Mas Aris menaut jariku, seolah ingin menahanku, namun, teriakan Bunda terdengar semakin keras. Aku melepas pegangannya dan berjalan masuk ke kamar.
Terlihat sekali pikirannya sedang kacau saat ini. Itu hal yang pantas dia dapatkan bukan? mas Aris juga harus mendapatkan balasan atas penghianatan yang sudah dia lakukan. Larut mendekap malam, Bunda sudah lelap dalam tidurnya. Mataku sulit sekali terpejam, wanita lain dalam sebuah rumah tangga, sesuatu hal yang sama sekali tak bisa aku terima. Bagaimana bisa? Dan mengapa?Banyak pertanyaan berorasi liar dalam benakku ,menuntut sebuah jawaban. Malam semakin larut, tak jua mata mau menutup. Meski hanya sebentar, cukuplah menjadi penawar, untuk sejenak menghalau pergi kesakitan dan kegelisahan.Mataku memanas, ada lelehan hangat menyeruak, ini sakit, sakit sekali. Suatu hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, harus menerima kenyataan bahwa, hati telah terbagi, raganya pernah menyatu dengan perempuan lain.Aku juga bukannya seorang wanita yang lepas dari goda. Di kampus maupun tempat kerja, banyak yang menaruh hati. Namun, diri ini cukup menyadari sebagai seorang istri, aku akan selalu menjaga cinta suci ini.Menciptakan neraka untuk maduku, tentulah tak bisa menghapus luka, yang terlanjur menganga. Tak bisa mengobati perih yang terlanjur tercipta. Hanya setidaknya ada balasan kecil untuknya yang akan membuatnya jera, syukur-syukur mundur teratur.Lalu, bisakah biduk rumah tangga ini diselamatkan? Aku tak tau, biar waktu dan sikap Mas Aris yang menjawab.Pelan aku turun dari ranjang, sambil membawa selimut aku keluar kamar. Lelakiku itu sedang tertidur, kali ini di atas sofa. Pinggiran sofa dijadikan alas kepala, tangannya mendekap di dada. Kubentangkan selimut menutup tubuhnya, sejenak mengamati wajah pria yang selama tiga tahun ini selalu tidur bersamaku.Aku tersenyum masam, menyadari cintaku yang begitu besar untuknya. Hanya saja, rasa sakit ini terlalu dalam dia tancapkan. Ngilu dan nyeri menyayat hati, bagai sebuah sembilu, mengiris perih, menyobek luka. Akan ada balasan pastinya, tak akan aku biarkan tenang hidupnya. Sekarang masih giliran bocah sunda* itu, biarkan dia menikmati dunia barunya. Diangkat untuk dijatuhkan, dipuji untuk dihancurkan. Aku masih butuh pria ini untuk membuat bocah sunda* itu merasakan sebuah kesakitan. Terlihat mesra di hadapan bocah itu, pasti akan membuatnya kesal, nikmati surgamu dulu bersamaku, mas. Nerakamu pasti akan terjadi suatu hari nanti.•••Tepukan di pipi, membangunkanku, rasanya aku baru saja terlelap."Sholat dulu," ucap Bunda.Setengah sadar aku memicingkan mata, kemudian bangun dari tidurku. Turun dari ranjang melangkah gontai keluar kamar. Perasaan aku baru saja memejamkan mata, kenapa sudah pagi saja.Pintu kamar Ibu juga sudah terbuka, tapi tak terdengar suara. Mas Aris nampak masih terlelap. "Mas, bangun sudah pagi." Aku menunduk kemudian menepuk pelan pipi mas Aris.Mata itu mengerjap malas, kemudian menyipit melihat ke arahku."Dah pagi sayang?" tanyanya kemudian."Iya," jawabku singkat, Kemudian berdiri. Tiba-tiba menarik tanganku hingga aku menimpanya. Sepertinya dia lupa, kami tak hanya berdua, atau memang dia sengaja melakukannya."Mas rindu," ucapnya pelan.Aku berusaha bangun, tapi, mas Aris semakin memelukku erat."Apa-apaan ini, mas?" Terdengar suara Indah, yang entah dari kapan sudah berada di ruang tengah.Aku yang semula akan bangun, membiarkan tubuhku tetap berada di atas tubuh mas Aris."Mas, pasti lupa kalau lagi banyak orang yah?" ucapku manja. Tanganku menekan dada bidang itu untuk bangkit saat mas Aris melepas pelukannya."Sholat dulu, Rena tunggu di kamar depan," ucapku pelan, kemudian berjalan melewati Indah yang melihatku dengan wajah kesal."Mas, semalaman tidur di sini sama dia?" tanya Indah kemudian."Apa salahnya? Rena istriku juga kan?" "Iya, tapi aku kan lagi sakit, mas nggak perhatian sama sekali," ucap Indah."Kan, sudah ada Ibu. Mas mau sholat dulu," balas mas Aris.Selesai mengambil wudhu, aku langsung menuju ke kamar depan, kamar yang kami jadikan untuk tempat sholat. Tak berapa lama, mas Aris juga masuk ke dalam kamar."Sayang, nanti bareng mas aja ke tempat kerjanya," ucap mas Aris selepas solat, aku sedang melipat mukenaku."Rena berangkat sendiri aja," ucapku"Siapa tau Bunda atau Ibu, butuh kendaraan. Jadi kamu bareng mas aja, biar motornya di rumah," ucap mas Aris lagi."Terserah mas Aris," jawabku. "Tunggu," tahannya saat aku akan beranjak."Ada apa?" tanyaku padanya."Temani mas sebentar, disini," pintanya sambil menggenggam tanganku."Rena harus bantu Ibu, buat sarapan," ucapku kemudian."Sebentar saja," rengeknya.Mas Aris memang seperti bayi tua, dia suka bermanja padaku. Ah, semua terdengar begitu Indah, dulu. Indah … bocah bina* itu telah menghancurkan segalanya."Rena … Ren," panggil Bunda."Iya Bund," jawabku melepas genggaman tangan mas Aris dan beranjak.Bunda terlihat duduk di ruang tengah, sambil menyalakan tv di depannya."Bikinin Bunda teh hangat," ucap Bunda saat aku keluar, "Gula nya dikit aja ya," lanjutnya."Iya, Bund," jawabku, langsung bergegas ke dapur.Ibu baru keluar dari kamar mandi, Indah sepertinya ada di kanar. Ibu mengangkat dagunya sepertinya bertanya sedang apa, aku mengangkat gelas yang sudah aku isi dengan gula, Ibu mengangguk."Indah sayang," teriak Ibu, memanggil Indah."Iya, Bu," sahutnya, sesaat kemudian telah keluar dari kamarnya."Tau nggak sayang, Ibu tadi hampir kepleset di kamar mandi," cerita Ibu ke Indah yang sekarang berdiri di depannya."Tolong kamu sikat ya, biar nggak
Baru lihat ciuman bibir saja sudah begitu kesalnya, tapi kenapa nggak mikir bocah sunda* itu akan bagaimana perasaanku, yang di duakan karena kehadirannya."Mas, sepertinya aku menyerah. Aku tak sanggup berbagi. Lebih baik aku mundur," ucapku pelan.Mas Aris terdiam tak mengucap apapun, tangan kirinya berkacak pinggang, sedangkan tangan kanan menutup mulutnya.Kembali terdengar suara panci jatuh dari arah dapur."Suara apa?" tanya Mas Aris."Kucing mungkin," jawabku, "Mas ganti baju aja, biar Rena yang cek ke dapur," ucapku pada mas Aris.Aku bergegas keluar kamar, langsung menuju dapur. Nampak beberapa panci dan perabot lain tergelak di lantai dapur."Kamu, apa-apaan sih?" tanyaku kemudian. Indah bergeming, hanya menatap panci yang berserakan itu dengan melipat tangan di dada. "Kenapa? Cemburu? Sudah lihat sendiri kan, kalau mas Aris lebih memilih aku dibanding kamu," ucapku dengan suara pelan."Harusnya, kamu sadar diri, cepat pergi dari kehidupan kami. Perempuan kok murah banget,
"Ngapain kamu kesini, urus saja Istri mudamu, yang nggak tau diri itu," ucap Bunda ketus.Mas Aris tak menggubris ucapan Bunda, dia berjalan menghampiriku. "Maafkan mas," ucapnya kemudian."Mas, laki-laki lemah, pengecut, pecundang. Mas minta maaf.""Sudahlah, jangan dekati Rena lagi. Cukup sudah kamu menyakiti anakku. Urus saja bocah pelakor itu. Bunda mau bawa Rena pulang.""Bunda, Aris minta maaf ….""Keluar!" teriak Bunda sebelum mas Aris menyelesaikan kalimatnya. Bunda menarik mas Aris, mendorongnya keluar dan menutup pintu.Bunda memegang kepalanya, kemudian mengusap dadanya, sepertinya sedang mengendalikan emosinya yang mulai lepas kontrol.Aku mengusap air mataku, kulihat jam yang tertempel di dinding. Sekarang sudah jam setengah delapan lebih. Aku beranjak bersiap untuk ke kantor. Pagi yang berat, bukan hanya perihnya luka di badan. Tapi luka dihati, meski tak berdarah lebih sakit luar biasa."Pesan taksi online saja, jangan bawa kendaraan sendiri, apalagi berangkat sama Ari
"Sayang, itu demi keluarga kita juga.""Sejak kapan mas berubah, tak berperasaan seperti ini?""Rena, bukan begitu. Aku mencintaimu, aku melakukannya agar kehidupan kita terjamin.""Apa yang terjadi, sejak kapan harta lebih penting dari cinta, mas harta nggak bisa jamin kita hidup bahagia. Rena tau, mas punya ambisi besar untuk sukses, tapi apa harus dengan jalan seperti ini. Mas gadaikan harga diri hanya demi harta dan jabatan, murah sekali, mas."Aku tak habis pikir, ada apa dengan suamiku ini. Mas Aris memang selalu ingin menjadi yang terbaik. Tapi, apa harus dengan cara seperti ini. Sungguh tak masuk dalam akalku."Atau, mas memang benar-benar suka sama Indah?" tanyaku, Mas Aris tak menjawabku."Hooh, naif sekali diriku, aku pikir suamiku hanya mencintai diriku, nyatanya aku salah. Siapa yang bisa menolak daging segar, dari seorang daun muda. Tidak juga suamiku, yang aku pikir setia." Aku tersenyum masam."Dirimu tetap yang terbaik, Ren. Aku mencintaimu."Aku tertawa sumbang, mend
Mas Aris terdiam."Itu, mau ditaruh dimana barang sebanyak itu," ucap Ibu yang tiba-tiba muncul di pintu."Barang apa lagi, Bu?" tanya Mas Aris."Mesin cuci, karpet tebal, sama meja makan. Yang tempat tidur, meja makan, meja rias, sama lemari aja nggak tau mau ditaruh mana," ucap Ibu kemudianMas Aris, mengacak rambutnya kemudian keluar, aku masih bergeming. Ibu mendekat, menaikkan dagunya."Rena lelah, Bu," ucapku. Ibu mengusap lenganku."Sabar ya, kita beri pelajaran bocah tak tau diri itu. Ibu minta maaf atas kelakuan anak Ibu," ucap Ibu pelan, masih mengusap lenganku. Ibu beranjak setelah menepuk bahuku dua kali untuk menguatkan. Aku masih berdiam, kepalaku sakit. Melipat tangan di dada, berjalan mondar mandir. Sekalipun Mas Aris mau meninggalkan Indah, apa Indah akan diam saja. Sepertinya tidak mungkin, dia pasti akan tetap mengejar mas Aris, bisa jadi tambah penasaran.Aku mengacak rambutku sendiri, pikiranku kacau.Tak berapa lama, mas Aris masuk kembali. Baru akan beranjak ma
"Iya, besok Bunda kabari. Ga sabar lihat besok," ucap Bunda tersenyum."Kok ada ya Bund, perempuan seperti itu. Kayak nggak ada laki-laki lain saja yang masih lajang," ucapku."Yah, godaan buat yang punya wajah tampan seperti Aris. Tapi, tidak sedikit kok pria tampan yang setia pada pasangannya, saking aja Aris juga gatel, minta di sunat lagi kayaknya," ucap Bunda geram."Tangan tak akan bisa bertepuk tanpa di sambut satu tangan lainnya, kaya orang selingkuh, kalau Aris tak menyambut, tak mungkin terjadi juga perselingkuhan. Tak melulu salah dari pihak penggoda, yang tergoda juga bersalah. Istri juga harus introspeksi kenapa suami bisa sampai tergoda, kalau dirasa tidak ada yang kurang, dalam pelayanan dan lainnya, berarti emang lakinya yang kurang ajar, dan perlu di kasih pelajaran," ucap Bunda panjang lebar.Bunda benar, kalau saja mas Aris tidak terlalu berambisi dia tak akan sebutan ini. Andai saja, mas Aris kuat iman, dan tahan godaan aku pasti akan menjadi wanita paling beruntun
"Sarapan di luar aja," ucap Mas Aris, "Sekalian berangkat." Aku mengangguk pelan. Mas Aris menuju kamar depan untuk mengambil laptop dan tas kerjanya. Aku juga mengambil barangku di kamar. "Bund, Rena berangkat dulu. Bu, Rena berangkat " pamitku pada Bunda, kemudian Ibu. Indah masih belum keluar dari kamar mandi. Setelah mas Aris berpamitan, kami berjalan bersisian menuju mobil."Mau makan apa?" tanya Mas Aris."Udah nggak lapar" jawabku."Mas yang lapar.""Terserah mas aja," jawabku."Terserah aku kan?" tanyanya kemudian.Mas Aris tiba-tiba menepikan mobilnya, kemudian membuka layar ponselnya. Tanganya mengusap layar benda pipih itu. Senyum tipis terbit setelahnya.Tak berapa lama mas Aris kembali melajukan kembali mobilnya. Aku sedikit mengernyitkan kening, saat mobil dibelokkan memasuki sebuah hotel."Mau sarapan di sini?" tanyaku heran."Iya," jawab mas Aris.Aku menur
Aku hanya menatapnya dengan senyum masam, kemudian kembali ke ruang tengah, Ibu belum juga terlihat datang. Bunda masih asyik melihat tayangan infotainment di tv."Bund, itu barang-barang ampe kapan taruk di depan?" tanyaku. Bunda menoleh melihat ke teras depan, kemudian mengangkat bahunya.Aku melangkah ke depan, mengamati barang-barang yang baru dibeli Indah. Sebuah tempat tidur, melihat merek yang melekat di sana jelas itu harganya puluhan juta. Meja rias, lemari pakaian dan beberapa barang lain. Aku menggelengkan kepala pelan, apa dia tak mengukur luas kamarnya. Mana muatlah barang sebanyak ini di masukkan ke dalam kamar."Ngapain?" tanya Ibu, entah kapan dia datang. Suara dan tepukan di bahu cukup membuatku kaget."Nggak, Bu. Cuma bingung mau ditaruh dimana barang sebanyak ini. Kamar kita kan sempit," jawabku."Oh, tenang. Ibu sudah mengaturnya, tadi Ibu sudah nyari orang buat bantu beberes.""Maksud Ibu?""Nih, ya