"Rena harus bantu Ibu, buat sarapan," ucapku kemudian.
"Sebentar saja," rengeknya.Mas Aris memang seperti bayi tua, dia suka bermanja padaku. Ah, semua terdengar begitu Indah, dulu. Indah … bocah bina* itu telah menghancurkan segalanya."Rena … Ren," panggil Bunda."Iya Bund," jawabku melepas genggaman tangan mas Aris dan beranjak.Bunda terlihat duduk di ruang tengah, sambil menyalakan tv di depannya."Bikinin Bunda teh hangat," ucap Bunda saat aku keluar, "Gula nya dikit aja ya," lanjutnya."Iya, Bund," jawabku, langsung bergegas ke dapur.Ibu baru keluar dari kamar mandi, Indah sepertinya ada di kanar. Ibu mengangkat dagunya sepertinya bertanya sedang apa, aku mengangkat gelas yang sudah aku isi dengan gula, Ibu mengangguk."Indah sayang," teriak Ibu, memanggil Indah."Iya, Bu," sahutnya, sesaat kemudian telah keluar dari kamarnya."Tau nggak sayang, Ibu tadi hampir kepleset di kamar mandi," cerita Ibu ke Indah yang sekarang berdiri di depannya."Tolong kamu sikat ya, biar nggak licin." lanjut Ibu kemudian."Hah … sikat kamar mandi?" tanya Indah Kaget."Kenapa kaget gitu?" tanya Ibu, Indah masih terdiam."Hahahha, mana bisa dia bersihin kamar mandi, goreng kerupuk aja gosong," cibir Bunda yang menyusul ke dapur."Heh, jangan salah, selain cantik, kaya, penurut, mantuku ini juga serba bisa, iya kan sayang?""Anak manja gitu, jauhlah dibanding Rena anakku," balas Bunda."Sayang, kamu tunjukkan ke Emak dan anak ini, bahwa kamu jauh lebih baik. Sana bersihkan kamar mandi, jangan biarkan Ibu terhina seperti ini.""Tapi, tangan Indah masih sakit," ucap Indah."Hahaha, tuh kan. Memang dasarnya nggak bisa, pakai dipaksa segala," sindir Bunda lagi."Indah, Ibu tak rela, kamu dihina seperti ini. Tunjukkan mereka salah tentangmu sayang," ucap Ibu, sambil mendorong Indah ke kamar mandi."Sayang sikatnya pakai yang warna biru ya," tunjuk Ibu lagi.Selepas membersihkan kamar mandi, Ibu meminta Indah mencuci bajunya dan baju mas Aris dengan tangan, alasannya mesin cuci rusak. Dilanjutkan dengan menyapu dan mengepel rumah. Aku hanya menyiapkan makanan untuk sarapan. Mas Aris membawa laptop ke kamar depan, sepertinya melanjutkan pekerjaannya."Mas kopinya," ucapku saat mas Aris sudah duduk di sofa depan tv."Makasih ya," ucap mas Aris menerima cangkir kopi dari tanganku."Mas mau sarapan nanti apa sekarang?" tanyaku ikut duduk di sampingnya."Bareng-bareng saja," jawabnya."Ya udah, sekarang aja, aku dah masak kok," ucapku, lalu bangun berdiri dan menarik tangan mas Aris. Indah baru saja meletakkan lap yang baru saja dia gunakan untuk membersihkan dapur, saat aku dan mas Aris sampai. Ibu dan Bunda sudah duduk dari tadi di meja makan sambil menyeruput teh hangat dan juga saling berbalas kata cibiran. Mas Aris menarik kursi, kemudian duduk. Aku berdiri di sampingnya menyendokan nasi kepiringnya."Mas mau makan pakai apa?" tanya Indah yang ternyata sudah berdiri di samping kanan mas Aris."Kan cuma ada capcay sama ayam goreng, mau pilih apa lagi?" celetukku pelan."Biar Indah yang ladenin, Kakak duduk aja," ucap Indah kemudian. Aku hendak beranjak, saat tangan mas Aris menarik bajuku."Biar Rena aja, dia dah tau porsi mas seberapa," ucap mas Aris. Aku tersenyum ke arah Indah, bocah itu membuang muka."Bunda sekalian," ucap Bunda, "Sekalian mertua bawelmu itu," lanjutnya.Indah berdiri mematung, wajah lelah itu nampak kesal. Dia menghempaskan pantatnya kasar di kursi, lalu menyodorkan piringnya padaku."Ambil sendiri," ucapku, beranjak duduk ke kursiku.Selepas sarapan aku segera mandi kemudian gantian mas Aris, Bunda pergi ke pasar, Ibu keluar alasan lari pagi di taman yang tak jauh dari rumah, padahal mereka janjian.Aku sudah rapi dengan pakaian kerjaku, saat mas Aris selesai mandi. Mendapati Bunda dan Ibu pergi, mas Aris langsung memelukku yang sedang berdiri di depan cermin."Sayang, mas rindu," ucapnya. Ada pertarungan dalam hatiku, sisi lainnya tak bisa menerima, tapi satu sisi lainnya meminta untuk bertahan sementara."Krumpyang …."Sengaja membiarkan pintu terbuka, aku yang menghadap ke arah pintu menangkap bayangab Indah yang pasti sedang mengamuk melihat pertautan bibir kami barusan.Bersambung"Itu, Tante Rena, pacarnya Om Kelvin, iya kan Om?!" Gita sama saja dengan Viona. Suka menggoda Omnya. Wajahku kembali menghangat."O." Bibir wanita yang baru datang itu membulat."Butuh apa saja?" tanya Kelvin lagi.Aku menyebutkan aneka bumbu dapur, dan bahan lain yang aku butuhkan. Juga alat yang diperlukan. Panci berukuran lumayan besar telah disiapkan begitu juga bahan yang diperlukan.Untuk Ayam sengaja aku masak lebih dahulu, agar bumbunya meresap. Bukan masalah besar untuk mengerjakan semuanya. Disela memasak Ayam dan bebek rica aku mengeksekusi cabe yang baru dibawa Mbak Sari.Satu wajan penuh sambal sedang aku olah, Kelvin membantu mengikat rambutku dengan karet gelang. Dan juga memasangkan celemek padaku. "Capek sayang?" Kelvin memijat bahuku saat aku sedang mematangkan sambal di wajan."Nggak. Tapi, keringetan." Aku memperlihatkan dahiku padanya. Dia beranjak ke meja menarik beberapa tisu, dan mengelap keringatku."Bund, besok pakai urap juga?" tanyaku pada Bunda Kelvin."R
Obrolan ringan mewarnai perjalan kami. Mobil mulai memasuki komplek perumahan yang menjadi tempat tinggal Kelvin dan keluarganya. Jantungku semakin berdetak dengan kencang, telapak tangan juga terasa dingin. Aku menarik napas dalam dan menghembus perlahan, untuk mengatur hatiku.Mobil mulai sedikit melambat dan akhirnya berhenti. Huff debaran di dadaku semakin sulit aku kendalikan. Aku grogi … Kelvin membunyikan klakson mobil, satu kali. Tak berapa lama pintu pagar terbuka. Mobil kembali bergerak memasuki halaman rumah yang cukup besar itu. "Sayang, sampai." Kelvin memanggilku. Aku masih bergeming, kemudian menyentuh punggung tangannya dengan telapak tanganku yang dingin."Dinginnya," ujar Kelvin, digenggamnya tanganku kemudian."Rasanya nano - nano," ucapku kemudian."Tenang, semua akan baik - baik saja," balas Kelvin sambil mengeratkan genggamannya."Iya, Bismillah." Aku membalas dan berdoa.Aku sedikit menyapukan bedak, yang selalu aku bawa di tas. Hanya samar, agar tampak pucat
"Gombal banget, sih." Aku menggigit bibir, menahan senyum. Jujur hatiku bagai hamparan taman bunga, dengan bunga yang beraneka warna dan bermekaran dengan sempurna. "Itu ungkapan hati, Yang." Setengah berbisik, Kelvin mendekatkan bibirnya ke telingaku. Hanya setengah berbisik karena tetap terdengar oleh kedua wanita di depanku, yang tengah sibuk membungkus parcel. Terlihat keduanya saling sikut dan menahan tawa.Wajahku menghangat, Kelvin membuatku salah tingkah. "Mbak, saya tunggu di kasir depan, ya," ucapku, untuk mengalihkan fokusku dari Kelvin."Baik, Kakak." Keduanya menjawab hampir bersamaan.Aku dan Kelvin beranjak, sambil sesekali berhenti melihat aneka camilan yang terpajang di display. Mengambil beberapa yang terlihat enak. "Banyak banget?" tanya Kelvin melihat keranjangku kembali penuh."Buat anak - anak di resto, sama buat nemenin kerja," jawabu. "Ayank, nggak pengen?" tanyaku kemudian."Kalau pengen, kan tinggal nyebrang." Sambil menjawab, pria itu mengangkat alisnya
"Mau kemana kita?" tanya Kelvin kemudian, saat kami sudah berada di dalam mobil."Pulang saja, Oh … ya, ke toko buah dulu ya."Kelvin mengajakku ke rumahnya, besok pagi - pagi sekali, aku tak akan mungkin mendapatkan toko yang buka sepagi itu."Mau belanja buah?" tanyanya kemudian."Iyap." Aku menjawab singkat.Mobil melaju keluar dari area parkir resto. Tak jauh dari resto ada toko buah, yang cukup besar, berdiri bersebelahan dengan toko roti. Kesanalah kami menuju sekarang.Tidak memerlukan waktu yang lama, mobil berbelok masuk area parkir toko yang kami tuju. Seorang tukang parkir datang untuk mengarahkan. Kami turun selepas Kelvin mematikan mesin mobil.Aku baru saja keluar mobil, saat aku dengar seperti ada yang memanggil namaku. Aku menghentikan langkah kemudian menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanya Kelvin saat melihatku celingukan."Kayak ada yang manggil." Aku menjawab, masih dengan mengedarkan pandangan."Rena." Aku dan Kelvin bersamaan menoleh ke arah kiri be
Siang setelah selesai tugas di rumah sakit, Kelvin menemaniku untuk membuat laporan di kantor polisi. Cukup menyita waktu, untung sore Kelvin tak membuka praktek, karena sabtu sore dia libur. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Bukti rekaman CCTV juga akan menjadi barang bukti. Tentang ada orang lain dibalik kejadian ini atau tidak masih diselidiki."Capek ya?" tanya Kelvin padaku. Sesaat setelah kami masuk mobil, selepas keluar dari kantor polisi."Mayan, Ayang juga pasti capek." Aku memiringkan tubuh, menghadap ke arahnya dengan mengangkat satu kaki."Aku cowok, Yang. Kemana ini kita?" tanyanya kemudian."Balik resto ya, malam minggu mesti ramai. Ayang mau nemenin?" tanyaku kemudian."Boleh, aku temenin." Kelvin mengusap puncak kepalaku. Sebuah senyum manis terukir di bibirnya yang tampak kebiruan."Masih sakit?" Tanganku mengusap kulit memar itu."Nggak, Sayang. Kan tadi dah diobatin." Kelvin mengecup tanganku. Hatiku kembali berdebar mengingat kejadian tadi pagi."Udah y
Aku melepas alas kaki, sudah lama sekali aku tak melatihnya, tenagaku juga pasti tak seperti dulu lagi. Saat aku baru melepas alas kaki, sebuah bogem mentah mengenai wajah sang pahlawan kesiangan. Semua berteriak histeris terutama pegawai perempuan. Ini bukan sedang syuting film India dimana satu orang bisa mengalahkan puluhan orang. Tapi, apapun itu … bukan saatnya untuk jadi penonton.Baru aku beranjak memasang kuda - kuda terdengar suara mobil polisi mendekat. Beberapa polisi datang. Aku menoleh ke arah sang pahlawan kesiangan, darah segar keluar dari sudut bibirnya. Dia yang kesakitan kenapa aku yang lemas. Aku terduduk, saat mulai menyadari apa yang baru saja terjadi. Mataku mengedar ke arah pegawai, aku tak bisa membayangkan, kalau mereka tadi benar - benar dihajar oleh para pria berbadan tegap itu."Sayang, kamu nggak papa?" Pahlawanku terlihat panik melihatku, yang seolah tanpa tenaga."Stop, aku bisa sendiri. Bantu berdiri saja." Saat dia terlihat akan mengangkat tubuhku."