Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas.
"Tik, pisange enak?"
"Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka.
“Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.”
“Tur gede dan bikin kenyang!”
Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya.
Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita.
Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali.
Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah.
"Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bulek Ningsih ke Pak Salim.
"Tidak, Yu Ningsih. Pakai motor seperti kebiasaan dulu."
Aku melirik ke garasi. Iya, motor sport yang biasanya nongkrong di sana sudah tidak ada.
“Tumben? Tidak seperti biasanya? Apa Den Langit punya gebetan baru?” Bulek Ningsih menatap Pak Salim menuntut jawaban.
Pak Salim hanya menggeleng, kemudian meneguk air putih sebelum menjawab pertanyaan. “Embuh, Yu. Anak muda sekarang beda sama kita dulu. Deketan kalau ketemu. La mereka sekarang pake internet saja bisa pacaran, je.”
"Den Langit tidak mungkin sempat internetan gituan. Pasti ada yang diincer, tapi siapa? Wong berangkat pagi, pulang juga sore. Ketemune kapan? Pak Salim selalu sama Den Langit, kan?"
Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Mobil, motor, kebiasaan, incer, kata-kata yang tidak bisa digabungkan menjadi kalimat utuh.
Setelah aku tanya, Pak Salim menceritakan, kebiasaan Den Langit dulu saat masih kuliah. Dia akan menggunakan motor kalau ada perempuan yang dia dekati. Kata Pak Salim, dia beralasan untuk mempermudah operasional.
“Biasalah, Tik. Anak muda kalau deketan sama cewek senengnya nempel. Kalau naik mobil, ya tidak ada seninya.” Pak Salim tertawa sambil menerima kopi hitam yang disodorkan Bulek Ningsih.
Huuft, dasar playboy gondes--gondrong deso--deketin perempuan supaya bisa berboncengan bareng dengan tanpa jarak, kan? Aku kesal, membayangkannya. Den Langit dipeluk erat seorang perempuan yang digonjeng. Mereka meliuk-liuk mengikuti jalanan yang berkelok. Apalagi kalau diterpa hujan, pelukan semakin rapat karena dingin dan berbagi kehangatan.
Eh! Kenapa aku kesal? Apa urusannya dia yang playboy atau bertingkah gimana?
Baru saja aku selesai cuci piring bekas makan pagi kami, celetukan Pak Salim membuatku tersentak.
"Yen tak pikir-pikir, Yu. Den Langit itu koyokke suka sama Tutik, ya," celetuk Pak Salim.
"Bener. Perkiraanku juga begitu. Ternyata kita kok sepemikiran. Selama ini Den Langit selalu marah dan memecat orang yang memegang tugasmu, Tik. Wes, kita sampai bingung cari orang. Ini salah, itu tidak bener. Tapi, sama kamu kok lain, ya? Apa-apa kook cocok," timpal Bulik Ningsih
“Ah, kalian ini ngawur. Mana ada bos suka sama tukang bersih-bersih? Levelnya jauhlah,” celetukku kemudian beranjak dari kursi. Mengambil air dingin di kulkas, sekalian menyembunyikan wajahku yang menghangat karena ucapan mereka.
Tidak dipungkiri, sosok Den Langit walaupun terlihat galak tapi bikin hati bergejolak.
Bukannya berhenti, mereka justru meneruskan pembahasan sesuai yang mereka pikirkan.
"Anehnya lagi. Pas kamu sakit, dia kelihatan bingung banget. Belikan bubur, pisang, dan sempat menyuruh beli obat. Ya, saya bilang, kamu sudah beli obat sendiri. Sikapnya ini mencurigakan, kan, Yu?"
"Koyokke ada tanda-tanda, Kang. Tutik ki, tidak peka blas!" ujar Bulek sambil menepuk bahuku.
"Dia begitu karena kerjaan saya bener, Bulek, Pak Salim. Jangan suka prasangka, deh. Nanti aku GR! Nih, kepalaku sudah bengkak," protesku sambil tertawa. "Den Langit suka dengan hasil kerja saya. Makanya dia baik, susah lo, cari orang seperti ini di zaman sekarang."
Aku menepuk dada menyombongkan diri, walaupun sebenarnya menekan degub jantung yang mulai tak biasa.
Teringat senyumnya itu, lo. Apalagi jambang yang menghias pipinya, bikin tangan ini gatal untuk menyentuhnya.
"Huuft!" Aku menghela nafas sebelum kembali berkata dalam hati, "Nyebut Lintang .... Nyebut!"
*****
Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua
Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du
Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer
Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup
POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da
POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak