Sementara Wira berdiri di hadapan pintu masuk rumah Pak Mustafa, sejak tadi ia berdiri di sana, menunggu tamu yang di dalam keluar, dengan harapan agar Rara kembali jadi miliknyaWira bersender di pintu, tubuhnya mendadak lemas mengetahui sang pujaan hati hendak jadi milik orang lain."Wira," ucap Pak Mustafa saat menyadari ada seseorang yang berdiri di hadapan pintu rumahnya.Sontak semua orang melirik ke arah yang sama, Rara terkejut matanya sempat menghangat, bukan masih cinta melainkan tak tega.Pak Mustafa melangkah keluar seorang diri sementara yang lain menunggu di dalam."Ayo masuk," ajak Pak Mustafa.Tapi Wira malah berdiam diri, enggan masuk lantaran kakinya terasa berat dibawa melangkah."Saya pulang aja, Yah." Wira tersenyum sungkan."Ya sudah hati-hati." Pak Mustafa menepuk bahu WiraSatu bulan semenjak kejadian itu akhirnya ada surat undangan yang datang ke rumah Wira, bertuliskan nama Rara dan Faruq, Wira menghirup napas dalam-dalam saat membacanya."Tuh mantan istrimu
Dua tahun kemudian.Diandra telah bebas dari masa hukumannya. Papa dan Mama beserta Tiara yang sudah tumbuh jadi balita ikut serta menjemput kepulangan wanita itu.Diandra dulu tentu berbeda dengan sekarang. Saat ini wanita itu bertubuh kurus dan berwajah kusam. Namun, hal itu bukan suatu masalah bagi dirinya.Prinsip wanita itu telah berubah, yang ada di pikirannya hanya rindu terhadap anak tercinta, ia ingin memeluk dan mencium bocah itu sepuasnya."Oma, takuut, toloong," rengek Tiara, saat Diandra berusaha mendekatinya."Kok takut, dia 'kan Mama kamu," ucap Mama Diandra.Anak berumur empat tahun itu merenung, ia tak terbiasa dengan hadirnya seorang Mama, yang ada dalam hidupnya selama ini hanya oma, opa dan papa."Ga apa-apa, Diandra, anakmu ga terbiasa dengan hadirnya kamu, nanti juga terbiasa pasti sayang kok sama kamu." Mama Diandra menenangkan."Ma, aku minta maaf ya udah buat Mama dan Papa malu selama ini," ucap Diandra dengan wajah sendunya.Mama Diandra mengangguk."Yang pen
"Rara Khairunnisa, aku ceraikan kamu, mulai detik ini kamu bukan istriku lagi," ujar Wira pada wanita yang sudah ia nikahi lima tahun lamanya.Rara yang tengah mengenakan lingerie merah muda mengkilat itu terhenyak dan terdiam, air mata menggenang di pelupuk mata lalu luruh tanpa diminta, menyapu make up sederhana yang ia poleskan di pipinya.Ditatapnya wajah sang suami lamat-lamat, tatapan itu merupakan sebuah pertanyaan dari lubuk hatinya yang sulit terucap.'Padahal malam ini aku bersemangat untuk melayanimu, Mas, memberikan servis terbaik setelah satu Minggu kamu tak pulang. Namun, nyatanya keputusanmu benar-benar mematahkan hatiku'Jerit hati Rara"Aku capek nunggu kamu yang ga hamil-hamil, orang tuaku tanya terus, di luar sana ada seseorang yang mampu memberiku keturunan.""Diandra 'kan?"Rara menyebut nama perempuan yang pernah singgah di hati Wira dan belakangan ini kembali dekat dengannya, seorang janda anak satu. Namun, sayangnya anak tersebut kini sudah kembali pada Sang Kh
Hampir satu Minggu Rara melalui Malam dan siang dalam kesepian, kala malam datang ia kedinginan begitupun dengan siang ia diselimuti kehampaan, seolah tak berujung dan tak bertepi.Kadang ia lupa sudah diceraikan sosok Wira, perempuan yang selalu mengenakan gamis dan hijab lebar tatkala keluar itu selalu menunggu kepulangannya di balkon atas.Berharap mobil BMW hitam itu masuk ke dalam carport-nya yang luas, lalu ia akan keluar untuk membuka pintu dan menyambut dengan senyuman juga makanan kesukaannya.'Oh angan, kau sungguh menyiksa. Kenapa move on itu sulit sekali?'Rara menggeleng cepat, ia harus terbiasa hidup tanpa naungannya, bisa mandiri cari uang sendiri, juga bisa tegar melihat yang dicinta bergandengan tangan dengan perempuan itu.[Ra, perusahaan mertuamu bangkrut. Sudah kuduga sebelumnya hal ini bakal terjadi, dan ternyata beneran PT Sinarwangi kalap ga bisa bayar hutang plus bunganya ke bank dalam jumlah besar]Pesan masuk ke ponsel Rara, ia sedikit terkejut lalu mengulang
"Jelasin sama aku, Wira?! Si udik ini ngada-ngada 'kan?" tanya Diandra masih syok.Bola matanya yang dihias soflen kebiruan itu membelalak sempurna, sementara Wira kelabakan bingung harus menjelaskan dari mana."Jawab!" teriaknya lagi, Diandra hampir stres menghadapi kenyataan ini."Iya, tapi aku akan berusaha bayar cicilan perbulannya, kamu jangan khawatir biar ini jadi urusanku."Diandra memegang keningnya dengan erat, muak sekali dengan kenyataan ini, rasanya ingin pergi dan mencari lelaki lain."Dengan cara apa hah?! Perusahaan kamu udah bangkrut, kamu udah miskin, aku udah ga tahan," seru Diandra sambil mendorong kopernya keras-keras.Sementara Rara berdiri dengan tenang menikmati ketegangan antara pengantin baru itu, melihat mereka yang saling bersitegang ia jadi enggan pergi dari rumah ini.Alasannya karena ingin memberi pelajaran pada si gundik, sekaligus melihat pertengkaran mereka yang sudah pastinya terjadi setiap hari.Rara faham perempuan matre seperti Diandra tak bisa hi
"Stop!" teriakkan Wira memekik membuat keriuhan itu senyap kembali, tetapi kini semua pasang mata memandangnya."Oh jadi ini lakinya yang dungu itu? ngelepas istri shalihah dan malah mungut lont* murahan?" teriak seorang ibu-ibu dari arah belakang."Iya bener, dia itu 'kan bos yang perusahaannya bangkrut.""Jangan-jangan perusahaannya bangkrut karena sial udah nikahi perempuan itu?""Dasar pelakor bawa sial! Lebih baik lu cerein lagi aja dia dan balik ke istri sah lo dijamin tar bakal kaya lagi.""Ya betul!"Semua hinaan itu tentu saja seperti menusuk-nusuk hati Diandra, jika Wira belum jatuh miskin ia sudah pasti menuntut mereka semua ke jalur hukum atas pencemaran nama baik dan tindakan tidak menyenangkan.Merasa jengah, Rara segera membayar ke kasir dan pergi dari kekacauan itu, ada kesal di hatinya karena makanan tadi tak habis semua, jadi mubazir 'kan?Ia kembali pulang ke rumahnya yang kini sudah seperti neraka, sisi hatinya ingin pergi saja dari sana. Namun, hukum agama mengata
Diandra memejamkan matanya, perkataan Wira itu benar, aku tak boleh egois, fikirnya."Kamu ga mau 'kan kehilangan anak lagi, sabar ya demi anak kita."Mereka berpelukan dalam tangisan, sementara di lantai atas Rara menyaksikan dengan hati berantakan.'Kamu udah berzina selama masih bersamaku, Mas, tega!' Ratap hati Rara.Ia segera berlari ke kamar meredam segala emosi dan tangisnya, tak berguna mengeluarkan air mata, Rara menghapus lelehan yang membuat pipinya basah itu dengan cepat.Tapi tak bisa, kelopak mata itu terus saja melelahkan cairan hingga ia sesenggukan.***Aroma ayam goreng dan kangkung belacan sukses membuat Indra penciuman Wira dan Diandra tergugah, kebetulan sekali mereka belum makan malam."Kayanya si Rara lagi masak tuh," celetuk Diandra, perutnya keroncongan karena tadi siang hanya makan mie instan."Kita samperin yuk," ajak Wira.Diandra diam gengsi sebenarnya, tapi bagaimana lagi di luar hujan tak memungkinkan beli makanan, ia pun terpaksa bangkit dan mengikuti
Wira gelisah tak bisa tidur hingga tengah malam, padahal esok hari ia harus berangkat pagi untuk menemui kawannya yang baru pulang dari luar negri, ngajakin bisnis bareng.Tapi, yang mengganggu fikirnya bukan itu, melainkan sikap dermawan Rara yang baru diketahuinya, bayangkan selama tiga tahun ia ikhlas menyedekahkan setengah nafkahnya.Bahkan, ia tak yakin Diandra mampu melakukan itu.Rasa bersalah menyeruak, harusnya kami tak bercerai, tapi bagaimana tuntutan keluarga, pun Diandra yang tak ingin dimadu.Janin dalam perut itu yang selama ini ditunggu-tunggu mama dan papa. Kedua orang tua itu memang kerap menuntut.Baik pada Wira atau pada Wanda--adik bungsunya-- terhadap Wira mereka menuntut cucu, sedangkan pada Wanda mereka menuntut segera menikah.Padahal gadis berusia di puluh sembilan tahun itu masih betah melajang dan sedang berada di puncak kesuksesan.Hingga pukul setengah empat barulah Wira terlelap, waktunya salat subuh dia malah terlelap sulit terbangun saking ngantuknya.