Share

Bab 5. Berbincang

Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.

Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.

Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola. 

Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.

Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara. 

Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pembeli di dalam dan di luar negeri, jangkauan yang tidak terbatas. Aku juga mengikuti pameran yang disponsori oleh departemen perdagangan.

Sampai sekarang, usaha ini berkembang pesat. Aku membangun sistem kerja, sehingga perusahaan tetap jalan, walaupun aku tidak berada di kantor sepanjang waktu. 

Hal-hal kunci saja yang tetap di tanganku, seperti design dasar dan tema di setiap musim, juga pengeluaran anggaran dana di setiap musim produksi. 

Designku ini yang menjadi identitas disetiap produk yang berlabel, Lintang Soul.

"Astuti ... Astuti .... Buka pintu, ini Bulek Ningsih." Namaku dipanggil sambil ketukan di pintu kamar. Segera aku membukanya.

"Tik, ke depan, yuk. Pak Salim beli martabak," ucap Bulek Ningsih sambil menarikku untuk mengikutinya.

Pak Salim memang tinggal di rumah ini juga, tetapi di bangunan terpisah. Di depan dekat pintu gerbang, ada bangunan kecil sebagai tempat tidur Pak Salim. Sekalian jaga dan membukakan pintu gerbang saat ada yang datang.

"Kok sepi, Bulek?" tanyaku setelah melihat ke sekeliling. Di garasi tinggal satu mobil tua yang parkir, mobil Den Langit tidak ada.

"Den Ajeng dan Den Langit pergi kondangan. Temenin saya di sini, ya," sahut Pak Salim. 

Kami berbincang, sekalian aku menggali informasi tentang mereka berdua. Mereka sudah lama kerja di sini, malah semenjak Den Langit sejak bocah. 

Mereka juga bertanya tentangku. Aku ceritakan saja bahwa aku sebatang kara, pastinya tanpa menyebut pekerjaanku sebenarnya.

"Sabar, ya. Anggap saja kami ini saudaramu. Jangan merasa sendiri," ucap Bulek Ningsing sambil menepuk bahuku. 

Sebenarnya, aku tidak suka menceritakan hal ini. Teringat kejadian tragis itu, membuat hatiku terasa perih kembali.

Aku hanya mengangguk, kemudian melanjutkan menikmati martabak telor ini. Mengusir sedih di hati.

Makan apapun kalau bersama-sama, rasanya lain. Aku merindukan kebersamaan ini. Sudah lama, aku tidak makan sambil berbincang santai seperti ini.

Keseharianku selama ini diisi dengan bagaimana cara supaya berkembang atau sekadar bertahan, minimal bisa menggaji karyawan. Perbincanganku hanya seputar pekerjaan dan teman berbicara pun para manager. 

Setelah mulai menulis, aku seperti mendapatkan dunia baru, teman, sahabat, bahkan penggemar. Walaupun ini sekadar di dunia maya. Aku bisa saling menyapa tanpa ada jarak. 

Pernah aku mempunyai penggemar yang ternyata penjahitku sendiri. Awalnya, aku tidak mengenalnya karena dia bagian produksi. Dari dialah, aku bisa berbincang biasa seperti sekarang. Bertanya tentang apa yang diharapkan atau apa yang dikeluhkan, tanpa ada canggung. 

Ya iyalah, dia hanya tahu  sebatas nama pena.

Selama mendengar obrolan mereka, aku melirik mobil antik yang kelihatan tetap mengkilap. Mobil Jaguar klasik Land Rover berwarna tosca. 

Aku penasaran.

"Pak Salim, itu mobil siapa? Bagus."

Bulek Ningsih dan Pak Salim langsung terdiam, saling pandang dan menatapku bersamaan. Aku mengernyitkan dahi, ada apa ini?

Bulek Ningsih mengusap kedua lengan dan menoleh ke kanan kiri. "Astuti ... jangan tanya hal gituan. Aku merinding," celetuknya.

Aku semakin tidak mengerti, menoleh ke arah mobil itu. Warna tosca dengan lampu bulat berbingkai warna silver, terlihat cantik. Apalagi jaguar loncat menambah mobil ini terlihat berkelas. Aku suka.

"Itu mobil Den Besar, suaminya Den Ajeng. Mobil inilah yang dipakai saat kecelakaan itu," ucap Pak Salim dengan suara pelan. "Sejak itu, mobil tidak pernah dipakai, yah, paling saya yang panasin putar komplek saja."

"Awalnya, pintu depan penyok. Setelah dimasukkan bengkel, jadi bagus lagi," tambah Bulek Ningsih.

"Kadang-kadang, Den Langit duduk di dalam mobil itu. Lama banget." Tatapan Pak Salim menerawang, tergambar kesedihan. "Anak itu,  kasihan. Sejak ditinggal keduanya, hampir tidak pernah istirahat. Setiap hari, kerja dan kerja terus. Penampilan sampai tidak terurus seperti itu."

"Iya, Tik. Walaupun penampilannya sangar, Den Langit itu hatinya lembut. Kalau marah atau ngomel, kami ini maklum. Mungkin dia capek kerja. La wong kata orang, pabrik batik dulunya hampir bangkrut." 

"Tapi sekarang maju, Yu," sahut Pak Salim memotong ucapan Bulek Ningsih. "Sekarang itu, malah yang datang wong Londo. Embuh bicara apa. Cas cia cus, gitu."

"Den Langit, bisa?"

"Wah, malah lancar. Mereka pesan banyak, malah pabrik sekarang kewalahan."

"Memang Kang Salim tahu, mereka omong apa?"

"Ya tidak tahu. Kira-kira aja!" jawab Pak Salim sambil tertawa, disambut gelak tawa Bulek Ningsih.

Aku tersenyum mendengar percakapan mereka. Ada rasa pengertian dan sayang saat Den Langit kelihatan lelah, dan ada harapan ketika yang diusahakan mulai berkembang. Rasa sayang terpancar dari ucapan mereka 

"Astuti, kita tidur, yuk. Katanya besuk akan pergi dengan Den Langit?"

"Eh, iya, Bulek. Aku hampir lupa."

Duh iya, aku lupa belum tahu caranya meloloskan diri. Ini tidak bisa dibatalkan, kecuali kalau aku benar-benar tidak bisa, mungkin karena sakit. 

Yah, betul!

Karena sakit.

***

"Tik ... Astuti ...." Suara Bulek Ningsih, kemudian terdengar pintu dibuka pelan. 

"Kamu sakit, Tik? Badanmu kok panas?!" 

Tangannya meraba keningku, aku membuka mata dan mencoba menjawab pertanyaannya. Namun, aku tidak mampu. Tenggorokanku serak dan sakit. Penyakitku kumat.

Yes!

Usahaku berhasil!

Bulik Ningsih menyelimutiku sampai leher, dan memastikan kakiku juga terselimuti. Aku menatapnya nanar sambil menunjuk leher ini.

"Kamu istirahat saja, Bulek yang nyapu. Dibuatkan teh anget, ya. Nanti tak ngomong ke Den Langit, kamu sakit," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.

Aku tersenyum lemas teringat usahaku tadi malam. Radang tenggorokanku pasti kambuh saat minum air dingin, apalagi air es dalam jumlah banyak. Itu yang aku lakukan semalaman. Ditambah, kipas angin yang terpusat kepadaku dengan kecepatan maksimal. 

Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak.

Ini demi riset untuk tulisanku berikutnya.

Duh!

Sampai berkorban seperti ini.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status