Alina baru saja keluar dari ruang farmasi, menggenggam plastik bening berisi obat dan vitamin yang diresepkan dokter Sarah. Langkahnya terhenti sejenak ketika melihat Gallen sedang menyudahi panggilan telepon di dekat vending machine.Begitu pria itu melangkah mendekat, Alina segera menangkap perubahan kecil di raut wajahnya."Ada sesuatu?" tanyanya pelan, sembari menatap lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi Gallen yang tampak tenang.Namun, senyum tipis yang muncul di bibir pria itu berhasil menghapus kecemasan yang sempat menyelinap."Andreas barusan dapat email tagihan dari rumah sakit. Dia cuma mau memastikan kamu baik-baik saja," jelas Gallen. Alina mengangguk paham. "Obatnya sudah aku tebus. Tadi bagian farmasi bilang, kalau nanti mualnya belum juga reda setelah obatnya habis, aku bisa langsung hubungi dokter Sarah."Gallen mengangguk singkat, lalu mengambil alih kantong obat dari tangan istrinya. "Biar saya yang bawa. Kamu jangan pegang berat-berat."Alina tersenyum kecil, me
Rumah sakit. Ruang pemeriksaan rumah sakit terasa sunyi. Hanya suara detak mesin monitor dan napas Alina yang sedikit berat memenuhi udara.Ia duduk di atas ranjang pasien dengan tangan meremas ujung rok. Tak lama kemudian terdengar suara tirai disibak, Gallen masuk membawa sebotol air mineral wajah pria itu terlihat lebih tenang seperti biasanya."Sarah bilang hasil tes akan keluar sebentar lagi." Gallen lalu menyerahkan botol air di tangannya kepada Alina. "Kamu masih mual?"Alina lalu menerima botol itu. Lalu mendongak ke arah Gallen. "Kepalaku rasanya berat."Gallen mengusap lembut puncak kepala Alina. Beberapa detik kemudian, ia mengeluarkan sebotol minyak aromaterapi dari saku jasnya. “Coba pakai ini dulu.”Perlahan, ia meneteskan minyak ke ujung jarinya, lalu mengoleskannya ke pelipis Alina dengan penuh perhatian.Senyum tipis muncul di wajah Alina. “Sejak kapan suamiku yang dingin seperti beruang kutub bisa seromantis ini?”“Tsk! Jangan tiru Caroline memanggil saya beruang k
Ketika terbangun, tubuh Alina terasa remuk, seolah seluruh tenaganya terkuras habis.Lengan kekar yang melingkar erat di pinggangnya terasa begitu posesif, menahannya dalam pelukan hangat.Namun, hawa dingin yang menusuk kulit membuatnya cepat sadar—ia sedang tanpa sehelai benang pun.Kesadaran itu sontak membawa ingatannya kembali ke malam penuh gejolak bersama Gallen.Tak pernah ia bayangkan semua akan terjadi begitu cepat. Hari yang selama ini membuatnya risau... akhirnya tiba juga.“Sudah bangun?” Suara berat di belakangnya membuat Alina spontan memutar tubuhnya. Pandangannya sempat tertuju pada jam dinding yang menggantung. "Kamu tidak ke kantor?" tanya Alina seraya mengamati wajah Gallen. "Sebentar lagi." Lengan kekar Gallen kembali memeluknya lebih erat. "Apa masih sakit?"Pipi Alina langsung panas. Gallen memang hati-hati, tapi juga... menggila. Ia bahkan tak sempat menghitung berapa kali mereka melakukannya. Ia hanya bisa mengangguk pelan mengutarakan jawabannya. Sementa
“Aku tidak bermaksud seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak tahu kalau kotak ini isinya baju seperti itu!” seru Alina panik.Ia buru-buru mengambil lingerie berbahan renda itu, menyelipkannya kembali ke dalam kotak. Tak peduli berapa harganya—meski ratusan juta sekalipun—tetap saja memalukan baginya. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus.Dasar Gallen! Bisa-bisanya pria itu menuduhnya seperti itu? Padahal yang pikirannya ke mana-mana siapa?Namun, Gallen justru memiringkan kepala, ekspresinya berubah. Tatapan matanya menajam.“Caroline baru saja lulus kuliah. Mana mungkin dia sudah memikirkan hal seperti ini?” ucapnya sambil melipat tangan di dada.“Gallen, sekarang ini bukan zaman kolonial lagi. Gadis-gadis usia sekolah saja banyak yang lebih berani dari suami istri,” sahut Alina sambil mendengus kesal.“Lagipula Caroline sudah dewasa. Dia tahu pernikahan kita sah dan normal. Jadi wajar saja kalau dia—dengan cara berpikirnya—menganggap ini sebagai hadiah yang pantas.”Alina menatap Ga
Beberapa jam kemudian, senja mulai merambat di langit.Langkah kaki terdengar mendekat dari lantai bawah. Alina yang baru saja habis mandi, duduk di sofa kecil dekat jendela, tengah menikmati sebuah drama sambil mengoles pelembap ke sikunya.Pintu kamar terbuka perlahan. Ketika menoleh ke arah sumber suara, Gallen baru saja muncul. Satu tangan membawa jas kerjanya sementara satu tangan yang lain membawa sebuah kotak besar berwarna putih.“Caroline bilang ini paket untukmu," katanya usai menghentikan langkah di hadapannya. Lalu meletakkan kotak itu di meja Alina."Oh, iya. Tadi dia bilang dia belikan aku sesuatu. Taruh saja di situ." Alina meletakkan jar pelembapnya. Kemudian bangkit berdiri meraih jas kerja Gallen."Kukira kamu pulang lembur lagi, jadi aku belum siapkan air mandi."Gallen mengangguk kemudian melepas ikatan dasinya. "Tidak apa-apa. Kebetulan saya mau mandi air dingin hari ini.""Oh, kalau begitu, aku akan siapkan bajumu dulu," kata Alina, lalu tanpa menunggu respons me
Andreas terkejut mendengar pernyataan Alina. Ketika sang nyonya baru saja menundukkan tubuhnya, pria itu cepat-cepat menahan tangan Alina, mencegahnya melanjutkan.“Nyonya, Anda tidak boleh seperti ini,” ujarnya lembut sambil membantu Alina berdiri tegak kembali. Pandangannya kemudian terarah ke papan nomor antrean. “Lebih baik kita ambil dulu obat untuk Nona Caroline. Setelah itu, saya akan menjelaskan semuanya.”Alina menatap mata Andreas. Ada ketulusan di sana, dan itu cukup untuk membuatnya mengangguk setuju. Setelah menunggu sekitar lima pasien, akhirnya Alina mendapatkan obat untuk adik iparnya.Begitu mereka sampai di lorong yang sepi, Alina langsung menuntut, “Sekarang, kamu harus menepati janjimu, Andreas.”Andreas menghela napas panjang. Nada suaranya berat, seolah apa yang akan diucapkannya bukan hal mudah.“Sebenarnya, selama di luar negeri, Tuan Gallen mengidap penyakit. Radang lambung akut dan insomnia…”"Selama di luar negeri?" ulang Alina, berusaha memahami setiap kata