunda tanpa melihat juga."Beres," jawab Ibu.Aku dan Bunda menjauh dari Ibu, sambil menunggu Indah keluar dari kamar mandi. Wajah lesu nampak sekali, meski te
Tatapan tidak suka, atau lebih tepatnya cemburu, nampak jelas di pancaran matanya. Aku melepas genggaman Mas Aris, dengan menarik tanganku. "Rena siapin makannya dulu, mas," ucapku, aku bergegas berjalan melewati Indah menuju dapur. Nasi goreng yang terbungkus kertas itu aku pindahkan satu persatu, kemudian menatanya di atas meja. Minuman hangat juga aku siapkan untuk semua. Masih kudengar tanya Indah berulang, dan jawaban tidak jelas dari Mas Aris.Selepas menyiapkan makan, aku masuk kemar, berjalan ke lemari. Aku tarik sebuah kaos dan celan pendek lengkap dengan dalaman. "Sudahlah sayang, suamimu baru pulang jangan cemburu buta seperti itu, palingan juga ketemu di depan," terdengar suara Ibu, menenangkan Indah."Mas, mandi dulu aku sudah siapkan bajunya," panggilku selepas keluar kamar, Mas Aris tampak berjalan menuju ke arahku. Baju ganti telah berpindah ke tangannya."Jangan lama-lama mandinya, keburu dingin nasi gorengnya," ucapku padangya. Mas Aris menjawabnya dengan sebuah an
Mas Aris menaut jariku, seolah ingin menahanku, namun, teriakan Bunda terdengar semakin keras. Aku melepas pegangannya dan berjalan masuk ke kamar.Terlihat sekali pikirannya sedang kacau saat ini. Itu hal yang pantas dia dapatkan bukan? mas Aris juga harus mendapatkan balasan atas penghianatan yang sudah dia lakukan. Larut mendekap malam, Bunda sudah lelap dalam tidurnya. Mataku sulit sekali terpejam, wanita lain dalam sebuah rumah tangga, sesuatu hal yang sama sekali tak bisa aku terima. Bagaimana bisa? Dan mengapa?Banyak pertanyaan berorasi liar dalam benakku ,menuntut sebuah jawaban. Malam semakin larut, tak jua mata mau menutup. Meski hanya sebentar, cukuplah menjadi penawar, untuk sejenak menghalau pergi kesakitan dan kegelisahan.Mataku memanas, ada lelehan hangat menyeruak, ini sakit, sakit sekali. Suatu hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, harus menerima kenyataan bahwa, hati telah terbagi, raganya pernah menyatu dengan perempuan lain.Aku juga bukannya seorang wan