"Selamat siang, Pak Al." "Ya, selamat siang." Albani masuk kerja seperti biasa, tak ada yang berubah dengan aktivitasnya sebagai CEO di perusahaan yang bergerak pada bidang properti. Albani memang tipe workaholic, tak ayal segala aktifitasnya pun harus berkaitan dengan pekerjaan. "Hei, bukannya pak Al baru saja menikah?" bisik salah seorang karyawan pada teman kerjanya yang lain. "Iya, belum lama ini secara privat." Temannya itu menanggapi serius. "Wah, kenapa tidak digelar pesta besar, ya?" tanya karyawan itu penasaran, bukankah orang kalangan elit suka kemewahan dan mempertontonkannya. "Kurasa keluarga pak Al ingin pernikahan itu lebih privasi, lagipula semakin ternama keluarga, maka justru mereka tidak akan flexing dengan pesta besar-besaran tau." Karyawan lain ikut menyahut. "Oh begitu ya. Kau pandai sekali menilai, apa pernah kenal dengan orang kaya raya seperti pak Al?" ledek karyawan itu pada temannya. "Mengkhayal saja sana!" Albani mendengarnya cukup jelas, tapi
Aileen sampai di rumah Albani. Sesuai dengan ekspektasinya, rumah itu sangat luas dan mewah. Jadi, ini adalah rumah yang tidak ditinggali oleh kedua orang tua Albani. Bisa dibilang, orang tua Albani hanya pulang saat acara tertentu, sisanya mereka harus meneruskan bisnis di luar negeri. "Ayo masuk," ajak Albani. Aileen pun mengikuti langkah kaki Albani, hanya saja sepatu hak tinggi miliknya sedikit membuatnya sulit berjalan normal. Albani melihatnya, ia segera menawarkan diri untuk menggandeng tangan Aileen, memberikan lengannya agar diraih oleh wanita itu. "Terima kasih, Al." "Pelan-pelan," kata Albani melihat Aileen yang agak kesulitan. Di luar dugaan, rumah mewah itu tidak punya penjaga. Ia juga tidak melihat ada pelayan yang wara-wiri sedari tadi. "Al, dimana orang tuamu?" tanya Aileen. "Di ruang makan, pasti mereka sudah menunggu," jawab Albani. "Ah, baiklah." Keduanya pergi ke meja makan, dan benar saja di sana sudah duduk seorang wanita paruh baya berpenampilan
"Kau yakin tidak apa-apa?" Lagi-lagi Albani memastikan hal sudah Aileen jelaskan. Ia baik-baik saja, tidak tersinggung ataupun sedih dengan perkataan wanita bernama Melani, ibu kandung Albani, mama mertuanya. "Aku tidak apa-apa," angguk Aileen lagi. "Jangan dipikirkan, lagipula aku tidak merasa tersinggung." "Benarkah? Saya saja tidak pernah bisa menerima setiap ucapannya. Bagaimana bisa kau malah tidak apa-apa," ucap Albani heran. "Yang dikatakan mamamu itu benar, Al." Aileen berpikir cukup serius sebelum mengatakan hal itu. "Apa?" Albani makin tak mengerti. "Kita memang menikah tidak saling suka, justru respon ibumu itu normal. Dibandingkan respon mamaku, kenapa mamaku bersikap seolah-olah aku pasti bahagia jika menikahi mu? Padahal jelas ia tahu, bersama orang yang tak punya rasa apa-apa terhadap kita itu mungkin saja akan menyakitkan." Albani pun diam mendengarkan perkataan Aileen. Tapi baginya tetap saja ibunya sangat menjengkelkan tadi. Bagaimana bisa bahkan wan
Aileen, gadis itu bagi Albani adalah sebuah ancaman. Ia memang sudah mengantisipasi, agar kejadian-kejadian yang tidak diinginkan jangan sampai menghancurkan rencananya. Pernikahan keduanya harus tetap berada di koridor aman, berjalan sesuai rencana dan selesai pada waktunya tiba. Namun belakangan ia jadi kepikiran, tentang kepribadian Aileen yang membuatnya agak terusik. Sikap tidak mudah tersinggung itu, baginya adalah sebuah batu sandungan yang menganggu. Albani tak suka wanita naif, dan menurutnya Aileen salah satunya. "Al, bisa kita bicara," ucap Melani. Keduanya tidak sengaja bertemu di sebuah kafe dekat kantor Albani. "Untuk apa lagi, saya rasa tak ada yang perlu dibahas," jawab Albani tegas. "Ada, tentu akan selalu ada yang perlu kita bahas!" "Tapi saya tidak mau membahas apa pun sekarang." "Al, katakan bahwa kau tak sedang tersentuh dengan wanita itu." Melani kelihatannya sangat mencemaskan hal itu. "Memangnya kenapa?" sahut Albani. "Tentu saja itu tak boleh!
Aileen masuk ke kamar sambil menahan rasa yang tidak bisa diungkap. Rasanya tak enak, bisa dibilang dadanya sakit melihat sikap Albani itu. Kini Aileen mulai cemas dan mempertanyakan sikap anehnya itu sendiri. "Entah kenapa aku malah sedih begini." Aileen mengambil ponselnya, ia coba menghilangkan rasa tak menyenangkan itu dengan melihat-lihat sesuatu. Namun tetap saja itu tidak berhasil membuatnya teralihkan sama sekali. "Apa aku keluar saja sebentar, ya. Jika dibiarkan begini terus, aku jadi tidak enak dengan Al. Bagaimana jika sikapku membuat Al tak nyaman dan berpikir yang aneh-aneh." Karena itu Aileen memutuskan keluar dari rumah. Ia melihat ke kamar Albani, tak ada tanda-tanda Albani di sana. Mungkin saja Albani pergi lagi setelah kejadian tadi. "Hentikan, Aileen. Kau tak perlu tau dia ada dimana kan." Akhirnya Aileen pergi keluar rumah untuk sekedar mencari udara segar. Tak lupa ia mengenakan kacamatanya seperti biasa. Rio terkejut karena Aileen malah keluar rumah,
Rio terus saja meracau tak jelas sementara Aileen masih mencerna semua hal yang baru saja terjadi. Ternyata Rio belum menyadari bahwa yang waktu itu ada di pesta pernikahan adalah dirinya. Gadis yang dikatakan Albani bernama Haura itu adalah Aileen. Awalnya Aileen berpikiran Rio sudah menyadari bahwa Haura adalah dirinya. Namun rupanya Rio malah mengira Aileen menjalin hubungan dengan pria beristri. "Kenapa kau bisa berkata begitu?" tanya Aileen masih ketus. "Aku melihat kau bersamanya beberapa hari lalu di sebuah restoran yang ada di hotel berbintang. Itu benar kau, kan?" Kini Aileen ingat, jadi Rio melihatnya bersama Albani secara kebetulan saat keduanya menginap di hotel, satu hari setelah pesta pernikahan digelar. "Oh." Aileen menanggapinya ringan. "Kau tidak kaget aku memberitahu kebusukan pria itu?" "Tidak. Tapi aku akan melaporkanmu ke polisi sebagai tindak penguntitan!" tegas Aileen. "Apa? Kau gila, Aileen?" "Aku? Gila? Apa kau juga ingin aku melaporkanmu sebagai
"Argh sial!! Kenapa? Kenapa Aileen malah bersikap begitu di depanku! Kenapa dia tidak mau lagi mendengarkan ku?" Rio merasa gila karena Aileen memperlakukannya sangat tidak manusiawi. Tatapan benci dan jijik yang begitu jelas terpancar dari mata gadis itu. Rio sangat tersiksa kala melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sekarang ia menyadari semuanya, Rio tak bisa melepaskan begitu saja bayang-bayang Aileen dari hidupnya. Ia tak bisa membuang Aileen semata-mata hanya karena ia sudah bersama Lenka. "Kau kenapa?" tanya Lenka. "Lenka, kau waktu itu simpan kartu atm Aileen, kan?" Lenka tersentak mendengar Rio yang tiba-tiba saja malah menanyakan hal itu. "Kenapa kau bertanya mendadak sih. Untuk apa kau tanya itu?" "Aku ingat, kau bilang kau saja yang simpan. Kau masih simpan itu, kan?" sahut Rio. Lenka mengedikkan bahu. "Tidak tau tuh, aku lupa. Siapa lagi Aileen? apa maksudmu cewek culun itu?" "Lenka kumohon, aku serius bertanya. Tolong berikan kartu atm itu padaku, ya." "Ka
Aileen masih belum mengerti. Baru saja Albani mengajaknya menghabiskan waktu berdua. Lalu pria itu berkata ini bagian dari akting, apa maksudnya. "Maksudmu?" "Papa saya baru datang dari luar negeri. Orang saya bilang papa memerintahkan suruhannya untuk membuntuti gerak-gerik kita. Papa mungkin curiga, karena saya awalnya menolak tegas pernikahan ini. Sedangkan sekarang, saya malah berbalik menerima. Itu sebabnya beliau memerintahkan orang menjadi mata-mata." "Apa? Benarkah begitu?" Aileen sangat syok. Kenapa papa Albani sampai segitunya, pikirnya. "Ya, apa pun bisa ia lakukan. Tapi ia tak tau bahwa saya juga bisa melakukan apa saja yang saya inginkan. Termasuk ketika orang saya lebih dulu mengetahui rencananya untuk memata-matai saya." "Lalu apa maksudmu kita malam ini berkencan, maksudku kita menghabiskan waktu bersama demi memenuhi rasa penasaran papamu dan menutup semua kecurigaan itu?" "Hem, kau benar. Kita akan berkencan selayaknya pasangan pengantin baru." Albani men
"Mengapa kita harus menginap di sini, Al?" Aileen bukannya tidak mau menginap di rumah orang tua Albani, hanya saja ia merasa tidak enak jika harus tidur berdua lagi dengan Albani dalam satu ranjang. "Ini permintaan mama," kata Al. "Mamamu meminta kita menginap?" Tentu saja Aileen tidak langsung percaya, apalagi sikap Melani yang jelas menunjukkan hal sebaliknya. Melani tidak menyukainya, itu yang Aileen tangkap dari sikapnya. "Ya, mama bilang kita setidaknya tinggal satu bulan." "SATU BULAN?" sahut Aileen amat terkejut. "Kau bercanda, kan, Al?" Albani menghela napas. "Kau keberatan, ya?" Tentu saja, batin Aileen. Apalagi itu tandanya mereka harus tidur satu kamar selama satu bulan lamanya. Satu hari saja sangat menyiksa, apalagi satu bulan. "Saya tau kau begini karena melihat sikap mama yang kurang menyenangkan. Tapi kau tenang saja, mama kali ini yang meminta kita tinggal, jadi kau tak perlu mencemaskan apa-apa." Aileen mengerti, sebenarnya ia pun sama sekali tidak masa
"Duduklah," ucap Albani. Aileen pun duduk setelah Albani menarik kursi untuknya. "Al, kau tampak sempurna." Melani membuka obrolan, tidak menyapa Aileen, ia malah memuji putranya sendiri. "Selamat malam, Tante," ujar Aileen. "Apa? Tante?" Melani terkekeh. "Aileen, panggil kami dengan sebutan papa dan mama, karena kami orang tuamu," ucap Martin pada menantunya. "Tidak, kau saja yang dipanggil papa. Aku tidak sudi dipanggil mama olehnya!" tegas Melani. "Hentikan sikap kekanakanmu." Martin mengingatkan istrinya agar tidak berlebihan. "Kenapa? Kau bilang aku boleh menyambut tamu, beginilah caraku menyambutnya." Melani sangat ketus. Albani menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri. "Bersikaplah elegan, kalian tidak hadir saat saya menikah. Sekarang, di depan kalian adalah anggota keluarga baru yang juga dari keluarga baru. Tidak sepantasnya kalian berdebat dan bersikap seenaknya pada istri saya." Aileen tidak mengira jika Albani akan mengatakan hal itu di depan kedua
"Halo, tadi kau menelepon?" tanya Albani yang sedang diperjalanan menuju rumah. Albani tersentak mendengar penjelasan Aileen, ia pun segera mematikan telepon untuk memeriksa apa benar yang Aileen katakan. Ia kaget begitu melihat foto profil chat-nya berubah. "Siapa yang mengganti fotonya?" gumamnya bingung. Albani pun segera menghapus karena tidak ingin Aileen salah paham. "Halo, Aileen. Mengenai makan malam memang benar, malam ini ada acara makan malam di rumah papa. Tapi kalau foto profil, maaf itu jelas bukan saya yang mengubahnya. Begitu juga untuk chat yang dikirimkan padamu, itu bukan saya yang mengirim," jelas Albani. Aileen sekarang mengerti, jadi bukan Albani yang melakukannya sendiri. Lantas siapa, batin Aileen. Setelah menjelaskan, Albani mematikan telepon dengan alasan sedang diperjalanan menuju rumah. Albani meminta agar Aileen segera bersiap. "Jadi siapa yang mengirimkan pesan itu padaku, ya." Aileen pun heran sambil memikirkan siapa orangnya. Tapi apaka
Rio memberikan bukti, bukan sekedar perkataan. Ia sempat memotret Albani dan Aileen yang tengah makan di sebuah restoran hotel berbintang. Ia juga tak lupa memotret momen saat Aileen keluar dari mobil Albani lalu memasuki rumah mewah. "Ini, aku sempat membuntuti awalnya karena penasaran saja. Apa benar sepupumu itu selingkuh?" Lenka benar-benar syok melihat bukti foto-foto itu. Namun yang membuat ia jengkel adalah keterlibatan Rio di dalamnya. "Selama ini kau masih memperhatikan mantanmu itu, ya?" "Bukan, tidak seperti itu, Lenka. Awalnya hanya tidak sengaja, tapi aku penasaran sebab pria itu sepupumu. Bukannya dia sudah menikah, kupikir kau perlu tau karena dia juga kan kerabatmu." Rio menjelaskan menggunakan versi yang berbeda. Ia berharap Lenka percaya argumennya itu. "Sejak kapan kau peduli? Kau tak pernah peduli dengan sepupuku, kerabat, bahkan orang tuaku." Lenka menahan diri agar tidak meledak lagi, padahal baru saja ia berhasil menarik Rio ke dalam kendalinya. Tapi
Untuk beberapa detik Aileen masih belum menyadari bahwa peluh di sekujur tubuhnya membuatnya tanpa sadar ingin menggelinjang. Hawa panas dan getaran sedikit geli membuat tubuh bawahnya bereaksi aneh. Kakinya sibuk membuat gerakan seperti menggesek. Tangannya meremas kain sprei kuat dengan kepala mendongak ke atas meski matanya terpejam. Bibirnya bergerak kecil, sesekali ia menggigitnya hingga suara erangannya lolos. "Ah!!" Aileen, gadis itu kemudian melotot. Ia menatap sebelahnya, kaget luar biasa menemukan Albani tidur membelakanginya. "Barusan? Astaga, apa aku...." desah panjang pelan. Aileen tak sadar mendapatkan pelepasan hanya karena mimpi erotis yang dialaminya. Jelas sekali itu seperti nyata, bukan mimpi ataupun khayalan. Gadis itu lalu mengusap wajah, ia berjalan pelan ke kamar mandi dan lupa bahwa kakinya masih sedikit sakit. "Akk." Aileen melirik Albani lagi, syukurlah pria itu masih tidur. Ia menutup mulut tak ingin membuat pria itu terkejut. Aileen membasu
Albani keluar setelah yakin bahwa dirinya kini lebih tenang. Aileen sama sekali tidak bisa tidur, tapi gadis itu memutuskan untuk memejamkan mata dan berpura-pura sudah terlelap. Tentu saja itu Aileen lakukan sebab ia tak ingin kalau nantinya Albani tidak nyaman dengannya. "Apa kau sudah tidur?" tanya Albani. Ia duduk di sisi Aileen dengan sedikit jarak. Aileen tidak menjawab karena ingin dianggap sudah tidur oleh Albani. "Jangan memaksakan diri kalau belum bisa tidur," ucap Albani. Ia tau, Aileen belum tidur dan hanya berpura-pura. "Em, kau tau ya. Maafkan aku, Al." "Tidak perlu minta maaf. Kau sudah lebih enakan?" "Ya, sudah tidak apa-apa." Albani berbaring di sisi Aileen, di tengah-tengah mereka ada bantal yang menjadi penghalang. "Sebenarnya baju ini kau dapat dari siapa, Al?" tanya Aileen. Ia penasaran, karena baju yang dia kenakan lebih mirip lingerie dibandingkan baju tidur biasa. "Asisten saya, besok akan saya tanya mengapa ia memilih baju begitu."
Melani benar-benar emosi dengan kejadian tadi. Ia benci harus melihat Albani dan gadis itu memiliki kemungkinan untuk saling mengisi dan berdekatan. Padahal sebelumnya ia yakin bahwa putranya takkan tertarik dengan gadis kampungan seperti Aileen. Namun yang terjadi di depan mata kepalanya sendiri, Albani malah mengusirnya. Apalagi tadi Aileen dengan tidak tau diri memanggil Albani, padahal sudah jelas Albani sedang berbicara dengan orang lain di pintu kamar. "Dia sudah jelas terlihat sangat cari perhatian. Aku takkan biarkan dia menguasai Al. Aku takkan biarkan gadis itu bertingkah seenaknya sendiri." "Kenapa kau bicara sendiri?" Suaminya tiba-tiba saja muncul membuat Melani terkejut. "Kau tak perlu tau!" tegas Melani. Ia takkan bicara tentang Albani lagi di depan Martin. Kini dia harus berhati-hati sebab Martin dan dirinya punya pemikiran dan cara yang berlawanan. "Kau mengganggu Al ya." Martin mengambil handuk, ia akan bersiap untuk mandi. Pria itu baru saja pulang, ia curiga m
"Kau tak masalah minum wine?" tanya Albani. "Mm, boleh kalau hanya sedikit," jawab Aileen. Namun yang terjadi malahan sebaliknya. Tubuhnya terasa lengket karena terkena tumpahan minuman yang tak sengaja mengenainya. Kejadiannya begitu singkat saat seorang pelayan hotel masuk membawakan sebotol wine untuk mereka sebagai hadiah. Aileen bermaksud memutar gelas, namun wine itu malah tumpah mengenai pakaian yang ia pakai. "Ah bagaimana ini," kata Aileen sembari memeriksa bajunya yang basah. "Apa basah sekali?" tanya Albani. "Ya, ini lumayan," terang Aileen. "Kau bisa bersihkan dulu, lalu pakai ini," ujar Albani memberikan satu set perlengkapan tidur pada Aileen. . "Tadi saya pikir mungkin ini perlu untuk berjaga-jaga," ucap Albani sambil menggaruk tengkuknya canggung. Rupanya Albani juga mempersiapkan baju tidur segala, batin Aileen gugup. Itu wajar, tak ada yang aneh dengan hal itu. Aileen berusaha tetap biasa dan tidak perlu memikirkan hal-hal aneh walau pikiran itu sela
Situasinya jadi amat canggung antara Albani dan Aileen. Mereka harus tetap di dalam kamar hotel sementara karena orang-orang yang membuntuti keduanya masih ada di sekitarnya. Aileen mencoba mengubur rasa tak nyaman itu dengan memainkan ponsel. Begitupun Albani, tapi pria itu memang sedang bekerja dengan ponselnya seperti biasa. "Kau sedang bekerja, ya?" tanya Aileen. "Ya, sedikit. Ada apa?" Aileen cepat menggeleng. "Tidak kok, hanya membuka obrolan karena terlalu sepi." Albani menatap Aileen sekilas kemudian memasukkan ponsel ke sakunya. "Kau bosan ya, apa kita keluar saja?" "Tidak, di sini saja. Maksudku memang ini rencananya untuk mengelabuhi mereka, kan," ujar Aileen. Albani juga sebenarnya bosan, tapi benar yang Aileen katakan barusan. Keberadaan keduanya di dalam kamar hotel demi mengelabuhi orang-orang di luar. "Em, sebenarnya ini membuatku penasaran, Al." "Penasaran?" "Ya, keluargamu, mengapa mereka harus mengawasi kita?" tanya Aileen ingin tau alasan