"Diandra, gara-gara kamu Papa kehilangan pekerjaan tahu!" bentak Pak Haryadi Kusuma yang tak lain papanya Diandra."Kok gara-gara aku sih, harusnya Papa yang intropeksi diri, selama kerja 'kan Papa sering korupsi, kok malah nyalahin aku sih," balas Diandra tak ingin disalahkan.Untung ia punya senjata untuk melawan tuduhan."Kalau ketahuan korupsi mungkin hari ini Papa sudah ada di penjara, ini semua gara-gara kamu tahu ga, mau-maunya dihamili suami orang, tahu ga mertua Wira itu pemilik perusahaan tempat Papa kerja, puas kamu!""Papa ga mau tahu tiap bulan kamu harus bantuin kirim uang untuk biaya kuliah kedua adikmu!"Tut!Pak Haryadi mematikan telpon, karena ia faham berdebat dengan putri sulungnya itu hanya akan membuat masalah tambah runyam.Diandra mengerang menahan kesal, masalah rumah tangganya saja belum menemukan solusi, sudah ada masalah lagi."Kita pulang," ujar Wira, hendak melanjutkan pertengkaran di rumah._**_Tiba di rumah Wira membanting sepatu di hadapan Diandra."K
"Diandra!" teriak Wira dengan kencang."Kamu tuh ya aku mau makan piringnya malah dilempar, bisa ga sih ga usah kaya anak kecil?""Sebelum marahi aku, kasih tahu dulu mantan istrimu yang songong ini." Dengan berang Diandra menunjuk wajah Rara.Wira memijat kening dengan keras."Kenapa harus nyalahin orang? ingat, Rara itu bukan pembantu di sini, dan kalau mau kita bisa rujuk lagi dengan kata atau perbuatan, jadi kamu jangan macam-macam, kalau ga bisa rukun minimal kalian tak usah bertegur sapa," ungkap Wira panjang lebar."Ya tapi masa iya kamu dikasih jatah makan sementara aku enggak, dia emang suka cari gara-gara, mendingan kamu usir deh," celetuk Diandra tak tahan.Rara bangkit dan berdiri sambil menggebrak meja."Kalau Mas mau usir aku silakan, tapi antar aku ke rumah ayah, karena bagaimanapun juga aku masih tanggung jawabmu sepenuhnya, jadi jangan perlakukan aku seperti sampah."Wira terdiam bingung mengambil sikap, jika terus menerus kedua wanita itu disatukan, maka dirinya takk
Mereka sedang berkumpul di ruang keluarga karena menyambut pasangan pengantin baru yang hendak tinggal bersama."Iya loh, kamu lagi hamil?" tanya Winda dengan pandangan menyelidik.Wira tergagap belum punya jawaban, begitu pun dengan Diandra, ia nervous berhadapan dengan pandangan sinis keluarga mertuanya terutama Winda.Gadis yang belum menikah di usia cukup matang itu lebih senang dengan Rara ketimbang Diandra, sesama perempuan ia dapat merasakan hancurnya jadi Rara."Wira jawab!" tegas Papa Dirga dengan pandangan tegas."Iya, Pa." Wira menunduk menyembunyikan rasa malunya.Semua anggota keluarga tercengang, pernikahan mereka masih kurang dari dua minggu, sementara perut Diandra sudah agak membuncit."Berapa bulan?" tanya Papa Dirga menahan gemuruh di dadanya.Selama ini keluarga Wijaya terkenal baik-baik, tak ada satu pun yang memiliki riwayat hamil di luar nikah."Lima bulan, Ma," jawab Diandra dengan mimik tak enak.Papa dan mama memijat kening bersamaan, kecewa luar biasa terhad
Diandra diam deg-degan, sementara dokter masih fokus ke layar monitor, sebelah tangannya berputar di atas perut Diandra."Sepertinya jenis kelamin janinnya perempuan, Bu, selamat ya."Bagai gelegar petir yang menggema di telinga Diandra, tak terbayang setelah ini kehidupan ia dan putrinya akan seperti apa.Bagaimana pun juga Diandra ingin merebut hati mertuanya, tak ingin ada permusuhan diantara mereka "Perempuan?" gumam Mama Sandra, delikan mata tak suka memancar dari wajahnya."Iya, Bu, ini hanya prediksi alat, kita lihat aja setelah lahir nanti ya." Dokter setengah baya itu tersenyum hangat lalu menyuruh Diandra untuk bangun kembali.Ia memberikan resep obat-obatan yang harus ditebus di bagian farmasi."Loh Jeng Sandra, abis ngapain dari dokter kandungan rame-rame gini?" tanya seorang wanita menyapa, ia adalah teman arisannya Mama Sandra."Ini 'kan mantu barumu, kok perutnya." Perempuan itu menunjuk Diandra dengan tatapan keheranan."Mantu baru Jeng Sandra hamil? 'kan baru semingg
Ia sudah mencoba untuk diam dan bersabar, tapi hatinya tak bisa sekuat itu, jika yang dihadapannya ini bukan orang tua, sudah pasti ia menghajarnya habis-habisan."Mama pulang duluan, kasihan Winda mau berangkat kerja tar kesiangan."Diandra memandang mertuanya dengan jengkel, giliran di skak balik langsung kabur, gerutunya dalam hati."Ga apa-apa Mama pergi aja, biar kita berdua yang ngambil obat. Yuk, Mas." Diandra menggandeng tangan suaminya."Ya dah sana." Mama Sandra menyunggingkan sebelah bibir lalu pergi dengan perasaan muak.Rasa tak suka pada Diandra mulai menggelayuti hatinya, jika bisa ia ingin menukar Rara dengan wanita tak tahu malu itu.**Tiba di appartemen yang terletak di lantai delapan itu, Diandra kembali dibuat jengkel oleh ulah ibu mertuanya."Wira, mulai sekarang kamu ga boleh tidur seranjang sama Diandra," ujar Mama Sandra sedikit tegasMereka saling berpandangan, merasa jengah dengan keribetan wanita berusia menginjak kepala lima itu."Kenapa emangnya?" tanya W
"Kevin! Maksud loh apa hah?!" tanya Wira dengan nada membentak.Di sebrang sana mendadak senyap."Kevin, apa maksud omongan loh barusan?" tanya Wira lagi dengan geram Hatinya sudah panas tak karuan, tubuhnya bergetar menahan amarah, awas saja jika ada sesuatu diantara mereka, fikir Wira."Eh sory sory, ini siapa ya?" tanya Kevin gelagapan."Gue Wira, dan barusan lo ngomong soal Diandra dan bayinya, apa maksud semua itu hah?!" tanya Wira menahan murka."Oh Wira, sorry aku salah orang berarti.""Ga usah ngeles!" tegas Wira, ia memiliki firasat jika lelaki di sebrang sana sedang berbohong."Tadi tuh aku kira Sandra mantanku, padahal ini nomor Diandra, sorry ya kamu tenang aja istrimu ga ada hubungannya sama aku kok." Kevin meyakinkan.Tapi hati Wira masih tak percaya, ia dengar betul tadi Kevin menyebut nama Diandra bukan Sandra."Apa bayi yang ada di kandungan Diandra itu anak lo?" tanya Wira tanpa basa-basi, hatinya penasaran sekali."Kamu tuh apa-apaan sih, ya bukan lah, Wira. Tadi t
Rara memandang bola mata suaminya dengan dingin dan datar, luka hati masih ia rasakan.Rara duduk di sofa, diikuti oleh Wira yang kemudian duduk di hadapannya terhalang oleh meja kaca."Mau ngapain, Mas? kamu lapar mau makan? ke dapur aja di sana ada makanan kamu tinggal hangatkan."Wira mengusap wajah sedih melihat luka batin istrinya, jika bukan lelaki ingin saja ia menangis meratapi nasibnya ini."Bukan itu, Ra.""Lalu?" Rara memandang wajah murung suaminya, ia faham betul jika Wira sedang dalam masalah dan tidak baik-baik saja."Aku ... aku minta maaf."Lidah Wira mendadak kelu, rasanya tak pantas kata itu ia ucapkan, karena semuanya percuma takkan bisa mengobati hati Rara."Minta maaf atas apa?" tanya Rara tanpa menolehnya."Atas pengkhianatanku, juga atas perpisahan kita."Mata Rara mulai menghangat, bola mata bening itu kini mulai berkaca-kaca.Cinta, sayang dan benci bercampur jadi satu di hatinya, entah mengapa sangat sulit menghilangkan rasa yang sudah melekat lima tahun lam
Rara berbalik badan, mata pucat itu menatapnya sedikit tajam."Engga! Kamu berzina dengan perempuan itu hingga hamil, lalu sekarang seenaknya mau kembali padaku? enak betul kamu!" sentak Rara lalu ia menyeringai sinis.Wira menunduk dalam, hatinya dilanda rasa gelisah dan penyesalan."Tapi aku nyesel, Ra," jawab Wira masih menundukkan wajah.Malu sebenarnya mengatakan hal ini, tapi bagaimana lagi dari pada ia memendam rasa itu sendiri."Nyeselmu ga ada gunanya, sekarang lebih baik lepaskan aku, biarkan aku hidup bebas meraih kebahagiaan di luar sana, dan jangan pernah berfikir untuk kembali lagi."Sambil menahan air mata Rara melangkah menjauh, hatinya perih saat bibir tipis itu mengucap kata perpisahan, sedangkan dalam hatinya masih ada setitik cinta yang enggan musnah."Rara!" teriak Wira sambil menyusul.Kini mereka saling berhadapan."Aku minta maaf, aku harus gimana supaya kamu mau memaafkan," tutur Wira dengan raut penuh penyesalan.Rara menyeka air mata yang menetes ke pipi puc