"Maksudku, apa kau punya tipe ideal? Seperti apa wanita yang kau suka itu?" Albani mendadak diam saat Aileen bertanya tentang wanita idealnya. Aileen jadi tidak enak karena melontarkan pertanyaan yang mungkin saja membuat Albani jadi tak nyaman lagi. "Ups, apa aku salah lagi?" "Ah, tidak tidak." Albani menggeleng-geleng saja. "Lalu, apa kau tak suka wanita jangan-jangan?" Aileen kelihatan sangat serius saat berkata begitu. "Hah? Kau ini ada-ada saja. Kau kira saya tidak normal?" Aileen terkekeh lagi. "Ya, habisnya kau itu kenapa harus bingung. Coba kau tanya aku, tipe idealku seperti apa. Pasti aku akan langsung menjawab dengan penuh keyakinan. Tipe idealku adalah Lee DongMin!" "Siapa itu?" Albani tak kenal nama yang disebutkan Aileen. "Apa dia aktor atau idol?" Aileen tertawa geli. "Bercanda, dia memang aktor yang sangat tampan. Aku suka menonton setiap drama yang dibintanginya. Sudah sudah, kau ini malah jadi membahas tipeku. Kau tak mau berbagi tipemu itu seperti apa?"
"Kurasa kita tak perlu referensi!" Aileen beranjak lalu pergi begitu saja keluar dari kamar Albani. "Tunggu, Ai, kenapa—" Blam. Aileen keluar begitu saja dan menutup pintu kamar Albani. Saat itu Albani kaget melihat reaksi Aileen yang tiba-tiba malah kabur meninggalkannya. Ia menggaruk tengkuk, sedikit bingung lalu memutuskan untuk duduk kembali. "Kenapa dia begitu," pikirnya tak enak. "Saya rasa tidak ada yang salah, apa dia segitu tidak nyamannya karena saya pegang pipinya?" gumam pria tiga puluh tahun itu. "Ah benar juga, tadi dia bilang tak pernah membiarkan orang menyentuhnya, kan?" Albani jadi merasa bersalah. Albani menatap ke layar televisi dan terkejut melihat film yang barusan di putar itu benar-benar film dewasa yang vulgar. Pria itu segera mematikannya lalu mengusap wajah. "Kenapa kau jadi payah sekali, sih. Bukannya ini hanya film yang ringan," ucapnya sambil menggeram. Tapi tak lama pria itu malah senyum kecil teringat lagi tingkah Aileen. Padahal yang me
"Kau mau kemana?" tanya wanita yang sejak tadi diam memperhatikan saat suaminya tengah sibuk dengan ponsel. "Bukan urusanmu," jawab laki-laki itu. "Apa? Sejak kapan urusanmu bukan urusanku?" "Melani, hentikan sikap sok dominan itu. Kau kira aku tidak tau, apa saja yang sudah kau lakukan untuk membuat rumah tangga yang baru dimulai Al rusak?" Keduanya memang seringkali berbeda pendapat dan cara memperlakukan putra tunggal mereka. Melani cenderung ingin menguasai Albani bagaimanapun caranya. Sedangkan Martin justru ingin Albani bisa berkembang dengan pola pikir laki-laki dewasa yang bijaksana. Kali ini Melani tidak setuju sama sekali dengan pilihan suaminya itu, menurutnya Albani layak mendapatkan wanita yang lebih baik dari Aileen dalam segala hal. Namun semuanya harus ia kesampingkan karena bagaimanapun juga itu wasiat mendiang mertuanya. Melani menghembuskan napas kasar. "Al anakku, jadi aku yang lebih tau mana yang baik untuknya atau tidak." Martin menggeleng ragu. Ia
"Ah, terima kasih karena mengatakan itu," ucap Aileen. Meski itu terdengar tidak biasa, walaupun Aileen senang mendengarnya saat Albani memujinya. "Tentu, siapapun pasti akan memuji kecantikanmu itu." Albani memegang tangan Aileen membuat gadis itu menatap kaget untuk sesaat sebelum Albani makin menjadi-jadi dengan mengecup tangannya mendadak. Semburat senyum dengan pipi memerah yang menghiasi wajah Aileen tampak sedikit mengusik ketenangan Albani. Pria itu selalu berusaha menyimpan dirinya dengan baik dibalik sikap dewasa yang ia tunjukkan dihadapan Aileen. Namun kali ini Albani sedikit menunjukkan sisi pria yang sebenarnya dihadapan Aileen dengan dalih peran yang ia mainkan di sini. "Pipimu merah sekali, Sayang." Albani mengusap pipi gadis itu lembut. Mata Aileen membulat, jelas ia terkesiap menerima sentuhan kesekian kalinya itu. Saat itu Albani memegang ponsel lalu mendorongnya pelan ke hadapan Aileen. Awalnya Aileen bingung, lalu kemudian ia memahami situasi dan maksudn
"Kau ini kenapa sih, Rio?" "Tidak, aku hanya bosan." "Bosan? Tumben sekali, mana pacarmu yang biasa menempel itu?" "Tidak usah membahas dia," tegas Rio. Seperti itulah kebiasaan Rio kalau sedang bosan, malas dengan Lenka. Dulu, setiap kali ia bosan, ia selalu ada pelarian yang bisa menghiburnya. Siapa lagi kalau bukan Aileen, sayangnya sekarang Aileen tak mungkin kembali. Tadinya ia ingin menyerah untuk mengambil hati Aileen, karena ia sadar sudah menyakiti gadis itu. Namun yang membuat Rio enggan menyerah adalah pria yang saat ini dekat dengan Aileen. Albani, pria itu jelas-jelas sudah menikah. Lantas untuk apa dia mendekati Aileen segala, pikirnya. Saat itu Rio tengah memperhatikan layar ponselnya. Ia sudah punya nomor telepon Albani yang ia dapat dari Lenka beberapa waktu lalu. Tapi untuk alasan apa ia menghubungi Albani lebih dulu, itu yang masih ia pikirkan. "Hei, buat apa kau menyewa ku di sini kalau hanya sibuk dengan ponsel saja sejak tadi?" Rio berdecih. "K
Situasinya jadi amat canggung antara Albani dan Aileen. Mereka harus tetap di dalam kamar hotel sementara karena orang-orang yang membuntuti keduanya masih ada di sekitarnya. Aileen mencoba mengubur rasa tak nyaman itu dengan memainkan ponsel. Begitupun Albani, tapi pria itu memang sedang bekerja dengan ponselnya seperti biasa. "Kau sedang bekerja, ya?" tanya Aileen. "Ya, sedikit. Ada apa?" Aileen cepat menggeleng. "Tidak kok, hanya membuka obrolan karena terlalu sepi." Albani menatap Aileen sekilas kemudian memasukkan ponsel ke sakunya. "Kau bosan ya, apa kita keluar saja?" "Tidak, di sini saja. Maksudku memang ini rencananya untuk mengelabuhi mereka, kan," ujar Aileen. Albani juga sebenarnya bosan, tapi benar yang Aileen katakan barusan. Keberadaan keduanya di dalam kamar hotel demi mengelabuhi orang-orang di luar. "Em, sebenarnya ini membuatku penasaran, Al." "Penasaran?" "Ya, keluargamu, mengapa mereka harus mengawasi kita?" tanya Aileen ingin tau alasan
"Kau tak masalah minum wine?" tanya Albani. "Mm, boleh kalau hanya sedikit," jawab Aileen. Namun yang terjadi malahan sebaliknya. Tubuhnya terasa lengket karena terkena tumpahan minuman yang tak sengaja mengenainya. Kejadiannya begitu singkat saat seorang pelayan hotel masuk membawakan sebotol wine untuk mereka sebagai hadiah. Aileen bermaksud memutar gelas, namun wine itu malah tumpah mengenai pakaian yang ia pakai. "Ah bagaimana ini," kata Aileen sembari memeriksa bajunya yang basah. "Apa basah sekali?" tanya Albani. "Ya, ini lumayan," terang Aileen. "Kau bisa bersihkan dulu, lalu pakai ini," ujar Albani memberikan satu set perlengkapan tidur pada Aileen. . "Tadi saya pikir mungkin ini perlu untuk berjaga-jaga," ucap Albani sambil menggaruk tengkuknya canggung. Rupanya Albani juga mempersiapkan baju tidur segala, batin Aileen gugup. Itu wajar, tak ada yang aneh dengan hal itu. Aileen berusaha tetap biasa dan tidak perlu memikirkan hal-hal aneh walau pikiran itu sela
Melani benar-benar emosi dengan kejadian tadi. Ia benci harus melihat Albani dan gadis itu memiliki kemungkinan untuk saling mengisi dan berdekatan. Padahal sebelumnya ia yakin bahwa putranya takkan tertarik dengan gadis kampungan seperti Aileen. Namun yang terjadi di depan mata kepalanya sendiri, Albani malah mengusirnya. Apalagi tadi Aileen dengan tidak tau diri memanggil Albani, padahal sudah jelas Albani sedang berbicara dengan orang lain di pintu kamar. "Dia sudah jelas terlihat sangat cari perhatian. Aku takkan biarkan dia menguasai Al. Aku takkan biarkan gadis itu bertingkah seenaknya sendiri." "Kenapa kau bicara sendiri?" Suaminya tiba-tiba saja muncul membuat Melani terkejut. "Kau tak perlu tau!" tegas Melani. Ia takkan bicara tentang Albani lagi di depan Martin. Kini dia harus berhati-hati sebab Martin dan dirinya punya pemikiran dan cara yang berlawanan. "Kau mengganggu Al ya." Martin mengambil handuk, ia akan bersiap untuk mandi. Pria itu baru saja pulang, ia curiga m
Aileen tak peduli meskipun sikap Melani selama ia berada di rumah keluarga besar Albani tampak sangat frontal ketidaksukaannya. Berada beberapa hari saja di rumah itu membuat Aileen mempelajari banyak sekali karakter baru. Papa mertuanya yang sangat perhatian, tapi terkadang terkesan tidak peduli dengan privasi anaknya. Barusan saja Aileen melihat papa mertuanya memegang ponsel Albani, jangan-jangan waktu itu papa mertuanya juga yang mengganti foto profil Albani dan mengirimkan pesan singkat bernada mesra padanya. Namun Aileen tak ingin mengadukan hal itu pada Albani, kecuali nanti Albani merasa terganggu dan mengeluh tentang ponselnya. "Aileen, kau mau kemana?" tanya Martin pada menantunya. Pagi sekali Aileen sudah bersiap dengan dandanan rapi. "Saya mau pergi, Pa." "Pergi kemana dan dengan siapa?" "Saya pergi dengan Al kok, Pa." "Al? Mana Al nya, Ai?" "Ada di luar sudah menunggu, kalau begitu saya permisi ya, Pa.""Oh baiklah, hati-hati ya, Aileen." "Iya, Pa." Seperti itula
"Al, akhirnya kau pulang." Aileen sangat berseri-seri tak seperti biasanya. Albani sampai ikut tersenyum melihat senyuman Aileen yang menyambutnya di depan pintu kamar. "Ayo masuk Al!" ajaknya menarik tangan Albani cepat. "Em, ada apa?" Albani lalu berdiri di depan Aileen.Aileen membantu Albani membuka dasi, ia pelan-pelan mengendurkannya. Albani tersentak, jelas sekali ini bukan kebiasaan Aileen. Tapi anehnya ia tak merasa risih, Albani malah membiarkan apa pun yang ingin Aileen lakukan. "Sudah, kau butuh ku bantu buka sepatu?" Belum sampai menjawab, Aileen sudah lebih dulu membukakan sepatu Albani. "Sudah, aku sudah buka dasi dan sepatumu. Sekarang kau duduk." Albani pun duduk. "Em, terima kasih, tapi tumben sekali. Kau mau bicara apa?" "Al, aku punya permintaan," ucap Aileen. "Permintaan?" "Iya, kumohon agar kau tidak menolaknya." "Baiklah, coba kau beritahu saya." "Al, aku ingin punya perusahaan." Albani terdiam. Jadi, itu permintaan yang Aileen maksud. Tapi untuk apa t
"Kenapa kalian sangat kaku." Melani muncul saat Albani hendak berpamitan pada Aileen untuk berangkat ke kantor. "Mama kenapa masih di sini, bukannya tadi mau ke kantor?" "Ya, ini mau ke kantor. Bagaimana kalau kau antar mama ke kantor, Al?" "Maaf tapi saya harus buru-buru," jawab Albani. Melani menatap Aileen sinis. "Kau tidak mesra sama sekali dengannya, ya. Padahal dulu waktu kau berpacaran dengan Marsha, kau sangat mesra sekali dengannya.""Marsha," gumam Aileen. Itu mungkin nama mantan kekasih Albani, tapi untuk apa Melani membahasnya sekarang.Albani tak menyangka kalau mamanya akan tiba-tiba membahas orang itu. "Untuk apa mama membahas orang yang tak jelas!" "Tak jelas katamu?" "Ya, dia bukan siapa-siapa." Albani lalu mendekati Aileen, ia mengecup keningnya. "Saya berangkat ya."Aileen mengerjap merasakan bibir Albani menyentuh keningnya barusan. "Em, hati-hati." Albani mengusap puncak kepala Aileen lembut. "Kalau ada apa-apa, kau bisa telepon kapanpun." "Ya, baiklah."
Melani menunggu Albani dan istrinya di meja makan untuk sarapan pagi. Namun sudah pukul tujuh kedua orang itu belum juga keluar kamar. Martin muncul, ia baru saja selesai berolahraga dan terdiam sebentar melihat wajah sang istri yang merengut. "Kau kenapa, Mel?" tanya Martin. Sudah lama sekali Martin tak memanggilnya dengan sapaan itu. Melani pun makin cemberut. "Kenapa kau tanya, tidak perlu ingin tau!" Martin lalu duduk sambil menuangkan air putih ke gelas. "Kau menunggu Al dan istrinya?" "Menunggu Al!" "Kau tak boleh begitu, kau sendiri yang meminta istri Al untuk tinggal di sini satu bulan." "Itu karena aku ingin Al di sini, bukan istrinya!" Saat itu Aileen baru saja turun, dan ia mendengar semuanya. Martin melirik ke atas, ia lalu berdiri. "Kalian sudah bangun, padahal tidur lagi kalau masih mengantuk. Ini hari libur, kan." Melani menghampiri Albani sambil antusias. "Sudah mama buatkan kopi tanpa gula kesukaanmu." Aileen menunduk, ia tau mama mertuanya itu tidak menyuka
"Mengapa kita harus menginap di sini, Al?" Aileen bukannya tidak mau menginap di rumah orang tua Albani, hanya saja ia merasa tidak enak jika harus tidur berdua lagi dengan Albani dalam satu ranjang. "Ini permintaan mama," kata Al. "Mamamu meminta kita menginap?" Tentu saja Aileen tidak langsung percaya, apalagi sikap Melani yang jelas menunjukkan hal sebaliknya. Melani tidak menyukainya, itu yang Aileen tangkap dari sikapnya. "Ya, mama bilang kita setidaknya tinggal satu bulan." "SATU BULAN?" sahut Aileen amat terkejut. "Kau bercanda, kan, Al?" Albani menghela napas. "Kau keberatan, ya?" Tentu saja, batin Aileen. Apalagi itu tandanya mereka harus tidur satu kamar selama satu bulan lamanya. Satu hari saja sangat menyiksa, apalagi satu bulan. "Saya tau kau begini karena melihat sikap mama yang kurang menyenangkan. Tapi kau tenang saja, mama kali ini yang meminta kita tinggal, jadi kau tak perlu mencemaskan apa-apa." Aileen mengerti, sebenarnya ia pun sama sekali tidak masa
"Duduklah," ucap Albani. Aileen pun duduk setelah Albani menarik kursi untuknya. "Al, kau tampak sempurna." Melani membuka obrolan, tidak menyapa Aileen, ia malah memuji putranya sendiri. "Selamat malam, Tante," ujar Aileen. "Apa? Tante?" Melani terkekeh. "Aileen, panggil kami dengan sebutan papa dan mama, karena kami orang tuamu," ucap Martin pada menantunya. "Tidak, kau saja yang dipanggil papa. Aku tidak sudi dipanggil mama olehnya!" tegas Melani. "Hentikan sikap kekanakanmu." Martin mengingatkan istrinya agar tidak berlebihan. "Kenapa? Kau bilang aku boleh menyambut tamu, beginilah caraku menyambutnya." Melani sangat ketus. Albani menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri. "Bersikaplah elegan, kalian tidak hadir saat saya menikah. Sekarang, di depan kalian adalah anggota keluarga baru yang juga dari keluarga baru. Tidak sepantasnya kalian berdebat dan bersikap seenaknya pada istri saya." Aileen tidak mengira jika Albani akan mengatakan hal itu di depan kedua
"Halo, tadi kau menelepon?" tanya Albani yang sedang diperjalanan menuju rumah. Albani tersentak mendengar penjelasan Aileen, ia pun segera mematikan telepon untuk memeriksa apa benar yang Aileen katakan. Ia kaget begitu melihat foto profil chat-nya berubah. "Siapa yang mengganti fotonya?" gumamnya bingung. Albani pun segera menghapus karena tidak ingin Aileen salah paham. "Halo, Aileen. Mengenai makan malam memang benar, malam ini ada acara makan malam di rumah papa. Tapi kalau foto profil, maaf itu jelas bukan saya yang mengubahnya. Begitu juga untuk chat yang dikirimkan padamu, itu bukan saya yang mengirim," jelas Albani. Aileen sekarang mengerti, jadi bukan Albani yang melakukannya sendiri. Lantas siapa, batin Aileen. Setelah menjelaskan, Albani mematikan telepon dengan alasan sedang diperjalanan menuju rumah. Albani meminta agar Aileen segera bersiap. "Jadi siapa yang mengirimkan pesan itu padaku, ya." Aileen pun heran sambil memikirkan siapa orangnya. Tapi apaka
Rio memberikan bukti, bukan sekedar perkataan. Ia sempat memotret Albani dan Aileen yang tengah makan di sebuah restoran hotel berbintang. Ia juga tak lupa memotret momen saat Aileen keluar dari mobil Albani lalu memasuki rumah mewah. "Ini, aku sempat membuntuti awalnya karena penasaran saja. Apa benar sepupumu itu selingkuh?" Lenka benar-benar syok melihat bukti foto-foto itu. Namun yang membuat ia jengkel adalah keterlibatan Rio di dalamnya. "Selama ini kau masih memperhatikan mantanmu itu, ya?" "Bukan, tidak seperti itu, Lenka. Awalnya hanya tidak sengaja, tapi aku penasaran sebab pria itu sepupumu. Bukannya dia sudah menikah, kupikir kau perlu tau karena dia juga kan kerabatmu." Rio menjelaskan menggunakan versi yang berbeda. Ia berharap Lenka percaya argumennya itu. "Sejak kapan kau peduli? Kau tak pernah peduli dengan sepupuku, kerabat, bahkan orang tuaku." Lenka menahan diri agar tidak meledak lagi, padahal baru saja ia berhasil menarik Rio ke dalam kendalinya. Tapi
Untuk beberapa detik Aileen masih belum menyadari bahwa peluh di sekujur tubuhnya membuatnya tanpa sadar ingin menggelinjang. Hawa panas dan getaran sedikit geli membuat tubuh bawahnya bereaksi aneh. Kakinya sibuk membuat gerakan seperti menggesek. Tangannya meremas kain sprei kuat dengan kepala mendongak ke atas meski matanya terpejam. Bibirnya bergerak kecil, sesekali ia menggigitnya hingga suara erangannya lolos. "Ah!!" Aileen, gadis itu kemudian melotot. Ia menatap sebelahnya, kaget luar biasa menemukan Albani tidur membelakanginya. "Barusan? Astaga, apa aku...." desah panjang pelan. Aileen tak sadar mendapatkan pelepasan hanya karena mimpi erotis yang dialaminya. Jelas sekali itu seperti nyata, bukan mimpi ataupun khayalan. Gadis itu lalu mengusap wajah, ia berjalan pelan ke kamar mandi dan lupa bahwa kakinya masih sedikit sakit. "Akk." Aileen melirik Albani lagi, syukurlah pria itu masih tidur. Ia menutup mulut tak ingin membuat pria itu terkejut. Aileen membasu