"Kau bertanya tentang siapa?" Pertanyaan Albani itu terasa ambigu bagi Aileen. Apalagi wanita yang ditemui Albani hanya wanita asing itu, lalu untuk apa Albani bertanya begitu seolah tak ingat kejadian itu. "Pria dan wanita berciuman, mana mungkin tak ingat. Pertanyaa mu lucu sekali, Al. Tentu wanita itu, yang tadi kau cium di kantor." Albani menatap Aileen, saat itu ia kelihatan bingung dengan perkataan Aileen. "Saya berciuman?" "Astaga, apa kau tak ingat? Bahkan tadi lipstiknya menempel di bibirmu." "Tunggu dulu, tapi saya tidak paham dengan yang kau katakan barusan. Saya berciuman dengan siapa?" "Sudahlah. Maaf karena aku hanya ingin tau. Kurasa aku berhak tau walaupun hubungan kita tak seperti pasutri normal. Tapi aku juga perlu tau, kan, dengan siapa kau menjalin hubungan. Jangan salah paham, mungkin saja itu berpengaruh pada rencana awal kita," terang Aileen. Saat itu Aileen mengikuti kata hatinya untuk bertanya. Walaupun ia sendiri tak yakin Albani akan diam saja
"Al kau akhirnya datang." Albani menghela napas panjang. "Untuk apa kau menyuruh wanita itu datang ke kantor?" tanyanya ketus. Melani mengerutkan kening, sikapnya menunjukkan seolah tak tau apa-apa. "Tadi mama juga baru tau kalau dia ada di sini, makanya mama bertanya apa dia ke kantormu. Bagaimana bisa kau mengatakan mama yang mengundang dia?" "Sudahlah, tak perlu lagi berpura-pura." Albani menahan dirinya sebisa mungkin agar tidak membuat keributan. "Al, kau pulang sendiri? Mana Aileen?" tanya Martin tiba-tiba muncul. "Saya sudah lelah dengan kalian, lebih baik kalian kembali saja ke luar negeri jika di sini keberadaan kalian hanya membuat saya repot!" geram Albani. Martin tak mengerti, dia baru muncul tapi kenapa Albani sudah marah-marah. Ini pasti ulah Melani, lagi-lagi ia jadi terbawa. "Apa yang kau lakukan terhadap putramu, Mel?" tanya Martin. "Sudahlah, pa. Kau juga sama saja. Kau yang mengganti foto profilku dengan wajah Aileen, lalu mengirimkan pesan singkat pa
"Apa maksudmu Aileen?" "Sudahlah, tidak apa. Tamunya apa sudah pulang?" "Tamu siapa, tamu kita atau?""Tamu kita," pungkas Aileen. "Dia sudah pergi, katanya semua sudah deal. Saya sudah setuju dengan konsepnya, kau juga sudah, kan?" "Em, syukurlah. Kalau begitu hari ini sudah selesai, kan?" "Ya, saya kira sudah." "Aku mau pulang ya." "Aku akan mengantarmu." "Tidak perlu, Al. Aku bisa pulang naik taksi saja." "Tapi kenapa? Kita tadi berangkat bersama, pulang juga kau harus saya antar." Aileen menggeleng. Ia tak boleh menangis. Aileen lagi-lagi melihat sesuatu yang membuat matanya pedih. Bekas lipstik, itu jelas sekali di bibir Albani. "Tidak usah, aku bisa pulang sendiri.""Saya akan antar." "Tidak! Kau mengerti, kan. Aku tak ingin diantar pulang olehmu!" tegas Aileen. Albani terkesiap, ini pertama kalinya Aileen marah sampai segitunya. "Kau marah pada saya ya?" "Maaf Al, tapi aku sedang kurang enak badan. Aku pulang duluan ya." Aileen berlalu begitu saja meninggalkan Al
Aileen berlari kocar kacir karena takut ketahuan sudah berada di dekat Albani dan tamunya. Ia tadinya hendak kembali ke ruangan Albani untuk membicarakan masalah bisnis. Tapi melihat pemandangan tadi membuat Aileen tidak tenang, diam-diam ia merasa terusik dan tak nyaman. Matanya mulai memburam menatap jalanan sekitar kantor Albani. Ia lalu pergi keluar dari tempat itu untuk sekedar mencari ketenangan. Namun yang terjadi, tubuhnya gemetar, kepalanya berdenyut pusing, ia sedikit mual dan matanya mengeluarkan cairan cukup deras tanpa bisa dicegah olehnya. Dadanya sesak, Aileen memegangnya kuat sambil berpikir kenapa dia harus bersedih akan apa yang dilihatnya. Apa pun yang terjadi di antara Albani dan wanita itu yang katanya tamu penting, itu sama sekali bukan urusannya. "Aileen kau kenapa sih," ucapnya dengan suara bergetar dan tubuh yang gemetaran. Ia menangis sendiri sambil berjongkok di dekat kafe perusahaan Albani. Ia lalu memilih masuk ke dalamnya untuk sekedar berteduh, m
Aileen baru pertama kali datang ke perusahaan Albani. Begitu sampai di lobi, ia disambut oleh beberapa karyawan. Beberapa Aileen kenali wajahnya karena datang saat acara pernikahan. Tapi kebanyakan Aileen tidak kenal, sehingga ia hanya menyapa sebagaimana orang normal. Tapi anehnya beberapa karyawan tampak menatap aneh padanya, apa mungkin penampilannya aneh. Padahal Aileen sudah berusaha tampil rapi hari ini karena tak mau mengecewakan Albani. "Al, apa penampilanku aneh?" tanya Aileen saat keduanya memasuki lift. "Tidak, memangnya kenapa?" sahut Albani. Menurutnya Aileen cantik dan anggun, tapi dia tak terbiasa mengutarakan pujian seperti itu. "Em, kukira aku aneh. Tidak apa-apa kok," ucap Aileen. "Jangan pedulikan hal-hal yang kurang baik di sekitarmu. Saya sudah biasa mendengar selentingan yang mungkin tak enak didengar di sini. Karyawan yang banyak tak mungkin saya perhatikan satu persatu orangnya. Kadang mereka juga mengatakan hal miring tentang saya." "Benarkah? Padahal kau
Aileen tak peduli meskipun sikap Melani selama ia berada di rumah keluarga besar Albani tampak sangat frontal ketidaksukaannya. Berada beberapa hari saja di rumah itu membuat Aileen mempelajari banyak sekali karakter baru. Papa mertuanya yang sangat perhatian, tapi terkadang terkesan tidak peduli dengan privasi anaknya. Barusan saja Aileen melihat papa mertuanya memegang ponsel Albani, jangan-jangan waktu itu papa mertuanya juga yang mengganti foto profil Albani dan mengirimkan pesan singkat bernada mesra padanya. Namun Aileen tak ingin mengadukan hal itu pada Albani, kecuali nanti Albani merasa terganggu dan mengeluh tentang ponselnya. "Aileen, kau mau kemana?" tanya Martin pada menantunya. Pagi sekali Aileen sudah bersiap dengan dandanan rapi. "Saya mau pergi, Pa." "Pergi kemana dan dengan siapa?" "Saya pergi dengan Al kok, Pa." "Al? Mana Al nya, Ai?" "Ada di luar sudah menunggu, kalau begitu saya permisi ya, Pa.""Oh baiklah, hati-hati ya, Aileen." "Iya, Pa." Seperti itula
"Al, akhirnya kau pulang." Aileen sangat berseri-seri tak seperti biasanya. Albani sampai ikut tersenyum melihat senyuman Aileen yang menyambutnya di depan pintu kamar. "Ayo masuk Al!" ajaknya menarik tangan Albani cepat. "Em, ada apa?" Albani lalu berdiri di depan Aileen.Aileen membantu Albani membuka dasi, ia pelan-pelan mengendurkannya. Albani tersentak, jelas sekali ini bukan kebiasaan Aileen. Tapi anehnya ia tak merasa risih, Albani malah membiarkan apa pun yang ingin Aileen lakukan. "Sudah, kau butuh ku bantu buka sepatu?" Belum sampai menjawab, Aileen sudah lebih dulu membukakan sepatu Albani. "Sudah, aku sudah buka dasi dan sepatumu. Sekarang kau duduk." Albani pun duduk. "Em, terima kasih, tapi tumben sekali. Kau mau bicara apa?" "Al, aku punya permintaan," ucap Aileen. "Permintaan?" "Iya, kumohon agar kau tidak menolaknya." "Baiklah, coba kau beritahu saya." "Al, aku ingin punya perusahaan." Albani terdiam. Jadi, itu permintaan yang Aileen maksud. Tapi untuk apa t
"Kenapa kalian sangat kaku." Melani muncul saat Albani hendak berpamitan pada Aileen untuk berangkat ke kantor. "Mama kenapa masih di sini, bukannya tadi mau ke kantor?" "Ya, ini mau ke kantor. Bagaimana kalau kau antar mama ke kantor, Al?" "Maaf tapi saya harus buru-buru," jawab Albani. Melani menatap Aileen sinis. "Kau tidak mesra sama sekali dengannya, ya. Padahal dulu waktu kau berpacaran dengan Marsha, kau sangat mesra sekali dengannya.""Marsha," gumam Aileen. Itu mungkin nama mantan kekasih Albani, tapi untuk apa Melani membahasnya sekarang.Albani tak menyangka kalau mamanya akan tiba-tiba membahas orang itu. "Untuk apa mama membahas orang yang tak jelas!" "Tak jelas katamu?" "Ya, dia bukan siapa-siapa." Albani lalu mendekati Aileen, ia mengecup keningnya. "Saya berangkat ya."Aileen mengerjap merasakan bibir Albani menyentuh keningnya barusan. "Em, hati-hati." Albani mengusap puncak kepala Aileen lembut. "Kalau ada apa-apa, kau bisa telepon kapanpun." "Ya, baiklah."
Melani menunggu Albani dan istrinya di meja makan untuk sarapan pagi. Namun sudah pukul tujuh kedua orang itu belum juga keluar kamar. Martin muncul, ia baru saja selesai berolahraga dan terdiam sebentar melihat wajah sang istri yang merengut. "Kau kenapa, Mel?" tanya Martin. Sudah lama sekali Martin tak memanggilnya dengan sapaan itu. Melani pun makin cemberut. "Kenapa kau tanya, tidak perlu ingin tau!" Martin lalu duduk sambil menuangkan air putih ke gelas. "Kau menunggu Al dan istrinya?" "Menunggu Al!" "Kau tak boleh begitu, kau sendiri yang meminta istri Al untuk tinggal di sini satu bulan." "Itu karena aku ingin Al di sini, bukan istrinya!" Saat itu Aileen baru saja turun, dan ia mendengar semuanya. Martin melirik ke atas, ia lalu berdiri. "Kalian sudah bangun, padahal tidur lagi kalau masih mengantuk. Ini hari libur, kan." Melani menghampiri Albani sambil antusias. "Sudah mama buatkan kopi tanpa gula kesukaanmu." Aileen menunduk, ia tau mama mertuanya itu tidak menyuka