Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du
Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua
"Nama kamu bagus. Lintang Astuti. Saya panggil kamu, apa?" tanya wanita tua di depanku. Aku mengangkat dagu, menatapnya. Dia duduk tegak dengan kepala mendongak, baju kebaya berhias bordiran dan rambut berwarna hitam semburat putih disasak ke atas, terlihat jelas, dia seorang priyayi."Ditanya kok malah bengong!" Suara kerasnya mengalihkan perhatianku."As-Astuti saja, Bu." Aku langsung duduk dengan menegakkan badan, namun kepala kembali menunduk menatap lantai."Panggil saya, Den Ajeng. Kamu ini tidak bisa masak, tapi pintar bersih-bersih, benar?""Iya, Den Ajeng.""Saya juga tidak butuh tukang masak! Kerjaan kamu membersihkan rumah, jangan sampai ada debu. Kalau nyapu, dirapikan juga. Pembantu yang dulu, kerja tidak pakai otak. Dia nyapu, tapi meja, buffet dan lemari tidak dibersihkan! Kamu beneran bisa bersih-bersih?!" "Bisa.""Saya tidak suka pembantu jorok, bau, apalagi ganjen. Di rumah ini, ada anak saya laki-laki. Sekarang, bawa bawaanmu ke kamar yang di ujung. Satu jam lag
Den Ajeng langsung menoleh ke arahku dengan kedua alis bertaut."Darimana kau tahu?" Aku menatapnya, kemudian meletakkan buku katalog tebal di sebelah komputer. Otakku berputar mencari alasan yang masuk logika. Lucu, kalau baru satu hari penyamaranku sudah terbongkar."Sa-saya pernah dengar dari majikan sebelumnya, Den Ajeng. Dia mempunyai barang yang dijual ke luar negeri. Karena saya yang membersihkan kantor, jadi saya sering dengar gituan."Den Ajeng mengangguk-angguk, sambil berguman, "Aku pikir kamu tahu beneran. Ya tidak mungkinlah. Mosok orang seperti kamu ngerti multi-multian!""Yo, wes! Aku tinggal dulu. Ingat! Yang bersih dan rapi!" teriaknya dengan tangan menjulur ke atas rak folder. Kemudian dia memperhatikan jemarinya, terakhir tersenyum, mungkin itu tanda puas.Lega rasanya.Aku lolos.***Rumah ini lumayan besar. Kelihatan sekali mereka dulu orang berada. Bangunan dengan ornamen ukiran kayu dimana-mana. Bagus, namun aku tidak terlalu suka, karena pencahayaan yang kura
"Beneran, ini yang nganter sampeyan?" tanya Lek Ningsih memastikan. Tadi dia sempat heran, kenapa Den Langit menyuruhku yang mengantar minumannya. Katanya, dia paling anti dengan orang baru."Sini dulu, Tik," pintanya, menarikku lebih dekat. Dia mengendus-endus rambut dan bajuku. "Aman! Den Langit itu, paling tidak suka dengan orang jorok. Juga bau wangi parfum seperti minyak nyong-nyong. Sampeyan tidak bau, malah seger."Dia belum tahu, ini titik terendah keadaanku. Tanpa perawatan apapun, hanya roll on dengan aroma shea butter favoritku."Ini, Den Langit." Aku menyodorkan teh di sebelahnya, kemudian segera akan berlalu. "Heh, siapa yang menyuruhmu keluar? Kamu harus di sini! Siapa nama kamu?!" Teriaknya setelah menyesap teh."Saya Astuti."Dia meletakkan berkas di tangannya, dan berdiri mendekatiku. Bau wewangian kayu menguar lekat bersamaan jarak yang mulai terkikis. Aku mulai sesak napas, dia begitu dekat."Minggir kamu, Tik!" ucapnya dengan memegang kedua bahu ini dan mendoron
"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.Dengan langkah panjangnya, Den Langit mendekat dan dengan memiringkan kepala dia bertanya, "Selama ini, kamu masak pakai apa?" Tercium nada curiga di sana.Aku menunduk sambil memilin ujung baju kaos, mengikuti saran Laila. "Ini kamu lakukan pada posisi, saat seharusnya merasa gugup atau takut. Gunakan waktu jeda ini untuk berpikir. Mengerti?" ucapnya saat itu. "Jangan bersikap seperti sekarang. Posisikan menjadi orang yang tidak banyak tahu, orang dari tempat yang tidak ada teknologi. Tapi, aku kok ragu, kami bisa melakukan ini."Huuft, Laila meragukan aku. Belum tahu dia, aku jago berkilah."Di kampung tidak ada kompor gas, Den. Kami menggunakan kayu bakar dan kompor sumbu. Sa-saya takut dengan kompor gas, takut meledak." Aku mengangkat dagu, meliriknya sebentar dan kembali menunduk. Tidak ada reaksi darinya, dia hanya memandangku. Apa aktingku tidak menyakinkan, ya?"Ha-ha-ha ...!" Ta
Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola. Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara. Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pe
Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini."Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit."Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.*Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, wa