Beranda / Romansa / Niat Menyamar Malah Dilamar / Bab 6. Merasa Disayangi

Share

Bab 6. Merasa Disayangi

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-17 23:01:58

Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.

Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini.

"Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.

Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit.

"Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.

*

Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, walaupun suara masih terdengar serak. Hanya kepala masih terasa pusing. 

Aku beranjak ke kamar mandi yang terletak di belakang untuk membersihkan badan. Lebih segar setelah ritual ini.

"Sudah baikan?"

Aku menoleh ke arah suara itu. Den Langit berdiri di taman belakang dengan membawa secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas. Dia masih menggunakan kemeja rapi dan bersepatu, kelihatan kalau dia baru datang. Apalagi, terlihat tas kerja yang biasa dibawa tergeletak di atas meja taman. 

"Sudah, Den," ucapku cepat. 

Kenapa orang ini sudah di rumah? Bukankah biasanya dia pulang sore?

"Permisi, Den. Saya ke ...."

"Eh! Kamu duduk di sini dulu!" perintahnya seraya menunjuk kursi taman satunya.

Masak baru keluar kamar mandi langsung ditangkap. Walaupun keberatan aku mengangguk dan menuruti kemauannya.  Pembantu harus nurut majikan, asal masih di dalam batasan. 

Aku duduk di kursi besi berwarna putih.  Sambil memegang handuk lembab, aku menunggu apa yang akan diucapkan. 

Dia meraih tas dan menunjukkan brosur berwarna dominan merah. "Maksudmu ini, kan?" Dia menyerahkan kepadaku.

"Iya. Betul, Den Langit," jawabku setelah melihat brosur bertuliskan nama bank yang aku maksud.

"Saya sudah membuka rekening tabungan multi currency di sana. Terima kasih, ya. Saran kamu membantu. Tadi ibu juga ikut ke bank sebelum ke bandara," ucap Den Langit.

"Den Ajeng pergi?"

"Iya, Ibu ke Jogja."

"Kamu ini, lucu," ucap Den Langit tiba-tiba, setelah beberapa saat kami terdiam. Dia menatapku sambil tersenyum. Seketika, wajah di depanku ini terlihat lebih menawan. Sangar dan galak menghilang sudah. 

"Ok! Kamu istirahat dulu saja. Tenggorokanmu pasti sakit, tuh suaranya masih serak."  Dia berdiri dan kembali tersenyum kepadaku. Kali ini lebih lebar. 

Den Langit menghela napas, kemudian dia berkata, "Kenapa kamu tidak ngomong kalau tidak mau mengantar saya? Kamu tidak perlu sampai sakit seperti ini."

Aku menatapnya sejenak, memahami apa yang dimaksud. Apa ...?

"Saya tahu, semalaman kamu hilir mudik ke dapur dan minum air dari kulkas. Kamu sengaja sakit, kan?" ucapnya sambil meraih tas di meja, kemudian meninggalkanku yang semakin meremas handuk ini.

Mati, aku!

*

Hari ini, aku menghindar bertemu Den Langit. Rasa malu hari kemarin, masih lekat di ingatan. Sengaja aku membersihkan areal belakang dulu, sampai dia benar-benar pergi ke kerja. 

"Tik, Tutik!" Bulek Ningsih tergopoh-gopoh menghampiriku. "Kamu ini masih belum sembuh kok sudah kerja. Tak cari kemana-mana ternyata malah nyapu di belakang. Tuh, dicari Den Langit!" 

"Dia belum berangkat?"

"Sudah!" 

Bulek melihat ke sekeliling, dia mengerutkan keningnya dan berkata, "Wong ini sudah bersih, kok mbok bersihkan lagi. Kamu nyari kerjaan, ya. Sampai cabut rumput segala. Ayo, sarapan! Nanti kamu tidak sembuh-sembuh! " Dia mengambil sapu ditanganku dan menarikku untuk mengikutinya.

Memang sih, halaman belakang sudah bersih. Hanya aku mencari pekerjaan saja untuk menghindarinya. Aku melihat kuku tanganku yang sudah tak berbentuk, perawatan yang selama ini rutin aku jalani tidak berbekas.

"Tenggorokanmu, kan sakit. Ini makan bubur ayam. Ini spesial, lo," ucapnya dengan mengedipkan mata.

Aku menatapnya heran, tetapi langsung teralihkan dengan mangkok bubur ayam yang baunya menggoda. Suwiran ayam dengan kuah kuning yang menggenang, ditambah sate telor puyuh. Aku langsung melahapnya, tekstur yang lembut membuatku mudah menelannya. Ini memang bubur spesial, rasanya enak banget.

"Bulek pengertian, ya. Bubur ayamnya tidak pakai kacang goreng dan kerupuk. Tahu kalau tenggorokanku sakit. Terima kasih, ya," ujarku senang. 

Sarapan ini memulihkan tenagaku. Selain itu, aku merasa disayangi. Di tempat ini, ternyata aku mendapatkan perhatian lebih di saat sakit. Pak Salim dan Bulek Ningsih tidak menganggapku orang asing.

Setelah orangtuaku meninggal dunia, aku seperti orang yang kesepian. Beruntung masih ada pegawai kepercayaan dari toko kain. Merekalah yang melanjutkan kesetiaan untuk bersamaku. Ada Mbak Rahmi yang dahulu kasir di toko, aku jadikan asisten pribadiku. Pak Mamat yang sebelumnya memegang operasional toko, sekarang di posisi pengadaan barang.

Mbak Rahmi seorang janda ditinggal mati, dialah yang menemaniku di rumah. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Saat aku sakit, dia yang paling sibuk mengurus ini dan itu, termasuk menyediakan bubur seperti yang aku makan barusan.

"Bulek Ningsih ...." 

Aku menatapnya terharu setelan dia menyodorkan teh hangat. 

"Opo, Tik? Rasah nangis. Di sini, kita jadi saudara." Dia duduk di sebelahku dan menggenggam tangan ini.

"Terima kasih perhatiannya. Dibelikan bubur, dibuatkan teh hangat. Terima kasih." 

Aku menyandarkan kepala di bahu yang tebal. Hangat tubuhnya mengingatkan aku kepada almarhum ibu. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan Bulik Ningsih, gemuk dan hangat.

"Salah alamat kamu, Tik. Jangan bilang terima kasih ke Bulek. Memang yang belikan bubur siapa? Bukan Bulek!" ucapnya, membuatku kaget.

Aku langsung menarik kepalaku dan menghadapnya. "Memang siapa. Pak Salim, ya?"

Tidak menjawab, malah dia menyodorkan sesisir pisang hijau di depanku. Ini, aku anggap jawabannya, iya. Pak Salim yang membelikanku. 

"Katanya, kamu makan ini juga supaya cepat pulih." 

Benar juga, buah yang paling tepat untuk sakit radang tenggorokan, ya, pisang ini. Selain untuk menambah stamina tubuh, makannya tidak membuat tenggorokan sakit. Lumayan, sebagai teman minum obat.

Rencana tema cerita sepertinya harus diganti, bukan pembantu teraniaya. Namun, persahabatan antar pembantu yang saling membantu dan saling perhatian di perantauan. Tema ini belum tersentuh. Risetku ini, memunculkan banyak pilihan tema.

"Pak Salim, terima kasih sudah membelikan saya ini dan itu. Nanti saya akan ganti," ucapku menyambut Pak Salim yang masuk ke dapur.

Dia menatapku dan Bulek Ningsih bergantian dengan tatapan tidak mengerti. 

"Tik, ini bukan dari Pak Salim. Bubur ayam yang belikan Den Langit, termasuk yang kau makan sekarang. Itu pisangnya Den Langit!" 

Uhuk!

Aku yang makan pisang, kaget sampai tersedak. 

Jadi ini pisangnya ....

******

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 54.  Selamanya

    Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 53. Kehilangan

    Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 52.  Mahardika yang Keterlaluan

    Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 51. Aku Serahkan

    Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 50. Istri

    POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 49.  Papa dan Paman

    POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status