Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.
Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini.
"Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.
Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit.
"Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.
*
Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, walaupun suara masih terdengar serak. Hanya kepala masih terasa pusing.
Aku beranjak ke kamar mandi yang terletak di belakang untuk membersihkan badan. Lebih segar setelah ritual ini.
"Sudah baikan?"
Aku menoleh ke arah suara itu. Den Langit berdiri di taman belakang dengan membawa secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas. Dia masih menggunakan kemeja rapi dan bersepatu, kelihatan kalau dia baru datang. Apalagi, terlihat tas kerja yang biasa dibawa tergeletak di atas meja taman.
"Sudah, Den," ucapku cepat.
Kenapa orang ini sudah di rumah? Bukankah biasanya dia pulang sore?
"Permisi, Den. Saya ke ...."
"Eh! Kamu duduk di sini dulu!" perintahnya seraya menunjuk kursi taman satunya.
Masak baru keluar kamar mandi langsung ditangkap. Walaupun keberatan aku mengangguk dan menuruti kemauannya. Pembantu harus nurut majikan, asal masih di dalam batasan.
Aku duduk di kursi besi berwarna putih. Sambil memegang handuk lembab, aku menunggu apa yang akan diucapkan.
Dia meraih tas dan menunjukkan brosur berwarna dominan merah. "Maksudmu ini, kan?" Dia menyerahkan kepadaku.
"Iya. Betul, Den Langit," jawabku setelah melihat brosur bertuliskan nama bank yang aku maksud.
"Saya sudah membuka rekening tabungan multi currency di sana. Terima kasih, ya. Saran kamu membantu. Tadi ibu juga ikut ke bank sebelum ke bandara," ucap Den Langit.
"Den Ajeng pergi?"
"Iya, Ibu ke Jogja."
"Kamu ini, lucu," ucap Den Langit tiba-tiba, setelah beberapa saat kami terdiam. Dia menatapku sambil tersenyum. Seketika, wajah di depanku ini terlihat lebih menawan. Sangar dan galak menghilang sudah.
"Ok! Kamu istirahat dulu saja. Tenggorokanmu pasti sakit, tuh suaranya masih serak." Dia berdiri dan kembali tersenyum kepadaku. Kali ini lebih lebar.
Den Langit menghela napas, kemudian dia berkata, "Kenapa kamu tidak ngomong kalau tidak mau mengantar saya? Kamu tidak perlu sampai sakit seperti ini."
Aku menatapnya sejenak, memahami apa yang dimaksud. Apa ...?
"Saya tahu, semalaman kamu hilir mudik ke dapur dan minum air dari kulkas. Kamu sengaja sakit, kan?" ucapnya sambil meraih tas di meja, kemudian meninggalkanku yang semakin meremas handuk ini.
Mati, aku!
*
Hari ini, aku menghindar bertemu Den Langit. Rasa malu hari kemarin, masih lekat di ingatan. Sengaja aku membersihkan areal belakang dulu, sampai dia benar-benar pergi ke kerja.
"Tik, Tutik!" Bulek Ningsih tergopoh-gopoh menghampiriku. "Kamu ini masih belum sembuh kok sudah kerja. Tak cari kemana-mana ternyata malah nyapu di belakang. Tuh, dicari Den Langit!"
"Dia belum berangkat?"
"Sudah!"
Bulek melihat ke sekeliling, dia mengerutkan keningnya dan berkata, "Wong ini sudah bersih, kok mbok bersihkan lagi. Kamu nyari kerjaan, ya. Sampai cabut rumput segala. Ayo, sarapan! Nanti kamu tidak sembuh-sembuh! " Dia mengambil sapu ditanganku dan menarikku untuk mengikutinya.
Memang sih, halaman belakang sudah bersih. Hanya aku mencari pekerjaan saja untuk menghindarinya. Aku melihat kuku tanganku yang sudah tak berbentuk, perawatan yang selama ini rutin aku jalani tidak berbekas.
"Tenggorokanmu, kan sakit. Ini makan bubur ayam. Ini spesial, lo," ucapnya dengan mengedipkan mata.
Aku menatapnya heran, tetapi langsung teralihkan dengan mangkok bubur ayam yang baunya menggoda. Suwiran ayam dengan kuah kuning yang menggenang, ditambah sate telor puyuh. Aku langsung melahapnya, tekstur yang lembut membuatku mudah menelannya. Ini memang bubur spesial, rasanya enak banget.
"Bulek pengertian, ya. Bubur ayamnya tidak pakai kacang goreng dan kerupuk. Tahu kalau tenggorokanku sakit. Terima kasih, ya," ujarku senang.
Sarapan ini memulihkan tenagaku. Selain itu, aku merasa disayangi. Di tempat ini, ternyata aku mendapatkan perhatian lebih di saat sakit. Pak Salim dan Bulek Ningsih tidak menganggapku orang asing.
Setelah orangtuaku meninggal dunia, aku seperti orang yang kesepian. Beruntung masih ada pegawai kepercayaan dari toko kain. Merekalah yang melanjutkan kesetiaan untuk bersamaku. Ada Mbak Rahmi yang dahulu kasir di toko, aku jadikan asisten pribadiku. Pak Mamat yang sebelumnya memegang operasional toko, sekarang di posisi pengadaan barang.
Mbak Rahmi seorang janda ditinggal mati, dialah yang menemaniku di rumah. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Saat aku sakit, dia yang paling sibuk mengurus ini dan itu, termasuk menyediakan bubur seperti yang aku makan barusan.
"Bulek Ningsih ...."
Aku menatapnya terharu setelan dia menyodorkan teh hangat.
"Opo, Tik? Rasah nangis. Di sini, kita jadi saudara." Dia duduk di sebelahku dan menggenggam tangan ini.
"Terima kasih perhatiannya. Dibelikan bubur, dibuatkan teh hangat. Terima kasih."
Aku menyandarkan kepala di bahu yang tebal. Hangat tubuhnya mengingatkan aku kepada almarhum ibu. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan Bulik Ningsih, gemuk dan hangat.
"Salah alamat kamu, Tik. Jangan bilang terima kasih ke Bulek. Memang yang belikan bubur siapa? Bukan Bulek!" ucapnya, membuatku kaget.
Aku langsung menarik kepalaku dan menghadapnya. "Memang siapa. Pak Salim, ya?"
Tidak menjawab, malah dia menyodorkan sesisir pisang hijau di depanku. Ini, aku anggap jawabannya, iya. Pak Salim yang membelikanku.
"Katanya, kamu makan ini juga supaya cepat pulih."
Benar juga, buah yang paling tepat untuk sakit radang tenggorokan, ya, pisang ini. Selain untuk menambah stamina tubuh, makannya tidak membuat tenggorokan sakit. Lumayan, sebagai teman minum obat.
Rencana tema cerita sepertinya harus diganti, bukan pembantu teraniaya. Namun, persahabatan antar pembantu yang saling membantu dan saling perhatian di perantauan. Tema ini belum tersentuh. Risetku ini, memunculkan banyak pilihan tema.
"Pak Salim, terima kasih sudah membelikan saya ini dan itu. Nanti saya akan ganti," ucapku menyambut Pak Salim yang masuk ke dapur.
Dia menatapku dan Bulek Ningsih bergantian dengan tatapan tidak mengerti.
"Tik, ini bukan dari Pak Salim. Bubur ayam yang belikan Den Langit, termasuk yang kau makan sekarang. Itu pisangnya Den Langit!"
Uhuk!
Aku yang makan pisang, kaget sampai tersedak.
Jadi ini pisangnya ....
******
Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas. "Tik, pisange enak?" "Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka. “Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.” “Tur gede dan bikin kenyang!” Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita. Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali. Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah. "Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bul
Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. Semua rak, satu persatu aku rapikan. [Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku.[Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini."Bulek Ningsih, saya ke toko dulu.""Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan."Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. "Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu."Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. "Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim mem
"Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup. "Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. "Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko. Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan. Waktu selama ini belum belanja kan aneh. "Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan. "Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal. "Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang pen
Sudah satu minggu ini, aku membantu Den Langit di kantor. Itu pun setelah pekerjaan di rumah selesai. Jadi, pagi-pagi aku harus memulai bersih-bersih rumah.Malam harinya, mulai aku menulis cerita dari hasil riset. Tema bukan tentang pembantu teraniaya, tetapi tentang pembantu yang mampu membantu pekerjaan majikan. Tak disangka, cerita di bab pertama yang aku pos di media sosial mendulang ribuan like. Padahal, aku belum memberi judul cerita.Beberapa penulis senior mendorongku untuk menulis lagi dan diingatkan tidak lupa memberi judul. Semangat menulisku mulai menggebu, lelah karena bekerja sudah tidak kuhiraukan. Aku tetapkan cerita bersambung ini berjudul Pembantu Rasa Nyonya. Malam-malam berikutnya, aku begadang untuk menulis dan dipos di platform. Itu pun, atas saran penulis lainnya. Dengan nama pena, Astika Buana. Pernah, Mbak Rahmi bertanya, kenapa menggunakan nama pena dan tidak memakai nama sendiri. Bukankan ini kerugian, saat nama sebenarnya tidak dikenal di dunia nyata?
"Tutik, kamu sudah datang ternyata. Tolong bantu saya menyortir sampel ini," ucapnya yang baru masuk ruangan.Den langit menaruh keranjang penuh dengan sampel kain batik. Aku bergegas membantu nya. Syukurlah, dia tidak mendengar apa yang aku katakan. Buktinya dia tidak bertanya."Besuk ada tamu. Dia pembeli besar, jadi kita harus siapkan semuanya. Orang belakang juga saya suruh membersihkan areal dalam dan luar pabrik. Aku ingin image pabrik ini bersih, tertata, dan rapi. Pokoknya, zero mistake! Everything must be perfect. ""Ya, Den. Saya pastikan tidak ada yang salah, dan semuanya sempurna. Sample ini diberi nama sesuai daftar, kan?" tanyaku, kemudian mendongakkan wajah menunggu jawaban yang tak kunjung kudengar. Den Langit menatapku tajam dengan dahi berkerut."Saya salah, Den?""Tidak! Malah bener sekali. Ternyata kamu mengerti bahasa Inggris, ya? Kamu mengerti apa yang aku katakan? Kamu ini sering membuatku kaget."Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang dimaksud. Bahas
Aku sudah mulai bersiap meninggalkan keluarga ini. Terutama tugas yang berhubungan dengan Den Langit, semua aku tata rapi sesuai periode dan berurut sesuai abjad. Semua untuk memudahkan dia saat aku sudah tidak di sini."Seharusnya Den Langit mempunyai sekretaris yang membantu. Seperti di sinetron itu," celetukku kemarin. "Untuk apa, Tik. Mereka biasanya jual tampang saja. Diajak kerja malah sibuk dandan. Malah stres!" jawabnya, kemudian menatapku. "Kan ada kamu yang membantuku?""Saya kan cuma pembantu, Den. Bukan sekretaris yang ikut bos kemana-mana. Saya pun tidak bisa ke sini terus." Aku harus mulai menjaga jarak dengan Den Langit. Jangan sampai dia tergantung kepadaku terus."Ok ok. Kasihan kamu juga. Nanti usulanmu aku pertimbangkan!"Syukurlah, akhirnya dia mengerti. Pelan-pelan aku menarik langkah ini untuk menghilang sebagai Tutik dan kembali ke duniaku sebenarnya."Tik! Astuti!" teriak Bulek Ningsih tergopoh menghampiriku. Dia mengangkat ujung kain yang digunakan untuk lan
POV Langit BaskoroSemenjak meninggalnya Romo Baskoro dan Mas Bumi, duniaku menjadi terbalik.Keseharianku yang biasanya pergi ke kampus, nge-band, dan nongkrong di cafe, hilang sekejap. Tiba-tiba tanggung jawab besar tertumpuk di pundakku. Aku harus bertanggung jawab dengan keluarga dan perusahaan.Memang dalam keluarga ada dua putra, aku dan Mas Bumi. Namun, Romo lebih menyiapkan Mas Bumi sebagai putra pertama sebagai pemegang pabrik batik. Awalnya merasa tersisih, dan aku merasa Mas Bumi dianak emaskan. Mas Bumilah yang memberiku pengertian."Dek Langit, Romo tidak bermaksud seperti itu. Malah sebenarnya, Mas ingin seperti Dek Langit. Diberi kebebasan untuk kuliah apapun dan bisa ngumpul dengan teman. Lihat Mas, kuliah diharusnya mengambil managemen bisnis. Setelah itu langsung ke pabrik sampai sore. Teman pun, hanya orang pabrik atau relasi bisnis," keluhnya kala itu. Kami mempunyai kebiasaan menghabiskan malam dengan bernyanyi dan mengobrol di halaman belakang. Itu karena hanya
Waktuku harus meninggalkan tempat ini sudah dekat. Rasa kehilangan begitu melekat di hati. Keramahan Bulek Ningsih dan Pak Salim, mencandui. Mereka seperti keluarga baru bagiku.Tadi malam Laila menelponku. Dia memberikan alasan yang tepat untuk pergi dari sini. "Padahal prediksiku, kita tidak perlu mencari alasan seperti ini. Aku pikir, dirimu akan dipecat, eh, malah disayang," ucap Laila sambil terkekeh.Dia mengusulkan kalau sebenarnya aku sudah lama memasukkan pengajuan menjadi TKW, tetapi belum diberangkatkan karena kondisi global yang tidak menentu. Dia juga akan menghubungi Den Ajeng untuk menyampaikan hal ini. Jadi ini memudahkan aku."Apa sih rahasianya, kok awet di sana? Atau, jangan-jangan ada yang dirahasikan dariku, ya?" tuduh Laila."Tidak ada! Mereka suka karena aku karyawan langka, baik hati, dan tidak sombong. Mungkin, karyawan sebelumnya kurang mantra!"“Ssst…. Ada yang datang.Udahan, ya. Pokoknya thank you atas kerjasamanya.” Ucapku mulai memelankan suara.“Beres.