Share

Bab 5. Berbincang

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-11-17 22:59:03

Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.

Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.

Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola. 

Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.

Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara. 

Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pembeli di dalam dan di luar negeri, jangkauan yang tidak terbatas. Aku juga mengikuti pameran yang disponsori oleh departemen perdagangan.

Sampai sekarang, usaha ini berkembang pesat. Aku membangun sistem kerja, sehingga perusahaan tetap jalan, walaupun aku tidak berada di kantor sepanjang waktu. 

Hal-hal kunci saja yang tetap di tanganku, seperti design dasar dan tema di setiap musim, juga pengeluaran anggaran dana di setiap musim produksi. 

Designku ini yang menjadi identitas disetiap produk yang berlabel, Lintang Soul.

"Astuti ... Astuti .... Buka pintu, ini Bulek Ningsih." Namaku dipanggil sambil ketukan di pintu kamar. Segera aku membukanya.

"Tik, ke depan, yuk. Pak Salim beli martabak," ucap Bulek Ningsih sambil menarikku untuk mengikutinya.

Pak Salim memang tinggal di rumah ini juga, tetapi di bangunan terpisah. Di depan dekat pintu gerbang, ada bangunan kecil sebagai tempat tidur Pak Salim. Sekalian jaga dan membukakan pintu gerbang saat ada yang datang.

"Kok sepi, Bulek?" tanyaku setelah melihat ke sekeliling. Di garasi tinggal satu mobil tua yang parkir, mobil Den Langit tidak ada.

"Den Ajeng dan Den Langit pergi kondangan. Temenin saya di sini, ya," sahut Pak Salim. 

Kami berbincang, sekalian aku menggali informasi tentang mereka berdua. Mereka sudah lama kerja di sini, malah semenjak Den Langit sejak bocah. 

Mereka juga bertanya tentangku. Aku ceritakan saja bahwa aku sebatang kara, pastinya tanpa menyebut pekerjaanku sebenarnya.

"Sabar, ya. Anggap saja kami ini saudaramu. Jangan merasa sendiri," ucap Bulek Ningsing sambil menepuk bahuku. 

Sebenarnya, aku tidak suka menceritakan hal ini. Teringat kejadian tragis itu, membuat hatiku terasa perih kembali.

Aku hanya mengangguk, kemudian melanjutkan menikmati martabak telor ini. Mengusir sedih di hati.

Makan apapun kalau bersama-sama, rasanya lain. Aku merindukan kebersamaan ini. Sudah lama, aku tidak makan sambil berbincang santai seperti ini.

Keseharianku selama ini diisi dengan bagaimana cara supaya berkembang atau sekadar bertahan, minimal bisa menggaji karyawan. Perbincanganku hanya seputar pekerjaan dan teman berbicara pun para manager. 

Setelah mulai menulis, aku seperti mendapatkan dunia baru, teman, sahabat, bahkan penggemar. Walaupun ini sekadar di dunia maya. Aku bisa saling menyapa tanpa ada jarak. 

Pernah aku mempunyai penggemar yang ternyata penjahitku sendiri. Awalnya, aku tidak mengenalnya karena dia bagian produksi. Dari dialah, aku bisa berbincang biasa seperti sekarang. Bertanya tentang apa yang diharapkan atau apa yang dikeluhkan, tanpa ada canggung. 

Ya iyalah, dia hanya tahu  sebatas nama pena.

Selama mendengar obrolan mereka, aku melirik mobil antik yang kelihatan tetap mengkilap. Mobil Jaguar klasik Land Rover berwarna tosca. 

Aku penasaran.

"Pak Salim, itu mobil siapa? Bagus."

Bulek Ningsih dan Pak Salim langsung terdiam, saling pandang dan menatapku bersamaan. Aku mengernyitkan dahi, ada apa ini?

Bulek Ningsih mengusap kedua lengan dan menoleh ke kanan kiri. "Astuti ... jangan tanya hal gituan. Aku merinding," celetuknya.

Aku semakin tidak mengerti, menoleh ke arah mobil itu. Warna tosca dengan lampu bulat berbingkai warna silver, terlihat cantik. Apalagi jaguar loncat menambah mobil ini terlihat berkelas. Aku suka.

"Itu mobil Den Besar, suaminya Den Ajeng. Mobil inilah yang dipakai saat kecelakaan itu," ucap Pak Salim dengan suara pelan. "Sejak itu, mobil tidak pernah dipakai, yah, paling saya yang panasin putar komplek saja."

"Awalnya, pintu depan penyok. Setelah dimasukkan bengkel, jadi bagus lagi," tambah Bulek Ningsih.

"Kadang-kadang, Den Langit duduk di dalam mobil itu. Lama banget." Tatapan Pak Salim menerawang, tergambar kesedihan. "Anak itu,  kasihan. Sejak ditinggal keduanya, hampir tidak pernah istirahat. Setiap hari, kerja dan kerja terus. Penampilan sampai tidak terurus seperti itu."

"Iya, Tik. Walaupun penampilannya sangar, Den Langit itu hatinya lembut. Kalau marah atau ngomel, kami ini maklum. Mungkin dia capek kerja. La wong kata orang, pabrik batik dulunya hampir bangkrut." 

"Tapi sekarang maju, Yu," sahut Pak Salim memotong ucapan Bulek Ningsih. "Sekarang itu, malah yang datang wong Londo. Embuh bicara apa. Cas cia cus, gitu."

"Den Langit, bisa?"

"Wah, malah lancar. Mereka pesan banyak, malah pabrik sekarang kewalahan."

"Memang Kang Salim tahu, mereka omong apa?"

"Ya tidak tahu. Kira-kira aja!" jawab Pak Salim sambil tertawa, disambut gelak tawa Bulek Ningsih.

Aku tersenyum mendengar percakapan mereka. Ada rasa pengertian dan sayang saat Den Langit kelihatan lelah, dan ada harapan ketika yang diusahakan mulai berkembang. Rasa sayang terpancar dari ucapan mereka 

"Astuti, kita tidur, yuk. Katanya besuk akan pergi dengan Den Langit?"

"Eh, iya, Bulek. Aku hampir lupa."

Duh iya, aku lupa belum tahu caranya meloloskan diri. Ini tidak bisa dibatalkan, kecuali kalau aku benar-benar tidak bisa, mungkin karena sakit. 

Yah, betul!

Karena sakit.

***

"Tik ... Astuti ...." Suara Bulek Ningsih, kemudian terdengar pintu dibuka pelan. 

"Kamu sakit, Tik? Badanmu kok panas?!" 

Tangannya meraba keningku, aku membuka mata dan mencoba menjawab pertanyaannya. Namun, aku tidak mampu. Tenggorokanku serak dan sakit. Penyakitku kumat.

Yes!

Usahaku berhasil!

Bulik Ningsih menyelimutiku sampai leher, dan memastikan kakiku juga terselimuti. Aku menatapnya nanar sambil menunjuk leher ini.

"Kamu istirahat saja, Bulek yang nyapu. Dibuatkan teh anget, ya. Nanti tak ngomong ke Den Langit, kamu sakit," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.

Aku tersenyum lemas teringat usahaku tadi malam. Radang tenggorokanku pasti kambuh saat minum air dingin, apalagi air es dalam jumlah banyak. Itu yang aku lakukan semalaman. Ditambah, kipas angin yang terpusat kepadaku dengan kecepatan maksimal. 

Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak.

Ini demi riset untuk tulisanku berikutnya.

Duh!

Sampai berkorban seperti ini.

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 54.  Selamanya

    Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 53. Kehilangan

    Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 52.  Mahardika yang Keterlaluan

    Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 51. Aku Serahkan

    Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 50. Istri

    POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 49.  Papa dan Paman

    POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status