Share

Bab 6. Merasa Disayangi

Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.

Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini.

"Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.

Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit.

"Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.

*

Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, walaupun suara masih terdengar serak. Hanya kepala masih terasa pusing. 

Aku beranjak ke kamar mandi yang terletak di belakang untuk membersihkan badan. Lebih segar setelah ritual ini.

"Sudah baikan?"

Aku menoleh ke arah suara itu. Den Langit berdiri di taman belakang dengan membawa secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas. Dia masih menggunakan kemeja rapi dan bersepatu, kelihatan kalau dia baru datang. Apalagi, terlihat tas kerja yang biasa dibawa tergeletak di atas meja taman. 

"Sudah, Den," ucapku cepat. 

Kenapa orang ini sudah di rumah? Bukankah biasanya dia pulang sore?

"Permisi, Den. Saya ke ...."

"Eh! Kamu duduk di sini dulu!" perintahnya seraya menunjuk kursi taman satunya.

Masak baru keluar kamar mandi langsung ditangkap. Walaupun keberatan aku mengangguk dan menuruti kemauannya.  Pembantu harus nurut majikan, asal masih di dalam batasan. 

Aku duduk di kursi besi berwarna putih.  Sambil memegang handuk lembab, aku menunggu apa yang akan diucapkan. 

Dia meraih tas dan menunjukkan brosur berwarna dominan merah. "Maksudmu ini, kan?" Dia menyerahkan kepadaku.

"Iya. Betul, Den Langit," jawabku setelah melihat brosur bertuliskan nama bank yang aku maksud.

"Saya sudah membuka rekening tabungan multi currency di sana. Terima kasih, ya. Saran kamu membantu. Tadi ibu juga ikut ke bank sebelum ke bandara," ucap Den Langit.

"Den Ajeng pergi?"

"Iya, Ibu ke Jogja."

"Kamu ini, lucu," ucap Den Langit tiba-tiba, setelah beberapa saat kami terdiam. Dia menatapku sambil tersenyum. Seketika, wajah di depanku ini terlihat lebih menawan. Sangar dan galak menghilang sudah. 

"Ok! Kamu istirahat dulu saja. Tenggorokanmu pasti sakit, tuh suaranya masih serak."  Dia berdiri dan kembali tersenyum kepadaku. Kali ini lebih lebar. 

Den Langit menghela napas, kemudian dia berkata, "Kenapa kamu tidak ngomong kalau tidak mau mengantar saya? Kamu tidak perlu sampai sakit seperti ini."

Aku menatapnya sejenak, memahami apa yang dimaksud. Apa ...?

"Saya tahu, semalaman kamu hilir mudik ke dapur dan minum air dari kulkas. Kamu sengaja sakit, kan?" ucapnya sambil meraih tas di meja, kemudian meninggalkanku yang semakin meremas handuk ini.

Mati, aku!

*

Hari ini, aku menghindar bertemu Den Langit. Rasa malu hari kemarin, masih lekat di ingatan. Sengaja aku membersihkan areal belakang dulu, sampai dia benar-benar pergi ke kerja. 

"Tik, Tutik!" Bulek Ningsih tergopoh-gopoh menghampiriku. "Kamu ini masih belum sembuh kok sudah kerja. Tak cari kemana-mana ternyata malah nyapu di belakang. Tuh, dicari Den Langit!" 

"Dia belum berangkat?"

"Sudah!" 

Bulek melihat ke sekeliling, dia mengerutkan keningnya dan berkata, "Wong ini sudah bersih, kok mbok bersihkan lagi. Kamu nyari kerjaan, ya. Sampai cabut rumput segala. Ayo, sarapan! Nanti kamu tidak sembuh-sembuh! " Dia mengambil sapu ditanganku dan menarikku untuk mengikutinya.

Memang sih, halaman belakang sudah bersih. Hanya aku mencari pekerjaan saja untuk menghindarinya. Aku melihat kuku tanganku yang sudah tak berbentuk, perawatan yang selama ini rutin aku jalani tidak berbekas.

"Tenggorokanmu, kan sakit. Ini makan bubur ayam. Ini spesial, lo," ucapnya dengan mengedipkan mata.

Aku menatapnya heran, tetapi langsung teralihkan dengan mangkok bubur ayam yang baunya menggoda. Suwiran ayam dengan kuah kuning yang menggenang, ditambah sate telor puyuh. Aku langsung melahapnya, tekstur yang lembut membuatku mudah menelannya. Ini memang bubur spesial, rasanya enak banget.

"Bulek pengertian, ya. Bubur ayamnya tidak pakai kacang goreng dan kerupuk. Tahu kalau tenggorokanku sakit. Terima kasih, ya," ujarku senang. 

Sarapan ini memulihkan tenagaku. Selain itu, aku merasa disayangi. Di tempat ini, ternyata aku mendapatkan perhatian lebih di saat sakit. Pak Salim dan Bulek Ningsih tidak menganggapku orang asing.

Setelah orangtuaku meninggal dunia, aku seperti orang yang kesepian. Beruntung masih ada pegawai kepercayaan dari toko kain. Merekalah yang melanjutkan kesetiaan untuk bersamaku. Ada Mbak Rahmi yang dahulu kasir di toko, aku jadikan asisten pribadiku. Pak Mamat yang sebelumnya memegang operasional toko, sekarang di posisi pengadaan barang.

Mbak Rahmi seorang janda ditinggal mati, dialah yang menemaniku di rumah. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Saat aku sakit, dia yang paling sibuk mengurus ini dan itu, termasuk menyediakan bubur seperti yang aku makan barusan.

"Bulek Ningsih ...." 

Aku menatapnya terharu setelan dia menyodorkan teh hangat. 

"Opo, Tik? Rasah nangis. Di sini, kita jadi saudara." Dia duduk di sebelahku dan menggenggam tangan ini.

"Terima kasih perhatiannya. Dibelikan bubur, dibuatkan teh hangat. Terima kasih." 

Aku menyandarkan kepala di bahu yang tebal. Hangat tubuhnya mengingatkan aku kepada almarhum ibu. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan Bulik Ningsih, gemuk dan hangat.

"Salah alamat kamu, Tik. Jangan bilang terima kasih ke Bulek. Memang yang belikan bubur siapa? Bukan Bulek!" ucapnya, membuatku kaget.

Aku langsung menarik kepalaku dan menghadapnya. "Memang siapa. Pak Salim, ya?"

Tidak menjawab, malah dia menyodorkan sesisir pisang hijau di depanku. Ini, aku anggap jawabannya, iya. Pak Salim yang membelikanku. 

"Katanya, kamu makan ini juga supaya cepat pulih." 

Benar juga, buah yang paling tepat untuk sakit radang tenggorokan, ya, pisang ini. Selain untuk menambah stamina tubuh, makannya tidak membuat tenggorokan sakit. Lumayan, sebagai teman minum obat.

Rencana tema cerita sepertinya harus diganti, bukan pembantu teraniaya. Namun, persahabatan antar pembantu yang saling membantu dan saling perhatian di perantauan. Tema ini belum tersentuh. Risetku ini, memunculkan banyak pilihan tema.

"Pak Salim, terima kasih sudah membelikan saya ini dan itu. Nanti saya akan ganti," ucapku menyambut Pak Salim yang masuk ke dapur.

Dia menatapku dan Bulek Ningsih bergantian dengan tatapan tidak mengerti. 

"Tik, ini bukan dari Pak Salim. Bubur ayam yang belikan Den Langit, termasuk yang kau makan sekarang. Itu pisangnya Den Langit!" 

Uhuk!

Aku yang makan pisang, kaget sampai tersedak. 

Jadi ini pisangnya ....

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status