Share

2

"Mas bangun Mas, kenapa tinggalin aku! Jangan tinggalin aku dan Qila, Maas! Maaas!" Kupeluk erat tubuhnya sambil tak henti berseru menyuruhnya bangun. Air mata di pipi kuseka cepat, tapi kembali mengalir deras, menetes membasahi wajah suami tercinta.

 

Aku tercekat memandang wajahnya. Jantungku berdetak kencang membayangkan hari yang harus tetap dilalui setelah ini. Membesarkan Qila sendirian, mana aku bisa? Selama ini, seringnya Mas Rofi yang terbangun tengah malam menjaga anak semata wayang. Ia hanya akan membangunkan istrinya ini saat Qila menangis minta ASI. Kugigit bibir kuat dan tersengal, seolah batu sangat besar ditindihkan di dadaku. Amat sakit dan sesak rasanya sampai aku kesulitan bernapas.

 

"Mas, mas. Lihat aku, Mas. Jawab ucapanku!" Kuguncang-guncang tubuh lelakiku yang tak juga bergeming. Kenapa tega tinggalin aku, Mas? Mana janji yang selalu mengatakan akan setia dan mendampingiku sampai tua?

 

Masih terpahat segar dalam ingatan, beberapa tahun lalu saat aku merebah di dadanya dan berkata dengan manja seperti biasa. Tanganku bergerak naik turun di dadanya yang tak berbusana. "Kalau aku gak hamil jugaa, kalau aku gak bisa lahirin anak buat mas, bakalan tinggalin aku nggak? Atau bakal poligami?" Aku menatapnya ingin tahu.

 

Tangannya membelai lembut rambutku, ia tertawa kecil dan menggelengkan kepala. "Cintaku sudah terkunci di kamu. Gak bisa ke mana-mana lagi. Kita akan selalu bersama sampai tua dengan atau tanpa anak." Dikecupnya keningku lembut, dengan tatapan penuh sayang yang membuatku selalu betah di dekatnya, merebah di dadanya menikmati bunyi detak jantungnya yang teratur. Suamiku sangat lembut, bukan? Selain itu, ia juga sangat perhatian.

 

"Kalau poligami?" Aku memperhatikan wajahnya, ingin melihat reaksinya atas pertanyaanku.

 

Suamiku langsung terpingkal-pingkal, membuat tubuhnya di mana wanitanya ini sedang merebah sedikit  berguncang. "Satu saja sudah membuatku repot banget apalagi dua? Tak pernah terpikir." Ia menyentil hidungku dengan tatapan menggoda.

 

Mengingat itu semua membuat jantungku bagai diremas kuat-kuat, sakit tak terkira. Membayang di benakku tatapan tak suka Mas Rasya saat kuutarakan ide ingin memberi suami kejutan yang tak biasa. Mas Rasya berkata tak perlu neko-neko. Lelaki jutek itu memang selalu tak suka tindakanku.

 

"Mas." Serak. Suaraku terdengar, menggema di ruangan yang sepi ini. Bapak terdiam. Sementara ibu terisak kecil. Anak sulungnya menatap Mas Rofi tampak begitu kehilangan.

 

Kudaratkan kecupan ringan di pipi suamiku, lalu ciumanku merambat di keningnya, bibirnya, sambil berkali-kali menyusut air mata yang akan kembali timbul dan jatuh di wajah suamiku. Sesekali, tanganku mengguncang-guncang tubuhnya yang tak bereaksi. Suamiku tak pernah seperti ini. Ia selalu sensitif. Bahkan hanya kecupan ringan di pipi akan membangunkannya.

 

"Sabar, Pus, sabar. Perbuatanmu menyakiti Rofii." Ibu mengusap bahuku, memelukku dari belakang. Kuusap air mata yang membasah di kedua pipiku. Qila dalam gendongan lelaki tua yang terlihat begitu menyimpan kesedihan tengah berceloteh riang. Bibir mungilnya melekuk senyum manis saat aku menatapnya.

 

"Eeeh. Eeeeh. Eeenenen. Eeeh. Enen."

 

Qila terus berceloteh, bibir mungilnya bergerak-gerak lucu sementara matanya yang jernih cemerlang tengah memandangku. Lagi-lagi, senyum bocah itu terkembang lebar. Di ambang pintu, lelaki itu menatap ke arahku penuh kebencian. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di sebelah adik iparnya ini yang terus mengharap Dia mau bermurah hati membuat Mas Rofi kembali bersama kami. Tapi harapan yang musykil. Lelaki tercintaku tetap tak bergerak. Ada sisa kemarahan di wajahnya yang putih bersih.

 

"Aku kan sudah bilang tak perlu memberi kejutan aneh-aneh!" Sinis. Saat lelaki bertubuh tegap menoleh menatapku.

 

"Ibu setuju ide Puspita karena ... ya karena ... ibu bayangkan wajah senang Rofi saat ibu keluar membawa kue dan hadiah."

 

"Dan ini yang terjadi!" kata Mas Rasya sinis. 

 

Ibu mengusap air mata di pipinya dengan wajah terlihat sangat menyesal. Tatap penuh kehilangan lekat di wajah keriput ibu dan bapak. Juga Mas Rasya yang lagi-lagi memandangku jutek.

 

Mas Rasya dan suamiku sangat dekat. Mas Rofi selalu menurut pada apa yang dikatakan kakaknya. Mas Rasya tulang punggung di keluarganya. Sejak perusahaan bapaknya bangkrut saat ia baru masuk di perguruan tinggi, bapak jadi sakit-sakitan dan akhirnya ia mengambil alih. Ia juga yang membiayai kuliah Mas Rofi. Tapi, saat pertama bertemu dengannya dulu Mas Rasya tak begini. Ia begitu ramah meski terkadang tersenyum mengejekku. Sifatnya mulai berubah setelah Mbak Ndari meninggal melahirkan anaknya.

 

"Sudah, Pus. Sudah. Yang telah pergi tak akan kembali lagi." Ibu merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Aku tersengal-sengal. Bagaimana hidupku nanti tanpa mas Rofi? 

 

Bahkan jika ini dalam mimpi, aku belum tentu sanggup. Yaaa Tuhan, kenapa bisa seperti ini?

 

Aku sungguh tak menyangka niat baikku ingin membuat kejutan yang tak biasa, malah membuat Mas Rofi tutup usia, pergi untuk selama-lamanya.

 

"Eeeeh. Eeeeh. Eeeh. Eeeh. Eeeh. Eeeh." Si Qila terus berceloteh riang dalam gendongan bapak. Aku menahan pedih yang berdenyar di dada saat menatap bocah itu.

 

Maafkan Bunda, Sayang. Secara tak langsung telah memisahkanmu dengan ayah.

 

Kugendong Qila, mendekapnya erat di dada sambil menangis. Tangan Qila kuraih lalu kusentuhkan ke wajah ayahnya. Qila tertawa dan berceloteh. 

 

"Eeeh. Eeeh. Eeeeeh."

 

Air mataku menetes, jatuh membasahi wajah suamiku yang tampak marah. Lelakiku, sebelum ini tak pernah terlihat sangat kesal.

 

"Eeeh, eeeh. Eeeeh." Lagi-lagi, Qila berceloteh seolah ingin mengajak ayahnya bercanda. Tapi lelaki yang terbaring kaku di pembaringan, sama sekali tak bicara.

 

"Itu ulahmu sendiri!" Ketus Mas Rasya. 

 

Aku sedang sangat sedih, tak bisakah sedikit saja ia bersikap ramah?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status