Share

Bab 7

Mas Aris menaut jariku, seolah ingin menahanku, namun, teriakan Bunda terdengar semakin keras. Aku melepas pegangannya dan berjalan masuk ke kamar.

Terlihat sekali pikirannya sedang kacau saat ini. Itu hal yang pantas dia dapatkan bukan? mas Aris juga harus mendapatkan balasan atas penghianatan yang sudah dia lakukan. 

Larut mendekap malam, Bunda sudah lelap dalam tidurnya. Mataku sulit sekali terpejam, wanita lain dalam sebuah rumah tangga, sesuatu hal yang sama sekali tak bisa aku terima. Bagaimana bisa? Dan mengapa?

Banyak pertanyaan berorasi liar dalam benakku ,menuntut sebuah jawaban. Malam semakin larut, tak jua mata mau menutup. Meski hanya sebentar, cukuplah menjadi penawar, untuk sejenak menghalau pergi kesakitan dan kegelisahan.

Mataku memanas, ada lelehan hangat menyeruak, ini sakit, sakit sekali. Suatu hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, harus menerima kenyataan bahwa, hati telah terbagi, raganya pernah menyatu dengan perempuan lain.

Aku juga bukannya seorang wanita yang lepas dari goda. Di kampus maupun tempat kerja, banyak yang menaruh hati. Namun, diri ini cukup menyadari sebagai seorang istri, aku akan selalu menjaga cinta suci ini.

Menciptakan  neraka untuk maduku, tentulah tak bisa menghapus luka, yang terlanjur menganga. Tak bisa mengobati perih yang terlanjur tercipta. Hanya setidaknya ada balasan kecil untuknya yang akan membuatnya jera, syukur-syukur mundur teratur.

Lalu, bisakah biduk rumah tangga ini diselamatkan? Aku tak tau, biar waktu dan sikap Mas Aris yang menjawab.

Pelan aku turun dari ranjang, sambil membawa selimut aku keluar kamar. Lelakiku itu sedang tertidur, kali ini di atas sofa. Pinggiran sofa dijadikan alas kepala, tangannya mendekap di dada. Kubentangkan selimut menutup tubuhnya, sejenak mengamati wajah pria yang selama tiga tahun ini selalu tidur bersamaku.

Aku tersenyum masam, menyadari cintaku yang begitu besar untuknya. Hanya saja, rasa sakit ini terlalu dalam dia tancapkan.  Ngilu dan nyeri menyayat hati, bagai sebuah sembilu, mengiris perih, menyobek luka. Akan ada balasan pastinya, tak akan aku biarkan tenang hidupnya. 

Sekarang masih giliran bocah sunda* itu, biarkan dia menikmati dunia barunya.  Diangkat untuk dijatuhkan, dipuji untuk dihancurkan. Aku masih butuh pria ini untuk membuat bocah sunda* itu merasakan sebuah kesakitan. 

Terlihat mesra di hadapan bocah itu, pasti akan membuatnya kesal, nikmati surgamu dulu  bersamaku, mas. Nerakamu pasti akan terjadi suatu hari nanti.

•••

Tepukan di pipi, membangunkanku, rasanya aku baru saja terlelap.

"Sholat dulu," ucap Bunda.

Setengah sadar aku memicingkan mata, kemudian bangun dari tidurku. Turun dari ranjang melangkah gontai keluar kamar. Perasaan aku baru saja memejamkan mata, kenapa sudah pagi saja.

Pintu kamar Ibu juga sudah terbuka, tapi tak terdengar suara. Mas Aris nampak masih terlelap. 

"Mas, bangun sudah pagi." Aku menunduk kemudian menepuk pelan pipi mas Aris.

Mata itu mengerjap malas, kemudian menyipit melihat ke arahku.

"Dah pagi sayang?" tanyanya kemudian.

"Iya," jawabku singkat,  Kemudian berdiri.  Tiba-tiba menarik tanganku hingga aku menimpanya. Sepertinya dia lupa, kami tak hanya berdua, atau memang dia sengaja melakukannya.

"Mas rindu," ucapnya pelan.

Aku berusaha bangun, tapi, mas Aris semakin memelukku erat.

"Apa-apaan ini, mas?" Terdengar suara Indah, yang entah dari  kapan sudah berada di ruang tengah.

Aku yang semula akan bangun, membiarkan tubuhku tetap berada di  atas tubuh mas Aris.

"Mas, pasti lupa kalau lagi banyak orang yah?" ucapku manja. Tanganku menekan dada bidang itu untuk bangkit saat mas Aris melepas pelukannya.

"Sholat dulu, Rena tunggu di kamar depan," ucapku pelan, kemudian berjalan melewati Indah yang melihatku dengan wajah kesal.

"Mas, semalaman tidur di sini sama dia?" tanya Indah kemudian.

"Apa salahnya? Rena istriku juga kan?" 

"Iya, tapi aku kan lagi sakit, mas nggak perhatian sama sekali," ucap Indah.

"Kan, sudah ada Ibu. Mas mau sholat dulu," balas mas Aris.

Selesai mengambil wudhu, aku langsung menuju ke kamar depan, kamar yang kami jadikan untuk tempat sholat. Tak berapa lama, mas Aris juga masuk ke dalam kamar.

"Sayang, nanti bareng mas aja ke tempat kerjanya," ucap mas Aris selepas solat, aku sedang melipat mukenaku.

"Rena berangkat sendiri aja," ucapku

"Siapa tau Bunda atau Ibu, butuh kendaraan. Jadi kamu bareng mas aja, biar motornya di rumah," ucap mas Aris lagi.

"Terserah mas Aris," jawabku. 

"Tunggu," tahannya saat aku akan beranjak.

"Ada apa?" tanyaku padanya.

"Temani mas sebentar, disini," pintanya sambil menggenggam tanganku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status